MAKALAH AL-ISLAM
NIKAH
OLEH:
PROGRAM
STUDI TEKNIK PERTANIAN
FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS
MUHAMMADIAH (UMM)
MATARAM
2016
KATA PENGANTAR
Bismillahhirrahmanirrahim
Puji syukur kahadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan
karunia, taufiq, dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan
makalah ini dengan baik.
Shalawat dan salam semoga tetap mengalir deras pada pejuang kita
yang namanya populer dan berkibar diseluruh dunia yakni Nabi besar Muhammad
Saw. Yang mana dengan perjuangan beliau kita dapat berada dalam cahaya Islam dan
Iman.
Selanjutnya kami menyadari bahwa selama penulisan
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan banyak kekurangan, sehingga kami
makalah ini sangat mengharapkan saran dan kritik yang konstruktif demi
kesempurnaan dalam penulisan makalah selanjutnya.
Akhirnya kami berdo’a semoga makalah
ini akan membawa manfaat pada kami khususnya dan pembaca pada umumnya.
Wassalammualaikumwr.wb
Mataram,juni 2017
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Allah
telah menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan, ada lelaki ada perempuan
salah satu ciri makhluk hidup adalah berkembang biak yang bertujuan untuk
generasi atau melanjutkan keturunan. Oleh Allah manusia diberikan karunia
berupa pernikahan untuk memasuki jenjang hidup baru yang bertujuan untuk
melanjutkan dan melestarikan generasinya.
Untuk
merealisasikan terjadinya kesatuan dari dua sifat tersebut menjadi sebuah
hubungan yang benar-benar manusiawi, maka Islam telah datang dengan membawa
ajaran pernikahan yang sesuai dengan syariat-Nya. Islam menjadikan lembaga
pernikahan itu pulan akan lahir keturunan secara terhormat, maka adalah satu
hal yang wajar jika pernikahan dikatakan wajar pernikahan dikatakan sebagai suatu
peristiwa dan sangat diharapkan oleh mereka yang ingin menjaga kesucian fitrah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Untuk
mengetahui definisi nikah
2.
Untuk
mengetahui hukum-hukum nikah
3.
Untuk
mengetahui rukun dan syarat nikah
4.
Untuk
mengetahui hikmah dan tujuan pernikahan
5.
Talak,macam-macam
talak dan iddah
6.
Hal-hal
yang terlarang sehubungan dengan pernikahan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
HUKUM ISLAM TENTANG
PERNIKAHAN
1. Arti Pernikahan
Pernikahan berasal
dari kata dasar nikah. Kata nikah memiliki persamaan dengan kata kawin. Menurut
bahasa Indonesia, kata nikah berarti berkumpul atau bersatu. Menurut istilah
syarak, nikah itu berarti melakukan suatu akad atau perjanjian untuk
mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bertujuan
untuk menghalalkan hubungan kelamin antara keduanya dengan dasar suka rela demi
terwujudnya keluarga bahagia yang diridhoi oleh Allh SWT.
Nikah adalah fitrah
yang berarti sifat asal dan pembawaan manusia sebagai makhluk Allah SWT. Setiap
manusia yang sudah dewasa dan sehat jasmani dan rohaninya pasti membutuhkan
teman hidup yang berlawanan jenis kelaminnya. Teman hidup yang dapat memenuhi
kebutuhan biologis, yang dapat mencintai dan dicintai, yang dapat mengasihi dan
dikasihi, serta yang dapat bekerja sama untuk mewujudkan ketentraman,
kedamaian, dan kesejahteraan dalam hidup berumah tangga.
Nikah termasuk perbuatan yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. atau sunnah Rasul. Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda:
Nikah termasuk perbuatan yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. atau sunnah Rasul. Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda:
Dari Anas bin Malik
ra.,bahwasanya Nabi saw. memuji Allah SWT dan menyanjung-Nya, beliau bersabda:
“Akan tetapi aku shalat, tidur, berpuasa, makan, dan menikahi wanita, barang
siapa yang tidak suka perbuatanku, maka bukanlah dia dari golonganku”. (HR.
Al-Bukhari dan muslim)
2. Hukum Pernikahan
a. Hukum Asal Nikah
adalah Mubah
Menurut sebagian besar ulama, hukum asal nikah adalah mubah,
artinya boleh dikerjakan boleh ditinggalkan. Dikerjakan tidak ada pahalanya dan
ditingkalkan tidak berdosa. Meskipun demikian, ditinjau dari segi kondisi orang
yang akan melakukan pernikahan, hukum nikah dapat berubah menjadi sunnah,
wajib, makruh atau haram.
b. Nikah yang Hukumnya
Sunnah
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa pada prinsipnya nikah
itu sunnah. Alasan yang mereka kemukakan bahwa perintah nikah dalam berbagai
Al-Qur’an dan hadits hanya merupakan anjuran walaupun banyak kata-kata amar
dalam ayat dan hadits tersebut. Akan tetapi, bukanlah amar yang berarti wajib
sebab tidak semua amar harus wajib, kadangkala menunjukkan sunnah bahkan suatu
ketika hanya mubah. Adapun nikah hukumnya sunnah bagi orang yang sudah mampu
memberi nafkah dan berkehendak untuk nikah.
c. Nikah yang Hukumnya
Wajib
Nikah menjadi wajib menurut pendapat sebagian ulama dengan
alasan bahwa diberbagai ayat dan hadits sebagaimana tersebut diatas disebutkan
wajib. Terutama berdasarkan hadits riwayat Ibnu Majah seperti dalam sabda
Rasulullah saw., “Barang siapa yang tidak mau melakukan sunnahku, maka tidaklah
termasuk golonganku”.
Selanjutnya nikah itu wajib sesuai dengan faktor dan situasi. Jika ada sebab dan faktor tertentu yang menyertai nikah menjadi wajib. Contoh: jika kondisi seseorang sudah mampu memberi nafkah dan takut jatuh pada perbuatan zina, dalam situasi dan kondisi seperti itu wajib nikah. Sebab zina adalah perbuatan keji dan buruk yang dilarang Allah SWT. Rasulullah saw. bersabda sebagai berikut.
Selanjutnya nikah itu wajib sesuai dengan faktor dan situasi. Jika ada sebab dan faktor tertentu yang menyertai nikah menjadi wajib. Contoh: jika kondisi seseorang sudah mampu memberi nafkah dan takut jatuh pada perbuatan zina, dalam situasi dan kondisi seperti itu wajib nikah. Sebab zina adalah perbuatan keji dan buruk yang dilarang Allah SWT. Rasulullah saw. bersabda sebagai berikut.
Dari Aisyah ra., Nabi saw. besabda: “Nikahilah olehmu
wanita-wanita itu, sebab sesungguhnya mereka akan mendatangkan harta bagimu”.
(HR. Al-Hakim dan Abu Daud)
d. Nikah yang Hukumnya
Makruh
Hukum nikah menjadi makruh apabila orang yang akan melakukan
perkawinan telah mempunyai keinginan atau hasrat yang kuat, tetapi ia belum
mempunyai bekal untuk memberi nafkah tanggungannya.
e. Nikah yang Hukumnya
Haram
Nikah menjadi haram bagi seseorang yang mempunyai niat untuk
menyakiti perempuan yang dinikahinya.
Dalam sebuah hadits Rasulullah saw. pernah bersabda:
“Barangsiapa yang tidak mampu menikah hendaklah dia puasa karena dengan puasa hawa nafsunya terhadap prempuan akan berkurang”. (HR. Jamaah Ahli Hadits)
“Barangsiapa yang tidak mampu menikah hendaklah dia puasa karena dengan puasa hawa nafsunya terhadap prempuan akan berkurang”. (HR. Jamaah Ahli Hadits)
Firman Allah di dalam Al-Qur’an:
Maka nikahilah wanita yang engkau senangi. (QS.An-Nisa/4:3)
Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara
kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang
laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kemampuan
kepada mereka dengan kemampuan-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), MahaMengetahui.
(QS.An-Nur/24:32)
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian1036 diantara kamu,
dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan
hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan
mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”.(Q.S
An-Nur/24:32)
Berpijak dari firman Allah dan hadits sebagaimana tersebut di
atas, maka bahwa dapat dijelaskan bahwa hukum menikah itu akan berubah sesuai
dengan faktor dan sebab yang menyertainya. Dalam hal ini setiap mukalaf penting
untuk mengetahuinya. Misalnya, orang-orang yang belum baligh, seorang pemabuk,
atau sakit gila, maka dalam situasi dan kondisi semacam itu seseorang haram
uinutuk menikah. Sebab, jikja mereja menikah dikhawatirkan hanya akan
menimbulkan mudharat yang lebih besar pada orang lain.
3. Rukun Nikah
Rukun nikah adalah
unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk melangsungkan suatu pernikahan. Rukun
nikah terdiri atas: . Sigat akad, yang terdiri atas ijab dan
kabul. Ijab dan kabul ini dilakukan olehy wali mempelai perempuan dan mempelai
laki-laki. Ijab diucapkan wali mempelai perempuan dan kabul diucapkan wali
mempelai laki-laki.
B.
RUKUN
DAN SYARATNYA PERNIKAHAN
Rukun
pernikahan ada lima:
1. Mempelai laki-laki syaratnya: bukan
dari mahram dari calon istri, idak terpaksa, atas kemauan sendiri, orangnya
tertentu, jelas orangny,calon suami, syaratnya
antara lain beragama Islam, benar-benar pria, tidak karena terpaksa, bukan
mahram (perempuan calon istri), tidak sedang ihram haji atau umrah, dan usia
sekurang-kurangnya 19 tahun.
2. Mempelai perempuan
syaratnya-syaratnya: tidak ada halangan syar’I yaitu tidak bersuami, bukan
mahram, tidak sedang dalam iddah, merdeka, atas kemauan sendiri, jelas
orangnya. Calon istri, syaratnya antara lain
beragama Islam, benar-benar perempuan, tidak karena terpaksa, halal bagi calon
suami, tidak bersuami, tidak sedang ihram haji atau umrah, dan usia
sekurang-kurangnya 16 tahun.
3. Wali (wali si perempuan)
keterangannya adalah sabda Nabi Saw:
أيما
امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل
“Barangsiapa diantara
perempuan yang menikah dengan tanpa izin walinya, maka pernikahannya batal”
(Riwayat Empat Ahli Hadis kecuali Nasa’I)
Dan syarat-syaratnya: laki-laki,
baligh, waras akalnya, tidak dipaksa, adil.
Wali mempelai
perempuan, syaratnya laki-laki, beragama islam, baligh (dewasa), berakal sehat,
merdeka (tidak sedang ditahan), adil, dan tidak sedang ihram haji atau umrah.
Wali inilah yang menikahkan mempelai perempuan atau mengizinkan pernikahannya.
Sabda Nabi Muhammad saw.:
Sabda Nabi Muhammad saw.:
Dari Aisyah ra.,
Rasulullah saw. bersbda: “perempuan mana saja yang menikah tanpa izin walinya,
maka pernikahan itu batal (tidak sah)”. (HR. Al-Arba’ah kecuali An-Nasa’i)
Mengenai susunan dan urutan yang menjadi wali adalah sebagai berikut:
Mengenai susunan dan urutan yang menjadi wali adalah sebagai berikut:
1) Bapak kandung,
bapak tiri tidak sah menjadi wali.
2) Kakek, yaitu bapak
dari bapak mempelai perempuan.
3) Saudara laki-laki
kandung.
4) Saudara laklaki
sebapak.
5) Anak laki-laki dari
saudara laki-laki kandung.
6) Anak laki-laki dari
saudara laki-laki sebapak.
7) Paman (saudara
laki-laki bapak).
8) Anak laki-laki
paman.
9) Hakim. Wali hakim
berlaku apabila wali yang tersebut di atas semuanya tidak ada, sedang berhalangan,
atau menyerahkan kewaliannya kepada hakim. .
Dua orang saksi,
syaratnya laki-laki, beragama islam, baligh (dewasa), berakal sehat, merdeka
(tidak sedang ditahan), adil, dan tidak sedang ihram haji atau umrah.
Pernikahan yang dilakukan tanpa saksi adalah tidak sah.
Sabda Nabi Muhammad
saw.:
Dari Aisyah ra.,
Rasulullah saw. bersabda: “Tidak sah nikah melainkan dengan wali dan dua orang
saksi yang adil.” (HR. Ibnu Hiban)
4. Dua orang saksi
لا
نكاح إلا بولي وشاهد عدل (رواه أحمد)
“Tidak sah nikah kecuali dengan wali dengan 2 saksi yang adil” (HR. Ahmad) Syarat-syaratnya:
laki-laki, baligh, waras akalnya, adil, dapat mendengar dan melihat, bebas
(tidak dipaksa), memahami bahasa yang digunakan ijab qabul.
5. Sighat (akad) yaitu perkataan dari
pihak wali perempuan, seperti kata wali “Saya nikahkan kamu dengan anak saya bernama……………..”
jawab mempelai laki-laki “Saya terima menikahi……………………”, boleh juga didahului
perkataan dari pihak mempelai seperti “Nikahkanlah saya dengan anakmu” jawab
wali “Saya nikahkan engkau dengan anak saya………………..” karena maksudnya sama. Tidak
sah akad nikah kecuali dengan lafadz nikah, tazwij, atau terjemahan dari
keduanya. Sabda Rasulullah Saw:
اتقوا الله في النساء فإنكم أخذتموهن
بأمانة الله واستحللتم فروجهن بكلمة الله (رواه مسلم)
“Takutlah kepada Allah dalam urusan perempuan, sesungguhnya
kamu ambil mereka dengan kepercayaan Allah, dan kamu halalkan kehormatan mereka
dengan kalimat Allah” (HR. Muslim)
Yang dimaksud dengan kalimat
“kalimat Allah” dalam hadis ialah Al-Qur’an, dan dalam Al-Qur’an tidak
disebutkan selain dua kalimat itu (nikah dan tazwij) maka harus dituruti agar
tidak salah pendapat yang lain, asal lafadz akad tersebut ma’qul ma’na,
tidak semata-mata ta’abbudi.
4. Pernikahan yang
Terlarang
Pernikahan yang terlarang aalah pernikahan
yang di haramkan oleh agama Islam. Adapun penikahan yang terlarang adalah
sebagai berikut:
a. Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah adalah pernikahan yang diniatkan dan diakadkan
untuk sementara waktu saja (hanya untuk bersenang-senang), misalnya seminggu,
satu bulan, atau dua bulan. Masa berlakunya pernikahan dinyatakan terbatas.
Nikah mut’ah telah dilarang oleh rasulullah saw. sebagaimana dijelaskan dalam
suatu hadits:
Dari Rabi’ bin Sabrah al-Juhani bahwasannya bapaknya meriwayatkan, ketika dia bersama rasulullah saw., beliau bersabda: “wahai sekalian manusia, dulu pernah aku izinkan kepada kamu sekalian perkawinan mut’ah, tetapi ketahuilah sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat”. (HR. Muslim)
Dari Rabi’ bin Sabrah al-Juhani bahwasannya bapaknya meriwayatkan, ketika dia bersama rasulullah saw., beliau bersabda: “wahai sekalian manusia, dulu pernah aku izinkan kepada kamu sekalian perkawinan mut’ah, tetapi ketahuilah sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat”. (HR. Muslim)
b. Nikah Syigar
Nikah syigar adalah apabila seorang laki-laki mengawinkan
anak perempuannya dengan tujuan agar seorang laki-laki lain menikahkan anak
perempuannya kepada laki-laki (pertama) tanpa mas kawin (pertukaran anak
perempuan). Perkawinan ini dilarang dengan sabda Rasulullah saw.
Dari Ibnu Umar ra., sesungguhnya Rasulullah saw. melarang perkawinan syigar. (HR. Muslim)
Dari Ibnu Umar ra., sesungguhnya Rasulullah saw. melarang perkawinan syigar. (HR. Muslim)
c. Nikah Muhallil
Nikah muhallil adalah pernikahan yang dilakukan seorang
laki-laki terhadap seorang perempuan yang tidak ditalak ba’in, dengan bermaksud
pernikahan tersebut membuka jalan bagi mantan suami (pertama) untuk nikah
kembali dengan bekas istrinya tersebut setelah cerai dan habis masa idah.
Dikatakan muhallil karena dianggap membuat halal bekas suami
yang menalak ba’in untuk mengawini bekas istrinya. Pernikahan ini dilarang oleh
rasulullah saw. dengan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud:
Dari Ibnu Abbas ra., Rasulullah saw. melaknat muhallil (yang
mengawini setelah ba’in) dan muhallil lalu (bekas suami pertama yang akan
mengawini kembali). (HR. Al-Kamsah kecuali Nasai)
d. Kawin dengan pezina
Seorang laki-laki yang baik-baik tidak diperbolehkan (haram)
mengawini perempuan pezina. Wanita pezina hanya diperbolehkan kawin dengan
laki-laki pezina, kecuali kalau perempuan itu benar-benar bertobat.
Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an.
Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina
perempuan, atau dengan perempuan musyrik; dan Pezina perempuan tidak boleh
menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik; dan yang
demikian itu diharamkan bagi orang mukmin. (QS. An-Nur/24:3)
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan
yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak
dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang
demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mu'min” (Q.S An-Nur/24:3)
Akan tetapi, kalau perempuan pezina tersebut sudah bertobat,
halallah perkawinan yang dilakukannya. Sesuai dengan sabda Rasulullah saw.:
Dari Abu Ubaidah bin abdullah dari ayahnya berkata: “Bersabda
rasulullah saw.: Orang yang bertobat dari dosa tidak ada lagi dosa baginya.”
(HR. Ibnu Majah)
Dengan demikian, secara lahiriah perempuan pezina kalau benar-benar bertobat, maka dapat kawin dengan laki-laki yang bukan pezina (baiuk-baik)
Dengan demikian, secara lahiriah perempuan pezina kalau benar-benar bertobat, maka dapat kawin dengan laki-laki yang bukan pezina (baiuk-baik)
C. HIKMAH PERNIKAHAN
Pernikahan adalah ikatan batin antara seorang pria dan wanita
sebagai suami istri. Ia merupukan pintu gerbang kehidupan berkeluarga yang
mempunyai pengaruh terhadap keturunan dan kehidupan masyrakat. Keluarga yang
kokoh dan baik menjadi syarat penting bagi kesejahteraan masyarakat dan kebahagiaan
umat manusia pada umumnya.
Agama mengajarkan bahwa pernikahan adalah sesuatu yang suci,
baik, dan mulia. Pernikahan menjadi dinding kuat yang memelihara manusia dari
kemungkinan jatuh ke lembah dosa yang disebabkan oleh nafsu birahi yang tak
terkendalikan.
Banyak sekali hikmah yang terkandung dalam pernikahan, antara
lain sebagai kesempurnaan ibadah, membina ketentraman hidup, menciptakan
ketenangan batin, kelangsungan keturunan, terpelihara dari noda dan dosa, dan
lain-lain. Di bawah ini dikemukakan beberapa hikmah pernikahan.
1.
Pernikahan Dapat Menciptakan Kasih Sayang dan ketentraman
Manusia sebagai
makhluk yang mempunyai kelengkapan jasmaniah dan rohaniah sudah pasti
memerlukan ketenangan jasmaniah dan rohaniah. Kenutuhan jasmaniah perlu
dipenuhi dan kepentingan rohaniah perlu mendapat perhatian. Ada kebutuhan pria
yang pemenuhnya bergantung kepada wanita. Demikian juga sebaliknya. Pernikahan
merupakan lembaga yang dapat menghindarkan kegelisahan. Pernikahan merupakan
lembaga yang ampuh untuk membina ketenangan, ketentraman, dan kasih sayang
keluarga.
Allah berfirman:
Dan diantara
tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah dia meniptakan pasangan-pasangan untukmu dari
jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan Dia
menjadikan diantaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu
benar-benar terhadap tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir (QS.
Ar-Rum/30:21)
2.
Pernikahan Dapat Melahirkan keturunan yang Baik
Setiap orang
menginginkan keturunan yang baik dan shaleh. Anak yang shaleh adalah idaman
semua orang tua. Selain sebagai penerus keturunan, anak yang shaleh akan selalu
mendoakan orang tuanya.
Rasulullah saw.
bersabda:
Dari Abu Hurairah
ra., Rasulullah saw., bersabda: “Apabila telah mati manusia cucu Adam,
terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariah, ilmu yang
bermanfaat, dan anak shaleh yang mendoakannya”. (HR. Muslim)
3.
Dengan Pernikahan, Agama Dapat Terpelihara
Menikahi perempuan
yang shaleh, bahtera kehidupan rumah tangga akan baik. Pelaksanaan ajaran agama
terutama dalam kehidupan berkeluarga, berjalan dengan teratur. Rasulullah saw.
memberikan penghargaan yang tinggi kepada istri yang shaleh. Mempunyai istri
yang shaleh, berarti Allah menolong suaminya melaksanakan setengah dari urusan
agamnya. Beliau bersabda:
Dari Anas bin malik
ra., Rasulullah saw., bersabda: “Barang siapa dianugerahkan Allah Istri yang
shalehah, maka sungguh Allah telah menolong separuh agamanya, maka hendaklah ia
memelihara separuh yang tersisa”. (HR. At-Thabrani)
4.
Pernikahan dapat Memelihara Ketinggian martabat Seorang
Wanita
Wanita adalah teman
hidup yang paling baik, karena itu tidak boleh dijadikan mainan. Wanita harus
diperlakukan dengan sebaik-baiknya.
Pernikahan
merupakan cara untuk memperlakukan wanita secara baik dan terhormat. Sesudah
menikah, keduanya harus memperlakukan dan menggauli pasangannya secara baik dan
terhormat pula.
Firman Allah dalam Al-Qur’an:
Dan bergaulah
dengan mereka menurut cara yang patut. (QS. An-Nisa/4:19)
Karena itu nikahilah mereka dengan izin
tuannya dan berilah mereka maskawin yang pantas, karena mereka adalah
perempuan-perempuan yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula)
perempuan yang mengambil laki-laki sebagai piarannya. (QS. An-Nisa/4:25)
5.
Pernikahan Dapat Menjauhkan Perzinahan
Setiap orang, baik
pria maupun wanita, secara naluriah memiliki nafsu seksual. Nafsu ini
memerlukan penyaluran dengan baik. Saluran yang baik, sehat, dan sah adalah
melalui pernikahan. Jika nafsu birahi besar, tetapi tidak mau nikah dan tetap
mencari penyaluran yang tidak sehat, dan melanggar aturan agama, maka akan
terjerumus ke lembah perzinahan atau pelacuran yang dilarang keras oleh agama.
Firman Allah dalam
Surah Al-isra ayat 32:
Dan janganlah kamu
mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan
suatu jalan yang buruk. (QS. Al-Isra/17:32)
Jelasnya, hikmah pernikahan itu adalah sebagai berikut:
1. Menciptakan struktur
sosial yang jelas dan adil.
2. Dengan nikah, akan
terangkat status dan derajat kaum wanita.
3. Dengan nikah akan
tercipta regenerasi secara sah dan terhormat.
4. Dengan nikah agama
akan terpelihara.
5. Dengan pernikahan
terjadilah keturunan yang mampu memakmuram bumi.
D. PENGERTIAN NIKAH
secara bahasa : kumpulan, bersetubuh, akad. secara
syar’i dihalalkannya seorang lelaki dan
untuk perempuan bersenangg-senang, melakukan hubungan seksual, dll .
E. HUKUM NIKAH
Para fuqaha mengklasifikasikan hukum nikah menjadi 5 kategori
yang berpulang kepada kondisi pelakunya :
1. Wajib, bila nafsu
mendesak, mampu menikah dan berpeluang besar jatuh ke dalam zina.
2. Sunnah, bila nafsu
mendesak, mampu menikah tetapi dapat memelihara diri dari zina.
3. Mubah, bila tak ada
alasan yang mendesak/mewajibkan segera menikah dan/atau alasan yang
mengharamkan menikah.
4. Makruh, bila nafsu
tak mendesak, tak mampu memberi nafkah tetapi tidak merugikan isterinya.
5. Haram, bila nafsu
tak mendesak, tak mampu memberi nafkah sehingga merugikan isterinya.
F. TUJUAN DAN HIKMAH NIKAH
Tujuan
Nikah ditinjau dari:
TUJUAN
FISIOLOGIS
Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :
1.
Tempat semua anggota keluarga mendapatkan sarana berteduh
yang baik & nyaman.
2. Tempat semua anggota keluarga mendapatkan kosumsi makan-minum-pakaian
yang memadai.
3.
Tempat suami-isteri dapat memenuhi kebutuhan biologisnya.
TUJUAN PSIKOLOGIS
Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :1. Tempat semua
anggota keluarga diterima keberadaannya secara wajar & apa adanya.
2. Tempat semua
anggota keluarga mendapat pengakuan secara wajar dan nyaman.
3. Tempat semua
anggota keluarga mendapat dukungan psikologis bagi perkembangan jiwanya.
4. Basis pembentukan
identitas, citra dan konsep diri para anggota keluarga.
TUJUAN SOSIOLOGIS
Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :
1. Lingkungan pertama
dan terbaik bagi segenap anggota keluarga.
2. Unit sosial
terkecil yang menjembatani interaksi positif antara individu anggota keluarga
dengan masyarakat sebagai unit sosial yang lebih besar.
TUJUAN DA’WAH
Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :
1. Menjadi obyek wajib
da’wah pertama bagi sang da’i.
2. Menjadi prototipe
keluarga muslim ideal (bagian dari pesona islam) bagi masyarakat muslim dan
nonmuslim.
3. Setiap anggota
keluarga menjadi partisipan aktif-kontributif dalam da’wah.
4. Memberi
antibodi/imunitas bagi anggota keluarga dari kebatilan dan kemaksiatan
Islam tidak mensyari’atkan sesuatu melainkan dibaliknya
terdapat kandungan keutamaan dan hikmah yang besar. Demikian pula dalam nikah,
terdapat beberapa hikmah dan maslahat bagi pelaksananya :
1. Sarana pemenuh
kebutuhan biologis (QS. Ar Ruum : 21)
2. Sarana menggapai
kedamaian & ketenteraman jiwa (QS. Ar Ruum : 21)
3. Sarana menggapai
kesinambungan peradaban manusia (QS. An Nisaa’ : 1, An Nahl : 72)
Rasulullah berkata : “Nikahlah, supaya kamu berkembang menjadi banyak.
Sesungguhnya saya akan membanggakan banyaknya jumlah ummatku.” (HR. Baihaqi)
4. Sarana untuk
menyelamatkan manusia dari dekadensi moral.
Rasulullah pernah berkata kepada sekelompok pemuda : “Wahai pemuda, barang
siapa diantara kalian mampu kawin, maka kawinlah. Sebab ia lebih dapat
menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Namun jika belum mampu, maka
berpuasalah, karena sesungguhnya puasa itu sebagai wija’ (pengekang syahwat)
baginya.” (HR Bukhari dan Muslim dalam Kitab Shaum)
G. PEMINANGAN (KHITBAH) SEBELUM
PELAKSANAAN PERNIKAHAN
1.
Definisi
Peminangan
Beberapa ahli Fiqih
berbeda pendapat dalam pendefinisian peminangan. Beberapa diantaranya adalah
sebagai berikut:
Wahbah Zuhaili
mengatakan bahwa pinangan (khitbah) adalah pernyataan seorang lelaki kepada
seorang perempuan bahwasanya ia ingin menikahinya, baik langsung kepada
perempuan tersebut maupun kepada walinya. Penyampaian maksud ini boleh secara
langsung ataupun dengan perwakilan wali.
Adapun Sayyid Sabiq, dengan ringkas
mendefinisikan pinangan (khitbah) sebagai permintaan untuk mengadakan
pernikahan oleh dua orang dengan perantaraan yang jelas. Pinangan ini merupakan
syariat Allah SWT yang harus dilakukan sebelum mengadakan pernikahan agar kedua
calon pengantin saling mengetahui.
Amir Syarifuddin mendefinisikan
pinangan sebagai penyampaian kehendak untuk melangsungkan ikatan perkawinan.
Peminangan disyariatkan dalam suatu perkawinan yang waktu pelaksanaannya
diadakan sebelum berlangsungnya akad nikah.
Al-hamdani berpendapat bahwa
pinangan artinya permintaan seseorang laki-laki kepada anak perempuan orang
lain atau seseorang perempuan yang ada di bawah perwalian seseorang untuk
dikawini, sebagai pendahuluan nikah.
Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan
bahwa pinangan (khitbah) adalah proses permintaan
atau pernyataan untuk mengadakan pernikahan yang dilakukan oleh dua orang,
lelaki dan perempuan, baik secara langsung ataupun dengan perwalian. Pinangan
(khitbah) ini dilakukan sebelum acara pernikahan dilangsungkan.
2.
Dasar
dan Hukum Pinangan
Dari Mughirah R.A.,
sesungguhnya ia pernah meminang seseorang perempuan, lalu Nabi SAW. Bersabda
kepadanya,” Lihatlah perempuan itu dahulu karena sesungguhnya melihat itu lebih
cepat membawa kekekalan kecintaan antara keduanya.” (H.R. Nasa’i dan Tirmizi).
Dari Abu Hurairah
R.A., dia berkata,” Aku duduk di dekat Nabi SAW. lalu datang seorang laki-laki
kepada beliau dan bercerita bahwa ia akan menikahi seseorang perempuan dari
kaum Anshar. Rasulullah lalu bersabda,”Sudahkah engkau lihat wajahnya?”
laki-laki itu menjawab, “belum”. Rasulullah bersabda lagi,” pergi dan lihatlah
karena sesungguhnya pada wajah kaum Anshar itu mungkin ada sesuatu yang menjadi
cacat.” (H.R. Muslim dan Nasa’i).
Memang terdapat
dalam al-qur’an dan dalam banyak hadis Nabi yang membicarakan hal peminangan.
Namun tidak ditemukan secara jelas dan terarah adanya perintah atau larangan
melakukan peminangan, sebagaiman perintah untuk mengadakan perkawinan dengan
kalimat yang jelas, baik dalam al-qur’an maupun dalam hadis Nabi. Oleh karena
itu, dalam menetapkan hukumnya tidak terdapat pendapat ulama yang
mewajibkannya, dalam arti hukumannya mubah.
Akan tetapi, Ibnu
Rusyd dengan menukil pendapat imam Daud Al-Zhahiriy, mengatakan bahwa hukum
pinangan adalah wajib. Ulama ini mendasarkan pendapatnya pada hadis-hadis nabi
yang menggambarkan bahwa pinangan (khitbah) ini merupakan perbuatan dan tradisi
yang dilakukan nabi dalam peminangan itu.
3.
Hikmah
Peminangan
Ada beberapa hikmah
dari prosesi peminangan, diantaranya:
Wadah perkenalan antara dua belah pihak yang akan melaksanakan pernikahan. Dalam hal ini, mereka akan saling mengetahui tata etika calon pasangannya masing-masing, kecendrungan bertindak maupun berbuat ataupun lingkungan sekitar yang mempengaruhinya. Walaupun demikian, semua hal itu harus dilakukan dalam koridor syariah. Hal demikian diperbuat agar kedua belah pihak dapat saling menerima dengan ketentraman, ketenangan, dan keserasian serta cinta sehingga timbul sikap saling menjaga, merawat dan melindungi.
Wadah perkenalan antara dua belah pihak yang akan melaksanakan pernikahan. Dalam hal ini, mereka akan saling mengetahui tata etika calon pasangannya masing-masing, kecendrungan bertindak maupun berbuat ataupun lingkungan sekitar yang mempengaruhinya. Walaupun demikian, semua hal itu harus dilakukan dalam koridor syariah. Hal demikian diperbuat agar kedua belah pihak dapat saling menerima dengan ketentraman, ketenangan, dan keserasian serta cinta sehingga timbul sikap saling menjaga, merawat dan melindungi.
Sebagai penguat
ikatan perkawinan ynag diadakan sesudah itu, karena dengan peminangan itu kedua
belah pihak dapat saling mengenal. Bahwa Nabi SAW berkata kepada seseorang yang
telah meminang perempuan:” melihatlah kepadanya karena yang demikian akan lebih
menguatkan ikatan perkawinan.
4.
Macam-Macam
Peminangan
Ada beberapa macam peminangan, diantaranya
sebagai berikut:
1. Secara langsung
yaitu menggunakan ucapan yang jelas dan terus terang sehingga tidak mungkin
dipahami dari ucapan itu kecuali untuk peminangan, seperti ucapan,”saya berkeinginan
untuk menikahimu.”
2. Secara tidak
langsung yaitu dengan ucapan yang tidak jelas dan tidak terus terang atau
dengan istilah kinayah. Dengan pengertian lain ucapan itu dapat dipahami dengan
maksud lain, seperti pengucapan,”tidak ada orang yang tidak sepertimu.”
Perempuan yang
belum kawin atau sudah kawin dan telah habis pula masa iddahnya boleh dipinang
dengan ucapan langsung aau terus terang dan boleh pula dengan ucapan sindiran
atau tidak langsung. Akan tetapi bagi wanita yang masih punya suami, meskipun
dengan janji akan dinikahinya pada waktu dia telah boleh dikawini, tidak boleh
meminangnya dengan menggunakan bahasa terus terang tadi.
5.
Hal-Hal
yang Berkaitan dengan Peminangan.
a. Norma Kedua Calon Pengantin Setelah
Peminangan.
Peminangan (khitbah) adalah proses yang mendahului pernikahan
akan tetapi bukan termasuk dari pernikahan itu sendiri. Pernikahan tidak akan
sempurna tanpa proses ini, karena peminangan (khitbah) ini akan membuat kedua
calon pengantin akan menjadi tenang akibat telah saling mengetahui.
Oleh karena itu, walaupun telah terlaksana proses peminangan,
norma-norma pergaulan antara calon suami dan calon istri masih tetap
sebagaimana biasa. Tidak boleh memperlihatkan hal-hal yang dilarang untuk
diperlihatkan.
6. Peminangan Terhadap Seseorang yang
Telah Dipinang.
Seluruh ulama
bersepakat bahwa peminangan seseorang terhadap seseorang yang telah dipinang
adalah haram. Ijma para ulama mengatakan bahwa peminangan kedua, yang datang
setelah pinangan yang pertama, tidak diperbolehkan. Hal tersebut terjadi
apabila:
a. Perempuan itu
senang kepada laki-laki yang meminang dan menyetujui pinangan itu secara jelas
(Sharahah) atau memberikan izin kepada walinya untuk menerima pinangan itu.
b. Pinangan kedua
datang tidak dengan izin pinangan pertama.
c. Peminang pertama
belum membatalkan pinangan.
Hal ini sesuai
dengan hadis nabi yang berbunyi,” Janganlah kalian membeli sesuatu pembelian
saudara kalian, dan janganlah kalian meminang pinangan saudara kalian, kecuali
dengan izinnya.”
Seluruh imam
bersepakat bahwa hadis diatas berlaku bagi pinangan yang telah sempurna. Hal
tersebut terjadi agar tidak ada yang merasa sakit hati satu sama lain.
Adapun mengenai
pinangan yang belum sempurna, dengan pengertian masih menunggu jawaban,
beberapa ulama berbeda pendapat. Hanafiah mengatakan, pinangan terhadap
seseorang yang sedang bingung dalam menentukan keputusan adalah makruh. Hal ini
bertentangan dengan pendapat sebagian ulama yang mengatakan bahwa sesungguhnya
perbuatan itu tidak haram. Pendapat ini berdasarkan peristiwa Fatimah binti
Qois yang dilamar oleh tiga orang sekaligus, yaitu Mu’awiyah, Abu Jahim bin
Huzafah dan Usamah bin Zaid. Hal itu terjadi setelah selesainya masa iddah
Fatimah yang telah ditalak oleh Abu Umar bin Hafsin.
Walaupun demikian,
pendapat Hanafi lebih kuat landasannya karena sesuai dengan tata perilaku islam
yang mengajarkan solidaritas. Peminangan yang dilakukan terhadap seseorang yang
sedang bingung dalam mempertimbangkan keputusan lebih berdampak pada pemutusan
silaturrahim terhadap peminang pertama dan akan mengganggu psikologis yang
dipinang.
7. Orang-Orang yang Boleh Dipinang.
Pada dasarnya,
seluruh orang yang boleh dinikahi merekalah yang boleh dipinang. Sebaliknya,
mereka yang tidak boleh untuk dinikahi, tidak boleh pula untuk dipinang. Dalam
hal ini, ada syarat agar pinangan diperbolehkan.
a. Bukan Orang-Orang
yang Dilarang Menikahinya.
b. Bukan Orang-Orang yang
Telah Dipinang Orang Lain.
c. Tidak Dalam Masa
‘Iddah
8.
Batas-Batas yang Boleh Dilihat Ketika Khitbah
Dalam hal ini, para ulama terbagi menjadi
empat bagian:
a. Hanya muka dan
telapak tangan. Banyak ulama fiqih yang berpendapat demikian. Pendapat ini
berdasarkan bahwa muka adalah pancaran kecantikan atau ketampanan seseorang dan
telapak tangan ada kesuburan badannya.
b. Muka, telapak
tangan dan kaki. Pendapat ini diutarakan oleh Abu Hanifah.
c. Wajah, leher,
tangan, kaki, kepala dan betis. Pendapat ini dikedepankan para pengikut
Hambali.
d. Bagian-bagian yang
berdaging. Pendapat ini menurut al-Auza’i.
e. Keseluruh badan.
Pendapat ini dikemukakan oleh Daud Zhahiri. Pendapat ini berdasarkan
ketidakadaan hadis nabi yang menjelaskan batas-batas melihat ketika meminang.
9.
Waktu dan Syarat Melihat Pinangan
Imam Syafi’i
berpendapat bahwa seorang calon pengantin, terutama laki-laki, dianjurkan untuk
melihat calon istrinya sebelum pernikahan berlangsung. Dengan syarat bahwa
perempuan itu tidak mengetahuinya. Hal itu agar kehormatan perempuan tersebut
terjaga. Baik dengan izin atau tidak.
Imam Maliki dan
Imam Hambali mengatakan bahwa melihat pinangan adalah disaat kebutuhan
mendesak. Itu disebabkan agar tidak menimbulkan fitnah dan menimbulkan syahwat.
Wahbah Zuhaili
mengatakan, pada dasarnya melihat pinangan itu diperbolehkan asalkan tidak
dengan syahwat.
H. PELAKSANAAN PERNIKAHAN (AKAD NIKAH)
1. PENGERTIAN AKAD NIKAH
secara bahasa : akad = membuat simpul,
perjajian, kesepakatan; akad nikah = mengawinkan wanita. secara syar’i : Ikrar
seorang pria untuk menikahi/mengikat janji seorang wanita lewat perantara
walinya, dengan tujuan
a)
hidup bersama membina rumah tangga sesuai sunnah Rasulullah
saw.
b)
memperoleh ketenangan jiwa.
c)
menyalurkan syahwat dengan cara yang halal
d)
melahirkan keturunan yang sah dan shalih.
2.
RUKUN
DAN SYARAT SAH NIKAH
Akad nikah tidak akan sah kecuali jika
terpenuhi rukun-rukun yang enam perkara ini :
a. Ijab-Qabul
Islam menjadikan Ijab (pernyataan wali dalam menyerahkan mempelai wanita kepada mempelai pria) dan Qabul (pernyataan mempelai pria dalam menerima ijab) sebagai bukti kerelaan kedua belah pihak. Al Qur-an mengistilahkan ijab-qabul sebagai miitsaaqan ghaliizhaa (perjanjian yang kokoh) sebagai pertanda keagungan dan kesucian, disamping penegasan maksud niat nikah tersebut adalah untuk selamanya.
Islam menjadikan Ijab (pernyataan wali dalam menyerahkan mempelai wanita kepada mempelai pria) dan Qabul (pernyataan mempelai pria dalam menerima ijab) sebagai bukti kerelaan kedua belah pihak. Al Qur-an mengistilahkan ijab-qabul sebagai miitsaaqan ghaliizhaa (perjanjian yang kokoh) sebagai pertanda keagungan dan kesucian, disamping penegasan maksud niat nikah tersebut adalah untuk selamanya.
Syarat ijab-qabul adalah :
1.
Diucapkan dengan bahasa yang dimengerti oleh semua pihak yang
hadir.
2.
Menyebut jelas pernikahan & nama mempelai pria-wanita
3.
Adanya mempelai pria.
b. Syarat mempelai pria adalah :
1.
Muslim & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka); lihat QS.
Al Baqarah : 221, Al Mumtahanah : 9.
2.
Bukan mahrom dari calon isteri.
3.
Tidak dipaksa.
4.
Orangnya jelas.
5.
Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.
c. Adanya mempelai wanita.
Syarat mempelai wanita adalah :
1. Muslimah (atau
beragama samawi, tetapi bukan kafirah/musyrikah) & mukallaf; lihat QS. Al
Baqarah : 221, Al Maidah : 5.
2. Tidak ada halangan
syar’i (tidak bersuami, tidak dalam masa ‘iddah & bukan mahrom dari calon
suami).
3. Tidak dipaksa.
4. Orangnya jelas.
5. Tidak sedang
melaksanakan ibadah haji.
d. Adanya wali.
Syarat wali adalah :
1. Muslim laki-laki
& mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka).
2. Adil
3. Tidak dipaksa.
4. Tidaksedang melaksanakan
ibadah haji.
Tingkatan dan urutan wali adalah sebagai
berikut:
1. Ayah
2. Kakek
3. Saudara laki-laki
sekandung
4. Saudara laki-laki
seayah
5. Anak laki-laki dari
saudara laki – laki sekandung
6. Anak laki-laki dari
saudara laki – laki seayah
7. Paman sekandung
8. Paman seayah
9. Anak laki-laki dari
paman sekandung
10. Anak laki-laki dari
paman seayah.
11. Hakim
e. Adanya saksi (2
orang pria).
Meskipun semua yang hadir menyaksikan aqad nikah pada hakikatnya adalah
saksi, tetapi Islam mengajarkan tetap harus adanya 2 orang saksi pria yang
jujur lagi adil agar pernikahan tersebut menjadi sah. Syarat saksi adalah:
1. Muslim laki-laki
& mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka).
2. Adil
3. Dapat mendengar dan
melihat.
4. Tidak dipaksa.
5. Memahami bahasa
yang dipergunakan untuk ijab-qabul.
6. Tidak sedang melaksanakan
ibadah haji.
f. Mahar.
Beberapa ketentuan tentang mahar :
1. Mahar adalah
pemberian wajib (yang tak dapat digantikan dengan lainnya) dari seorang suami
kepada isteri, baik sebelum, sesudah maupun pada saat aqad nikah. Lihat QS. An
Nisaa’ : 4.
2. Mahar wajib
diterimakan kepada isteri dan menjadi hak miliknya, bukan kepada/milik mertua.
3. Mahar yang tidak
tunai pada akad nikah, wajib dilunasi setelah adanya persetubuhan.
4. Mahar dapat
dinikmati bersama suami jika sang isteri memberikan dengan kerelaan.
5. Mahar tidak
memiliki batasan kadar dan nilai. Syari’at Islam menyerahkan perkara ini untuk
disesuaikan kepada adat istiadat yang berlaku. Boleh sedikit,
tetapi tetap harus berbentuk, memiliki nilai dan bermanfaat. Rasulullah saw
senang mahar yang mudah dan pernah pula
I.
TALAK
1. Pengertian Talak
Talak secara bahasa berarti
melepaskan ikatan. Kata ini adalah derivat dari kata الْإِطْلَاق “ithlaq”,
yang berarti melepas atau meninggalkan.
Secara syar’i, talak berarti
melepaskan ikatan perkawinan.
Dalil Dibolehkannya Talak
Allah Ta’ala berfirman,
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ
فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
“Talak
(yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang
ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (QS. Al Baqarah: 229)
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا
طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
“Hai
Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan
mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)” (QS. Ath
Tholaq: 1)
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu
‘anhuma, bahwasanya beliau pernah mentalak istrinya dan istrinya dalam
keadaan haidh, itu dilakukan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Lalu ‘Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu menanyakan
masalah ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam lantas bersabda,
مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ، ثُمَّ
لِيُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ ، ثُمَّ تَطْهُرَ ، ثُمَّ إِنْ شَاءَ
أَمْسَكَ بَعْدُ وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ ، فَتِلْكَ الْعِدَّةُ
الَّتِى أَمَرَ اللَّهُ أَنْ تُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ
“Hendaklah
ia meruju' istrinya kembali, lalu menahannya hingga istrinya suci kemudian
haidh hingga ia suci kembali. Bila ia (Ibnu Umar) mau menceraikannya, maka ia
boleh mentalaknya dalam keadaan suci sebelum ia menggaulinya. Itulah al 'iddah
sebagaimana yang telah diperintahkan Allah 'azza wajalla.”
Ibnu Qudamah Al Maqdisi menyatakan
bahwa para ulama sepakat (berijma’) akan dibolehkannya talak. ‘Ibroh juga
menganggap dibolehkannya talak. Karena dalam rumah tangga mungkin saja
pernikahan berubah menjadi hal yang hanya membawa mafsadat. Yang terjadi ketika
itu hanyalah pertengkaran dan perdebatan saja yang tak kunjung henti. Karena
masalah inilah, syari’at Islam membolehkan syari’at nikah tersebut diputus
dengan talak demi menghilangkan mafsadat.
2. Kritik Hadits
Adapun hadits yang berbunyi,
أَبْغَضُ
الْحَلاَلِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى الطَّلاَقُ
“Perkara yang paling dibenci
Allah Ta’ala adalah talak.”Dalam sanad hadits ini ada dua ‘illah (cacat):
(1) dho’ifnya Muhammad bin ‘Utsman bin Abi Syaibah, (2) terjadi perselisihan di
dalamnya. Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Ahmad bin Yunus … Abu Daud
menyebutnya tanpa menyebutkan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. Sanad hadits
dari Al Hakim dinilaidho’if. Kesimpulannya, hadits ini adalah hadits
yang dho’if. Di antara yang mendho’ifkannya adalah Al
Baihaqi, Syaikh Al Albani, dan Syaikh Musthofa Al ‘Adawi.
3.
Hukum
Talak
Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Talak boleh jadi ada
yang haram, ada yang makruh, ada yang wajib, ada yang sunnah dan ada yang
boleh.”
Rincian hukum talak di atas adalah sebagai berikut:
1. Pertama, talak yang haram yaitu
talak bid’i (bid’ah) dan memiliki beberapa bentuk.
2. Kedua, talak yang makruh yaitu
talak yang tanpa sebab apa-apa, padahal masih bisa jika pernikahan yang ada
diteruskan.
3. Ketiga, talak yang wajib yaitu talak yang
di antara bentuknya adalah adanya perpecahan (yang tidak mungkin lagi
untuk bersatu atau meneruskan pernikahan).
4. Keempat, talak yang sunnah yaitu
talak yang disebabkan karena si istri tidak memiliki sifat ‘afifah (menjaga
kehormatan diri) dan istri tidak lagi memperhatikan perkara-perkara yang wajib
dalam agama (seperti tidak memperhatikan shalat lima waktu), saat itu ia pun
sulit diperingatkan.
5. Kelima, talak yang hukumnya boleh yaitu
talak ketika butuh di saat istri berakhlaq dan bertingkah laku jelek dan
mendapat efek negatif jika terus dengannya tanpa bisa meraih tujuan dari
menikah.
4.
Talak Sunni dan Talak Bid’i
Talak dipandang dari aspek sesuai dan tidak sesuai dengan
ketentuan syara’ terbagi pada dua bagian;
a. Talak sunni dan
b. Talak bid’i. Ulama’ fikih beraneka
ragam dalam menstandari batasan-batasan talak sunni dan bid’i.
Kalangan Hanafiyah membagi talak kedalam tiga bagian, yaitu:
a. Talak ahsan
b. Talak hasan dan
c. Talak bid’i.
Talak ahsan adalah talak yang suami
menjatuhkan talak pada istrinya dengan talak satu, pada masa suci dan tidak
disetubuhi pada waktu sucinya serta ia membiarkan (tidak mentalak lagi) pada
istrinya sampai iddahnya berakhir dengan tiga kali haid. Talak hasan adalah
talak yang dilakukan suami pada istrinya dengan talak tiga, dalam waktu tiga
kali suci dan disetiap masa suci dilakukan talak satu. Sedangkan Talak bid’i
adalah talak yang dijatuhkan suami pada istrinya dengan talak tiga, atau talak
dua dengan memakai satu kalimat, atau ia mentalak tiga dalam satu masa
suci.
Sedangkan kalangan Malikiyah dalam
mengkatagorikan talak sunni atau bid’i dengan memberi syarat-syarat tertentu.
Ada empat syarat talak dapat dikategorikan talak sunni:
1. Perempuan pada waktu ditalak suci
dari haid dan nifas,
2. Suami tidak menjima’nya pada
waktu,
3. Suami mentalak satu,
Suami tidak mentalak istrinya yang
kedua kali sampai masa ‘iddahnya berakhir.
Dan menurut mereka, talak bid’i
adalah talak yang tidak memenuhi satu syarat atau seluruhnya. Misalnya :
seorang suami mentalak istrinya lebih dari satu, atau ia mentalak istrinya pada
masa haid atau nifas, atau pada masa suci tetapi dicampurinya dalam masa suci
itu. Lebih lanjut mereka menegaskan bahwa suami yang mentalak bid’i pada
isrinya ia dipaksa untuk rujuk kembai
sampai masa iddah yang terakhir. Namun jika ia tidak mau untuk merujuknya,
Hakim boleh mengancam untuk menahannya, dan manakala ia tetap enggan untuk
merujuknya ia boleh dipukul, dan bila ia tetap bersikeras dalam keengganannya,
seorang Hakim berhak memaksa untuk merujuknya.
Sementara kalangan Syafi’iyah
membagi talak pada tiga bagian dengan istilah yang sedikit berbeda dengan
kalangan Hanafiyah. Tiga bagian itu adalah :
a. Talak sunni,
b. Talak bid’i,
c. Talak bukan sunni dan bukan bid’i
(talak qhairu bid’I wa la- sunni).
Talak sunni adalah talak yang
dijatuhkan pada istri dengan talak satu pada masa suci dan tidak dicampuri pada
masa sucinya serta tidak dicampuri pula pada masa haid sebelumya, dan bila
suami ingin mentalak istrinya dengan talak tiga ia menjatuhkan talak satu
disetiap masa suci.
Berkenaan
dengan talak bid’i terbagi menjadi dua macam:
1. Talak yang dijatuhkan pada masa haid
yang dicampuri pada masa haidnya, sebab syara’ memerintahkan untuk mentalak istri
pada masa suci, dan juga membuat mudharat pad istri dengan lamanya menjalani
masa iddah.
2. Talak yang dijatuhkan pada istri
dalam masa suci tetapi telah dicampuri pada masa suci itu.
Macam talak yang terakhir, yaitu
talak qhiru bid’i wa la-sunni hanya terjadi bagi istri yang masih kacil, perempuan
monopause, istri yang berkhulu’, istri yang hamil dan kehamilannya dipastikan
hasil hubungan dengan suaminya, dan istri yang belum pernah didukhul.
Sementara kalangan Hanabilah memberi
pengertian talak sunni adalah talak yang suami menjatuhkan talak satu pada
istrinya yang tidak disetubuhi pada masa sucinya itu kemudian ia tidak
mentalaknya lagi sampai masa ‘iddahnya berakhir. Sedangkan talak bid’i adalah
talak yang suami menjatuhkan talak pada istrinya dalam masa haid atau nifas,
atau masa suci tetapi ia telah mendukhulnya.
Dalam Kompilasi Hukum Islam -fikih
Indonesia- lebih cendrung mengikuti pendapat mayoritas Ulama’ selain Hanafiyah,
sebagaimana dinyatakan dalam pasal 121 dan 122.
Pasal 121: Talak sunni adalah talak
yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang suci dan
tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.
Pasal 122: Talak bid’i adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan haid, atau istri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.
Pasal 122: Talak bid’i adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan haid, atau istri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.
5.
Talak Raj’i dan Talak Ba’in
Talak
ditilik dari boleh dan tidak bolehnya rujuk terbagi pada dua macam :
a. Talak raj’i, dan
b. Talak ba’in.
Talak raj’i adalah talak yang boleh
bagi suami untuk merujuk pada istrinya dengan tanpa perlu akad baru selama masa
‘iddah, meskipun istri tidak mau untuk dirujuk. Talak raj’i ini terjadi dalam
talak satu dan dua tetapi setelah masa ‘iddah istri sudah habis, suami tidak
dapat merujuk kembali melainkan dengan akad baru.
Talak ba’in ada dua macam:
a. Ba’in shughraa (ba’in kecil)
b. Ba’in kubraa (ba’in besar)
Talak ba’in shughraa adalah talak
yang suami tidak dapat untuk rujuk kembali pada mantan istrinya, melainkan
dengan akad dan mahar baru. Talak ba’in shughraa terjadi bagi istri yang belum
didukhul, istri yang berkhuluk dengan menyerahkan ‘iwad (ganti rugi), talak
yang dijatuhkan oleh Hakim, dan talak sebab ila’.
Talak ba’in kubraa adalah talak yang suami tidak boleh untuk merujuk kembali kepada istri kecuali bila istri telah kawin lagi dengan orang lain dan telah dicampurinya, kemudian ia ditalak dan telah berakhir ‘iddahnya dari suami yang kedua. Talak macam ini terjadi dalam talak tiga
Talak ba’in kubraa adalah talak yang suami tidak boleh untuk merujuk kembali kepada istri kecuali bila istri telah kawin lagi dengan orang lain dan telah dicampurinya, kemudian ia ditalak dan telah berakhir ‘iddahnya dari suami yang kedua. Talak macam ini terjadi dalam talak tiga
6.
Pengertian Iddah
Menurut bahasa, kata iddah
berasal dari kata ’adad (bilangan dan ihshaak (perhitungan), seorang wanita yang menghitung dan menjumlah hari
dan masa haidh atau masa suci.
Menurut istilah, kata iddah
ialah sebutan/nama bagi suatu masa di mana seorang wanita menanti/menangguhkan perkawinan setelah ia ditinggalkan mati
oleh suaminya atau setelah diceraikan baik dengan menunggu kelahiran bayinya,
atau berakhirnya beberapa quru’, atau berakhirnya beberapa bulan yang sudah
ditentukan.
7.
Macam-Macam
Masa Iddah
Barangsiapa yang ditinggal mati
suaminya, maka, iddahnya empat bulan sepuluh hari, baik sang isteri sudah
dicampuri ataupun belum. Hal ini mengacu pada firman Allah SWT, ”Orang-orang
yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah
para isteri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari.” (Al-Baqarah :234).
Terkecuali isteri yang sudah
dicampuri dan sedang hamil, maka masa iddahnya sampai melahirkan,”Dan wanita-wanita yang hamil, waktu
iddah mereka itu adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (At-Thalaq : 4).
Dari al-Miswar bin Makhramah
bahwa, Subai’ah al-Aslamiyah r.a. pernah melahirkan dan bernifas setelah
beberapa malam kematian suaminya. Lalu ia, mendatangi Nabi saw lantar meminta
idzin kepada Beliau untuk kawin (lagi). Kemudian Beliau mengizinkannya, lalu ia
segera menikah (lagi). (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX:470 no:5320 dan
Muslim II:1122 no:1485).
Wanita yang ditalak sebelum
sempat dicampuri, maka tidak ada masa iddah baginya, berdasarkan pada firmannya
Allah SWT berfirman, ”Hai
orang-orang yang beriman, ’apabila kamu menikahi perempuan-perempuan
yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka
sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta,
menyempurnakannya.” (Al-Ahzaab:49).
Sedang wanita yang ditalak yang
sebelumnya sempat dikumpuli dan dalam keadaan hamil maka, masa iddahnya ialah
ia melahirkan anak yang diakndungnya. Allah SWT berfirman, ”Dan wanita-wanita hamil,
waktu iddah mereka itu adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (At-Thalaq:4).
Dari az-Zubair bin al-Awwam
r.a. bahwa ia mempunyai isteri bernama Ummu Kultsum bin ’Uqbah radhiyallahu
’anha. Kemudian Ummu Kultsum yang sedang hamil berkata kepadanya, ”Tenanglah
jiwaku (dengan dijatuhi talak satu).” Maka az-Zubir pun menjatuhkan padanya
talak satu. Lalu dia keluar pergi mengerjakan shalat, sekembalinya (dari
shalat) ternyata isterinya sudah melahirkan. Kemudian az-Zubir berkata:
”Gerangan apakah yang menyebabkan ia menipuku, semoga Allah menipunya (juga).”
Kemudian dia datang kepada Nabi saw lalu beliau bersabda kepadanya, ”Kitabullah sudah
menetapkan waktunya; lamarlah (lagi) di kepada dirinya.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no:1546 dan Ibnu Majah I:653 no:2026).
Jika wanita yang dijatuhi talak
termasuk perempuan yang masih berhaidh secara normal, maka masa iddahnya tiga
kali haidh berdasarkan Firman Allah SWT, ”Wanita-wanita yang
ditalak hendaklah menahan diri (menunggu tiga kali quru’).”. (Al-Baqarah :228).
Kata quru’ berarti haidh. Hal
ini mengacu pada hadits Aisyah r.a. bahwa Ummu Habibah r.a. sering mengeluarkan
darah istihadhah(darah yang keluar dari wanita karena sakit atau lainnya), lalu
dia bertanya kepada Nabi saw. (mengenai hal tersebut). Maka Beliau menyuruh
meninggalkan shalat pada hari-hari haidhnya. (Shahih Lighairih: Shahih Abu Daud
no:252 dan ’Aunul Ma’bud I:463 no:278).
Jika wanita yang dijatuhi talak
itu masih kecil, belum mengeluarkan darah hadih atau sudah lanjut usia yang
sudah manopause (berhenti masa haidh), maka iddahnya adalah tiga bulan lamanya.
Allah swt berfirman, ”Dan
perempuan-perempuan yang tidak haidh lagi (manopause) diantara isteri-isteri
kaian jika ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah
tiga bulan. Begitu pula perempuan-perempuan yang belum haidh.” (At-Thalaq:4)
J. PENGERTIAN ZINA
Dalam
al-Mu’jamul Wasith hal 403 disebutkan, “Zina ialah seseorang bercampur
dengan seorang wanita tanpa melalui akad yang sesuai dengan syar’i.”
K.
HUKUM ZINA
Zina
adalah haram hukumnya, dan ia termasuk dosa besar yang paling besar. Allah swt
berfirman:
“Dan
janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS al-Israa’: 32)
Dari
Abdullah bin Mas’ud r.a, ia berkata: Saya pernah bertanya kepada Rasulullah
saw, “(Ya Rasulullah), dosa apa yang paling besar?” Jawab Beliau, “Yaitu engkau
mengangkat tuhan tandingan bagi Allah, padahal Dialah yang telah
menciptakanmu.” Lalu saya bertanya (lagi), “Kemudian apa lagi?” Jawab Beliau,
“Engkau membunuh anakmu karena khawatir ia makan denganmu.” Kemudian saya
bertanya (lagi). “Lalu apa lagi?” Jawab Beliau, “Engkau berzina dengan isteri
tetanggamu.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XII: 114 No. 6811, Muslim I: 90
No. 86, ‘Aunul Ma’bud VI: 422 No. 2293 No. Tirmidzi V: 17 No. 3232).
Allah
swt berfirman:
“Dan
orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak
membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang
benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu,
niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab
untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan
terhina. Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal
saleh; Maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. dan adalah
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Furqaan: 68-70).
Dalam
hadist Sumarah bin Jundab yang panjang tentang mimpi Nabi saw, Beliau saw
bersabda:
“Kemudian
kami berjalan dan sampai kepada suatu bangunan serupa tungku api dan di situ
kedengaran suara hiruk-pikuk. Lalu kami tengok ke dalam, ternyata di situ ada
beberapa laki-laki dan perempuan yang telanjang bulat. Dari bawah mereka datang
kobaran api dan apabila kena nyala api itu, mereka memekik. Aku bertanya, “Siapakah
orang itu” Jawabnya, “Adapun sejumlah laki-laki dan perempuan yang telanjang
bulat yang berada di dalam bangunan serupa tungku api itu adalah para pezina
laki-laki dan perempuan.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3462 dan Fathul
Bari XII: 438 no: 7047).
Dari
Ibnu Abbas r.a bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah seorang hamba berzina
tatkala ia sebagai seorang mu’min; dan tidaklah ia mencuri, manakala tatkala ia
mencuri sebagai seorang beriman; dan tidaklah ia meneguk arak ketikaia
meneguknya sebagai seorang beriman; dan tidaklah ia membunuh (orang tak
berdosa), manakala ia membunuh sebagai seorang beriman.”
Dalam lanjutan riwayat di atas
disebutkan:
Ikrimah
berkata, “Saya bertanya kepada Ibnu Abbas, ‘Bagaimana cara tercabutnya iman
darinya?’ Jawab Ibnu Abbas: ‘Begini –ia mencengkeram tangan kanan pada tangan
kirinya dan sebaliknya, kemudian ia melepas lagi–, lalu manakala dia bertaubat,
maka iman kembali (lagi) kepadanya begini –ia mencengkeramkan tangan kanan pada
tangan kirinya (lagi) dan sebaliknya-.’” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no:
7708, Fathul Bari XII: 114 no: 6809 dan Nasa’i VIII: 63).
Homo seksualitas adalah
rasa ketertarikan romantis dan/atau seksual atau perilaku antara individu berjenis kelamin atau gender yang
sama. Sebagai orientasi seksual, homoseksualitas mengacu
kepada "pola berkelanjutan atau disposisi untuk pengalaman
seksual, kasih sayang, atau ketertarikan romantis" terutama atau secara
eksklusif pada orang dari jenis kelamin sama, "Homoseksualitas juga
mengacu pada pandangan individu tentang identitas pribadi dan sosial
berdasarkan pada ketertarikan, perilaku ekspresi, dan keanggotaan dalam
komunitas lain yang berbagi itu." Lesbian adalah
istilah bagi perempuan yang mengarahkan orientasi seksualnya kepada sesama
perempuan atau disebut juga perempuan yang mencintai perempuan baik secara
fisik, seksual, emosional atau secara spiritual, Istilah ini dapat digunakan
sebagai kata benda jika merujuk pada perempuan yang menyukai sesama jenis, atau
sebagai kata sifat apabila bermakna ciri objek atau aktivitas yang terkait
dengan hubungan sesama jenis antar perempuan (homo
seksual) adalah hubungan antara sesama jenis (laki-laki dengan laki-laki),
sedangkan hubungan antara wanita dengan wanita disebut lesbian.
Homo
seksual adalah salah satu penyelewengan seksual, karena menyalahi sunnah Allah,
dan menyalahi fitrah makhluk ciptaanNya.
Lebih
kurang empat belas abad yang lalu, Al Qur’an telah memperingatkan umat manusia
ini, supaya tidak mengulangi peristiwa kaum Nabi Luth. Allah berfirman:
“Maka
tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Lut itu yang di atas ke
bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang
terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu
tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim.” (Hud: 82-83)
Pada
ayat lain Allah berfirman:
“Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di
antara manusia, dan kamu tinggalkan istri-istri yang dijadikan oleh Tuhanmu
untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas”. (Asy Syu’ara:
165-166)
Selanjutnya
pada ayat lain Allah berfirman:
“Dan
telah kami selamatkan dia dari (azab yang telah menimpa penduduk) kota yang
mengerjakan perbuatan keji.
Sesungguhnya
mereka adalah kaum yang jahat lagi fasik.” (Al Anbiya: 74)
Setelah
Rasulullah menerima wahyu tentang berita kaum Luth yang mendapat kutukan dari
Allah dan merasakan azab yang diturunkanNya, maka beliau merasa khawatir
sekiranya peristiwa itu terulang kembali kepada ummat di masa beliau dan
sesudahnya.
Rasulullah
bersabda:
“Sesuatu
yang paling saya takuti terjadi atas kamu adalah perbuatan kaum Luth dan
dilaknat orang yang memperbuat seperti perbuatan mereka itu, Nabi mengulangnya
sampai tiga kali: “Allah melaknat orang yang berbuat seperti perbuatan kaum
Luth; Allah melaknat orang yang berbuat seperti perbuatan kaum Luth; Allah
melaknat orang yang berbuat seperti perbuatan kaum Luth,” (HR. Ibnu Majah,
Tirmidzi dan Al Hakim)
L.
PEMERKOSAAN
Pemerkosaan
adalah suatu tindakan kriminal berwatak seksual yang terjadi ketika seorang manusia
(atau lebih) memaksa manusia lain untuk melakukan hubungan seksual dalam bentuk penetrasi vagina
atau anus dengan penis, anggota tubuh lainnya seperti tangan, atau dengan
benda-benda tertentu secara paksa baik dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.
Organisasi Kesehatan Dunia mengartikan pemerkosaan
sebagai "penetrasi vagina atau anus dengan menggunakan penis,
anggota-anggota tubuh lain atau suatu benda -- bahkan jika dangkal -- dengan
cara pemaksaan baik fisik atau non-fisik." Mahkamah Kejahatan
Internasional untuk Rwanda tahun 1998 merumuskan pemerkosaan sebagai
"invasi fisik berwatak seksual yang dilakukan kepada seorang manusia dalam
keadaan atau lingkungan yang koersif"
Istilah pemerkosaan dapat
pula digunakan dalam arti kiasan, misalnya untuk mengacu kepada
tindakan-tindakan kriminal umum seperti pembantaian, perampokan, penghancuran, dan penangkapan
tidak sah yang dilakukan kepada suatu masyarakat ketika sebuah kota atau negara
dilanda perang
M.
KUMPUL KEBO
Kumpul
kebo dalam arti hidup bersama dan melakukan hubungan seksual tanpa menikah,
merupakan fenomena yang sangat biasa dan dimaklumi secara kultural di
negara-negara barat. Contoh paling gamblang adalah kisah banyak pemain
sepakbola di liga-liga utama di Eropa yang hampir selalu hidup serumah dengan
pacar-pacarnya kendatipun mereka belum menikah. Tidak jarang mereka baru
menikah setelah memiliki satu atau dua orang anak.
N.
PACARAN
“Janganlah kamu sekalian mendekati perzinahan, karena zina
itu adalah perbuatan yang keji…” (QS. Al-Isra : 32).
Istilah pacaran yang dilakukan oleh anak-anak muda sekarang
ini tidak ada dalam Islam. Yang ada dalam Islam ada yang disebut “Khitbah” atau
masa tunangan. Masa tunangan ini adalah masa perkenalan, sehingga kalau
misalnya setelah khitbah putus, tidak akan mempunyai dampak seperti kalau putus
setelah nikah. Dalam masa pertunangan keduanya boleh bertemu dan
berbincang-bincang di tempat yang aman, maksudnya ada orang ketiga meskipun
tidak terlalu dekat duduknya dengan mereka.
Kalau dilihat dari hukum Islam, pacaran yang dilakukan oleh
anak-anak sekarang adalah haram. Mengapa haram?
Karena pacaran itu akan membawa kepada perzinahan dimana zina
adalah termasuk dosa besar, dan perbuatan yang sangat dibenci oleh Allah. Oleh
karena itu ayatnya berbunyi sebagaimana yang dikutip di awal tulisan ini. Ayat
tersebut tidak mengatakan jangan berzina, tetapi jangan mendekati zina, mengapa
demikian ? Karena biasanya orang yang berzina itu tidak langsung, tetapi
melalui tahapan-tahapan seperti : saling memandang, berkenalan, bercumbu
kemudian baru berbuat zina yang terkutuk itu
O.
ONANI DAN MANSTURBASI
Onani/Masturbasi hukumnya haram dikarenakan merupakan
istimta’ (meraih kesenangan/kenikmatan) dengan cara yang tidak Allah Subhanahu
wa Ta’ala halalkan. Allah tidak membolehkan istimta’ dan penyaluran kenikmatan
seksual kecuali pada istri atau budak wanita. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman.
Yang artinya : “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, [6] kecuali
terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya
mereka dalam hal ini tiada tercela. [QS Al Mu'minuun: 5 - 6]
Jadi, istimta’ apapun yang dilakukan bukan pada istri atau
budak perempuan, maka tergolong bentuk kezaliman yang haram. Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah memberi petunjuk kepada para pemuda agar menikah untuk
menghilangkan keliaran dan pengaruh negative syahwat.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya
: “Wahai para pemuda,
barangsiapa di antara kalian telah mampu menikah, maka hendaklah dia menikah
karena nikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Sedang
barangsiapa yang belum mampu maka hendaknya dia berpuasa karena puasa itu akan
menjadi tameng baginya”. [Hadits
Riwayat Bukhari 4/106 dan Muslim no. 1400 dari Ibnu Mas'ud]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi kita
petunjuk mematahkan (godaan) syahwat dan menjauhkan diri dari bahayanya dengan
dua cara : berpuasa untuk yang tidak mampu menikah, dan menikah untuk yang
mampu. Petunjuk beliau ini menunjukkan bahwa tidak ada cara ketiga yang para
pemuda diperbolehkan menggunakannya untuk menghilangkan (godaan) syahwat.
Dengan begitu, maka onani/masturbasi haram hukumnya sehingga tidak boleh
dilakukan dalam kondisi apapun menurut jumhur ulama.
Wajib bagi anda untuk bertaubat kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan tidak mengulangi kembali perbuatan seperti itu. Begitu pula, anda
harus menjauhi hal-hal yang dapat mengobarkan syahwat anda, sebagaimana yang
anda sebutkan bahwa anda menonton televisi dan video serta melihat acara-acara yang
membangkitkan syahwat. Wajib bagi anda menjauhi acara-acara itu. Jangan memutar
video atau televisi yang menampilkan acara-acara yang membangkitkan syahwat
karena semua itu termasuk sebab-sebab yang mendatangkan keburukan.
Seorang muslim seyogyanya (selalu) menutup pintu-pintu
keburukan untuk dirinya dan membuka pintu-pintu kebaikan. Segala sesuatu yang
mendatangkan keburukan dan fitnah pada diri anda, hendaknya anda jauhi. Di
antara sarana fitnah yang terbesar adalah film dan drama seri yang menampilkan
perempuan-perempuan penggoda dan adegan-adegan yang membakar syahwat. Jadi anda
wajib menjauhi semua itu dan memutus jalannya kepada anda.
Adapun tentang mengulangi shalat witir atau nafilah, itu
tidak wajib bagi anda. Perbuatan dosa yang anda lakukan itu tidak membatalkan
witir yang telah anda kerjakan. Jika anda mengerjakan shalat witir atau nafilah
atau tahajjud, kemudian setelah itu anda melakukan onani, maka onani itulah
yang diharamkan –anda berdosa karena melakukannya-, sedangkan ibadah yang anda
kerjakan tidaklah batal karenanya. Hal itu karena suatu ibadah jika ditunaikan
dengan tata cara yang sesuai syari’at, maka tidak akan batal/gugur kecuali oleh
syirik atau murtad –kita berlindung kepada Allah dari keduanya-. Adapun
dosa-dosa selain keduanya, maka tidak membatalkan amal shalih yang terlah
dikerjakan, namun pelakunya tetap berdosa.[Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilah Syaikh Shalih bin Fauzan bin
Abdullah Al-Fauzan IV 273-274]
P.
ZINAH MATA
Mata
yang merupakan anugerah Allah Azza Wa Jalla, bisa mendatangkan kemuliaan,
tetapi juga bisa mendatangkan laknat
yang membinasakan. Mata yang selalu melihat fenomena kehidupan alam dan
seisinya, dan kemudian menimbulkan rasa syukur kepada sang Pencipta,
selanjutnya akan mendatangkan kemuliaan dan kebahagiaan di sisi-Nya. Sebaliknya, mata yang merupakan anugerah yang
paling berharga itu, bisa mendatangkan laknat yang membinasakan bagi manusia,
bila ia menggunakan matanya untuk berbuat khianat terhadap Rabbnya.
Di
dalam Islam ada jenis maksiat yang disebut dengan ‘zina mata’ (lahadhat).
Lahadhat itu, pandangan kepada hal-hal,
yang menuju kemaksiatan. Lahadhat bukan hanya sekadar memandang, tetapi diikuti
dengan pandangan selanjutnya. Pandangan mata adalah sumber itijah (orientasi)
kemuliaan, juga sekaligus duta nafsu syahwat. Seseorang yang menjaga pandangan
berarti ia menjaga kemaluan. Barangsiapa yang mengumbar pandangannya, maka
manusia itu akan masuk kepada hal-hal yang membinasakannya.
Rasulullah
Shallahu Alaihi Wa Sallam, pernah menasihati Ali :
“Jangan
kamu ikuti pandangan pertamamu dengan pandangan kedua dan selanjutnya. Milik
kamu adalah pandangan yang pertama, tapi yang kedua bukan”.
Dalam
musnad Ahmad, disebutkan, Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Sallam, bersabda
“Pandangan
adalah panah beracun dari panah-pandah Iblis. Barangsiapa yang menundukkan
pandangannya dari keelokkan wanita yang cantik karena Allah, maka Allah akan
mewariskan dalam hatinya manisnya iman sampai hari kiamat”.
Sarah
hadist itu, tak lain, seperti di jelaskan oleh Rasulullah Shallahu Alaihi Wa
Sallam:
Abu Hurairoh berkata dari Nabi saw,”Sesungguhnya Allah telah menetapkan terhadap
anak-anak Adam bagian dari zina yang bisa jadi ia mengalaminya dan hal itu tidaklah
mustahil. Zina mata adalah pandangan, zina lisan adalah perkataan dimana diri
ini menginginkan dan menyukai serta kemaluan membenarkan itu semua atau
mendustainya.” (HR. Bukhori)
Imam
Bukhori memasukan hadits ini kedalam Bab Zina Anggota Tubuh Selain Kemaluan, artinya bahwa zina
tidak hanya terbatas pada apa yang dilakukan oleh kemaluan seseorang saja.
Namun zina bisa dilakukan dengan mata melalui pandangan dan penglihatannya kepada
sesuatu yang tidak dihalalkan, zina bisa dilakukan dengan lisannya dengan
membicarakan hal-hal yang tidak benar dan zina juga bisa dilakukan dengan
tangannya berupa menyentuh, memegang sesuatu yang diharamkan.
Ibnu
Hajar menyebutkan pendapat Ibnu Bathol yaitu,”Pandangan dan pembicaraan dinamakan
dengan zina dikarenakan kedua hal tersebut menuntun seseorang untuk melakukan
perzinahan yang sebenarnya. Karena itu kata selanjutnya adalah “serta kemaluan
membenarkan itu semua atau mendustainya.” (Fathul Bari juz XI hal 28)
Meskipun
demikian hukum zina tangan, lisan dan mata tidaklah sama dengan zina sebenarnya
yang wajib atasnya hadd. Si pelakunya hanya dikenakan teguran dan peringatan
keras.
DR
Wahbah menyebutkan bahwa pelaku onani haruslah diberi teguran keras dan tidak
dikenakan atasnya hadd. (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz VII hal 5348)
Begitu
pula penjelasan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dengan bersandar pada pendapat yang
paling benar dari Imam Ahmad bahwa pelaku onani haruslah diberikan teguran
keras. (Majmu’ al Fatawa juz XXIV hal 145)
Ibnul
Qoyyim mengatakan,”Adapun teguran adalah pada setiap kemaksiatan yang tidak ada
hadd (hukuman) dan juga tidak ada kafaratnya. Sesungguhnya kemaksiatan itu
mencakup tiga macam :
1. Kemaksiatan yang
didalamnya ada hadd dan kafarat.
2. Kemaksiatan yang
didalamnya hanya ada kafarat tidak ada hadd.
3. Kemaksiatan yang
didalamnya tidak ada hadd dan tidak ada kafarat.
Adapun
contoh dari macam yang pertama adalah mencuri, minum khomr, zina dan menuduhorang berzina. Adapun
contoh dari macam kedua adalah berjima’ pada siang hari di bulan Ramadhan,
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1. Pernikahan yaitu ikatan dua orang
hamba berbeda jenis dengan suatu ikatan akad
2. Hukum-hukumnya nikah adalah jaiz, sunnat,
wajib, makruh, haram.
3. Diantaranya rukun-rukun nikah adalah
mempelai laki-laki, mempelai perempuan, wali,
dua orang saksi, sighat.
4. Tujuan adanya pernikahanan ternyata
sangat banyak ditinjau dari berbagai sisi
B. HIKMAH
1. Pernikahan yang sah menjadikan
hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim menjadi
halal.
2. Pernikahan menjadi sah dengan rukun
dan syarat nikah.
C. SARAN
Akhirnya, pemakalah mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah ikut membantu di dalam menyelesaikan
makalah kami ini. Disamping itu, kritik dan saran dari mahasiswa serta dosen
pengampu dan para pembaca sangat kami harapkan, demi kebaikan kita bersama
terutama bagi pemakalah
0 komentar: