BAB I
HAKEKAT DAN PENGERTIAN PENDIDIKAN
1.
Kompetensi Dasar
Mahasiswa memiliki wawasan tentang Hakekat Manusia dan Pengertian Pendidikan.
2.
Indikator
Mahasiswa diharapkan dapat mendeskripsikan tentang Hubungan antara Hakikat Manusia dengan dan Pendidikan.
3.
Pengantar
Pada bab ini mahasiswa akan
memahami karakteristik manusia dengan hewan, dengan dimensi hakekat manusia
serta pengembangan dari dimensi-dimensi tersebut. Kemudian, mahasiswa juga akan
mengetahui tentang sosok manusia yang sesungguhnya sebagai mahluk yang walaupun
memiliki kelebihan dan potensi yang unik tetapi tidak dapat berdiri sendiri.
Untuk itulah maka dalam bab ini akan dikaji tentang: hakekat manusia dan
hubungannya dengan pendidikan, macam-macam dimensi hakekat manusia, ciri-ciri
dari masing-masing dimensi hakekat manusia, dan karakteristik sosok manusia
Indonesia.
4.
Uraian Materi
A.
Hakekat Manusia sebagai Mahluk yang Perlu Didik
Sesungguhnya manusia adalah animal educable, artinya pada hakekatnya manusia adalah mahluk yang dapat
dididik. (Wahyudi, 2003). Jadi manusia pada hakekatnya adalah mahluk yang dapat
dididik, karena manusia memiliki akal dan pikiran, dan hal ini pulalah yang
membedakan manusia dengan hewan. Langeveld berpendapat bahwa manusia dapat juga
disebut animal educantum, artinya manusia
pada hakekatnya harus dididik, dan homo
educandus, yang bermakna bahwa manusia adalah mahluk yang bukan hanya harus
dan dapat dididik tetapi juga harus dapat mendidik. Bila dilihat dari pendapat
ini maka sesungguhnya manusia di samping dapat didik, manusia juga dapat
mendidik. Artinya bahwa terjadi keterhubungan yang erat diantara keduanya,
sehingga pendidikan merupakan suatu keharusan bagi setiap manusia.
a.
Hakekat anak sebagai manusia
Pada dasarnya anak yang baru
lahir adalah mahluk yang sangat lemah, karenanya butuh bantuan orang lain untuk
kelangsungan hidupnya yaitu butuh makanan, butuh perawatan, dan butuh
perlindungan. Kendatipun demikian, anak yang baru lahir sesungguhnya memiliki
keunikan, walaupun pada takaran yang paling sederhana yaitu berupa tangis dan
gerakan-gerakan sederhana. Bila dilihat dari kenyataan ini maka menurut
Wahyudi, dkk (2003), setidaknya ada 4 pandangan yang dapat mempengaruhi perkembangan
anak, yaitu: (a) Pandangan Nativisme, yang
berpendapat bahwa perkembangan individu semata-mata ditentukan oleh faktor yang
dibawa sejak lahir, artinya hasil pendidikan ditentukan oleh anak itu sendiri. (b)
Pandangan Naturalisme, yang berpendapat
bahwa semua anak lahir dengan pembawaan baik, dan tidak seorang anak pun yang
lahir dengan pembawaan jelek. Pandangan ini, memandang penting artinya pendidikan
anak. (c) Pandangan Environtalisme,
yang berpendapat bahwa perkem-bangan anak sangat
bergantung pada lingkungannya. Orang pertama yang mengemukakan tentang ini
adalah John Locke, filsuf Inggris yang hidup tahun 1632-1704; dan (d) Pandangan
Konvergensi, yang berpendapat bahwa
dalam proses perkembangan anak, faktor bawaan atau faktor lingkungan memberikan
kontribusi yang sepadan. Pandangan ini pada awalnya dikembangkan oleh William
Stern, seorang ahli pendidikan Jerman yang hidup pada tahun 1871-1939. Bila
direnungkan secara seksama bahwa pandangan-pandangan di atas sesungguhnya
mempunyai kesamaan yaitu setiap anak yang lahir memerlukan proses pendewasaan,
dan proses pendewasaan ini didapatkan dari pendidikan.
b.
Manusia dengan sifat kemanusiaannya
Sesungguhnya manusia
memiliki sifat yang berbeda dengan hewan walaupun memiliki beberapa kesamaan
dari segi biologisnya, misalnya orang hutan sama-sama bertulang belakang
seperti manusia, berjalan tegak, melahirkan, menyusui, pemakan segala, dan
adanya persamaan metabolisme. Bahkan menurut Socrates (Tirtaraharja, 2005)
bahwa manusia itu adalah Zoon Politicon (hewan yang bermasyarakat). Max
Scheller (Drijarkara, 1962:138) menggambarkan manusia sebagai Das Kranke Tier
(hewan yang sakit) yang selalu gelisah dan bermasalah.
Kenyataannya bahwa manusia
ternyata bukan merupakan hasil evolusi seperti yang diungkapkan oleh Charles
Darwin dengan teori evolusinya yang telah berjuang keras untuk menemukan kalau
manusia berasal dari kera, tetapi ternyata gagal. Kegagalan ini disebabkan oleh
tidak ditemukannya bukti-bukti yang menunjukkan bahwa manusia
muncul sebagai bentuk ubah dari kera secara evolusi menjadi manusia. Misalnya
dari air bisa berubah menjadi es batu, atau wujud-wujud lainnya.
c.
Manusia sebagai mahluk budaya
Secara kodrati, bahwa pendidikan
diarahkan pada pengembangan kepribadian manusia yang dilakukan secara seimbang
dan seirama antara manusia sebagai mahluk individu, manusia sebagai mahluk sosial,
dan manusia sebagai mahluk susila. Sebagai mahluk yang berbudaya, manusia
memiliki 4 dimensi, yaitu:
1.
Dimensi individu
Menurut Lysen (Tirtaraharja,
dkk.) bahwa individu adalah ‘orang-seorang’, sesuatu yang merupakan suatu
keutuhan yang tidak dapat dibagi-bagi (in
devide). Selanjutnya individu
diartikan sebagai pribadi. Anak sebagai individu lahir dan terbekali dengan
berbagai potensi yang dimilikinya dan tentunya memerlukan proses dalam
penanamannya. Anak memiliki potensi dan kemampuan yang berbeda pula, misalnya
dalam satu keluarga terdapat anak kembar, dari segi wajah mirip bahkan
cenderung sama, kenyataannya walaupun mirip dari segi wajah maupun bentuk
tubuhnya namun berbeda dari segi perilakunya. M. J. Langeveld, pakar pendidikan
Belanda (Tirtaraharja, dkk.) berpendapat bahwa setiap anak yang dilahirkan
telah dikaruniai potensi untuk menjadi berbeda dari yang lain, atau menjadi
(seperti) dirinya sendiri. Tidak ada diri individu yang identik di muka bumi. Kenyataan
inilah yang menyebabkan anak butuh bimbingan dari pihak lain yaitu pendiidik,
karena pendidik dianggap mampu untuk memproses anak yang memiliki semangat
untuk mandiri dan dapat menjadi dirinya sendiri. Selanjutnya, M. J. Langeveld
(Tirtaraharja, dkk.) menyatakan bahwa setiap anak memiliki dorongan untuk
mandiri yang sangat kuat, meskipun di sisi lain pada anak terdapat rasa tidak
berdaya, sehingga memerlukan pihak lain (pendidik) yang dijadikan tempat
bergantung untuk memberikan perlindungan dan bimbingan. Pendapat ini
menunjukkan kalau setiap anak (manusia) dapat mengaktualisasikan dirinya secara
individu dengan bantuan dan bimbingan orang lain (pendidik).
2.
Dimensi sosial
Pada hakekatnya manusia
tidak dapat hidup sendiri, oleh karena itu manusia membutuhkan manusia lainnya
untuk saling berinteraksi, karenanya kehadiran manusia lain tidak hanya
dibutuhkan untuk mencapai tujuan hidupnya tetapi juga untuk menumbuh kembangkan
kepribadian. Untuk dapat mengembangkan dimensi sosial dibutuhkan pendidikan
yang lebih berorientasi pada aspek sosial karena bila hal ini diabaikan maka
akan menimbulkan individu-individu yang cenderung egois, dan individualistis
yang berujung pada sirnanya naluri manusia untuk selalu hidup secara
bersama-sama, dan berkolompok, serta bermasyarakat.
3.
Dimensi Susila
Penanaman nilai-nilai atau
norma-norma susila sangat diperlukan dalam mendewasakan anak karena anak lahir
dengan keunikannya masing-masing. Anak akan belajar dalam kehidupannya, belajar
tentang nilai-nilai, belajar tentang norma, belajar tentang susila, dan belajar
berperilaku sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang ada dalam masyarakat. Yang
menilai ditaati atau tidak nilai-nilai dan norma-norma tersebut adalah
masyarakat sehingga siapapun harus mentaatinya.
Sumber nilai itu adalah
Tuhan Yang Maha Esa, untuk itu nilai-nilai itu sifatnya absolute, tetapi yang
berkembang pada diri manusia ada yang relatif dan ada pula yang absolute. Hal
yang paling tepat dilakukan untuk dapat melakukan pewarisan nilai secara
berkelanjutan adalah pendidikan karenanya system yang dikembangkan dalam pendidikan
harus jelas dan sesuai dengan apa yang berkembang dalam masyarakat.
4.
Dimensi Keberagamaan
Sebagai
mahluk Tuhan yang paling sempurna terutama aqal dan pikiran dibanding mahluk
ciptaan Tuhan lainnya, maka manusia meyakini betul bahwa ada kekuatan yang
super natural di luar dirinya yang Sang Pencipta. Untuk memperkuat hal tersebut
manusia butuh pendidikan, karena dengan pendidikan manusia dapat mendalami
ajaran agama dan dapat mengajarkan praktek-praktek ajaran agama.
Tugas: Bacalah UUSBN No. 20/2003, Bab II Pasal IV. Manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap
Tuhan YME dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan, keterampilan yang
mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Telaah
isinya, bagaimana implementasinya?
B.
Pengertian Pendidikan
a.
Arti Pendidikan
Untuk dapat memahami arti pendidikan,
terlebih dahulu perlu memahami istilah dari ilmu pendidikan dan pendidikan.
Ilmu pendidikan adalah sama artinya dengan istilah ‘paedagogiek’ sedangkan pendidikan
sama maknanya dengan istilah ‘paedagogie’. Melihat kesamaan di atas maka tentu
ada perbedaannya, adapun perbedaannya adalah:
a) Ilmu Pendidikan (paedagogiek)
Ilmu pendidikan lebih menekankan kepada pemikiran
tentang manajemen pendidikan, sistem pendidikan, tujuan pendidikan, materi pendidikan,
sarana dan prasarana pendidikan, cara penilaian, cara penerimaan siswa,
kompetensi guru, dengan kata lain bahwa ilmu pendidikan menitik beratkan pada
teori.
b) Pendidikan (paedagogie)
Adapun pengertian pendidikan lebih menekankan kepada
praktek, terutama yang menyangkut tentang kegiatan belajar mengajar. Sangat
disadari bahwa istilah ilmu pendidikan dengan pendidikan tidak dapat dipisah
secara jelas, keduanya harus dilaksanakan secara berdampingan, saling
memperkuat peningkatan mutu dan tujuan pendidikan, sehingga istilah-istilah
yang berkaitan dengan pendidikan dan mendidik sangat banyak digunakan karena
istilah ini lebih menekankan kepada praktek.
Selanjutnya di bawah ini
dibahas arti pendidikan secara etimologi dan secara definitif.
a) Arti pendidikan (paedagogie)
secara etimologi
Paedagogie berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari kata ‘PAIS’,
artinya anak, dan ‘AGAIN’ diterjemahkan membimbing, jadi paedagogie yaitu
bimbingan yang diberikan kepada anak.
b) Secara definitif pendidikan (paedagogie) diartikan
oleh para tokoh pendidikan, sebagai berikut:
(a) John Dewey
Pendidikan adalah proses pembentukan
kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam
dan sesame manusia.
(b) Langeveld
Mendidik adalah mempengaruhi anak dalam usaha
membimbingnya supaya menjadi dewasa. Usaha membimbing adalah usaha yang
disadari dan dilaksanakan dengan sengaja antara orang dewasa dengan anak/yang
belum dewasa. Maksudnya adalah pemberian bantuan dengan sengaja kepada anak
pada masa pertumbuhan jasmani maupun rohaninya untuk mencapai kedewasaan.
(c) Hoogeveld
Mendidik adalah membantu anak supaya ia cukup cakap
dalam menyelenggarakan tugas hidupnya atas tanggung jawabnya sendiri.
(d) SA. Bratanata dkk.
Pendidikan adalah usaha yang sengaja diadakan baik
langsung maupun dengan cara tidak langsung untuk membantu anak dalam
perkembangannya mencapai kedewasaannya.
(e) Rousseau
Pendidikan adalah member kita perbekalan yang tidak
ada pada masa anak-anak, akan tetapi kita membutuhkannya pada waktu dewasa.
(f) Ki Hajar Dewantara
Mendidik adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang
ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat
dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
(g) UUSPN No. 20/2003
Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta
didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi perannya
dimasa yang akan datang.
Dari berbagai pendapat para
ahli di atas maka pendidikan pada hakekatnya merupakan usaha sadar yang
dilakukan untuk menyiapkan peserta didik oleh orang-orang yang bertanggung
jawab dalam pendidikan agar mencapai kedewasaan yang dicita-citakan dan
berlangsung secara terus-menerus.
TUGAS: Inventarisir definisi pendidikan dari berbagai sumber, kaji secara
mendalam lalu bandingkan, kemudian kemukakan simpulan Anda.
C.
Unsur-unsur Pendidikan
Faktor-faktor
yang saling pengaruhi dan berinteraksi dalam proses/kegiatan pendidikan.
a. Faktor Tujuan
a) Sifatnya adalah ideal (tujuan umum – manusia
Pancasila), dan nyata (tujuan khusus/sementara/intermedier).
b) Klasifikasi adalah: a. Umum. b. Institusional. c.
Kurikuler. d. Instruksional/ Pembelajaran umum dan khusus. b, c, dan d
siklus dalam mencapai tujuan umum. Pencapaian, dari yang paling bawah.
c) Tujuan adalah mikro (kedewasaan), makro (peningkatan
kualitas kehidupan semaksimal mungkin setelah dewasa seumur hidup.
b. Faktor Pendidikan
Ø Orang yang bertanggung jawab dalam melaksanakan pendidikan.
Ø Kategori adalah; kodrat (OT), jabatan (guru).
Ø Unsur dasar interaksi edukatif adalah kodrat ( kasih
sayang dan tg jawab sebagai ortu), jabatan (kasih sayang dan tg jawab pada
tugas mendidik).
Ø Persyaratan pendidik menurut jabatan adalah akademis,
administratif, dan pribadi (fisik, psikis dan keperibadian).
c. Faktor Subyek Didik.
Ø Ciri-cirinya adalah lemah dan tidak berdaya,
berkemauan keras untuk berkembang, dan ingin menjadi dirinya sendiri.
Ø Dapat dibedakan menurut adalah Tahap perkembangannya
(bayi, kanak-kanak, anak-anak, remaja, dewasa). Kemampuan/ kecerdasannya
(abnormal, normal, superior).
d. Faktor Isi/materi Pendidikan.
Ø Tertuang dalam kurikulum.
Ø Pertimbangan dlm memilih materi adalah Sesuai dan
menunjang tercapainya tujuan. Sesuai dengan peserta didik, dll.
e. Faktor Metode dan Alat Pendidikan.
Ø Pertimbangan dalam memilih metode adalah Tujuan yang ingin dicapai. Faktor peserta
didik. Faktor pendidik.
Ø Alat pendidikan adalah Bersifat tindakan (preventif dan
represif). Berupa benda/ABP.
Ø Pertimbangan dalam memilih alat pendidikan adalah Tujuan, waktu, ketersediaan,
karakteristik siswa dan lain-lain.
f. Faktor Lingkungan Pendidikan.
Ø Lingkungan adalah Alam (biotik dan abiotik). Sosial
(keluarga, sekolah dan masyarakat).
BAB II
PENDIDIKAN SEBAGAI SISTEM DAN
LANDASAN PENDIDIKAN
A. Pendidikan Sebagai Sistem
McAshan (Pidarta, 1997)
mendefinisikan system sebagai suatu strategi yang menyeluruh atau rencana
dikomposisi oleh satu set elemen yang harmonis, merepresentasikan kesatuan
unit, masing-masing elemen mempunyai tujuan sendiri yang semuanya berkaitan
terurut dalam bentuk yang logis. Kemudian Immegart (Pidarta, 1997) mengatakan
bahwa esensi system adalah suatu keseluruhan yang memiliki bagian-bagian yang
tersusun secara sistematis, bagian-bagian itu berelasi satu dengan yang lain,
serta peduli terhadap konteks lingkungannya. Kedua pendapat ini menunjukkan
bahwa system sesungguhnya terdiri dari beberapa subsistem, dan subsistem
kemungkinan terdiri dari sub-sub sitem, begitulah seterusnya sampai bagian itu
sudah tidak dapat dibagi lagi. Bagian yang tidak dapat dibagi lagi ini disebut
komponen.
Jadi menurut Pidarta bahwa
ciri-ciri umum suatu sistem sebagai berikut:
a. Merupakan suatu kesatuan atau holistik
b. Memiliki bagian-bagian yang tersusun sistematis dan
berhierarki
c. Bagian-bagian itu berelasi satu dengan yang lain
d. Konsern terhadap konteks lingkungan.
Contohnya: Sepeda adalah
suatu sistem, dia merupakan suatu kesatuan. Badannya terdiri dari kerangka
sepeda, ban, stank, sadel, dan pengayuh. Kerangka sepeda terdiri dari kerangka
tengah, dan garpu, ban terdiri dari pelek, luji, ban luar, ban dalam, pentil
dan udara, kemudian stank terdiri dari rim, dan lonceng, menyusul pengayuh yang
terdiri dari geer, rantai, dan pedal, serta sadel yang kesemuanya akan dapat
bekerja dengan baik dengan bantuan skrup dan mur.
Selanjutnya menurut Pidarta
bahwa semua yang ada di dunia dapat dipandang sebagai suatu sistem, mulai dari
yang besar seperti tata surya, bumi, negara, orang, peredaran darah, sampai
dengan satu biji gigi dapat dipandang atau dipikir sebagai suatu sistem. Begitu
pula halnya dengan pendidikan, suatu sekolah dapat dipandang sebagai suatu
sistem, maka sistem-sistem lain yang ada disekitarnya seperti perumahan, pasar,
pertokoan, ladang, sungai, jalan, dan sebagainya adalah merupakan kumpulan
sistem-sistem yang disebut suprasistem. Bila dikaitkan dengan pendidikan sistem
sesungguhnya adalah keseluruhan yang terbentuk dari bagian-bagian yang
mempunyai hubungan fungsional dalam merubah masukan menjadi hasil yang
diharapkan
Seperti diketahui bahwa pendidikan
merupakan bagian yang kompleks, yang meliputi berbagai komponen yang berkaitan
erat satu sama lain. Bila garapan pendidikan ingin dilaksanakan dengan
terencana dan teratur, maka berbagai faktor yang terlibat harus dipahami lebih
mendalam. Untuk itulah maka pada bagian ini yang akan dibahas secara mendalam
adalah pendidikan yaitu tri pusat pendidikan, dan termasuk di dalamnya adalah pendidikan
dalam keluarga, lembaga pendidikan dan masyarakat; kedua pendidikan sebagai
sistem dan subsistem.
a. Tri Pusat Pendidikan
Ada tiga pihak yang
berkaitan erat dalam penyelenggaran pendidikan, yaitu keluarga, lembaga pendidikan,
dan masyarakat. Ketiga pandangan ini dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantoro,
dengan dua teori yang ditawarkan yaitu teori tri-KON dan teori tripusat.
a) Teori Tri KON
Ki Hajar Dewantara (Wahyudi,
2003) menekankan bahwa aktivitas pendidikan dan pengajaran sebagai tempat
‘persemaian’ benih-benih kebudayaan bangsa, dan benih-benih tersebut mengandung
unsur-unsur kebudayaan nasional. Untuk itulah sejak awal anak diperkenalkan
karakteristik kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional baru diberi informasi
dan mengenal budaya asing, seperti yang diungkapkan dalam teori tri-KON oleh Ki
Hajar Dewantara, yaitu:
(a) Kontinuitas, yang berarti bahwa garis hidup kita sekarang harus
merupakan lanjutan dari kehidupan kita pada zaman lampau, berikut penguasaan
unsur tiruan dari kehidupan dan kebudayaan bangsa lain.
(b) Konvergensi, yang berarti kita harus menghindari hidup menyendiri,
terisolasi dan mampu menuju ke arah pertemuan antar bangsa dan komunikasi antar
negara menuju kemakmuran bersama atas dasar saling menghormati, persamaan hak
dan kemerdekaan masing-masing.
(c) Konsentris, yang berarti setelah kita bersatu dan berkomunikasi
dengan bangsa-bangsa lain di dunia, kita jangan kehilangan kepribadian sendiri.
Bangsa Indonesia adalah masyarakat merdeka yang memiliki adat istiadat dan
kepribadian sendiri. Meskipun kita bertitik pusat satu, namun dalam lingkaran
yang konsentris itu, kita masih tetap memiliki lingkaran sendiri yang khas yang
membedakan negara kita dengan bangsa lain.
b) Tripusat Pendidikan
Ki Hajar Dewantoro pertama
kali menawarkan agar system gedung sekolah disatukan dengan pondok pesantren
dengan tujuan agar anak-anak didik dapat hidup dan berkembang dalam tiga
lingkungan pendidikan sehingga yang satu dengan yang lain saling berinteraksi
dan memberikan pengaruh dalam perkembangan anak didik. Ketiga lingkungan pendidikan tersebut menurut
Wahyudi (2003) adalah:
(a) Keluarga (lingkungan
rumah), termasuk di dalamnya peran
ayah, ibu sebagai orang tua yang berkewajiban mendidik putra-putrinya dalam
kehidupan keluarga.
(b) Perguruan (Lembaga Pendidikan), yaitu lingkungan sekolah dengan
struktur dan sistem kelembagaan yang khas sebagai tempat persemaian anak
bangsa.
(c) Masyarakat, yaitu lingkungan masyarakat sekitar dengan segala
dinamika dan karakteristiknya yang secara langsung maupun tidak langsung
mempengaruhi perkembangan anak didik sebagai anggota masyarakat.
Bila dilihat dari pendapat
Ki Hajar Dewantoro di atas, sebenarnya perguruan berfungsi tidak hanya sebagai
tempat/rumah para guru dan siswa tetapi juga sebagai tempat berinteraksinya
proses pembelajaran. Di dalam pondok asrama, guru dan siswa diperlakukan
sebagai anggota keluarga, disitulah siswa dibina dan berkembang menjadi sosok
yang diharapkan. Untuk lebih jelasnya, akan dijelaskan peranan masing-masing dari
lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan masyarakat dan fungsi sekolah.
c) Lingkungan Keluarga
Dalam UUSPN No. 20 tahun
2003 dijelaskan bahwa penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan melalui dua
jalur, yaitu jalur pendidikan sekolah, dan jalur pendidikan luar sekolah.
B.
Landasan Pendidikan
Pendidikan adalah sesuatu
yang universal dan berlangsung terus tak terputus dari generasi ke generasi di
manapun di dunia ini. (Tirtarahardja, 2005). Ini menunjukkan bahwa pendidikan diselenggarakan
untuk memanusiakan manusia berdasarkan pandangan hidup dan latar sosial
kebudayaan yang berbeda pada masyarakat tertentu. Walaupun diketahui pendidikan
itu bersifat universal tapi dalam pelaksanaannya terdapat perbedaan-perbedaan
tertentu sesuai dengan pandangan hidup dan latar sosiokultural masyarakatnya.
Demikian pula yang terjadi di Indonesia, untuk membekali tenaga kependidikan
agar mempunyai wawasan dalam pelaksanaan tugasnya yang bertalian langsung
dengan sosiokultural, ada tiga kajian penting yang akan dibahas yaitu landasan
filosofis, landasan sosiologis, dan landasan kultural.
Kemudian, dilanjutkan dengan
landasan psikologis dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman tentang
perkembangan peserta didik dan cara belajarnya, sedangkan landasan iptek
bertujuan untuk memudahkan guru dalam mencari berbagai literatur dan bahan ajar
yang berkaitan dengan bidang studinya. Untuk memudahkan memahaminya di bawah
ini akan dibahas satu persatu mulai dari landasan filosofis, landasan
sosiologis, landasan kultural, landasan psikologis, dan landasan iptek.
a) Landasan Filosofis
Untuk lebih memamahi secara
dalam tentang landasan filosofis, sebaiknya perlu dipahami dulu tentang
filsafat, hubungan filsafat bangsa dengan tujuan pendidikan, dan pengaruh
filsafat dalam pendidikan.
(a) Pengertian Filsafat
Untuk dapat memahami secara dalam tentang filsafat, terlebih
dahulu akan dipaparkan beberapa pendapat para ahli, Plato misalnya menyebut
filsafat sebagai ‘ilmu pengetahuan tentang kebenaran’, sedangkan Socrates
menyebut filsafat sebagai ‘cara berpikir
yang radikal, menyeluruh dan mendasar’. Untuk itu, tugas falsafah, menurut
Socrates, bukan terletak pada pertanyaan yang timbul dalam kehidupan melainkan
mempersoalkan jawaban yang diberikan.
Falsafah senantiasa menanyakan tentang kegiatan berpikir manusia dari
awal hingga akhir. Dari pandangan di atas, filsafat dapat dipandang sebagai
‘induk semang ilmu pengetahuan’.
Pemahaman lain tentang
filsafat adalah ‘sistem nilai’ (value system), artinya filsafat dapat dianggap
sebagai pandangan hidup manusia dalam mengaruhi bahtera kehidupan. Jadi, bila
filsafat dianggap sebagai sistem nilai maka maksudnya adalah setiap manusia
mempunyai sistem nilai tersendiri yang mungkin berbeda dengan sistem nilai yang
dianut masyarakat lainnya. Ini berarti bahwa sistem nilai yang berkembang dalam
suatu masyarakat dapat dipandang sebagai sistem nilai yang harus dianut dalam
garapan pendidikan yang dilakukannya. Dengan kata lain filsafat hidup dalam
masyarakat merupakan arti lain dari landasan filosofis penyelenggaraan pendidikan
yang akan dilaksanakan. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan seperti yang
dikatakan Winecoff (Wahyudin, dkk. 2003) filsafat bisa didefinisikan sebagai
suatu studi tentang hakekat realitas, hakekat ilmu pengetahuan, hakekat sistem
nilai, hakekat nilai kebaikan, hakekat keindahan, dan hakekat pikiran.
(b) Hubungan filsafat dengan tujuan pendidikan
Dalam bidang pendidikan,
filsafat akan mengkaji persoalan yang berkaitan dengan apa yang ingin
diketahui, bagaimana cara mendapatkannya, serta apa nilai kegunaan pendidikan
bagi manusia. Dengan demikian, filsafat pendidikan merupakan pola piker
frilsafat dalam menjawab masalah-masalah yang berkaitan dengan perencanaan dan
implementasi pendidikan. Filsafat pendidikan menentukan arah kemana peserta didik
akan dibawa. Filsafat pendidikan merupakan perangkat nilai yang melandasi dan
membimbing ke arah pencapaian tujuan. Oleh sebab itu, filsafat yang dianut
suatu bangsa, atau fisafat kelompok masyarakat, akan mempengaruhi tujuan pendidikan
yang akan dicapai.
Tujuan pendidikan pada
dasarnya merupakan rumusan yang komprehensif tentang hasil apa yang seharusnya
dicapai dalam suatu program. Tujuan pendidikan berarti pernyataan yang memuat
berbagai kompetensi yang diharapkan bisa dimiliki para peserta didik selaras
dengan sistem nilai dan falsafah yang dianut. Di sini berarti ada keterkaitan
antara falsafat pendidikan dengan tujuan pendidikan. Falsafah negara yang
dianut bagaimana pun juga akan mewarnai tujuan pendidikan suatu negara.
(c) Manfaat filsafat pendidikan
Nasution (Wahyudin dkk., 2003) menyatakan bahwa
manfaat filsafat pendidikan adalah sebagai berikut:
1. Filsafat pendidikan dapat menentukan arah (direction)
akan kemana anak didik dibawa. Sekolah ialah suatu lembaga yang didirikan oleh
masyarakat untuk mendidik anak bangsa
sesuai dengan harapan dan cita-cita masyarakat tersebut.
2. Dengan adanya tujuan pendidikan yang diwarnai oleh
filsafat pendidikan yang dianut, kita mendapat gambaran yang jelas tentang
hasil (output) yang harus dicapai dalam program pendidikan. Pribadi anak didik
yang bagaimanakah yang akan ditempa dalam garapan pendidikan.
3. Filsafat pendidikan menentukan cara dan proses untuk
mencapai tujuan pendidikan yang ingin dicapai.
4. Filsafat dan tujuan pendidikan akan member kesatuan
yang bulat (unity) tentang segala upaya pendidikan yang dilakukan. Garapan pendidikan
dilaksanakan secara sistematik, berkesinambungan serta berhubungan erat satu
sama lain.
5. Filsafat dan tujuan pendidikan memungkinkan para
pengelola pendidikan melakukan penilaian tentang segala upaya yang telah
dilaksanakann dalam implementasi pendidikan.
Berdasarkan pemahaman di
atas dapat dikemukakan bahwa faktor filosofis berkaitan erat dengan pengkajian
manusia ideal menurut kepribadian bangsanya. Pandangan ini selanjutnya
dirumuskan menjadi tujuan-tujuan pendidikan, misalnya tujuan pendidikan
nasional, tujuan institusional, tujuan kurikuler, tujuan instruksional umum,
dan tujuan instruksional khusus. Dari garapan-garapan ini menunjukkan bahwa pendidikan
senantiasa mencerminkan falsafah dan pandangan hidup suatu bangsa. Kearah mana
potret kehidupan suatu bangsa secara nyata akan tercermin dari rumusan tujuan pendidikan
nasional yang ditetapkannya.
Falsafah yang berbeda-beda,
misalnya religius, sekuler, demokratis, sosialis, dan sebagainya akan mempunyai
tujuan tersendiri sesuai dengan falsafah yang dianutnya, contohnya pada saat
Indonesia masih berada di bawah kolonialisme Belanda, tujuan pendidikan
kolonial akan berbeda dengan tujuan pendidikan nasional yang dianut Indonesia
pada zaman kemerdekaan. Hal ini disebabkan karena falsafah yang dianut oleh
Belanda dengan Indonesia berbeda, dengan kata lain bahwa falsafah suatu negara
akan member warna dan pengaruh kepada falsafah pendidikan nasionalnya.
Bagi bangsa Indonesia,
Pancasila menjadi dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia, artinya
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sepatutnya menjadi acuan dasar
dalam kehidupan manusia Indonesia. Dengan demikian, pembangunan pendidikan
nasional sebagai usaha sadar dan sistematis untuk membina manusia Indonesia
dengan cara hidup dan pandangan hidup Pancasila, yang berarti bahwa garapan pendidikan
nasional harus mampu membawa segenap bangsa Indonesia untuk menjadi manusia
Pancasila.
a.
Landasan Sosiologis
Pendidikan adalah upaya
manusia untuk memanusiakan manusia.
Manusia pada hakekatnya adalah mahluk ciptaan Tuhan yang paling tinggi
derajatnya dibandingkan dengan mahluk lain ciptaan-Nya di muka bumi ini, hal
ini disebabkan karena manusia memiliki akal dan pikiran sehingga dia mampu
mengembangkan dirinya menjadi manusia yang berbudaya. (Wahyudi, dkk., 2003). Pendidikan
adalah bagian dari proses sosial yang dilakukan manusia untuk dapat menjadi
manusia yang berbudaya sehingga dapat meningkatkan harkat dan martabatnya. Dengan
demikian pendidikan tidak bisa terlepas dari lingkungannya karena manusia
sebagai mahluk sosial terikat oleh suatu sistem sosial dengan segala
komponennya yang berkembang di masyarakat.
Selanjutnya menurut Wahyudi,
dkk. (2003), bahwa garapan pendidikan secara nyata merupakan proses sosialisasi
antarwarga melalui interaksi insani menuju masyarakat yang berbudaya. Hal
inilah yang digunakan sebagai dasar untuk mengembangkan manusia sesuai dengan
nilai budaya yang dianutnya, dipupuk dan dikembangkan sesuai dengan kemampuan yang
ada pada dirinya agar dapat menjadi sosok manusia yang berbudaya. Nana Sudjana
(Wahyudi, dkk; 2003) mengungkapkan bahwa ada tiga gejala yang diungkapkan dalam
kebudayaan umat manusia, yaitu berupa:
a) Ide dan
gagasan seperti konsep, nilai, norma,
peraturan sebagai hasil cipta dan karya manusia.
b) Kegiatan seperti tindakan yang berpola dari manusia dalam
masyarakat
c) Hasil karya
cipta manusia.
Karena pendidikan merupakan
suatu proses budaya, maka pembinaan dan pengembangan cipta, rasa, dan karsa dapat
dilakukan dalam tiga wujud di atas. Wujud
yang pertama, yaitu ide dan gagasan
sifatnya cenderung abstrak. Adanya dalam alam pikiran manusia dan warga
masyarakat di tempat kebudayaan itu berada. Gagasan itu menjadi motivasi, pendorong,
serta memberi jiwa dan makna bagi kehidupan manusia dalam bermasyarakat
sehingga pola pikir tersebut menjadi suatu sistem yang dianut. Norma, adat,
ataupun peraturan merupakan contoh dari hasil kebudayaan tersebut. Wujud kedua adalah kegiatan yang berpola dari manusia, yaitu aktivitas manusia
dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Tindakan ini disebut sistem sosial, dimana aktivitas manusia cenderung bersifat kongkret, bisa dilihat
dan diobservasi secara langsung. Sedangkan wujud
ketiga adalah seluruh hasil fisik dan
non fisik serta perbuatan atau karya manusia dalam masyarakat. Sudah barang
tentu wujud fisik ataupun non fisik ini hasil dari karya manusia sesuai dengan
kebudayaan pertama dan kedua, artinya wujud ketiga merupakan hasil buah pikir
dan keterampilan manusia sesuai dengan gagasan atau ide dan aktivitas manusia
dalam struktur sistem sosialnya. (Wahyudi, dkk; 2003).
Merujuk pada uraian di atas
sesungguhnya pendidikan tidak bisa terlepas dari pengaruh sosial budaya karena
dalam belajar peserta didik tidak bisa terlepas dari masyarakat ketika bergaul
dan berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam kehidupan bermasyarakat, latar
belakang dan corak aktivitasnya pun beragam, cenderung dinamis dan berkembang
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan yang
melatarbelakanginya. Asas yang sesuai dengan kondisi seperti ini adalah asas
sosiologis karena dapat memberikan pijakan yang mendasar untuk menentukan apa
yang cocok dipelajari para peserta didik, bagaimana mempelajari bahan tersebut
sehingga produktivitas pendidikan (output)
sesuai dengan harapan dan tuntutan kebutuhan masyarakat, baik diamati dari
perkembangan sosial budayanya maupun diamati dari perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi.
Pandangan di atas
menunjukkan bahwa dalam melaksanakan pendidikan harus memperhatikan pengaruh
ilmu pengetahuan dan pendidikan yang melatar-belakangi masyarakat tersebut
karena itu landasan sosiologislah yang paling tepat untuk dapat memberikan
pijakan yang mendasar terhadap para peserta didik. Bila pijakannya sesuai maka
lebih mudah untuk mempelajari bahan yang akan disampaikan sehingga
produktivitas pendidikan pun sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat.
Salah satu yang sangat berperan dalam mewarnai masyarakat adalah sekolah, untuk
itu di bawah ini akan dijelaskan peran dan hubungan sekolah dengan masyarakat.
d) Peran Sekolah dalam mewarnai masyarakat, adapun peran
adalah sebagai berikut:
(a) Pewaris kebudayaan,
sekolah adalah tempat transmisi kebudayaan seperti bahasa, kesenian,
pengetahuan, adat istiadat, kepercayaan, sistem mata pencaharian, dan sistem
sosial bagi masyarakat modern. Oleh karena itu hubungan sekolah dengan
masyarakat perlu dijaga dan dipelhirara dengan baik.
(b) Pemelihara
kebudayaan, sekolah berfungsi sebagai
tempat untuk memelihara berlangsungnya prosses kebudayaan yaitu dengan memantau
perilaku siswa, menggunakan kurikulum yang standard dan buku teks yang sesuai
dengan kebutuhan zaman agar dapat diterapkan dalam kehidupan nyata.
(c) Tempat
reproduksi budaya, sekolah tempat
mensosialisasikan nilai-nilai atau norma-norma yang ada dalam masyarakat dengan
tetap melakukan perubahan atau perbaikan. Sekolah harus melakukan hubungan transformatif
dengan masyarakat untuk menanamkan nilai-nilai baru melalui pelajaran yang
relevan, kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler agar reproduksi budaya dapat
dilakukan secara berkelanjutan.
(d) Agen difusi
kebudayaan, sekolah berfungsi sebagai
agen distribusi kebudayaan dengan menyampaikannya kepada siswa agar
kesejahteraan masyarakat dapat tercapai. Adapun yang perlu diperhatikan adalah tempat
sekolah atau tempat berlangsungnya distribusi kebudayaan, dengan kata lain
distribusi kebudayaan tidak dapat diseragamkan tergantung pada tempat atau
daerah sekolah itu berada.
e) Hubungan timbal balik antara sekolah dengan masyarakat
Dukungan masyarakat terhadap
program sekolah sangat penting dilakukan agar terjadi hubungan yang harmonis,
bila program-program yang akan dilaksanakan mendapatkan dukungan dari
masyarakat maka semua program akan dapat berjalan dengan lancar, adapun
bentuk-bentuk dukungan tersebut yaitu:
(a) Transaksional, dukungan masyarakat dalam mengembangkan
program-program sekolah dapat berjalan dengan baik, untuk itu program-program
sekolah harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga masyarakat semakin
banyak yang terdidik. Bila masyarakat sudah banyak yang terdidik maka cara
berpikir masyarakat pun semakain banyak dan ekonomi masyarakat pun semakin maju
dan hidup sejahtera.
(b) Cara berhubungan dengan masyarakat,
berhubungan dengan masyarakat dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
1. Aktivitas
kurikuler siswa, sebelum melaksanakan
pembelajaran, sebaiknya pihak sekolah melakukan diskusi atau tanya jawab dengan
masyarakat dengan tujuan agar kebutuhan masyarakat terpenuhi. Sedangkan untuk
kegiatan seperti magang, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat, sekolah
dapat bekerja sama dengan pendidikan tinggi khususnya LPTK (Lembaga Kependidikan
Tenaga Kependidikan).
2. Aktivitas
guru, ada beberapa hal yang dapat
dilakukan oleh guru agar hubungan sekolah dengan masyarakat khususnya para
orang tua siswa, yaitu melaksanakan home
visit (kunjungan rumah) dengan maksud
agar guru dapat melakukan kerjasama dengan orang tua siswa, untuk membantu
siswa tidak hanya di sekolah tapi juga di rumah.
3. Kegiatan
ekstrakurikuler, pihak sekolah
melibatkan masyarakat dalam kegiatan kepramukaan, PMR, kesenian, dan
kegiatan-kegiatan sejenis. Kegiatan-kegiatan semacam ini perlu dilakukan agar
orang tua merasa mempunyai sekolah.
4. Mengundang
masyarakat ke sekolah, untuk menunjukkan
hasil karya siswa pihak sekolah dapat melaksanakan pameran-pameran sederhana
dengan mengundang wali murid pada hari-hari besar nasional seperti HUT
Kemerdekaan RI, HUT sekolah, dan acara-acara yang senada dengan hal tersebut.
Pelaksanaan model ini sangat penting dilakukan agar masyarakat mengetahui lebih
banyak informasi-informasi tentang aktivitas putra-putri mereka yang belajar di
sekolah tersebut.
5. Media massa, selain itu pihak sekolah juga dapat melaksanakan
kegiatan-kegiatan lainnya agar masyarakat khususnya para orang tua wali murid
mengetahui kegiatan-kegiatan yang dilakukan di sekolah dengan membuat majalah,
bulletin secara periodik, kemudian disampaikan kepada orang tua atau
instansi-instansi terkait sehingga sekolah lebih dikenal aktivitasnya.
f) Bentuk partisipasi masyarakat
Adapun bentuk partisipasi masyarakat di sekolah,
yaitu:
(a) Penyediaan
dana pendidikan, selain mendapatkan
dana dari pemerintah sekolah juga perlu menggali dari sumber-sumber lain. Untuk
itu, peran serta masyarakat sangat diperlukan, seperti penambahan fasilitas
belajar, anggaran belanja sekolah, dan lain-lain.
(b) Penyediaan
fasilitas belajar di rumah, agar anak
dapat belajar dengan tenang dan bersemangat para orang tua perlu melengkapi
segala fasilitas belajar yang dibutuhkan anak, seperti meja-kursi belajar,
buku-buku bacaan, dan fasilitas-fasilitas pendukung lainnya.
(c) Mengawasi dan
mengikuti perkembangan anak, komitmen
orang tua terhadap pendidikan anak sangat penting karena komitmen ini akan
berdampak kepada keinginan orang tua yang tinggi untuk selalu mengawasi anak
dalam belajar, mengetahui hal-hal yang dibutuhkan anak untuk mengembangkan
kemampuannya.
(d) Ikut mencari
solusi dari masalah-masalah sekolah, masyarakat
bersama-sama dengan sekolah mencari jalan keluar dari setiap permasalahan yang
ditemukan oleh sekolah.
(e) Ikut
mengontrol pelaksanaan pendidikan di sekolah, masyarakat perlu mengontrol proses pembelajaran di
sekolah agar mutu siswa dapat dicapai, semakin tinggi keinginan masyarakat
mengontrol proses pelaksanaan pembelajaran di sekolah maka semakin tinggi pula
mutu yang akan dicapai.
(f) Memberi
feed-back, diminta atau tidak, masyarakat
diharapkan juga untuk memberikan masukan atas segala kelemahan yang terjadi di
sekolah, diminta atau tidak masyarakat harus tetap melakukannya.
(g) Meminjami
sekolah fasilitas yang diperlukan,
partisipasi masyarakat juga dapat dilakukan dengan meminjami beberapa fasilitas
yang tidak dimiliki oleh sekolah seperti sound system, alat-alat kesenian, maupun
alat-alat lainnya yang diperlukan sekolah.
(h) Menerima dan
melayani siswa yang sedang belajar di masyarakat, dalam mengembangkan pembelajaran PAKEM di sekolah,
masyarakat harus mengambil bagian dari pembelajaran tersebut dengan memberikan
informasi yang dibutuhkan siswa.
(i) Menjadi nara
sumber, trainer bila diperlukan, untuk
memaksimalkan berjalannya proses pembelajaran di sekolah, masyarakat khususnya
yang mempunyai keahlian dapat menjadi nara sumber, atau trainer bagi guru
maupun siswa bila dibutuhkan oleh sekolah.
g) Faktor-faktor Sosial Problema Pendidikan
(a) Faktor sosial kemajuan siswa adalah
keadaan keluarganya, teman kelompok sebaya, tokoh acuannya di luar keluarga
dan sekolah.
(b) Faktor sosial kemajuan guru adalah karakteristik
siswa, orang dan masyarakat, personalia administratif, keadaan keluarganya, orang
profesi.
(c) Faktor sosial kemajuan sekolah adalah sumber dana masyarakat, stabilitas
masyarakat, populasi usia sekolah, status sosial masyarakat dan lain-lain.
b.
Landasan Psikologis
Pendidikan selalu melibatkan
aspek kejiwaan manusia, sehingga landasan psikologis merupakan salah satu
landasan yang penting dalam bidang pendidikan. Pada umumnya landasan psikologis
dari pendidikan tersebut terutama tertuju pada pamahaman manusia, khususnya
tentang proses perkembangan dan proses belajar. (Tirtarahardja, dkk., 2005). Pendapat ini menunjukkan bahwa proses
pendidikan berkaitan langsung dengan kejiwaan manusia, karena faktor kejiwaan
sangat berpengaruh pada tingkat pemahaman manusia, sehingga penyampaian ilmu
pengetahuan pun disesuaikan dengan tingkat perkembangan manusia untuk
mempelajarinya.
Untuk menunjang keberhasilan
pelaksanaan pendidikan, terdapat beberapa pandangan yang membahas tentang
hakekat manusia, pandangan tentang hakekat manusia dapat ditinjau dari aspek
psikologis dalam pendidikan, yaitu strategi disposisional, strategi behavioral,
dan strategi phenomenologis/humanistic. Strategi
disposisional, yang merupakan
pandangan konstitusional dari Kretschmer dan Sheldon, yang menekankan pada
faktor hereditas pada perkembangan manusia. Strategi
behavioral, dan strategi phenomenologis,
sama-sama menekankan pada faktor dalam perkembangan, tetapi berbeda pandangan
tentang terjadinya proses pembelajaran. Strategi behavioral bertolak dari Lockean tradision, oleh J. Locke,
memandang manusia terutama sebagai mahluk pasif yang tergantung pada pada
lingkungannya. Pandangan ini tampak pada ‘a Scientific Psychology’ oleh B. F. Skinner.
Strategi phenomenologist bertolak dari Leibnitzian
tradition, yang memandang manusia
sebagai mahluk aktif yang mampu beraksi dan melakukan pilihan-pilihan sendiri.
Pandangan ini tampak pada ‘a Humanistic Pshychology’ dari Carl R. Roger. Akan tetapi dalam kenyataanya, manusia bukan
hanya ‘receiver and transmitter of
information’ tetapi juga ‘generator
of information’ Sulo (Tirtarahardja, 2005). Untuk lebih memahami tentang
landasan psikologis, di bawah ini akan dibahas tentang pengertian tentang
landasan psikologis dan perkembangan peserta didik.
Manusia dilahirkan dengan
sejumlah kebutuhan yang harus dipenuhi dan potensi yang harus dikembangkan.
Dalam upaya memenuhi kebutuhannya itu maka manusia berinteraksi dengan
lingkungannya karena dengan berinteraksi dengan lingkungannya akan menyebabkan
manusia mengembangkan kemampuannya khususnya melalui proses belajar. Semakin
kuat motif untuk memenuhi kebutuhan semakin tinggi hasil belajar yang dapai
dicapainya.
Akan tetapi yang perlu
dipahami bahwa setiap individu mempunyai aspek kejiwaan yang berbeda, bukan
hanya terkait dengan kecerdasan dan bakat, tetapi juga perbedaan pengalaman dan
tingkat perkembangan, perbedaan aspirasi dan cita-cita, bahkan perbedaan kepribadian.
Oleh sebab itu, mengerti tentang perkembangan psikologis setiap anak sangat
penting dilakukan, karena dengan memahami perkembangan anak maka semakin mudah
pula untuk menanganinya. Selain itu, memahami perbedaan kepribadian setiap anak
akan berpengaruh pula pada cara menangani perkembangannya, jadi pemahaman
perkembangan kepribadian anak akan sangat bermanfaat untuk pendidikannya
terutama dalam membentuk kepribadiannya.
Semakin bagus kepribadian
anak semakin mandiri pula anak tersebut dan semakin kuat motivasi anak semakin
tinggi pula keinginan untuk meraih kebutuhan yang ingin dicapainya. A. Maslow
(Tirtarahardja, 2005) menyatakan terdapat enam kelompok kebutuhan, mulai dari kategorisasi
yang paling sederhana sampai mendasar, yaitu: a) Kebutuhan fisiologis:
Kebutuhan untuk mempertahankan hidup (makan, tidur, istirahat, dan sebagainya);
b) Kebutuhan rasa aman: Kebutuhan untuk secara terus-menerus merasa aman dan
bebas dari ketakutan; c) Kebutuhan akan cinta dan pengakuan: Kebutuhan
berkaitan dengan kasih sayang dan cinta dalam kelompok dan dilindungi oleh
orang lain; d) Kebutuhan harga diri (esteem
needs):
Kebutuhan berkaitan dengan perolehan pengakuan oleh orang lain sebagai orang
yang berkehendak baik; e) Kebutuhan untuk aktualisasi diri: Kebutuhan untuk
dapat melakukan sesuatu dan mewujudkan potensi-potensi yang dimiliki
(menyatakan pendapat, perasaan, dan sebagainya); f) Kebutuhan untuk mengetahui
dan memahami: Kebutuhan yang berkaitan dengan penguasaan iptek.
Menurut Maslow
(Tirtarahardja, 2005) bahwa kebutuhan yang paling utama adalah kebutuhan
fisiologis, dan individu diharapkan dapat memenuhi kebutuhan ini sebelum
mengejar kebutuhan akan rasa aman. Demikian juga untuk kebutuhan-kebutuhan
berikutnya. Kebutuhan yang lebih rendah merupakan prasyarat bagi pemuasan
kebutuhan berikutnya yang lebih tinggi. Pemuasan kebutuhan tingkat terandah
hingga yang keempat sangat dipengaruhi oleh orang lain, sedangkan yang terakhir
sangat ditentukan oleh diri sendiri. Dengan demikian, karena belajar pada
dasarnya merupakan usaha untuk memenuhi kebutuhan tingkat tinggi, maka
pemenuhannya sangat ditentukan oleh diri pelajar dan mempersyaratkan adanya
rasa aman dan seterusnya yang lebih rendah.
B.
Landasan Ilmiah dan Teknologis
Azas lain yang sangat
mempengaruhi garapan pendidikan adalah perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi (iptek). Hal yang patut diakui, perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi dalam beberapa dasawarsa terakhir ini maju dengan pesat sebagai buah
dari kegiatan penelitian dalam bidang ilmu murni (pure science) dan ilmu
terapan (applied science) yang berkembang pesat pula.
Perkembangan yang pesat
inilah yang berpengaruh kuat terhadap garapan pendidikan. Ilmu pengetahuan dan
teknologi merupakan isi kurikulum pendidikan. Sedangkan isi kurikulum itu
sendiri merupakan kumpulan pengalaman manusia yang disusun secara sistematis
dan sistemik sebagai hasil atau buah karya kebudayaan umat manusia. Oleh sebab
itu, pemulihan sebaran dan isi kurikulum dalam suatu program pendidikan pada
hakikatnya merupakan penetapan isi atau ilmu yang relevan dengan kebutuhan dan
tuntutan masyarakat. Di sini berarti, perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, sebagai salah satu karakteristik perkembangan sosial budaya, akan
memberi corak dan warna bagi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan pendidikan.
(Wahyudi, dkk., 2003).
Dampak kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi adalah kebutuhan dan tarap hidup manusia semakin
meningkat yang menyebabkan tuntutan hidup pun semakin tinggi. Untuk mengatasi
semua itu, yang paling tepat dilakukan adalah menyiapkan peserta didik, artinya
garapan pendidikan harus menjadi prioritas, yaitu dengan menyiapkan kurikulum
yang mampu menjawab tantangan dan tuntutan zaman, dengan menyiapkan program, pendekatan,
dan strategi yang tepat untuk melaksanakannya.
Nana Syaodih Sukmadinata
(Wahyudi, 2003) mengemukakan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
secara langsung akan menjadi isi/materi pendidikan. Sedangkan secara tidak
langsung memberikan tugas kepada pendidikan untuk membekali masyarakat dengan
kemampuan pe mecahan masalah yang dihadapi sebagai pengaruh perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Ini berarti bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi sangat berpengaruh terhadap pendidikan terutama untuk memecahkan
masalah-masalah pendidikan.
Agar perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi bisa senafas dengan tuntutan pembangunan nasional, maka
Oemar Hamalik (1995) menyarankan lima hal untuk menjadi perhatian, yaitu:
a. Perkembangan iptek harus berada dalam keseimbangan
yang dinamis dan efektif dengan pembinaan sumber daya manusia, pengembanan
sarana dan prasarana, iptek, pelaksanaan penelitian dan pengembangan serta
rekayasa produksi dari jasa.
b. Pembangunan iptek sepatutnya tertuju pada peningkatan
kualitas, yakni untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan dan kehidupan bangsa.
c. Pembangunan iptek sepatutnya selaras dengan
nilai-nilai agama, nilai luhur budaya bangsa, kondisi sosial budaya, dan
lingkungan hidup.
d. Pembangunan iptek sepatutnya berpijak pada upaya
peningkatan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas penelitian dan
pengembangan yang lebih tinggi.
e. Pembangunan iptek seyogyanya berdasarkan asas
pemanfaatannya yang dapat memberikan nilai tambah dan memberikan pemecahan
masalah konkret pembangunan nasional.
Bila dilihat dari pendapat
di atas, maka pembangunan iptek seharusnya lebih berorientasi pada keseimbangan
yang dinamis yang lebih mengarah pada peningkatan kualitas dan selaras dengan
nilai-nilai agama, nilai luhur budaya bangsa, kondisi sosial budaya, dan
lingkungan hidup. Selain itu, pembangunan bangsa juga lebih mengarah pada upaya
produktivitas, dan efisiensi agar pembangunan nasional dapat berjalan lancar.
Dalam implementasinya
khususnya yang terkait dalam pendidikan, nampaknya menyambut perkembangan
teknologi sudah dapat dipastikan terutama yang berkaitan dengan pengembangan pembelajaran,
seperti media audio (radio, tape recorder,
pita audio, phonograph), media visual (flash
card, OHP, MCR, film strip dan lian-lain), media audio visual (TV, CCTV, video, film dan lain-lain), dan media
penunjang lain seperti komputer, faximile, dan lain-lain.
BAB III
AZAS-AZAS POKOK DAN ALIRAN-ALIRAN PENDIDIKAN
A.
AZAS-ZAS POKOK PENDIDIKAN
Pendidikan merupakan
merupakan suatu kebenaran dengan melakukan proses sedemikian rupa, karena di samping
manusia dapat dididik, manusia juga dapat mendidik dirinya sendiri dan dapat
mendidik manusia lainnya. Umar Tirtarahardja (2003) menyatakan bahwa asas
pendidikan merupakan sesuatu kebenaran yang menjadi dasar atau tumpuan
berpikir, baik pada tahap perancangan maupun pelaksanaan pendidikan. Artinya
bahwa kebenaran menjadi dasar atau tumpuan berpikir dalam pelaksanaan
pendidikan, sehingga bila dalam pelaksanaan dalam pendidikan itu ada unsur
ketidakbenaran maka tahapan-tahapan dalam pelaksanaan pendidikan itu tidak
tercapai.
Dalam kaitan dengan manusia
dapat dididik, Tirtarahardja juga mengatakan bahwa bayi melalui pendidikan
dapat dikembangkan menjadi calon pakar yang dapat merancang dan membuat pesawat
angkasa luar yang dapat menjelajah angkasa, dan mampu merekayasa genetika yang
memicu revolusi hijau dengan berbagai bibit unggul, ataupun sebaiknya mampu
membuat bom yang dapat menghancurkan manusia dan kebudayaannya. Ini artinya
bahwa manusia dapat dididik sedemikian rupa tergantung mau dibawa kemana anak
tersebut, semakin tinggi pendidikannya semakin tinggi pula hasil yang akan
dicapai. Akan tetapi terdapat dua pengaruh yang sangat tinggi pada pendidikan,
bila pengaruh pendidikan itu dibawa kearah yang positif maka hasilnya pun
sangat bermanfaat, tetapi bila tidak maka hasilnya pun sangat tidak bermanfaat
dan sangat merugikan. Di bawah ini akan dijelaskan secara runut tentang
asas-asas pendidikan yang pernah dianut dan ada pula yang masih bertahan sampai
sekarang.
a. Asas Tut Wuri Handayani
Azas tut wuri handayani yang
saat ini menjadi semboyan Pendidikan Nasional Negara Indonesia merupakan salah
satu azas dari “Azas 1922” yaitu tujuh buah azas dari Perguruan Nasional Taman
Siswa, yang didirikan pada tanggal 3 Juli 1922. Sebagai azas pertama, tut wuri
handayani merupakan inti dari Sistem Among dari perguruan ini, azas ini
dikumandangkan oleh Ki Hadjar Dewantara yang mendapatkan tanggapan positif dari
Drs. R.M.P. Sostrokartono (Filsuf dan ahli bahasa) dengan menambahkan dua
semboyan untuk melengkapinya, yaitu: Ing Ngarso Sung Tulada dan Ing Madya
Mangun Karsa. Tirtarahardja (Raka Joni, et.al.: 1985:38).
Apa yang dikumandangkan oleh
Ki Hajar Dewantara ini sesungguhnya sangat baik untuk anak karena orang tua
hanya berfungsi untuk mengikuti dari belakang potensi yang ada dari anak, bukan
menarik-narik anak yang tidak sesuai dengan keinginannya. Anak-anak bisa
mencari jalan keluar sendiri sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh anak itu
sendiri. Hal ini disampaikan pula oleh Ki Moh. Tauhid yang berpendapat bahwa kebebasan
ada pada diri anak karena anak dapat bergerak menurut kemauannya sendiri.
Pendapat inilah yang ada di
Piagam dan Peraturan dasar Persatuan Taman Siswa yang lebih berorientasi pada
mengikuti potensi anak karena anak memiliki sifat-sifat kondrati/potensi, yang
menolak paksaan dan kekerasan sesuai dengan prinsip nativisme/voluntarisme
(voluntas = kehendak).
Sedangkan arti dari
Handayani ada menurut Ki hajar Dewantara adalah memberi pengaruh, artinya kalau
si anak salah jalan baru si pamong boleh berinterfensi. Hal ini disampaikan
juga oleh Ki Moh. Tauhid yang menyatakan bahwa pamong akan bertindak bila perlu
dengan paksaan kalau keinginan anak akan membahayakan keselamatannya. Dengan
kata lain bahwa perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh lingkungannya seperti
orang tua, pamong dan lain-lain dalam rangka menyelamatkannya. Pendapat ini
sengat senada dengan prinsip-prinsip empirisme/realisme, dan
progressivisme/rekonstruk-sionisme yang cenderung kritis.
b. Asas Belajar Sepanjang Hayat/Life Long Education
Asas life long education merupakan proses pendidikan yang sifatnya
berkelanjutan yang bermula sejak lahir sampai meninggal. Proses pendidikan ini
mencakup belajar informal, formal, dan non formal. Informal belajar di dalam
keluarga, formal belajar di sekolah, dan non formal belajar di lembaga kerja
dan masyarakat. Jadi long life education
adalah proses penyesuaian diri dengan lingkungan untuk mendapatkan kesuksesan
dalam hidup. Penyesuaian dengan merubah
diri atau merubah lingkungan disebut
hekikat belajar.
Proses belajar adalah usaha
individu untuk memiliki pengetahuan dan keterampilan baru secara formal atau
tidak, secara teratur atau tidak, agar dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungan hidup dengan sukses. Menurut Owen
Watts berpendapat bahwa proses belajar adalah a process of “self actualization of individual person”, atau “continous
struggle for self-conquest” and does not end at 15 or even 25, but is
on-going. Proses belajar lebih mengarah pada proses aktualisasi diri secara
individu yang tidak berakhir di usia ke-15 atau usia ke-25 tetapi terus-menerus
dan berkelanjutan.
c. Asas-azas Kemandirian dalam Belajar
Saat ini lembaga-lembaga
pendidikan dan masyarakat belum sepenuhnya dapat menerapkan azas-azas ini dalam
proses belajar, hal ini disebabkan oleh beberapa permasalahan, yaitu:
a) Belum meratanya masyarakat yang memahami asas-azas
pendidikan
b) Ada peserta didik yang belum memperoleh kesempatan
pendidikan yang layak
c) Kekurangan sumber-sumber pendukung pendidikan
d) Angka drop out prosentasenya di setiap daerah masih
tergolong besar.
d. Pengembangan penerapan azas-azas pendidikan
Pengembangan penerapan
azas-azas pendidikan dapat dilakukan dengan mengaktifkan lembaga-lembaga formal
dan non formal, terutama untuk mengembangkan kemampuan baca tulis fungsional, vocational,
profesional, ke arah perubahan dan pembangunan, kewargaan negara dan kedewasaan
politik, serta kultural dan pengisian waktu senggang.
Untuk mengembangkan
kemampuan baca tulis dapat dilakukan di lembaga-lembaga masyarakat. Demikian
juga dengan keterampilan dapat dikembangkan di kursus-kursus keterampilan yang
ada di masyarakat, menyusul peningkatan profesionalisme masyarakat, sehingga
perubahan pembangunan dapat berkembang secara merata di setiap masyarakat.
B.
Aliran Klasik
a. Aliran Nativisme/Pessimisme tokohnya adalah Schopenhauer, Jerman, 1778 – 1880. Pandangan:
a) Manusia lahir dengan bawaan baik dan buruk.
b) Hasil akhir pendidikan ditentukan oleh faktor bawaan.
c) Lingkungan tidak dapat mempengaruhi anak.
b. Aliran Naturalisme/Negativisme tokohnya adalah J.J.
Rousseau, Perancis, 1712 – 1778. Pandangan:
a) Manusia lahir dengan bawaan baik.
b) Lingkungan dapat merusak bawaan baik tersebut.
c) Proses pendidikan serahkan pada alam.
c. Aliran Empirisme/Environmentalisme tokohnya adalah
John Locke, Ing-geris, 1632 – 1704. Pandangan:
a) Manusia lahir seperti kertas putih. “Teori
tabularasa”.
b) Hasil akhir pendidikan ditentukan oleh lingkungan.
c) Pendidik memegang peranan penting.
d. Aliran Konvergensi/Interaksionisme tokohnya adalah W. Stern, Jerman, 1871 – 1939. Pandangan:
a)
Manusia lahir
dengan bawaan masing2.
b)
Lingkungan
berpengaruh dalam perkembangan anak..
c)
Hasil akhir pendidikan
ditentukan oleh faktor bawaandan lingkungan.
C.
Gerakan Baru Dalam Pendidikan
a. John Dewey, Vermont USA, 1859 – 1952.
a) Tujuan pendidikannya – membentuk anak didik menjadi
anggota masyarakat yang berfaedah.
b) Tujuan sekolahnya – sekolah kerja à untuk menghidupkan
rasa gotong royong/belajar bekerja sama dan membentuk watak.
c) Sekolahnya dilengkapi dengan tempat bertukang,
memasak, laboratorium dan lain sebagainya, yang semuanya dibuat sendiri oleh
siswa.
d) Sekolahnya merupakan masyarakat kecil, membaca,
menulis diberi sambil bermain.
John
Dewey dikenal sebagai:
a) Penganjur “Learning by doing”.
b) Penganjur sekolah kerja.
c) Penyusun metode proyek.
d) Penganjur pentingnya kerja sama.
e) Penganjur pembentukan watak dengan bekerja.
Pengaruh
John Dewey di Indonesia
a) Adanya sekolah-sekolah kejuruan.
b) Adanya pelajaran pendidikan. kecakapan khusus di
sekolah2 umum.
c) Adanya sekolah2 kerja/bengkel2 kerja.
d) Penggunaan metode pemecahan masalah di sekolah.
Pengaruh W. H. Kilpatrick –
pengajaran proyek.
Proyek–
kegiatan belajar dimana anak mendapat kesempatan memilih, merancang dan
memimpin sendiri pekerjaannya, yang hampir mendekati keadaan sebenarnya dalam
kehidupan sehari-hari. Pelajaran dimulai dari/dengan apa yang telah ditentukan
sendiri oleh anak.
a) Tujuannya:
(a)
Memimpin
perbuatan dan fikiran hingga anak bekerja sepenuh hati.
(b)
Mengembangkan
kebiasaan, sikap, dan cita2 anak.
(c)
Pembentukan
watak.
(d)
Pendidikan sosial
melalui kerja kelompok.
b) Pelajaran proyek – mengaktifkan anak bekerja, mencari,
dan berfikir sendiri.
c) Pengaruhnya di Indonesia – pelaksanaan CBSA.
d) Tokoh-tokoh lain:
(a) Miss Hellen Parkhurst, USA, “Sistem Dalton (Laboratory
Plan).
(b) Maria Montessori, Roma, “Case Dei Bambini”.
(c) Jan Lighthart, Belanda, “Metode pendidikan buah
limau”/ “metode Sinaasappel”.
D. Aliran Pokok Pendidikan di Indonesia
1. Perguruan Kebangsaan Taman Siswa
b. Didirikan 3 Juli 1922 oleh RM Suwardi Suryaningrat/Ki
Hajar Dewa.
c. Dasarnya, Panca Darma Taman Siswa (asas; kemerdekaan,
kodrat alam, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanusiaan), disusun 1947.
d. Sekolah2 Taman Siswa
a) Taman Indriya (TK) 5 – 6 tahun.
b) Taman Anak (Kls 1 s/d 3) 6 – 10 tahun.
c) Taman Muda (Kls 4 – 6) 10 –13 tahun.
d) Taman Dewasa (SMP).
e) Taman Madya (SMA).
f) Taman Guru B I – Calon guru SD.
g) Taman Guru B II – 1 tahun setelah taman guru B I.
h) Taman Guru B III – 1 tahun setelah taman guru B II.
i) Taman Guru Indriya – SLTP + 2 tahun.
j) Taman Masyarakat, Taman Tani, Taman Rini (untuk
wanita, Taman Karti (untuk pertukangan).
2. Cita-cita pendidikannya – memelihara dan mengembangkan
benih turunan dari bangsa Indonesia melalui pengembangan jiwa raga dengan
menggunakan alat2 pendidikan yang berdasar adat istiadat rakyat/budaya sendiri.
Dicapai melalui SISTIM AMONG – menuntun anak agar berkembang sesuai dengan
kodratnya sendiri2. Dasar sistim among – kemerdekaan dan kodrat alam.
3. Semboyan-semboyan Taman Siswa
a.
Tut Wuri
Handayani.
b. Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso (DR
Sosrokartono).
c.
Rawe-rawe rantas
malang-malang putung.
d.
Lawan Sastra
Ngesti Mulya.
e.
Suci Tata Ngesti
Tunggal.
4. Tokoh-tokoh Pendidikan yang Mempengaruhinya
a. J.J. Rousseau – tujuan pendidikannya, membentuk
manusia bebas, merdeka tanpa tekanan maupun ikatan. Paralel dengan Panca Darma
Taman Siswa.
b. J.H. Pestalozzi – anak harus dididik menurut kodratnya.
Kemampuan, pembawaan anak harus dikembangkan dan diarahakan kearah
prikemanusiaan. Tugas pendidik, mendorong anak untuk menolong dirinya sendiri.
Sesuai dg Sistim Among.
c. Rabindranath Tagore–sekolah jangan terpisah dari
kehidupan dan kebudayaan bangsa. Dasar pendidikan-nya; keaktifan, kebebasan,
kebudayaan, ketuhanan, kemasyarakatan, dan pendidikan yang harmonis. Paralel
dengan cita-cita pendidikan
Taman Siswa dan Panca Darma Taman Siswa.
5. Indonesische Nederlandsche School (INS)
Didirikan 31 – 10 – 1926
oleh Moh. Syafi’I (1899 – 1969).
Dasarnya, bakat anak didik, dan
kemasyarakatan. Pendapat lain
- Mendidik swasembada – memberi pendidikan
untuk berkreasi sendiri agar bakatnya berkembang. Anak harus dapat mencipta.
-
Mendidik anak
menjadi terampil – melalui pelajaran
pekerjaan tangan.
-
Gotong royong –
antara guru dengan murid dalam bertani, membangun dsb.
6. Cita2 pendidikannya – membentuk pemuda Indonesia yang
berani bertanggung jawab, berani berdiri sendiri, membuka perusahaan sendiri,
hidup bebas dan tidak tergantung pada orang lain. Dicapai melalui tujuan
perguruannya:
a. Mendidik anak agar dapat berfikir rasional.
b. Mendidik anak bekerja teratur dan serius.
c. Membantu siswa menjadi manusia berwatak.
d. Menanamkan perasaan persatuan.
7. Sekolah-sekolah INS
a. Ruang bawah/ruang rendah – SD, lama belajar 7 tahun.
b. Ruang atas/ruang dewasa – SM, lama belajar 6 tahun.
c. RPPK (ruang pendidikan pengajaran dan kebudayaan).
d. 31 Oktober 1952 INS menjadi SGBN Istimewa.
e. Semboyan INS, “Kerjakanlah dan usahakanlah sendiri”.
8. Tokoh2 Pendidikan yang Mempengaruhinya
a. J. Dewey dan G. Kerschensteiner – sekolah kerja.
Penyelenggaraan pendidikan di INS antara lain: Mem-beri pendidikan yang sesuai
dengan kebutuhan masyarakat, dan mendidik pemuda agar berguna bagi masyarakat.
Seide dengan sekolah kerja.
b. Rabindranath Tagore. Cita-cita pendidikan INS seide
dengan dasar pendidikan Rabindranath Tagore. Pendidikan di Shanti Niketan
(panti perdamaian) mempunyai persamaan dengan di INS seperti:
a) Murid tinggal di asrama.
b) Siswa dilatih agar memiliki rasa bebas, percaya diri,
rasa tanggung jawab pada masyarakat dan negara, tolong menolong,cakap memimpin,
dan disiplin.
c.
Miss Hellen
Parkhurst – sistim Dalton:
a) Menuntut keaktifan siswa.
b) Metode mengajarnya, pemberian tugas dan resitasi.
c) Pembentukan regu kerja berdasarkan kemampuan,
kecerdasan, dan usia. – Seide dengan INS.
BAB IV
MASYARAKAT MASA DEPAN DAN
PERMASALAHAN PENDIDIKAN
A.
Perkiraan Masyarakat Masa Depan
a.
Keadaan Sekarang
Kondisi masyarakat saat ini
heteroginitasnya (kebhinekaannya) sangat tinggi, hal ini dipengaruhi oleh latar
belakang sosial, tingkat pendidikan yang ada di masyarakat yang hetetogenitiasnya
sangat tinggi, sehingga kesenjangan yang cukup mencolok, di satu sisi terdapat
masyarakat yang pendidikan sangat rendah, di sisi lain terdapat pula masyarakat
yang pendidikannya sudah di atas rata-rata. Kenyataan inilah yang menunjukkan
bahwa di era globalisasi saat ini, dimana masyarakat sudah berpikir maju dan
modern, masih ditemukan masyarakat yang terisolir dan tidak berpikir maju.
Demikian pula halnya dengan
persoalan ekonomi, produktivitas masyarakat masih rendah dan bukan berorientasi
eksport, masyarakat cenderung sebagai konsumen dan bukan sebagai pencipta,
sedangkan dari segi budaya masyarakat masih berorientasi masa lalu, dan
cenderung tidak mau manatap masa depan. Bila hal ini dipelihara maka yang akan
terjadi adalah kemajuan yang hanya menjadi angan-angan dan tidak pernah kunjung
tercapai. Untuk itulah, di bawah ini disajikan beberapa cara yang tepat
dilakukan untuk menghadapi masa depan, yaitu:
a) Melakukan revolusi industri yaitu meninggalkan gaya
hidup abad pertanian menuju revolusi industry.
b) Melakukan revolusi informasi dengan cara menangani dan
menciptakan informasi, serta menguasai sistem pengkomunikasian-nya.
Ciri Arah Perkembangan Masa Datang
Perkembangan
Iptek yang Pesat
Temuan baru Peralatan anggih
(informasi) a.l. sistem telekomunikasi
Globalisasi Profesionalisme
(Perbuatan
seseorang (Pelayanan)
dapat berdampak global)
Yang akan terjadi:
a)
Perubahan nilai
dan sikap
b)
Pengembangan
budaya dan sarana kehidupan
c)
Pengembangan
sarana pendidikan.
d)
Peledakan jumlah penduduk yang tidak seiring dengan
pertumbuhan perekonomian, termasuk di negara maju.
e)
Penyusutan sumber-sumber pendukung kehidupan, seperti
minyak, hutan dan lain-lain
f)
Pencemaran
lingkungan
g)
Penyalah
gunaan obat dan narkotik.
b.
Upaya Pendidikan dalam
Mengantisipasi Masa Depan
Melihat kenyataan di atas,
berbagai upaya dapat dilakukan untuk mengantisipasi dan sekaligus sebagai
pemberi jalan keluar, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah peningkatan kemampuan
sumber daya manusia (SDM). Peningkatan SDM ini dapat dilakukan dengan pendidikan,
seperti yang diungkapkan oleh Kauffman Jr., terdapat empat arah yang perlu
ditempuh, yaitu:
a) Pendidikan harus benar-benar membentuk kemampuan dan
kemauan berpikir dalam menganalisis dan memahami permasalahan masa depan secara
ilmiah.
b) Pendidikan sejak dini perlu menjadikan sadar
lingkungan yang berlandaskan pemahaman terhadap kaitan sistemik sebagai salah
satu acuan dasarnya.
c) Pendidikan dapat membantu memahami permasalahan dan
kecenderungan masa depan berdasarkan; wawasan negara maju, dan perspektif
global dan dampak tindakan-tindakan kebijaksanaan yang dilakukan sekarang di
Indonesia – pembangunan berwawasan lingkungan.
d) Pendidikan membantu siswa memahami perubahan serta
mengatasi permasalahan-permasalahan yang ditimbulkannya.
Ke-empat cara di atas dapat
dicapai dengan mengembangkan belajar siswa aktif (CBSA) sehingga terbentuk
kebiasaan berpikir yang berawal dari pembentukan kemauan berpikir yang sejalan
dengan pembentukan kemampuan berpikir. Untuk itu kelas harus diwujudkan menjadi
kelas yang nyaman dan menyenangkan yaitu ‘a
vigorous community of learners where intellectual authority derives from
evidence and argument and not from assertion.’
Peran pendidik–sebagai
pengendali, dan pengendalian untuk kemandirian peserta didik. Cara
pengendalian:
a) Menumbuhkan kemandirian dengan menyediakan kesempatan
untuk memutuskan dan bertindak.
b) Menumbuhkan kemampuan mengambil keputusan dan
bertindak dengan meningkatkan penghetahuan dan keterampilan.
c) Menyediakan sistem dukungan yang memberi kemudahan
belajar sehingga menawarkan kesempatan kepada siswa untuk berlatih mengambil
keputusan dan bertindak.
B. Permasalahan
Pendidikan
a. Klasifikasi
a)
Dari Segi
Lingkup Pengelolaan
(a)
Masalah Pendidikan
Makro meliputi masalah:
1. Penyelenggaraan pemrintahan negara dalam bidang pendidikan
– secara fungsional dilaksanakan oleh
Depdiknas.
2. Perencanaan, pengorganisasian, penyusunan personal,
peng-koordinasian, pengawasan, dan pembiayaan dalam menyelenggarakan SPN.
Contoh: Kurangnya tenaga kependidikan (guru, peneliti pendidikan,
pengembang pendidikan), baik kualitas maupun kuantitasnya. Terjadinya SIAP
(sisa anggaran pembangunan) yang cukup besar dan kontinyu.
(b)
Masalah Pendidikan
Mikro
1. Masalah penyelenggaraan kegiatan pendidikan – secara
fungsional diselenggarakan di sekolah-sekolah, kursus-kursus, orang. olah raga,
seni, dan lain sebagainya.
2. Masalah teknis penyelenggaraan pendidikan di lembaga-lembaga
pendidikan.
Contoh: Belum intens bimbingan belajar. Kurang sarana/
prasarana pendidikan.
b) Berdasarkan Sifat Masalah.
(a) Masalah yang besifat praktis – berkenaan dengan
penyeleng SPN.
(b) Masalah yang bersifat teoritis – berkenaan dengan
pengembangan konsep-konsep pendidikan, baik yang bersifat filosofis maupun yang
bersifat ilmiah. Contoh:
1.
Konsep-konsep
teoritis yang dikembangkan kurang terpadu dan merupakan campuran berbagai
konsep (diadopsi dari USA, Inggris dan lain-lain).
2.
Uji coba konsep2 pendidikan
masih belum memadai, dan pengkajian hasil uji coba juga masih kurang memadai.
b.
Keterkaitan Antara Masalah Pendidikan
a) Partisipasi – Tingkat partisipasi, tingkat penyerapan
iptek, dan tingkat penyesuaian.
b) Efisiensi–kurang tepat
memfungsikan tenaga, kurang tepat menggunakan prasarana dan sarana, dan dana.
c) Efektivitas–kualitas dan
kuantitas.
d) Relevansi–gap antara supply
dengan demand, keahlian out put dengan tuntutan masyarakat.
Masalah-masalah yang
timbul diseputar masalah pokok pendidikan tertentu dapat menimbulkan
masalah-masalah lain, atau merupakan faktor pendukung timbulnya masalah
pada masalah pokok pendidikan lainnya.
c.
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Berkembangnya Perma-salahan
Pendidikan
a) Perkembangan iptek dan seni yang begitu pesat.
b) Laju pertumbuhan penduduk.
c) Aspirasi masyarakat yang ber-ubah2 dalam masyarakat
yang ber-ubah-ubah.
d) Keterbelakangan budaya dan sarana pendidikan.
Menurut Philip H. Combs, krisis dalam dunia pendidikan
merupakan pertautan historis dari 5 faktor dominan sebagai berikut:
(a) Banjir anak didik.
(b) Kekurangan sumber2 secara akut – dana, material, dan
insani.
(c) Kenaikan cost per anak didik – pendidikan masih
merupakan usaha yang labour-intensif.
(d) Tidak sesuainya hasil pendidikan dgn kebutuhan
masyarakat – Kebutuhan pembangunan Nasional
dan kebutuhan individu yang cepat berubah.
(e) Inertia dan inefisiensi dari sistem dan administrasi pendidikan
d.
Masalah Pendidikan
dalam Kelas
a) Tugas utama guru dalam kelas adalah
mengajar dan mengelola kelas.
b) Mengajar adalah
rangkaian perbuatan – perencanaan, pelaksanaan s/d penilaian hasil belajar.
c) Mengelola kelas adalah mengatur berbagai jenis
kegiatan yang sengaja dilakukan guru dengan tujuan untuk menciptakan dan
mempertahankan kondisi dinamik bagi terjadinya proses pembelajaran yang
optimal.
d) Permasalahan pendidikan dalam kelas adalah berhubungan
dgn tugas guru dalam kelas.
e) Masalah pengajaran adalah metoda, materi,
evaluasi–tujuan proses pembelajaran tidak tercapai secara optimal.
f) Masalah pengelolaan adalah siswa kurang memperhatikan,
kurang kompak, cari perhatian, mengganggu teman, meniru perilaku guru dan
lain-lain – situasi proses pembelajaran tidak optimal, tujuan proses
pembelajaran tidak tercapai secara efektif.
g) Sumber masalah adalah guru, siswa, lingkungan.
h) Hindari adalah teacher interruption, fade away, stops dan
starts, digression, overdwelling, dan
fragmenting.
TUGAS : Inventarisir permasalahan-permasalahan yang
pernah muncul dalam kelas (pengalaman masing-masing) berikut solusinya.
Dikumpulkan dua minggu sebelum UAS.
BAB V
SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
A.
SPN Di Indonesia
a. Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang
diselenggarakan berdasarkan falsafah bangsa dan cita-cita nasional/Pendidikan
yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan yang berdasarkan Pancasila dan
UUD 45 – Bab I pasal 1 ayat 2 UU SPN 1989.
b. SPN adalah
suatu keseluruhan yang terpadu dari semua satuan dan kegiatan pendidikan
yang berkaitan satu sama lainnya untuk mengusahakan tercapainya tujuan Penas.
c. UU No. 2/89 dan UU No. 20/03 adalah UU tentang SPN.
d. Dasar Pendidikan nasional adalah Pancasila dan UUD 45.
e. Landasan Idiil adalah Pancasila.
f. Landasan konstitusionil
·
UUD 45 bab XIII
pasal 31 ayat 1 – tiap2 warganegara berhak mendapat pengajaran. Ayat 2 –
pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran Nasional
yang diatur dengan undang-undang. Pasal 32 – pemerintah memajukan kebudayaan
Nasional Indonesia.
·
UU No. 12/54 Jo.
UU No. 4/50 tentang dasar2 dan tujuan pendidikan dan pengajaran di sekolah
·
GBHN adalah tentang pendidikan.
·
UU No. 2/89.
tentang SPN
g. Fungsi dasar Pendidikan nasioanl adalah mencerdaskan
kehidupan bangsa, menyiapkan tenaga kerja terampil dan ahli, serta membina dan
mengembangkan penguasaan teknologi.
h. Pelaksanaan SPN
·
Secara semesta
adalah terbuka bagi seluruh rakyat dan berlaku diseluruh wilayah Indonesia.
·
Secara menyeluruh
adalah mencakup semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan.
·
Terpadu adalah pendidikan
nasional terkait dengan seluruh usaha pembangunan Nasional.
i. Pedoman Operasional
adalah PP No. 27, 28, 29, dan 30
tahun 90, masing2 tentang Pendidikan; Prasekolah, Dikdas, Dikmen, dan Dikti. PP
No. 72/91 terntang PLB.
j. UU No. 2/89 adalah 20 bab dengan 59 pasal. Disahkan dan
diundangkan di Jakarta tgl 27 Maret 1989.
B.
Kelembagaan Pendidikan
a. Dua Jalur Pendidikan
Jalur Pendidikan
a) Jalur Pendidikan adalah pendidikan formal (in school education) meliputi pendidikan
yang dasar, tujuan, isi, metode dan alat-alatnya disusun secara eksplisit,
sistimatik dan distandardisasikan. Diselenggarakan di sekolah melalui keterampilan
pembelajaran secara berjenjang dan berkesinambungan.
b) Jalur PLS adalah pendidikan non formal (out of school)
adalah kegiatan pendidikan yang
terorganisir yang diselenggarakan diluar jalur pendidikan sekolah.
Diselenggarakan di luar sekolah melalui keteramapilan pembelajaran tidak harus
berjenjang dan berkesinambungan – termasuk pendidikan keluarga.
b. Jenjang Pendidikan adalah Pendidikan Prasekolah, Pendidikan Dasar (Dikdas),
Pendidikan Menengah (Dikmen) dan Pendidikan Tinggi (Dikti), seperti Universitas,
Institut, Sekolah Tinggi, Akademi) – untuk jalur pendidikan sekolah.
C. Program dan
Pengelolaan Pendidikan
a) Jenis Program Pendidikan
Jenis Pendidikan adalah Pendidikan; Umum (SMP, SMU) –
ke PT. Kejuruan (Sekolah2 Kejuruan) – pasaran kerja, PT. PLB, Kedinasan, Keagamaan, Akademik dan
Profesional.
b.
Kurikulum Program
Pendidikan
(a) Kurikulum Nasional – berlaku umum untuk semua sekolah
yang sama.
(b) Kurikulum muatan lokal – Mulok adalah program pendidikan
yang isi dan media penyampaiannya dikaitkan dgn lingkungan alam, lingkungan sosial,
lingkungan budaya dan pola kehidupan serta kebutuhan pembangunan daerah yang
perlu diajarkan kepada siswa.
c.
Pengelolaan Pendidikan
a)
Lembaga
Pemerintah
(a) Depdiknas – jalur sekolah dan luar sekolah.
(b) Depag – jalur sekolah dan luar sekolah.
(c) Depkes – SAA, sekolah bidan, perawat.
(d) Dep Pertanian – SPMA.
(e) Dep Perhubungan – Sekolah Pelayaran.
(f) Dep Perindustrian – STMA.
(g) Dephankam – Akabri.
b)
Swasta
d. Organisasi Penyelenggara Sekolah Berlatar Agama:
a) Islam – Muhammadiyah, NU dan lain-lain.
b) Katolik – Don Bosco, Kanisius, Stella Duce, Atmajaya
dan lain-lain.
c) Kristen – Satyawacana, Majlis Pendidikan dan
Pengajaran Kristen.
e. Berlatar Sosbudnas dan Politik – Taman Siswa,
Kartini, 17 Agustus,
PGRI, Dewi Sartika,
Taruma Negara, 45 dan lain-lain.
f. Upaya Pembangunan Pendidikan Nasional
Pembangunan Pendidikan adalah perubahan pendidikan
yang dilakukan dengan sadar, terencana dan berpola dalam rangka usaha mengatasi
masalah-masalah pendidikan dan persiapan menghadapi masa datang yang lebih
memberi harapan.
Upaya2 yang telah dan sedang dilakukan:
g. Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP).
a) Dimulai th 1971, dicoba di 8 IKIP se Indonesia.
b) Sekolah Pembangunan yang diinginkan, yang mampu:
~ Melayani semua anak didik.
~ Meningkatkan mutu.
~ Menghasilkan out-put
sesuai tuntutan pembangunan
~ Mengembangkan
dan mendayagunakan potensi dan bakat anak didik.
h. Proyek Pamong
a) Pendidikan anak oleh masyarakat, orang tua, dan guru –
di Solo.
b) Pada tingkat ASEAN dikenal dgn nama IMPACT
(instructional management by parents, community and teachers).
c) Tujuannya
a. Menjajagi dan menentukan alternatif sistem penyampaian
pendidikan nasional yang bersifat efektif, ekononomis dan merata yang
sesuai dengan kondisi kebanyakan daerah di Indonesia.
b. Menguji
efektivitas dan efisiensi pelaksanaan konsep si pengelolaan pengalaman belajar
yang diperoleh anak terutama dari sumber-sumber bukan guru.
c. Sistem penyampaian yang digunakan, modul.
i. Proyek Perintis Perencanaan Integral Pendidikan Daerah
(PROPPIDA).
a) Dilaksanakan di Sumbar sejak 7 Nopember 1973.
b) Di Jatim sejak 1 Maret 1974 dg bantuan The Ford Fo.
c) Ruang lingkup – semua komponen pendidikan, semua
instansi pendidikan yang menangani kegiatan-kegiatan pendidikan, dan
organisasi masyarakat yg bergerak dalam bidang pendidikan.
d) Tujuannya
(a) Melakukan eksplorasi bentuk yang
terbaik bagi lembaga perencana pendidikan
tingkat propinsi dalam struktur Kanwil Depdikbud.
(b) Menterjemahkan perencanaan dan kebijaksanaan Penas kedalam perencanaan pendidikan
daerah.
(c) Koordinasi dgn semua
usaha perencanaan pendidikan pro-pinsi hingga rencana pendidikan yg dihasilkan
dapat menunjang tujuan-tujuan sektor lain dalam pambangunan propinsi.
(d) Mengembangkan pola
program latihan bagi penataran tenaga perencanaan dan pengelolaan pendidikan di
tingkat propinsi.
j. Pramuka Transmigrasi
a) Muncul tahun 1967, diperkuat dgn instruksi bersama
Mentrans dan Koperasi serta Ketua Kwarnas Gerakan Pramuka tahun 1970. Dirintis
di Jombang Jatim.
b) Tujuannya
(a) Memberi
lapangan kerja bagi anak putus sekolah atau yang tidak
melanjutkan.
(b) Menggalakkan transmigrasi dan sekaligus membendung
urbanisasi.
(c) Membantu pemerintah
dalam memecahkan masalah pengangguran dan pemerataan pembangunan.
k. Sekolah Terbuka – SMP dan PT. Sistem penyampaian,
modul dan siaran radio dan TV Pendidikan.
l. SD Kecil–terpencil, siswa dan guru sedikit, bangunan
sekolah sederhana.
m. Sekolah Terpadu–siswa normal dan cacat tertentu bersama-sama
mengikuti program pendidikan.
n. Guru Kunjung – guru mengunjungi sejumlah siswa (cacat)
pada waktu dan tempat tertentu.
o. Siaran Radio dan TV Pendidikan.
C.
Pendidikan dan Pembangunan Nasional
a.
Pengertian Pembangunan Nasional
a) Pembangunan Nasional merupakan rangkaian upaya
pem-bangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat,
bangsa dan negara untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional yang
termaktub dalam pembukaan UUD 45, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah ….. dan keadilan sosial. (GBHN 93). Bandingkan dengan formulasi
dalam GBHN terbaru.
b) Hakikat pembangunan nasional adalah pembangunan
manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya,
dengan Pancasila sebagai dasar dan tujuannya. (GBHN 93).
c) Pembangunan nasional dilaksanakan secara berencana,
menyeluruh, terpadu, terarah, bertahap dan berlanjut. (GBHN 93).
d) Tujuan Pembangunan Nasional–Untuk mewujudkan suatu
masyarakat adil dan makmur yang merata, material dan spiritual berdasarkan
Pancasila dan UUD 45 dalam wadah negara kesatuan RI yang merdeka, berdaulat,
bersatu dan berkedaulatan rakyat dalam suasana prikehidupan bangsa yang aman
tentram, tertib dan dinamis dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka,
bersahabat, tertib dan damai. (GBHN 93).
e) Bidang-bidang Pembangunan Nasional
(a) Semua aspek kehidupan bangsa yang meliputi; politik,
ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan.
(b) Sasaran umum PJPT II – terciptanya kualitas manusia dan
kualitas masyarakat Indonesia yang maju dan mandiri ….. dan seterusnya. (Lihat
GBHN 93).
(c) Usaha pencapaian sasaran tersebut melalui pembangunan
tujuh bidang: Ekonomi, kesra pendidikan dan kebudayaan, agama dan kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Ip-tek, hukum, politik aparatur negara penerangan
komunikasi dan media massa, Hankam.
b.
Peranan Manusia Dalam Pembangunan
a)
Peranan Pendidikan Dalam Pembangunan Nasional
(a) Menyiapkan tenaga2 perencana, pengawas dan pelaksana.
(b) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
(c) Mengadakan penelitian2 sebagai awal kegiatan
pembangunan.
(d) Ikut serta secara nyata dalam berbagai kegiatan
pembangunan, baik fisik maupun mental spiritual.
Dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya, diharapkan
pendidikan dapat memberi sumbangan dalam bentuk:
(a) Pembinaan mental Pancasila.
(b) Pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa.
(c) Pembinaan ketahanan nasional.
(d) Pembinaan rule of law – berbuat atas dasar hukum yg
berlaku.
(e) Pembinaan hak2 asasi manusia.
(f) Pembinaan hidup rasional, efisien dan produktif, dan
(g) Pembinaan ilmu pengetahun dan teknologi.
BAB
VI
PRINSIP-PRINSIP
PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN
1.
Kompetensi Dasar
Mahasiswa
memiliki wawasan tentang Prinsip-prinsip Pendidikan dan Pembelajaran
2.
Indikator
Mahasiswa
diharapkan dapat mendeskripsikan tentang Prinsip-prinsip
Pendidikan dan Pembelajaran.
3.
Pengantar
Pada bab ini mahasiswa akan memahami tentang
prinsip-prinsip pendidikan dan pembelajaran khususnya.
4.
Uraian Materi
A.
Pengertian Belajar
Belajar merupakan key term
(istilah kunci) yang penting dalam pendidikan. Dapat dikatakan bahwa tanpa
belajar, sesungguhnya tak pernah ada pendidikan. (Ratumanan, 2004). Jadi
belajar sesungguhnya kunci penting bagi seseorang untuk dapat mengembangkan
dirinya, karena dengan belajar perilaku seseorang bisa berubah, cara pandang
dan pola pikir seseorang pun bisa berubah. Seperti yang diungkapkan oleh Morgan
(Ratumanan, 2004) bahwa belajar dapat didefinisikan sebagai setiap perubahan
tingkah laku yang relatif tetap dan terjadi sebagai hasil latihan atau
pengalaman. Perubahan tingkah laku yang relatif tetap yang diakibatkan oleh
latihan yang berkelanjutan atau karena hasil pengalaman yang dapat merubah
perilaku dan mental seseorang.
Selanjutnya Ormrod
(Ratumanan, 2004) mendeskripsikan adanya dua definisi belajar yang berbeda.
Definisi pertama menyatakan bahwa “Learning
is a relatively permanent change is behavior due to experience”, belajar
merupakan perubahan yang relative permanen karena pengalaman. Sedangkan definisi
kedua menyatakan bahwa “Learning is a
relatively permanent change in mental associations due to experience”,
belajar merupakan perubahan mental yang relative permanen karena pengalaman.
Definisi pertama menekankan pada perubahan perilaku, sedangkan definisi kedua
memberikan penekanan pada perubahan mental.
Pengertian di atas
memberikan warning (peringatan) bahwa
orientasi belajar, tidaklah semata-mata pada ‘hasil’, tetapi juga pada ‘proses’
yang dilakukan untuk memperoleh hal tersebut. Dengan demikian, belajar dapat
diartikan sebagai suatu tahapan aktivitas yang menghasilkan perubahan perilaku
dan mental yang relatif tetap sebagai bentuk respons terhadap suatu situasi
atau sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan.
Pengertian-pengertian di atas
menurut Ratumanan (2004) memperlihat-kan adanya beberapa karakteristik, yaitu:
a) Bahwa belajar merupakan suatu aktivitas yang
menghasilkan perubahan pada diri individu yang belajar;
b) Bahwa perubahan tersebut berupa kemampuan baru dalam
memberikan respons (tanggapan atau reaksi) terhadap suatu stimulus
(rangsangan), dengan kata lain, individu yang telah melakukan kegiatan belajar
akan memiliki kemampuan baru dalam memberikan respon terhadap situasi tertentu.
c) Bahwa perubahan itu terjadi secara permanen. Artinya
perubahan itu tidak berlangsung sesaat saja, tetapi dapat bertahan dan
berfungsi dalam kurun waktu yang relatif lama.
d) Bahwa perubahan tersebut terjadi bukan karena proses
pertumbuhan atau kematangan fisik, melainkan karena usaha sadar. Artinya,
perubahan tersebut terjadi kerena adanya usaha individu.
Ke-empat pengertian ini
sesungguhnya menekankan pada perubahan perilaku yang bersifat permanen dan
bukan berdasarkan kematangan fisik, serta kemampuan memberikan respon pada
situasi tertentu yang berlangsung dan bertahan dalam kurun waktu yang relatif
lama.
B.
Tujuan Belajar
Tujuan belajar adalah untuk
memperoleh perubahan tingkah laku dari pembelajar, artinya bahwa setelah
belajar diharapkan akan terjadi perubahan pada diri pembelajar (siswa), dari
tidak tahu menjadi tahu, dari tidak memahami menjadi memahami, dari tidak
terampil menjadi terampil, dan sebagainya. Hal yang sama juga terjadi pada
sikap, karena belajar juga bertujuan untuk membangun sikap yang positif
terhadap sesuatu. (Ratumanan, 2004). Sesungguhnya perubahan tingkah laku dalam
belajar dapat dilihat dari sikap atau perilaku seseorang pembelajar, pemahaman
seseorang terhadap sesuatu, dan keterampilan seseorang pembelajar, serta sikap
positif yang dimilikinya dalam melakukan aktivitas kehidupannya sebagai
pembelajar.
Jadi sesungguhnya tujuan
belajar cukup bervariasi, yang dapat dicapai dengan melakukan kegiatan
pembelajaran. Adapun hal-hal lain yang merupakan dampak pengiring dari belajar
adalah pembelajar cenderung berpikir kritis, ketajaman dalam melakukan analisis
pada hal-hal tertentu, pembelajar juga mampu memecahkan persoalan-persoalan
yang kompleks pada dirinya. Memiliki sikap yang lebih terbuka, demokratis, dan
memiliki kemampuan beradaptasi dengan lingkungannya di komunitas tempatnya berada.
Dengan kata lain bahwa
belajar dapat merubah berbagai aspek dalam kehidupan seperti aspek kognitif,
afektif, dan psikomotor. Benyamin S. Bloom (Ratumanan, 2004) menggolongkan
bentuk tingkah laku sebagai tujuan belajar atas tiga ranah, yaitu ranah kognitif,
ranah afeksi, dan ranah psikomotor. Ranah kognitif berkaitan dengan perilaku
yang berhubungan dengan berpikir, mengatahui, dan memecahkan masalah. Ranah
afektif berkaitan dengan sikap, nilai-nilai, minat, apresiasi, dan penyesuaian
perasaan sosial. Dan ranah psikomotor mencakup tujuan berkaitan dengan
keterampilan (skill) yang bersifat
manual dan motorik. Untuk lebih memahami masing-masing ranah yang dikemukakan
oleh Bloom tersebut, di bawah ini akan diuraikan masing-masing ranah dimaksud.
a.
Ranah Kognitif
Bloom (Ratumanan, 2004)
membedakan ranah kognitif menjadi enam tingkatan, dari yang sederhana hingga
yang tinggi, yaitu:
a) Pengetahuan (knowledge),
meliputi kemampuan ingatan tentang hal yang telah dipelajari dan tersimpan
dalam ingatan. Pengetahuan itu berkenaan dengan fakta, peristiwa, pengertian,
kaidah, teori, prinsip atau metode yang diketahui. Pengetahuan yang tersimpan
dalam ingatan, digali pada saat dibutuhkan melalui bentuk memanggil kembali (recall) atau mengenal kembali (recognition). Memanggil kembali (recall) pengetahuan merupakan proses
mental yang tidak lebih dari pada membawa pengetahuan ke dalam ingatan.
b) Pemahaman (comprehension),
meliputi kemampuan menangkap arti dan makna dari hal yang dipelajari. Pemahaman
merupakan level terendah dari pengertian bagi siswa. Ada tiga subkategori dari
pemahaman, yakni:
(b) Translasi, yaitu kemampuan mengubah data yang
disajikan dalam suatu bentuk ke dalam bentuk lain.
(c) Interpretasi, yaitu kemampuan merumuskan pandangan
baru, dan
(d) Ekstrapolasi, yaitu kemampuan meramal perluasan trend
atau kemampuan meluaskan trend di luar data yang diberikan.
c) Penerapan (application),
meliputi kemampuan menerapkan metode dari kaidah untuk menghadapi masalah yang
nyata dan baru. Misalnya dalam menggunakan suatu rumus atau suatu teorema dalam
menyelesaikan suatu masalah, atau menggunakan suatu metode kerja pada pemecahan
masalah baru. Penekanan dalam penerapan adalah terhadap pengetahuan informasi
yang berguna dan sesuai serta terhadap kemampuan memilih dan menggunakannya
dalam situasi yang sesuai.
d) Analisis (analysis),
meliputi kemampuan merinci suatu kesatuan ke dalam bagian-bagian sehingga
struktur keseluruhan dapat dipahami dengan baik. Analisis merupakan kemampuan
membagi struktur informasi menjadi komponen-komponennya, sehingga ide-ide
menjadi jelas, dan relasi anta ride menjadi nyata. Analisis menekankan pada
penguraian materi menjadi komponen-komponennya, penemuan relasi antar komponen
dan pengamatan organisasi komponen-komponen.
Selanjutnya, menurut Karthwohi dan
Bloom (Ratumanan, 2004) ranah kognitif terdiri dari lima jenis perilaku yang
diklasifikasikan dari yang sederhana hingga yang kompleks, yaitu:
a) Penerimaan (receiving),
yakni sensitivitas terhadap keberadaan fenomena atau stimuli tertentu, meliputi
kepekaan terhadap hal-hal tertentu, dan kesediaan untuk memperhatikan hal
tersebut. Misalnya kesadaran siswa akan adanya perbedaan individual dalam
kelas, dan siswa mampu menerima akan aanya perbedaan tersebut.
b) Pemberian respon (responding),
yakni kemampuan memberikan respon secara aktif terhadap fenomena atau stimuli.
c) Penilaian/penentuan sikap (valuing), yakni kemampuan untuk dapat memberikan penilaian atau
pertimbangan terhadap suatu objek atau kejadian tertentu, termasuk kesediaan
untuk menerima nilai, menghargai, mengakui dan menentukan sikap.
d) Organisasi (organization),
yakni konseptualisasi dari nilai-nilai untuk menentukan keterhubungan diantara
nilai-nilai, termasuk kemampuan membentuk suatu sistem nilai sebagai pedoman
dan pegangan hidup.
e) Karakterisasi, yakni kemampuan yang mengacu pada
karakter dan gaya hidup seseorang, termasuk kemampuan menghayati nilai dan
membentuknya menjadi pola nilai kehidupan pribadi.
b.
Ranah Psikomotor
Menurut Simpson (Winkel,
1999: Fleishman dan Quaintance, 1984: Ratumanan, 2004) ranah psikomotor dapat
diklasifikasikan atas:
a) Persepsi (perception),
meliputi kemampuan memilah-milah (mendiskrimi-nasikan) dua perangsang atau
lebih, berdasarkan pembedaan antara cirri-ciri fisik yang khas pada
masing-masing perangsang.
b) Kesiapan melakukan suatu pekerjaan (set), kemampuan penempatan diri dalam
keadaan dimana akan terjadi suatu gerakan atau rangkaian gerakan. Kemampuan ini
meliputi aspek jasmani dan rohani.
c) Gerakan terbimbing (mechanism), meliputi kemampuan melakukan gerasan sesuai contoh atau
gerakan peniruan.
d) Gerakan terbiasa, meliputi kemampuan melakukan suatu
rangkaian gerakan dengan lancar, karena sudah dilatih sebelumnya, tanpa
memperhatikan contoh yang diberikan.
e) Gerakan kompleks (complex
overt response), meliputi kemampuan untuk melakukan gerakan atau
keterampilan yang terdiri dari beberapa komponen secara lancar, tepat, dan
efisien.
f) Penyesuaian pola gerakan (adaptation), meliputi kemampuan mengadakan perubahan dan
penyesuaian pola gerak-gerik dengan persyaratan khusus yang berlaku.
g) Kreativitas (creativity),
meliputi kemampuan melahirkan pola-pola gerak-gerik yang baru atas dasar
prakarsa dan inisiatif sendiri.
C.
Pengertian Pembelajaran
Pembelajaran dapat diartikan
sebagai suatu upaya untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan siswa dapat
belajar. Degeng (Ratumanan, 2004) berpendapat bahwa pembelajaran merupakan
upaya untuk membelajarkan siswa. Kemudian dalam pembelajaran matematika, Nikson
(Ratumanan, 2004) mengemukakan bahwa pembelajaran matematika adalah suatu upaya
membantu siswa untuk mengkonstruksi (membangun) konsep-konsep atau
prinsip-prinsip matematika dengan kemampuannya sendiri melalui proses
internalisasi sehingga konsep atau prinsip itu terbangun kembali. Transformasi
informasi yang diperoleh menjadi konsep atau prinsip baru. Transformasi tersebut
dapat mudah terjadi bila terjadi pemahaman karena terbentuknya schemata dalam
benak siswa.
Dari pendapat di atas cukup
jelas menunjukkan bahwa pembelajaran seperti ini tidak hanya berlaku pada
matematika saja tetapi juga untuk pembelajaran berbagai pengetahuan. Jadi
pembelajaran dapat didefinisikan sebagai suatu proses membangun pemahaman
siswa. Pembelajaran lebih menekankan pada bagaimana upaya guru untuk mendorong
dan memfasilitasi siswa belajar, bukan pada apa yang dipelajari siswa.
Pembelajaran lebih menggambarkan bahwa siswa lebih banyak berperan dalam
mengkonstruksikan pengetahuan bagi dirinya, dan bahwa pengetahuan itu bukan
hasil proses transformasi dari guru.
Biggs (Syah, dalam
Ratumanan, 2004) membagi konsep mengajadar dalam tiga macam pengertian, yaitu:
a. Pengertian kuantitatif (yang menyangkut jumlah
pengetahuan yang diajarkan).
Dalam pengertian ini, mengajar berarti the transmission of knowledge, yakni
mengajar merupakan suatu proses transmisi pengetahuan. Dalam hal ini, guru
hanya perlu menguasai ilmu pengetahuan bidang studinya dan menyampaikan kepada
siswa dengan sebaik-baiknya. Bila perilaku belajr siswa tidak memadai atau
gagal mencapai hasil yang diharapkan, maka kesalahan ditimpakan kepada siswa.
Jadi kegagalan dianggap semata-mata karena siswa sendiri yang kurang kemampuan,
kurang motivasi atau kurangan persiapan.
b. Pengertian Institusional (yang menyangkut kelembagaan
atau sekolah). Dalam pengertian ini mengajar diartikan sebagai …the efficient orchestration of teaching
skills, yakni penataan segala kemampuan mengajar secara efisien. Dalam
pengertian ini, guru dituntut untuk selalu siap mengadaptasikan berbagai teknik
mengajar untuk bermacam-macam siswa yang berbeda bakat, kemampuan dan
kebutuhannya.
c.
Pengertian
kualitatif (yang menyangkut mutu hasil yang ideal). Dalam pengertian ini,
mengajar diartikan sebagai the
fasilitation of learning, yakni upaya membantu memudahkan kegiatan belajar
siswa. Dalam hal ini, guru beriteraksi sedemikian rupa dengan siswa sesuai
dengan konsep kualitatif, yakni agar siswa belajar dalam arti membentuk makna
dan pemahamannya sendiri. Guru tidak menjejalkan pengetahuan kepada siswa,
tetapi melibatkannya dalam aktivitas belajar yang efisien dan efektif.
Melaksanakan pembelajaran
bukanlah hal yang mudah, karena guru bukan sebagai pemberi pengetahuan tetapi
lebih berperan sebagai fasilitator yang mengarah pada bagaimana cara membantu
siswa yang membutuhkan bimbingan guru. Artinya siswalah yang harus aktif dalam
belajar dengan terlebih dahulu diberikan petunjuk atau teknis oleh guru
sehingga siswa dapat mengkonstruksi pengetahuan sesuai dengan potensi yang
dimiliki siswa. Beberapa ciri pembelajaran yang perlu diperhatikan oleh guru
menurut Ratumanan (2004) adalah:
a. Mengaktifkan motivasi
b. Memberitahukan tujuan belajar
c. Merancang kegiatan dan perangkat pembelajaran yang
memungkinkan siswa dapat terlihat secara aktif, terutama secara mental
d. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dapat merangsang
berpikir siswa (provoking question)
e. Memberikan bantuan terbatas kepada siswa tanpa
memberikan jawaban final
f.
Menghargai hasil
kerja siswa dan memberikan umpan balik
g. Menyediakan aktivitas dan kondisi yang memungkinkan
terjadinya konstruksi pengetahuan.
D.
Tujuan Pembelajaran
Di dalam desain
pembelajaran, tujuan pembelajaran mempunyai kedudukan yang sangat penting,
karena tujuan pembelajaran merupakan landasan bagi:
a) Penentuan isi (materi) bahan ajar
b) Penentuan dan pengembangan strategi pembelajaran, dan
c) Penentuan dan pengembangan alat evaluasi.
Tujuan pembelajaran pada
hakikatnya mengacu pada hasil yang diharapkan, ini berarti bahwa dalam
merencanakan pembelajaran, tujuan pembelajaran harus ditetapkan terlebih
dahulu, selanjutnya semua kegiatan pembelajaran diarahkan untuk mencapai tujuan
tersebut.
E.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Belajar dan
Pembelajaran
Pembelajaran merupakan upaya
untuk membelajarkan siswa, sedangkan belajar merupakann suatu kegiatan mental
yang menghasilkan kemampuan baru yang bersifat permanen pada diri siswa. Jadi
belajar sesungguhnya akan dapat berhasil secara optimal apabila keseluruhan
dari potensi siswa dilibatkan secara optimal pula.
Pada bagan di atas, ada tiga
faktor utama yang saling berinteraksi dan mempengaruhi terjadinya kegiatan
belajar dan pembelajaran yang pada akhirnya menentukan hasil belajar siswa,
yakni:
a. Masukan mentah
Masukan mentah merupakan
kondisi subjek yang belajar pada situasi awal (sebelum kegiatan belajar dan
pembelajaran berlangsung). Tingkat keberhasilan atau kegagalan belajar sangat
tergantung pada masukan mentah (siswa) ini. Kondisi subjek ini meliputi kondisi
fisiologis (yang bersifat jasmani, seperti kesehatan, kondisi organ tubuh, dan
sebagainya), dan kondisi psikologis (tingkat kecerdasan/intelegensi, sikap
minat, motivasi, gaya kognitif, dan sebagainya).
b. Masukan instrumen
Masukan instrumen menunjukkan kualifikasi serta sarana yang diperlukan
untuk dapat berlangsungnya kegiatan belajar dan pembelajaran. Masukan
instrumental, meliputi berbagai komponen seperti guru (kemampuan/kompetensi,
kesiapan, sikap, minat, dan sebagainya), kurikulum, metode, evaluasi (proses
dan hasil belajar), sarana dan prasarana (ruangan, alat bantu belajar, buku
teks, buku penunjang, dan sebagainya).
c.
Perkembangan
kepribadian anak
Manusia berlangsung sejak konsepsi (pertemuan ovum dan
sperma) sampai saat kematian, sebagai perubahan maju (progresif) ataupun
kadang-kadang kemunduran (regresif). Tumbuh-kembang manusia sepanjang hidupnya
sering dikelompokkan menjadi beberapa periode, umpamanya: masa prenatal
(sebelum lahir) dan postnatal (sesudah lahir) yang meliputi masa bayi, masa
kanak-kanak, masa anak sekolah, masa remaja, masa dewasa, masa kemunduran, dan
masa ketuaan.
Di samping periode perkembangan yang bersifat
menyeluruh, terdapat pula berbagai pendapat tentang perkembangan berbagai aspek
kejiwaan manusia, seperti: bahasa, kognitif, moral, sosial dan sebagainya.
Pemahaman tumbuh-kembang manusia itu sangat penting sebagai bekal dasar untuk
memahami peserta didik dan untuk menentukan keputusan dan atau tindakan yang
tepat dalam membantu proses tumbuh-kembang itu secara efisien dan efektif.
Salah satu aspek dari pengembangan manusia seutuhnya
adalah yang berkaitan dengan perkembangan kepribadian, utamanya agar dapat
diwujudkan kepribadian yang mantap dan mandiri. Meskipun terdapat variasi
pendapat, namun dapat dikemukakan beberapa prinsip umum perkembangan
kepribadian, karena:
a) Prinsip itu mungkin dirumuskan dengan variasi tertentu
dalam berbagai teori kepribadian.
b) Prinsip itu akan tampak bervariasi pada kepribadian
manusia tertentu (sebab kepribadian itu unit).
Salah satu prinsip
perkembangan kepribadian ialah bahwa perkembangan kepribadian mencakup aspek
behavioral maupun aspek motivasional dengan perkembangan kepribadian, bukan
hanya perubahan dari tingkah laku yang tampak, tetapi juga perubahan dari yang
mendorong tingkah laku itu. Kepribadian
itu selalu diartikan sebagai sistem psikofisik, sehingga perkembangan
kepribadian haruslah dipandang sebagai perkembangan sistem psikofisik tersebut.
Oleh karena itu, cara menyikapi dan memperlakukan siswa haruslah sebagai
manusia dalam proses perkembangan kepribadiannya, yang akan beraksi dengan
keutuhan pribadinya. Wawasan tersebut berpangkal pada pendangan bahwa kepribadian itu memiliki suatu struktur yang utuh dan
dinamis. (Tirtarahardja, 2005).
Prinsip kedua dari perkembangan
kepribadian adalah bahwa kepribadian mengalami perkembangan yang terus menerus
dan tidak terputus-putus, meskipun pada suatu periode tertentu akan mengalami
perkembangan yang cepat dibandingkan dengan periode lainnya. Di samping itu,
hasil perkembangan pada periode tertentu akan menjadi landasan bagi
perkembangan periode berikutnya.
Pada periode lima tahun
pertama dari manusia (balita), Freud (Tirtarahardja, 2005) mengemukakan bahwa
struktur kepribadian telah terbentuk pada akhir tahun kelima, bahkan Lewin
berpendapat bahwa tiga tahun pertama merupakan masa perkembangan kepribadian
yang cepat dan penting. Hal inilah yang membuktikan bahwa pendidikan informal
di keluarga dan pendidikan prasekolah sangat penting, sedangkan bagi guru di
sekolah diperlukan kerja sama yang erat dengan orang tua siswa, karena bila
terjadi kerja sama yang baik antara sekolah dengan orang tua siswa maka
perkembangan kepribadian siswa pun yang semakin baik.
Selain faktor di atas,
faktor yang tidak kalah pentingnya dalam perkembangan kepribadian anak anak
faktor hereditas (sperti keadaan fisik, inteligensi, tempramen, dan
sebagainya), dan faktor sosial budaya di luar lingkungan keluarga. Alexander
dengan tegas mengemukakan bahwa ada tiga faktor yang bekerja dalam menentukan pola
kepribadian seseorang, yakni:
a) Bekal hereditas individu
b) Pengalaman awal di keluarga
c) Peristiwa penting dalam hidupnya di luar keluarga.
Hurlock (Tirtarahardja, dkk., 2005).
Dengan demikian, dari
potensi hereditas, perkembangan kepribadian akan berlangsung atas dasar kerja
sama antara proses manurasi (pendewasaan) sebagai
pengaruh faktor-faktor pertumbuhan di dalam diri (intern) manusia, dengan
proses belajar sebagai pengalaman-pengalaman manusia yang dijumpai dalam
hidupnya.
Dari bagan di atas diketahui
bahwa terdapat sejumlah faktor yang ikut mempengaruhi perkembangan ‘konsep
diri’ anak, dan dengan demikian ikut mempengaruhi perkembangan kepribadian
anak. Yang akan disoroti secara khusus adalah yang berkaitan dengan faktor yang
berhubungan dengan sekolah (termasuk guru). Perlu ditekankan bahwa sesudah
keluarga, sekolah merupakan lembaga yang paling besar pengaruhnya terhadap
perkembangan kepribadian, bahkan sesudah orang tua, gurulah yang paling besar
pengaruhnya terhadap perkembangan kepribadian anak, termasuk pembentukan konsep
diri. Akan tetapi terdapat perbedaan posisi antara keluarga (yakni orang tua)
dengan sekolah (khususnya guru) terhadap perkembangan kepribadian anak, yakni
sekolah tidak dari awal tetapi hanya melanjutkan apa yang telah dimulai di
keluarga.
Dengan kata lain bahwa, saat
anak memasuki bangku sekolah, sesungguhnya anak telah memasuki dua lembaga yang
peranannya sangat besar terhadap perkembangan kepribadian anak, yakni keluarga
dan sekolah. Bila terdapat keserasian antara keduanya maka pengaruhnya akan
saling menguatkan kepribadian anak, tetapi bila keduanya tidak serasi, apalagi
sampai bertentangan, maka akan membingungkan anak. Alasan inilah yang
menyebabkan bahwa peranan guru sangat besar terhadap perkembangan kepribadian
anak, guru harus mampu melihat perkembangan anak yang telah diletakkan oleh
keluarga sehingga anak dapat berkembang sesuai dengan kepribadian yang
dimilikinya. Untuk dapat melakukan semua itu, hubungan yang harmonis antara
sekolah (khususnya guru) dengan keluarga (orang tua) harus terjalin dengan
baik.
d. Kecerdasan Anak
Anak terlahir dengan
memiliki tingkat kecerdasan yang berbeda-beda, tingkat kecerdasan anak inilah
yang dipergunakan untuk mengembangkan kemampuan. Salah satu yang sangat
berpengaruh dalam mengembangkan kemampuan anak adalah keluarga dan sekolah,
karena keluarga dan sekolahlah yang dapat mengembangkan kemampuan yang dimiliki
anak dengan memberikan pengalaman belajar agar dapat beradaptasi dengan
lingkungannya.
Selain itu, setiap manusia
juga memiliki kecerdasan intelegensi yang dapat digunakan untuk memecahkan
setiap persoalan. Kecerdasan intelegensi ini biasa disebut kecerdasan otak (Intelligence Quotient-IQ). Ada beberapa klasifikasi kecerdasan IQ, yaitu:
140 - ….
genius 80 - 89 di bawah normal
131 - 139 sangat pandai 70 -
79 bodoh\
120 - 129 pandai 50 -
69 debil/moron
110 - 119 di atas normal 25 -
49 imbecile
90 - 109 normal 0 - 24 idiot
e. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak
Dalam masa pertumbuhannya,
setiap anak akan melalui tahapan-tahapan tertentu dalam masa perkembangannya,
mulai dari pertumbuhan biologis, psikologis, dan didaktis. Pertumbuhan biologis
akan berkembang pada tahapan-tahapan usia anak, kemudian pertumbuhan psikologis
akan berkembangan sesuai kematangan kejiwaan anak, sedangkan pertumbuhan
dedaktik akan berkembangan sesuai dengan tingkat pendidikan anak.
Piaget mengelompokkan
tingkat psikologis anak menjadi empat fase, yaitu fase senso motorik pada umur 0 – 2 tahun,
fase pra operasional pada usia 2 – 7 tahun, dan fase operasional kongkrit pada
usia 7 – 12 tahun, serta fase operasional formal pada usia 12 tahun ke atas.
Belajar adalah kegiatan yang
disengaja untuk mengubah tingkat laku pembelajar hingga diperoleh kecakapan
baru, tatapi dalam masa perkembangannya, setiap anak biasanya akan banyak
menemukan berbagai permasalahan dalam belajar. Faktor yang paling mempengaruhi
fase belajar anak biasanya berasal dari anak itu sendiri yaitu pengaruh fisik,
dan mental anak, menyusul faktor dari luar seperti alam, sosial serta sarana
dan prasarana. Faktor-faktor yang mempengaruhi inilah yang perlu menjadi
perhatian yang serius terutama para orang tua untuk pendidikan dalam keluarga,
dan di sekolah untuk pendidikan formal.
BAB
VII
PERENCANAAN PENDIDIKAN DAN
PENGEMBANGAN KURIKULUM
a.
Kompetensi Dasar
Mahasiswa memiliki wawasan tentang Perencanaan Pendidikan
dan Pengembangan Kurikulum.
b.
Indikator
Mahasiswa diharapkan dapat mendeskripsikan tentang Perencanaan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum.
c.
Pengantar
Pada bab ini mahasiswa akan memahami tentang
Perencanaan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum.
A.
Perencanaan Pendidikan
Perencanaan
pendidikan didasari oleh beberapa konsep-konsep. Dasar yang akan dibahas adalah
mengenai perubahan lingkungan pendidikan, kebutuhan organisasi pendidikan,
perencanaan akibat perubahan lingkungan, ciri-ciri sistem yang akan dipakai
dalam perencanaan dan beberapa teori perencanaan.
Perencanaan
sebagai subsistem dari manajemen adalah hal yang sangat penting dan langkah
awal yang harus dilaksanakan dalam pengelolaan sebuah organisasi atau kegiatan
lainnya, guna mencapai hasil secara efektif dan efisien. Seperti yang
dijelaskan bahwa: “And planning, organizing, leadership and control are
essential to the management.”(Newman, Warren dan McGill, 1987).
Adapun
pengertian perencanaan pendidikan menurut Cunningham dalam buku Perencanaan Pendidikan
Partisipatori, Pidarta (1990) menyatakan bahwa: perencanaan adalah menyeleksi
dan menghubungkan pengetahuan, fakta-fakta, imajinasi-imajinasi dan
asumsi-asumsi untuk masa yang akan dating, umtuk memvisualisasi dan
mereformulasi hasil yang diinginkan, urutan-urutan kegiatan yang diperlukan dan
perilaku dalam batas-batas yang dapat diterima yang akan digunakan dalam
penyelesaian.
Selanjutnya
dijelaskan bahwa perencanaan di sini menekankan pada usaha menyeleksi dan
menghubungkan sesuatu untuk kepentingan masa yang akan datang serta usaha untuk
mencapainya. Apa wujud yang akan datang itu dan bagaimana usaha untuk
mencapainya adalah merupakan perencanaan. Selain itu Pidarta (1990)
mengemukakan bahwa “perencanaan ialah hubungan antara apa adanya sekarang (what is) dan bagaimana seharusnya (what should be) yang bertalian dengan kebutuhan,
penentuan tujuan, prioritas, program dan alokasi sumber.” Perencanaan disini
menekankan pada usaha mengisi kesenjangan antara keadaan sekarang dengan
keadaan yang ada pada masa datang sesuai dengan yang diinginkan.
Perencanaan pendidikan
adalah suatu cara yang memuaskan untuk membuat organisasi pendidikan tetap
berdidri tegak dan maju sebagai suatu sistem dalam tenunan supra sistem yang
tetap berubah (Pidarta, 1990). Perencanaan berarti perencanaan yang melibatkan beberapa
orang dalam suatu kegiatan atas dasar wewenang kedudukan baik di tingkat pusat,
daerah dan para kepala sekolah. Demikian pula dalam hal mengambil keputusan,
yaitu dengan melibatkan warga sekolah secara langsung dalam pengambilan
keputusan, maka rasa memiliki warga sekolah dapat lebih ditingkatkan yang serta
merta akan berdampak terhadap rasa tanggung jawab bersama yang bermuara pada
dedikasi warga sekolah (stake holder) terhadapap sekolah.
Asas partisipatif ini diharapkan
akan melahirkan rasa ikut memiliki (sence
of belonging), dan rasa ikut beratnggung jawab (sence of responsibility) serta meningkatkan jiwa dedikasi (psycho dedication). Selain itu, Slamet
P.H. (2001) berpendapat bahwa perencanaan pendidikan yang berorientasi MBS (Manajemen
Berbasis Sekolah) perlu dilaksanakan dengan alasan sebagai berikut:
a. Sekolah lebih mengetahuai kekuatan,
kelemahan, peluang dan hambatan bagi dirinya, sehingga dengan demikian akan
bias lebih mengoptimalkan manfaat sumber daya yang ada.
b. Sekolah lebih mengetahui kebutuhan
lembaganya, khususnya input pendidikan yang akan dikembangakan dan
didayagunakan dalam proses selanjutnya.
c. Pengambilan keputusan lebih cocok
untuk memnuhi kebutuhan sekolah karena tahu pa yang terbaik untuk dirinya.
d. Penggunaan sumber daya pendidikan
lebih efektif dan efisien bila dikontrol oleh masyarakat setempat.
e. Keiikutsertaan (partisipasi) warga
sekolah dalam merencanakan sampai dengan pengambilan keputusan menciptakan
transformasi dan demokratisasi yang sehat
f. Sekolah bertanggung jawab terhadap
mutu pendidikan baik terhadap pemerintah, orang tua dan masyarakat.
g. Sekolah dapat secara cepat dan
tepat merespon aspirasi masyarakat dan lingkunagn yang dinamis.
Adapun perencanaan pendidikan
partisipatori dalam MBS adalah:
a.
Perencanaan
Strategis Sekolah
a)
Perencanaan strategis merupakan langkah perumusan
filosofis, konsepsional dan strategis pengembangan sekolah berdasarkan kondisi
obyektif sekolah.
b)
Perencanaan Strategis disusun oleh sekolah dengan
melibatkan seluruh komponen sekolah (Kepala Sekolah, Guru, Siswa dan maysrakat
melalui BP3/Komite Sekolah), sebagai bentuk pelaksanaan penetapan kebijakan
partisipatif.
c)
Langkah-langkah penyusunan perencanaan strategis
adalah sebagai berikut:
(a) Perumusan
Visi Sekolah yang merupakan mandat dari seluruh komponen sekolah.
(b) Pengembangan
mandat menjadi rumusan misi sekolah yang bersifat makro dan holistic
(c) Analisis
Lingkungan Strategis dengan pendekatan
analisis SWOT
(d) Perumusan
tujuan dan sasaran,skala prioritas dan network planning sebagai acuan dalam pengembangan program sekolah.
(e) Perencanaan
Strategis Sekolah selanjutnya menjadi acuan dalam pengembangan program
operasional (tahunan, semester, caturwulan dan bulanan).
(f)
Sistematika penyusunan Perencanaan Strategis
Sekolah, adalah sebagai berikut:
1.
Pendidikanahuluan
2.
Visi dan Misi Sekolah
3.
Analisis Lingkungan Strategis
4.
Tujuan dan Sasaran Sekolah
5.
Pengembangan Program Strategis
6.
Penutup (Slamet, dkk., 2001).
d)
Perencanaan
Strategis Pengembangan Program
Berdasarkan
Perencanaan Strategis yang telah disusun, dikembangkan program jangka panjang,
jangka menengah dan jangka pendek secara
bertahap, dengan langkah-langkah sebagai berikut:
(a) Analisis
tujuan dan sasaran lembaga dalam satuan waktu tertentu (5 tahunan, tahunan,
semester, dan bulanan).
(b) Penetapan skala prioritas program berdasarkan
pertimbangan hubungan antara satu kegiatan dengan penciptaan situasi sebagai
prasyarat untuk kegiatan dan penciptaan situasi berikutnya.
(c) Penysunan skala prioritas dalam sistem network
planning 5 tahunan.
(d) Penjabaran kegiatan tahunan berdasarkan
network planning. Satu situasi yang digambarkan dalam network planning dapat
dikembangkan menjadi beberapa kegiatan.
(e) Analisis dukungan sumberdaya internal maupun
eksternal sebagai acuan dalam pengembangan volume kegiatan.
(f)
Pembahasan
program bersama Komite Sekolah dan BP3 sebagai lembaga yang menetapkan program
dan menentukan kebijakan pengembangan sumberdaya.
(g) Menentukan tim pelaksana program dengan
prinsip pendistribusian kegiatan secara bertanggungjawab.
(h) Penyusunan proposal kegiatan oleh Tim
Pelaksana Program.
e)
Perencanaan
Strategi Pengembangan Partisipasi
Masyarakat
Untuk
melaksanakan MBS, mutlak diperlukan dukungan masyarakat secara moril,
organisatoris dan finansial. Kondisi lingkungan masing-masing sekolah berbeda
sehingga pengembangan strtaegi dalam rangka peningkatan partisipasi masyarakat
dirancang dengan tepat oleh sekolah yang bersangkutan. Namun demikian, secara
umum dapat direkomendasikan beberapa langkah strategis sebagai berikut:
(a) Meningkatkan
sistem informasi dan komunikasi antara sekolah dengan masyarakat melalui
berbagai media.
(b) Melaksanakan pengambilan keputusan
partisipatif.
(c) Membentuk Komite Sekolah yang meliputi unsur
guru, BP3, siswa, dan tokoh masyarakat setempat atau perorangan lain yang
memiliki komitmen untuk mengikatkan diri untuk mengembangkan pendidikan di
sekolah yang bersangkutan sebagai anggota Komite Sekolah.
(d) Merumuskan dengan jelas pola kerjasama dan
hubungan kelembagaan antara komponen sekolah, orang tua siswa, BP3, Komite
Sekolah dan Pembina Pendidikan.
(e) Melibatkan Komite Sekolah dan BP3 dalam
pelaksanaan dan penilaian program sekolah.
(f)
Melaksanakan
sistem akuntabilitas publik dalam penilaian kinerja sekolah. (Slamet, dkk.,
2001).
Kemudian dalam melaksanakan manajemen
pendidikan yang maju dengan sistem kepemimpinan Kepala Sekolah yang kuat.
Prinsip-prinsip pokok yang dapat dijadikan acuan adalah sebagai berikut:
a.
Sistem perencanaan yang bersifat fleksibel dengan
menerapkan pola perencanaan menjulur (rolling plan).
b.
Memanfaatkan sumberdaya secara efaktif dan efisien.
c.
Meningkatkan kualitas proses sebagai upaya peningkatan
kualitas hasil.
d.
Pelaksana MBS dengan sistem pengorganisasian yang
lebih menunjukkan citra kemitraan dan kolaborasi antara seluruh komponen
sekolah dengan masyarakat.
e.
Terselenggaranya sistem pemantauan dan penilaian
pelaksanaan program secara independen, transparan dan akuntable.
f.
Terselenggaranya sistem pelaporan dan umpan balik
dari Sekolah kepada masyarakat dan Pembina Pendidikan secara berkala dan
berkesinam-bungan. (Slamet, dkk., 2001).
B.
Pengembangan Kurikulum
a. Sejarah Kurikulum
Sejak
dibelakukannya desentralisasi pemerintahan yang dikenal dengan UU Otonomi
Daerah tahun 1999, perlahan-lahan pemerintah juga mulai memikirkan perubahan
untuk mengatur sistem tata kehidupan berbangsa dan bernegara lainnya. Salah
satunya adalah dunia pendidikan. UU Otonomi Daerah No 32 Tahun 2003 mengatakan
bahwa “pendidikan dasar dan menengah telah diserahkan ke daerah” (Tilaar, 2006:
164). Sentuhan perubahan dunia pendidikan langsung ditujukan pada rohnya yaitu
kurikulum.
Dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan
nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968,
1975, 1984, 1994, 2004 dan 2006.
Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem
politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan
bernegara. Sebab, kurikulum sebagai sebuah perangkat pendidikan perlu
dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi
di masyarakat. Semua kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang
sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945, perbedaannya pada penekanan pokok dari
tujuan pendidikan serta pendekatan yang digunakan dalam merealisasikannya.
Awalnya pada tahun 1947, kurikulum diberi nama Rentjana
Pelajaran 1947. Pada saat itu kurikulum pendidikan di Indonesia masih
dipengaruhi sistem pendidikan kolonial Belanda dan Jepang, sehingga hanya
meneruskan yang pernah digunakan sebelumnya. Rentjana Pelajaran 1947 boleh
dikatakan sebagai pengganti sistem pendidikan kolonial Belanda. Karena suasana
kehidupan berbangsa saat itu masih dalam semangat juang merebut kemerdekaan
maka pendidikan sebagai development conformism lebih menekankan pada
pembentukan karakter manusia Indonesia yang merdeka dan berdaulat serta sejajar
dengan bangsa lain di muka bumi ini.
Setelah Rentjana Pelajaran 1947, pada tahun
1952 kurikulum di Indonesia mengalami penyempurnaan. Pada tahun 1952 diberi
nama Rentjana Pelajaran Terurai 1952. Kurikulum ini sudah
mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional. Yang paling menonjol dan
sekaligus ciri dari kurikulum 1952 ini bahwa setiap rencana pelajaran harus
memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.
Usai tahun 1952, menjelang tahun 1964, pemerintah kembali
menyempurnakan sistem kurikulum di Indonesia. Kali ini diberi nama Rentjana
Pendidikan 1964. Pokok-pokok pikiran kurikulum 1964 yang menjadi ciri
dari kurikulum ini adalah bahwa pemerintah mempunyai keinginan agar rakyat
mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga
pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana, yaitu pengembangan moral,
kecerdasan, emosional/artistik, keprigelen, dan jasmani.
Kurikulum 1968 merupakan pembaharuan dari kurikulum 1964,
yaitu dilakukannya perubahan struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana
menjadi pembinaan jiwa Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus.
Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan
UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Dari segi tujuan pendidikan, kurikulum
1968 bertujuan bahwa pendidikan ditekankan pada upaya untuk membentuk manusia
Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan
keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Isi pendidikan
diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta
mengembangkan fisik yang sehat dan kuat.
Kurikulum tahun 1975 sebagai pengganti kurikulum 1968
menggunakan pendekatan-pendekatan diantaranya sebagai berikut:
1.
Berorientasi pada tujuan.
2.
Menganut pendekatan integrative dalam arti
bahwa setiap pelajaran memiliki arti dan peranan yang menunjang kepada
tercapainya tujuan-tujuan yang lebih integratif.
3.
Menekankan kepada efisiensi dan efektivitas dalam hal
daya dan waktu.
4.
Menganut pendekatan sistem instruksional yang dikenal
dengan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Sistem yang
senantiasa mengarah kepada tercapainya tujuan yang spesifik, dapat diukur dan
dirumuskan dalam bentuk tingkah laku siswa.
5.
Dipengaruhi psikologi tingkah laku dengan menekankan
kepada stimulus respon (rangsang-jawab) dan latihan (drill).
Kurikulum 1975
hingga menjelang 1983 dianggap sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan
masyarakat dan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi. Atas dasar itu maka
menjelang tahun 1983 antara kebutuhan atau tuntutan masyarakat dan ilmu
pengetahuan/teknologi terhadap pendidikan dalam kurikulum 1975 dianggap tidak
sesuai lagi, oleh karena itu diperlukan perubahan kurikulum. Kurikulum 1984
tampil sebagai perbaikan atau revisi terhadap kurikulum 1975. Dalam Kurikulum
1984, pendekatan pengajarannya berpusat pada anak didik melalui Cara Belajar
Siswa Aktif (CBSA). CBSA adalah pendekatan pengajaran yang memberikan
kesempatan kepada siswa untuk aktif terlibat secara fisik, mental, intelektual,
dan emosional dengan harapan siswa memperoleh pengalaman belajar secara
maksimal, baik dalam ranah kognitif, efektif, maupun psikomotor.
Kurikulum 1994
dibuat sebagai penyempurnaan kurikulum 1984 dan dilaksanakan sesuai dengan
Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini
berdampak pada sistem pembagian waktu pelajaran, yaitu dengan mengubah dari
sistem semester ke sistem caturwulan. Dengan sistem caturwulan yang
pembagiannya dalam satu tahun menjadi tiga tahap diharapkan dapat memberi
kesempatan bagi siswa untuk dapat menerima materi pelajaran cukup banyak.
Usaha pemerintah
dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan diikuti dengan perubahan kurikulum
dari kurikulum 1994 menjadi kurikulum 2004 yang diberi nama Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK), yang menitik beratkan pada pengembangan
kemampuan untuk melakukan (kompetensi) tugas-tugas tertentu sesuai dengan
standar performance yang telah ditetapkan.
Seiring perjalanan
waktu dan tuntutan zaman maka kurikulum 2004 disempurnakan kembali menjadi
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada tahun 2006. Dalam kurikulum ini
lembaga penyelenggara pendidikan diberi kewenangan penuh untuk menyusun rencana
pendidikannya dengan mengacu pada standar-standar yang telah ditetapkan, mulai
dari visi-misi, tujuan, struktur dan muatan kurikulum, beban belajar, kalender pendidikan,
hingga pengembangan silabus dan Rencana Program Pembelajaran.
Kewenangan pengelolaan pendidikan yang diamanahkan
oleh KTSP sebagai wujud dari desentralisasi pendidikan nasional disambut baik
oleh seluruh lapisan masyarakat, khususnya praktisi pendidikan. Desentralisasi pendidikan
dalam penyempurnaan roh kurikulum 2004 menjadi KTSP pada tahun 2006 semakin
meningkatkan semangat lembaga pendidikan (sekolah-sekolah) untuk membangun
kembali jiwa dan wibawa lembaga pendidikan beserta perangkatnya yang selama ini
dianggap terabaikan.
Selain itu untuk
meningkatkan daya saing bangsa, pemerintah menelurkan kebijakan agar dilaksanakannya
Ujian Nasional, seperti yang diungkapkan oleh Tilaar (2006) bahwa kebijakan ini
oleh pemerintah dianggap sebagai penjabaran atas Peraturan Pemerintah (PP) No.
19 Tahun 2006, yang isinya antara lain “pendidikan nasional perlu ditentukan
standarnya”. Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan adalah
menentukan standar dan menaikkan standar setiap tahun melalui ujian nasional.
b.
Pengertian Kurikulum
2.
Kelompok Mata Pelajaran
Peraturan Pemerintah Nomor
19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
pasal 6 ayat (1) menyatakan bahwa kurikulum untuk jenis pendidikan umum,
kejuruan, dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas:
(a)
kelompok mata
pelajaran agama dan akhlak mulia;
(b)
kelompok mata
pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian;
(c)
kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi;
(d)
kelompok mata pelajaran estetika;
(e)
kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan.
Cakupan setiap kelompok mata pelajaran disajikan pada Tabel 1.
Tabel
1. Cakupan Kelompok Mata Pelajaran
No
|
Kelompok Mata Pelajaran
|
Cakupan
|
1.
|
Agama dan Akhlak Mulia
|
Kelompok
mata pelajaran agama dan akhlak mulia dimaksudkan untuk membentuk peserta
didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
serta berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, atau moral
sebagai perwujudan dari pendidikan agama.
|
2.
|
Kewarganega-raan dan Kepribadian
|
Kelompok mata pelajaran
kewarganegaraan dan kepribadian dimaksudkan untuk peningkatan kesadaran dan
wawasan peserta didik akan status, hak, dan kewajibannya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta peningkatan kualitas dirinya
sebagai manusia.
Kesadaran dan wawasan termasuk wawasan kebangsaan, jiwa dan patriotisme
bela negara, penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, kemajemukan bangsa,
pelestarian lingkungan hidup, kesetaraan gender, demokrasi, tanggung jawab
sosial, ketaatan pada hukum, ketaatan membayar pajak, dan sikap serta
perilaku anti korupsi, kolusi, dan nepotisme.
|
3.
|
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
|
Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada
SD/MI/SDLB dimaksudkan untuk mengenal, menyikapi, dan mengapresiasi ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta menanamkan kebiasaan berpikir dan
berperilaku ilmiah yang kritis, kreatif dan mandiri.
Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada
SMP/MTs/SMPLB dimaksudkan untuk memperoleh kompetensi dasar ilmu pengetahuan
dan teknologi serta membudayakan berpikir ilmiah secara kritis, kreatif dan
mandiri.
Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan
dan teknologi pada SMA/MA/SMALB
dimaksudkan untuk memperoleh kompetensi
lanjut ilmu pengetahuan dan teknologi serta membudayakan berpikir ilmiah
secara kritis, kreatif dan mandiri.
Kelompok mata
pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada SMK/MAK dimaksudkan untuk menerapkan
ilmu pengetahuan dan teknologi, mem-bentuk kompetensi, kecakapan, dan kemandirian
kerja.
|
4.
|
Estetika
|
Kelompok mata pelajaran
estetika dimaksudkan untuk meningkatkan sensitivitas,kemampuan
mengekspresikan dan kemampuan mengapresiasi keindahan dan harmoni. Kemampuan
mengapresiasi dan mengekspresikan keindahan serta harmoni mencakup apresiasi
dan ekspresi, baik dalam kehidupan individual sehingga mampu menikmati dan
mensyukuri hidup, maupun dalam kehidupan kemasyarakatan sehingga mampu
menciptakan kebersamaan yang harmonis.
|
5.
|
Jasmani, Olahraga dan Kesehatan
|
Kelompok mata pelajaran
jasmani, olahraga dan kesehatan pada SD/MI/SDLB dimaksudkan untuk
meningkatkan potensi fisik serta menanamkan sportivitas dan kesadaran hidup
sehat.
Kelompok mata pelajaran
jasmani, olahraga dan kesehatan pada SMP/MTs/SMPLB dimaksudkan untuk
meningkatkan potensi fisik serta membudayakan sportivitas dan kesadaran hidup
sehat.
Kelompok mata pelajaran
jasmani, olahraga dan kesehatan pada SMA/MA/SMALB/SMK/MAK dimaksudkan untuk
meningkatkan potensi fisik serta membudayakan sikap sportif, disiplin, kerja
sama, dan hidup sehat.
Budaya hidup sehat
termasuk kesadaran, sikap, dan perilaku hidup sehat yang bersifat individual
ataupun yang bersifat kolektif kemasyarakatan seperti keterbebasan dari
perilaku seksual bebas, kecanduan narkoba, HIV/AIDS, demam berdarah, muntaber,
dan penyakit lain yang potensial untuk mewabah.
|
Selain tujuan dan cakupan kelompok mata pelajaran
sebagai bagian dari kerangka dasar kurikulum, perlu dikemukakan prinsip
pengembangan kurikulum.
3.
Prinsip Pengembangan
Kurikulum
Kurikulum tingkat satuan pendidikan
jenjang pendidikan dasar dan menengah dikembangkan oleh sekolah dan komite
sekolah berpedoman pada standar kompetensi lulusan dan standar isi serta panduan penyusunan kurikulum yang dibuat oleh
BSNP. Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip berikut.
a.
Berpusat pada potensi,
perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya
Kurikulum dikembangkan
berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk
mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk
mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik
disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta
didik serta tuntutan lingkungan.
b. Beragam
dan terpadu
Kurikulum dikembangkan
dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, dan
jenjang serta jenis pendidikan, tanpa membedakan agama, suku, budaya dan adat
istiadat, serta status sosial ekonomi dan gender. Kurikulum meliputi substansi
komponen muatan wajib kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara
terpadu, serta disusun dalam keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan
tepat antarsubstansi.
c.
Tanggap terhadap perkembangan
ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
Kurikulum dikembangkan
atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni berkembang
secara dinamis, dan oleh karena itu semangat dan isi kurikulum mendorong
peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan secara tepat perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni.
d.
Relevan dengan kebutuhan
kehidupan
Pengembangan
kurikulum dilakukan dengan melibatkan
pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan
dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan
keterampilan pribadi, keterampilan berpikir, keterampilan sosial, keterampilan
akademik, dan keterampilan vokasional merupakan keniscayaan.
e.
Menyeluruh dan
berkesinambungan
Substansi kurikulum
mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan dan mata
pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan antarsemua
jenjang pendidikan.
f.
Belajar sepanjang hayat
Kurikulum
diarahkan kepada proses pengembangan, pembudayaan dan pemberdayaan peserta
didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan keterkaitan
antara unsur-unsur pendidikan formal, nonformal dan informal, dengan
memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang serta arah
pengembangan manusia seutuhnya.
g.
Seimbang antara kepentingan
nasional dan kepentingan daerah
Kurikulum dikembangkan
dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah untuk
membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kepentingan
nasional dan kepentingan daerah harus saling mengisi dan memberdayakan sejalan
dengan motto Bhineka Tunggal Ika
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
c. Prinsip Pelaksanaan Kurikulum
Dalam pelaksanaan kurikulum di setiap satuan pendidikan menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut.
a)
Pelaksanaan kurikulum didasarkan pada potensi,
perkembangan dan kondisi peserta didik untuk menguasai kompetensi yang berguna
bagi dirinya. Dalam hal ini peserta didik harus mendapatkan pelayanan pendidikan
yang bermutu, serta memperoleh kesempatan untuk mengekspresikan dirinya secara
bebas, dinamis dan menyenangkan.
b)
Kurikulum dilaksanakan dengan menegakkan kelima pilar
belajar, yaitu: (a) belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, (b) belajar untuk memahami dan menghayati, (c) belajar untuk mampu
melaksanakan dan berbuat secara efektif, (d) belajar untuk hidup bersama dan
berguna bagi orang lain, dan (e) belajar untuk membangun dan menemukan jati
diri, melalui proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan
menyenangkan.
c) Pelaksanaan
kurikulum memungkinkan peserta didik mendapat pelayanan yang bersifat
perbaikan, pengayaan, dan/atau percepatan sesuai dengan potensi, tahap
perkembangan, dan kondisi peserta didik dengan tetap memperhatikan keterpaduan
pengembangan pribadi peserta didik yang berdimensi ke-Tuhanan, keindividuan,
kesosialan, dan moral.
d) Kurikulum
dilaksanakan dalam suasana hubungan peserta didik dan pendidik yang saling
menerima dan menghargai, akrab, terbuka, dan hangat, dengan prinsip tut wuri
handayani, ing madia mangun karsa, ing ngarsa sung tulada (di belakang
memberikan daya dan kekuatan, di tengah membangun semangat dan prakarsa, di
depan memberikan contoh dan teladan).
e) Kurikulum
dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan multistrategi dan multimedia, sumber
belajar dan teknologi yang memadai, dan memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai
sumber belajar, dengan prinsip alam
takambang jadi guru (semua yang terjadi, tergelar dan berkembang di
masyarakat dan lingkungan sekitar serta lingkungan alam semesta dijadikan
sumber belajar, contoh dan teladan).
f) Kurikulum
dilaksanakan dengan mendayagunakan kondisi alam, sosial dan budaya serta
kekayaan daerah untuk keberhasilan pendidikan dengan muatan seluruh bahan
kajian secara optimal.
g) Kurikulum yang
mencakup seluruh komponen kompetensi mata pelajaran, muatan lokal dan
pengembangan diri diselenggarakan dalam keseimbangan, keterkaitan, dan
kesinambungan yang cocok dan memadai antarkelas dan jenis serta jenjang pendidikan.
d.
Struktur
Kurikulum Pendidikan Umum
Struktur kurikulum merupakan pola dan susunan mata pelajaran yang harus
ditempuh oleh peserta didik dalam kegiatan pembelajaran. Kedalaman muatan
kurikulum pada setiap mata pelajaran pada setiap satuan pendidikan dituangkan
dalam kompetensi yang harus dikuasai peserta didik sesuai dengan beban belajar
yang tercantum dalam struktur kurikulum. Kompetensi yang dimaksud terdiri atas
standar kompetensi dan kompetensi dasar yang dikembangkan berdasarkan standar
kompetensi lulusan. Muatan lokal dan kegiatan pengembangan diri merupakan
bagian integral dari struktur kurikulum pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah.
1. Struktur Kurikulum SD/MI
Struktur
kurikulum SD/MI meliputi substansi pembelajaran yang ditempuh dalam satu
jenjang pendidikan selama enam tahun mulai Kelas I sampai dengan Kelas VI.
Struktur kurikulum SD/MI disusun berdasarkan standar kompetensi lulusan dan standar
kompetensi mata pelajaran dengan ketentuan sebagai berikut.
a.
Kurikulum
SD/MI memuat 8 mata pelajaran, muatan lokal, dan pengembangan diri seperti
tertera pada Tabel 2.
Muatan
lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan
dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah, yang materinya
tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada. Substansi muatan
lokal ditentukan oleh satuan pendidikan.
Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yang
harus diasuh oleh guru. Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan
kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan
kebutuhan, bakat, dan minat setiap peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah.
Kegiatan pengembangan diri difasilitasi dan atau dibimbing oleh konselor, guru,
atau tenaga kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan
ekstrakurikuler. Kegiatan pengembangan diri dilakukan melalui kegiatan
pelayanan konseling yang berkenaan dengan masalah diri pribadi dan kehidupan
sosial, belajar, dan pengembangan karir peserta didik.
b. Substansi mata pelajaran IPA dan IPS pada
SD/MI merupakan “IPA Terpadu” dan “IPS Terpadu”.
c. Pembelajaran pada Kelas I s.d. III
dilaksanakan melalui pendekatan tematik,
sedangkan pada Kelas IV s.d. VI
dilaksanakan melalui pendekatan mata pelajaran.
d. Jam pembelajaran untuk setiap mata pelajaran
dialokasikan sebagaimana tertera dalam
struktur kurikulum. Satuan pendidikan dimungkinkan menambah maksimum empat jam
pembelajaran per minggu secara keseluruhan.
e. Alokasi waktu satu jam pembelajaran adalah 35 menit.
f.
Minggu
efektif dalam satu tahun pelajaran (dua semester) adalah 34-38 minggu.
Struktur kurikulum SD/MI disajikan pada Tabel 2
Tabel 2. Struktur Kurikulum SD/MI
Komponen
|
A. Kelas dan Alokasi Waktu |
|||
I
|
II
|
III
|
IV, V, dan VI
|
|
A. Mata Pelajaran
|
3
|
|||
1. Pendidikan Agama
|
||||
2. Pendidikan Kewarganegaraan
|
2
|
|||
3. Bahasa Indonesia
|
5
|
|||
4. Matematika
|
5
|
|||
5. Ilmu Pengetahuan Alam
|
4
|
|||
6. Ilmu Pengetahuan Sosial
|
3
|
|||
7. Seni Budaya dan Keterampilan
|
4
|
|||
8. Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan
|
4
|
|||
B. Muatan Lokal
|
2
|
|||
C. Pengembangan Diri
|
2*)
|
|||
Jumlah
|
26
|
27
|
28
|
32
|
*)
Ekuivalen 2 jam pembelajaran
e.
Pelaksanaan Kurikulum
Satuan pendidikan SD/MI/SDLB melaksanakan program pendidikan
dengan menggunakan sistem paket. Beban belajar yang diatur pada ketentuan ini
adalah beban belajar sistem paket pada jenjang pendidikan dasar. Sistem paket
adalah sistem penyelenggaraan program pendidikan yang peserta didiknya
diwajibkan mengikuti seluruh program pembelajaran dan beban belajar yang sudah
ditetapkan untuk setiap kelas sesuai dengan struktur kurikulum yang berlaku
pada satuan pendidikan. Beban belajar setiap mata pelajaran pada Sistem
Paket dinyatakan dalam satuan
jam pembelajaran.
Beban belajar
dirumuskan dalam bentuk satuan waktu yang dibutuhkan oleh peserta didik untuk
mengikuti program pembelajaran melalui sistem tatap muka, penugasan
terstruktur, dan kegiatan mandiri tidak terstruktur. Semua itu dimaksudkan
untuk mencapai standar kompetensi lulusan dengan memperhatikan tingkat
perkembangan peserta didik. Kegiatan tatap muka adalah kegiatan pembelajaran
yang berupa proses interaksi antara peserta didik dengan pendidik. Beban
belajar kegiatan tatap muka per jam pembelajaran ditetapkan di SD/MI/SDLB
berlangsung selama 35 menit. Sedangkan beban belajar kegiatan tatap muka per minggu untuk:
a) Kelas I s.d. III adalah
29 s.d. 32 jam pembelajaran;
b) Kelas IV s.d. VI adalah
34 jam pembelajaran.
Beban belajar kegiatan tatap muka
keseluruhannya tertera pada di bawah ini:
Satuan Pendidikan
|
Kelas
|
Satu jam pemb. tatap muka
(menit)
|
Jumlah jam pemb. Per minggu
|
Minggu Efektif per tahun
ajaran
|
Waktu
pembelajaran per tahun
|
Jumlah jam per tahun (@60
menit)
|
SD/MI/ SDLB*)
|
I s.d. III
|
35
|
26-28
|
34-38
|
884-1064 jam pembelajaran
(30940 – 37240
menit)
|
516-621
|
IV s.d. VI
|
35
|
32
|
34-38
|
1088-1216 jam pembelajaran
(38080 - 42560
menit
|
635-709
|
Penugasan
terstruktur adalah kegiatan pembelajaran yang berupa pendalaman materi
pembelajaran oleh peserta didik yang dirancang oleh pendidik untuk mencapai
standar kompetensi. Waktu penyelesaian penugasan terstruktur ditentukan oleh pendidik.
Kegiatan mandiri tidak terstruktur adalah kegiatan pembelajaran yang berupa pendalaman
materi pembelajaran oleh peserta didik yang dirancang oleh pendidik untuk mencapai standar kompetensi.
Waktu penyelesaiannya diatur sendiri oleh peserta didik.
Beban
belajar penugasan terstruktur dan
kegiatan mandiri tidak terstruktur adalah waktu untuk penugasan terstruktur dan
kegiatan mandiri tidak terstruktur bagi peserta didik pada SD/MI/SDLB maksimum
40% dari jumlah waktu kegiatan tatap muka dari mata pelajaran yang
bersangkutan. Penyelesaian program pendidikan dengan menggunakan sistem paket adalah enam
tahun.
f.
Alokasi Waktu
Permulaan tahun
pelajaran adalah waktu dimulainya
kegiatan pembelajaran pada awal tahun pelajaran pada setiap satuan pendidikan.
Minggu efektif belajar adalah jumlah minggu kegiatan pembelajaran untuk setiap tahun pelajaran pada setiap
satuan pendidikan.
Waktu pembelajaran
efektif adalah jumlah jam pembelajaran setiap minggu, meliputi jumlah jam
pembelajaran untuk seluruh matapelajaran termasuk muatan lokal, ditambah jumlah
jam untuk kegiatan pengembangan diri. Waktu libur adalah waktu yang ditetapkan
untuk tidak diadakan kegiatan pembelajaran terjadwal pada satuan pendidikan
yang dimaksud. Waktu libur dapat berbentuk jeda tengah semester, jeda antar
semester, libur akhir tahun pelajaran, hari libur keagamaan, hari libur umum
termasuk hari-hari besar nasional, dan hari libur khusus.
Alokasi waktu
minggu efektif belajar, waktu libur dan kegiatan lainnya tertera pada Tabel di
bawah ini:
No
|
Kegiatan
|
Alokasi
Waktu
|
Keterangan
|
1.
|
Minggu efektif belajar
|
Minimum 34 minggu dan maksimum 38 minggu
|
Digunakan untuk kegiatan pembelajaran efektif
pada setiap satuan pendidikan
|
2.
|
Jeda tengah semester
|
Maksimum 2 minggu
|
Satu minggu setiap semester
|
3.
|
Jeda antarsemester
|
Maksimum 2 minggu
|
Antara semester I dan II
|
4.
|
Libur akhir tahun pelajaran
|
Maksimum 3 minggu
|
Digunakan untuk penyiapan kegiatan dan
administrasi akhir dan awal tahun pelajaran
|
5.
|
Hari libur keagamaan
|
2 – 4
minggu
|
Daerah khusus yang memerlukan
libur keagamaan lebih panjang dapat mengaturnya sendiri tanpa mengurangi
jumlah minggu efektif belajar dan waktu pembelajaran efektif
|
6.
|
Hari libur umum/nasional
|
Maksimum 2 minggu
|
Disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah
|
7.
|
Hari libur khusus
|
Maksimum 1 minggu
|
Untuk satuan pendidikan sesuai dengan ciri
kekhususan masing-masing
|
8.
|
Kegiatan khusus sekolah/madrasah
|
Maksimum 3 minggu
|
Digunakan untuk kegiatan yang diprogramkan secara
khusus oleh sekolah/madrasah tanpa mengurangi jumlah minggu efektif belajar
dan waktu pembelajaran efektif
|
f. Penetapan
Kalender Pendidikan
a) Permulaan tahun
pelajaran adalah bulan Juli setiap tahun dan berakhir pada bulan Juni tahun
berikutnya.
b) Hari libur
sekolah ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional, dan/atau
Menteri Agama dalam hal yang terkait dengan hari raya keagamaan, Kepala Daerah
tingkat Kabupaten/Kota, dan/atau organisasi penyelenggara pendidikan dapat
menetapkan hari libur khusus.
c) Pemerintah pusat/provinsi/kabupaten/kota
dapat menetapkan hari libur serentak untuk satuan-satuan pendidikan.
d) Kalender pendidikan untuk
setiap satuan pendidikan disusun oleh masing-masing satuan pendidikan berdasarkan
alokasi waktu sebagaimana tersebut pada dokumen Standar Isi ini dengan
memperhatikan ketentuan dari pemerintah/pemerintah daerah.
LITERATUR
A.
Ahmadi. Pendidikan Dari Masa Ke Masa.
Dinn
Wahyudin, Supriadi, Ishak Abdullah. Pengantar
Pendidikan.
Ibrahim
Musa. Otonomi Penyelenggaraan Dikdasmen.
Redja
Mudyahardjo dkk. Materi Pokok DDK.
Sutan
Z.A., dan Syahniar S. Dasar Dasar Kependidikan.
Tim
Dosen FIP IKIP Malang. Pengantar DDK.
UU No 20/2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
0 komentar: