Tuesday, December 1, 2015

HAEKEKAT DAN PENGERTIAN PENDIDIKAN



BAB I

HAKEKAT DAN PENGERTIAN PENDIDIKAN


1.     Kompetensi Dasar
Mahasiswa memiliki wawasan tentang Hakekat Manusia dan Pengertian Pendidikan.

2.     Indikator
Mahasiswa diharapkan dapat mendeskripsikan tentang Hubungan antara Hakikat Manusia dengan dan Pendidikan.


3.      Pengantar
Pada bab ini mahasiswa akan memahami karakteristik manusia dengan hewan, dengan dimensi hakekat manusia serta pengembangan dari dimensi-dimensi tersebut. Kemudian, mahasiswa juga akan mengetahui tentang sosok manusia yang sesungguhnya sebagai mahluk yang walaupun memiliki kelebihan dan potensi yang unik tetapi tidak dapat berdiri sendiri. Untuk itulah maka dalam bab ini akan dikaji tentang: hakekat manusia dan hubungannya dengan pendidikan, macam-macam dimensi hakekat manusia, ciri-ciri dari masing-masing dimensi hakekat manusia, dan karakteristik sosok manusia Indonesia.

4.      Uraian Materi
A.   Hakekat Manusia sebagai Mahluk yang Perlu Didik
Sesungguhnya manusia adalah animal educable, artinya pada hakekatnya manusia adalah mahluk yang dapat dididik. (Wahyudi, 2003). Jadi manusia pada hakekatnya adalah mahluk yang dapat dididik, karena manusia memiliki akal dan pikiran, dan hal ini pulalah yang membedakan manusia dengan hewan. Langeveld berpendapat bahwa manusia dapat juga disebut animal educantum, artinya manusia pada hakekatnya harus dididik, dan homo educandus, yang bermakna bahwa manusia adalah mahluk yang bukan hanya harus dan dapat dididik tetapi juga harus dapat mendidik. Bila dilihat dari pendapat ini maka sesungguhnya manusia di samping dapat didik, manusia juga dapat mendidik. Artinya bahwa terjadi keterhubungan yang erat diantara keduanya, sehingga pendidikan merupakan suatu keharusan bagi setiap manusia.

a.     Hakekat anak sebagai manusia
Pada dasarnya anak yang baru lahir adalah mahluk yang sangat lemah, karenanya butuh bantuan orang lain untuk kelangsungan hidupnya yaitu butuh makanan, butuh perawatan, dan butuh perlindungan. Kendatipun demikian, anak yang baru lahir sesungguhnya memiliki keunikan, walaupun pada takaran yang paling sederhana yaitu berupa tangis dan gerakan-gerakan sederhana. Bila dilihat dari kenyataan ini maka menurut Wahyudi, dkk (2003), setidaknya ada 4 pandangan yang dapat mempengaruhi perkembangan anak, yaitu: (a) Pandangan Nativisme, yang berpendapat bahwa perkembangan individu semata-mata ditentukan oleh faktor yang dibawa sejak lahir, artinya hasil pendidikan ditentukan oleh anak itu sendiri. (b) Pandangan Naturalisme, yang berpendapat bahwa semua anak lahir dengan pembawaan baik, dan tidak seorang anak pun yang lahir dengan pembawaan jelek. Pandangan ini, memandang penting artinya pendidikan anak. (c) Pandangan Environtalisme, yang berpendapat bahwa perkem-bangan anak sangat bergantung pada lingkungannya. Orang pertama yang mengemukakan tentang ini adalah John Locke, filsuf Inggris yang hidup tahun 1632-1704; dan (d) Pandangan Konvergensi, yang berpendapat bahwa dalam proses perkembangan anak, faktor bawaan atau faktor lingkungan memberikan kontribusi yang sepadan. Pandangan ini pada awalnya dikembangkan oleh William Stern, seorang ahli pendidikan Jerman yang hidup pada tahun 1871-1939. Bila direnungkan secara seksama bahwa pandangan-pandangan di atas sesungguhnya mempunyai kesamaan yaitu setiap anak yang lahir memerlukan proses pendewasaan, dan proses pendewasaan ini didapatkan dari pendidikan.

b.     Manusia dengan sifat kemanusiaannya
Sesungguhnya manusia memiliki sifat yang berbeda dengan hewan walaupun memiliki beberapa kesamaan dari segi biologisnya, misalnya orang hutan sama-sama bertulang belakang seperti manusia, berjalan tegak, melahirkan, menyusui, pemakan segala, dan adanya persamaan metabolisme. Bahkan menurut Socrates (Tirtaraharja, 2005) bahwa manusia itu adalah Zoon Politicon (hewan yang bermasyarakat). Max Scheller (Drijarkara, 1962:138) menggambarkan manusia sebagai Das Kranke Tier (hewan yang sakit) yang selalu gelisah dan bermasalah.
Kenyataannya bahwa manusia ternyata bukan merupakan hasil evolusi seperti yang diungkapkan oleh Charles Darwin dengan teori evolusinya yang telah berjuang keras untuk menemukan kalau manusia berasal dari kera, tetapi ternyata gagal. Kegagalan ini disebabkan oleh tidak ditemukannya bukti-bukti yang menunjukkan bahwa manusia muncul sebagai bentuk ubah dari kera secara evolusi menjadi manusia. Misalnya dari air bisa berubah menjadi es batu, atau wujud-wujud lainnya.

c.      Manusia sebagai mahluk budaya
Secara kodrati, bahwa pendidikan diarahkan pada pengembangan kepribadian manusia yang dilakukan secara seimbang dan seirama antara manusia sebagai mahluk individu, manusia sebagai mahluk sosial, dan manusia sebagai mahluk susila. Sebagai mahluk yang berbudaya, manusia memiliki 4 dimensi, yaitu:

1.     Dimensi individu
Menurut Lysen (Tirtaraharja, dkk.) bahwa individu adalah ‘orang-seorang’, sesuatu yang merupakan suatu keutuhan yang tidak dapat dibagi-bagi (in devide). Selanjutnya individu diartikan sebagai pribadi. Anak sebagai individu lahir dan terbekali dengan berbagai potensi yang dimilikinya dan tentunya memerlukan proses dalam penanamannya. Anak memiliki potensi dan kemampuan yang berbeda pula, misalnya dalam satu keluarga terdapat anak kembar, dari segi wajah mirip bahkan cenderung sama, kenyataannya walaupun mirip dari segi wajah maupun bentuk tubuhnya namun berbeda dari segi perilakunya. M. J. Langeveld, pakar pendidikan Belanda (Tirtaraharja, dkk.) berpendapat bahwa setiap anak yang dilahirkan telah dikaruniai potensi untuk menjadi berbeda dari yang lain, atau menjadi (seperti) dirinya sendiri. Tidak ada diri individu yang identik di muka bumi. Kenyataan inilah yang menyebabkan anak butuh bimbingan dari pihak lain yaitu pendiidik, karena pendidik dianggap mampu untuk memproses anak yang memiliki semangat untuk mandiri dan dapat menjadi dirinya sendiri. Selanjutnya, M. J. Langeveld (Tirtaraharja, dkk.) menyatakan bahwa setiap anak memiliki dorongan untuk mandiri yang sangat kuat, meskipun di sisi lain pada anak terdapat rasa tidak berdaya, sehingga memerlukan pihak lain (pendidik) yang dijadikan tempat bergantung untuk memberikan perlindungan dan bimbingan. Pendapat ini menunjukkan kalau setiap anak (manusia) dapat mengaktualisasikan dirinya secara individu dengan bantuan dan bimbingan orang lain (pendidik).

2.     Dimensi sosial
Pada hakekatnya manusia tidak dapat hidup sendiri, oleh karena itu manusia membutuhkan manusia lainnya untuk saling berinteraksi, karenanya kehadiran manusia lain tidak hanya dibutuhkan untuk mencapai tujuan hidupnya tetapi juga untuk menumbuh kembangkan kepribadian. Untuk dapat mengembangkan dimensi sosial dibutuhkan pendidikan yang lebih berorientasi pada aspek sosial karena bila hal ini diabaikan maka akan menimbulkan individu-individu yang cenderung egois, dan individualistis yang berujung pada sirnanya naluri manusia untuk selalu hidup secara bersama-sama, dan berkolompok, serta bermasyarakat.

3.     Dimensi Susila
Penanaman nilai-nilai atau norma-norma susila sangat diperlukan dalam mendewasakan anak karena anak lahir dengan keunikannya masing-masing. Anak akan belajar dalam kehidupannya, belajar tentang nilai-nilai, belajar tentang norma, belajar tentang susila, dan belajar berperilaku sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang ada dalam masyarakat. Yang menilai ditaati atau tidak nilai-nilai dan norma-norma tersebut adalah masyarakat sehingga siapapun harus mentaatinya.
Sumber nilai itu adalah Tuhan Yang Maha Esa, untuk itu nilai-nilai itu sifatnya absolute, tetapi yang berkembang pada diri manusia ada yang relatif dan ada pula yang absolute. Hal yang paling tepat dilakukan untuk dapat melakukan pewarisan nilai secara berkelanjutan adalah pendidikan karenanya system yang dikembangkan dalam pendidikan harus jelas dan sesuai dengan apa yang berkembang dalam masyarakat.

4.     Dimensi Keberagamaan
     Sebagai mahluk Tuhan yang paling sempurna terutama aqal dan pikiran dibanding mahluk ciptaan Tuhan lainnya, maka manusia meyakini betul bahwa ada kekuatan yang super natural di luar dirinya yang Sang Pencipta. Untuk memperkuat hal tersebut manusia butuh pendidikan, karena dengan pendidikan manusia dapat mendalami ajaran agama dan dapat mengajarkan praktek-praktek ajaran agama.

Tugas: Bacalah UUSBN No. 20/2003, Bab II Pasal IV. Manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan YME dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan, keterampilan yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Telaah isinya, bagaimana implementasinya?

B.    Pengertian Pendidikan
a.     Arti Pendidikan
Untuk dapat memahami arti pendidikan, terlebih dahulu perlu memahami istilah dari ilmu pendidikan dan pendidikan. Ilmu pendidikan adalah sama artinya dengan istilah ‘paedagogiek’ sedangkan pendidikan sama maknanya dengan istilah ‘paedagogie’. Melihat kesamaan di atas maka tentu ada perbedaannya, adapun perbedaannya adalah:
a)     Ilmu Pendidikan (paedagogiek)
Ilmu pendidikan lebih menekankan kepada pemikiran tentang manajemen pendidikan, sistem pendidikan, tujuan pendidikan, materi pendidikan, sarana dan prasarana pendidikan, cara penilaian, cara penerimaan siswa, kompetensi guru, dengan kata lain bahwa ilmu pendidikan menitik beratkan pada teori.
b)     Pendidikan (paedagogie)
Adapun pengertian pendidikan lebih menekankan kepada praktek, terutama yang menyangkut tentang kegiatan belajar mengajar. Sangat disadari bahwa istilah ilmu pendidikan dengan pendidikan tidak dapat dipisah secara jelas, keduanya harus dilaksanakan secara berdampingan, saling memperkuat peningkatan mutu dan tujuan pendidikan, sehingga istilah-istilah yang berkaitan dengan pendidikan dan mendidik sangat banyak digunakan karena istilah ini lebih menekankan kepada praktek.
Selanjutnya di bawah ini dibahas arti pendidikan secara etimologi dan secara definitif.
a)     Arti pendidikan (paedagogie) secara etimologi
Paedagogie berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari kata ‘PAIS’, artinya anak, dan ‘AGAIN’ diterjemahkan membimbing, jadi paedagogie yaitu bimbingan yang diberikan kepada anak.
b)     Secara definitif pendidikan (paedagogie) diartikan oleh para tokoh pendidikan, sebagai berikut:
(a)  John Dewey
Pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesame manusia.
(b)  Langeveld 
Mendidik adalah mempengaruhi anak dalam usaha membimbingnya supaya menjadi dewasa. Usaha membimbing adalah usaha yang disadari dan dilaksanakan dengan sengaja antara orang dewasa dengan anak/yang belum dewasa. Maksudnya adalah pemberian bantuan dengan sengaja kepada anak pada masa pertumbuhan jasmani maupun rohaninya untuk mencapai kedewasaan.
(c)  Hoogeveld 
Mendidik adalah membantu anak supaya ia cukup cakap dalam menyelenggarakan tugas hidupnya atas tanggung jawabnya sendiri.
(d)  SA. Bratanata dkk.
Pendidikan adalah usaha yang sengaja diadakan baik langsung maupun dengan cara tidak langsung untuk membantu anak dalam perkembangannya mencapai kedewasaannya.
(e)  Rousseau
Pendidikan adalah member kita perbekalan yang tidak ada pada masa anak-anak, akan tetapi kita membutuhkannya pada waktu dewasa.
(f)   Ki Hajar Dewantara
Mendidik adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
(g)  UUSPN No. 20/2003
Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi perannya dimasa yang akan datang.
Dari berbagai pendapat para ahli di atas maka pendidikan pada hakekatnya merupakan usaha sadar yang dilakukan untuk menyiapkan peserta didik oleh orang-orang yang bertanggung jawab dalam pendidikan agar mencapai kedewasaan yang dicita-citakan dan berlangsung secara terus-menerus.
TUGAS:  Inventarisir definisi pendidikan dari berbagai sumber, kaji secara mendalam lalu bandingkan, kemudian kemukakan simpulan Anda.

C.   Unsur-unsur Pendidikan 
Faktor-faktor yang saling pengaruhi dan berinteraksi dalam proses/kegiatan pendidikan.
a.      Faktor Tujuan
a)     Sifatnya adalah ideal (tujuan umum – manusia Pancasila), dan nyata (tujuan khusus/sementara/intermedier).
b)     Klasifikasi adalah: a. Umum. b. Institusional. c. Kurikuler. d. Instruksional/ Pembelajaran umum dan khusus.  b, c, dan d  siklus dalam mencapai tujuan umum. Pencapaian, dari yang paling bawah.
c)     Tujuan adalah mikro (kedewasaan), makro (peningkatan kualitas kehidupan semaksimal mungkin setelah dewasa seumur hidup.
b.     Faktor Pendidikan
Ø  Orang yang bertanggung jawab dalam melaksanakan pendidikan.
Ø  Kategori adalah; kodrat (OT), jabatan (guru).
Ø  Unsur dasar interaksi edukatif adalah kodrat ( kasih sayang dan tg jawab sebagai ortu), jabatan (kasih sayang dan tg jawab pada tugas mendidik).
Ø  Persyaratan pendidik menurut jabatan adalah akademis, administratif, dan pribadi (fisik, psikis dan keperibadian).
c.      Faktor Subyek Didik.
Ø  Ciri-cirinya adalah lemah dan tidak berdaya, berkemauan keras untuk berkembang, dan ingin menjadi dirinya sendiri.
Ø  Dapat dibedakan menurut adalah Tahap perkembangannya (bayi, kanak-kanak, anak-anak, remaja, dewasa). Kemampuan/ kecerdasannya (abnormal, normal, superior).
d.     Faktor Isi/materi Pendidikan.
Ø  Tertuang dalam kurikulum.
Ø  Pertimbangan dlm memilih materi adalah Sesuai dan menunjang tercapainya tujuan. Sesuai dengan peserta didik, dll.
e.      Faktor Metode dan Alat Pendidikan.
Ø  Pertimbangan dalam memilih metode  adalah  Tujuan yang ingin dicapai. Faktor peserta didik. Faktor pendidik.
Ø  Alat pendidikan adalah Bersifat tindakan (preventif dan represif). Berupa benda/ABP.
Ø  Pertimbangan dalam memilih alat pendidikan  adalah Tujuan, waktu, ketersediaan, karakteristik siswa dan lain-lain.
f.       Faktor Lingkungan Pendidikan.
Ø  Lingkungan adalah Alam (biotik dan abiotik). Sosial (keluarga, sekolah dan masyarakat).


BAB II
PENDIDIKAN SEBAGAI SISTEM DAN
LANDASAN PENDIDIKAN

A.  Pendidikan Sebagai Sistem
McAshan (Pidarta, 1997) mendefinisikan system sebagai suatu strategi yang menyeluruh atau rencana dikomposisi oleh satu set elemen yang harmonis, merepresentasikan kesatuan unit, masing-masing elemen mempunyai tujuan sendiri yang semuanya berkaitan terurut dalam bentuk yang logis. Kemudian Immegart (Pidarta, 1997) mengatakan bahwa esensi system adalah suatu keseluruhan yang memiliki bagian-bagian yang tersusun secara sistematis, bagian-bagian itu berelasi satu dengan yang lain, serta peduli terhadap konteks lingkungannya. Kedua pendapat ini menunjukkan bahwa system sesungguhnya terdiri dari beberapa subsistem, dan subsistem kemungkinan terdiri dari sub-sub sitem, begitulah seterusnya sampai bagian itu sudah tidak dapat dibagi lagi. Bagian yang tidak dapat dibagi lagi ini disebut komponen.
Jadi menurut Pidarta bahwa ciri-ciri umum suatu sistem sebagai berikut:
a.      Merupakan suatu kesatuan atau holistik
b.     Memiliki bagian-bagian yang tersusun sistematis dan berhierarki
c.      Bagian-bagian itu berelasi satu dengan yang lain
d.     Konsern terhadap konteks lingkungan.
Contohnya: Sepeda adalah suatu sistem, dia merupakan suatu kesatuan. Badannya terdiri dari kerangka sepeda, ban, stank, sadel, dan pengayuh. Kerangka sepeda terdiri dari kerangka tengah, dan garpu, ban terdiri dari pelek, luji, ban luar, ban dalam, pentil dan udara, kemudian stank terdiri dari rim, dan lonceng, menyusul pengayuh yang terdiri dari geer, rantai, dan pedal, serta sadel yang kesemuanya akan dapat bekerja dengan baik dengan bantuan skrup dan mur.
Selanjutnya menurut Pidarta bahwa semua yang ada di dunia dapat dipandang sebagai suatu sistem, mulai dari yang besar seperti tata surya, bumi, negara, orang, peredaran darah, sampai dengan satu biji gigi dapat dipandang atau dipikir sebagai suatu sistem. Begitu pula halnya dengan pendidikan, suatu sekolah dapat dipandang sebagai suatu sistem, maka sistem-sistem lain yang ada disekitarnya seperti perumahan, pasar, pertokoan, ladang, sungai, jalan, dan sebagainya adalah merupakan kumpulan sistem-sistem yang disebut suprasistem. Bila dikaitkan dengan pendidikan sistem sesungguhnya adalah keseluruhan yang terbentuk dari bagian-bagian yang mempunyai hubungan fungsional dalam merubah masukan menjadi hasil yang diharapkan
Seperti diketahui bahwa pendidikan merupakan bagian yang kompleks, yang meliputi berbagai komponen yang berkaitan erat satu sama lain. Bila garapan pendidikan ingin dilaksanakan dengan terencana dan teratur, maka berbagai faktor yang terlibat harus dipahami lebih mendalam. Untuk itulah maka pada bagian ini yang akan dibahas secara mendalam adalah pendidikan yaitu tri pusat pendidikan, dan termasuk di dalamnya adalah pendidikan dalam keluarga, lembaga pendidikan dan masyarakat; kedua pendidikan sebagai sistem dan subsistem.
a.      Tri Pusat Pendidikan
Ada tiga pihak yang berkaitan erat dalam penyelenggaran pendidikan, yaitu keluarga, lembaga pendidikan, dan masyarakat. Ketiga pandangan ini dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantoro, dengan dua teori yang ditawarkan yaitu teori tri-KON dan teori tripusat.
a)     Teori Tri KON
Ki Hajar Dewantara (Wahyudi, 2003) menekankan bahwa aktivitas pendidikan dan pengajaran sebagai tempat ‘persemaian’ benih-benih kebudayaan bangsa, dan benih-benih tersebut mengandung unsur-unsur kebudayaan nasional. Untuk itulah sejak awal anak diperkenalkan karakteristik kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional baru diberi informasi dan mengenal budaya asing, seperti yang diungkapkan dalam teori tri-KON oleh Ki Hajar Dewantara, yaitu:
(a)  Kontinuitas, yang berarti bahwa garis hidup kita sekarang harus merupakan lanjutan dari kehidupan kita pada zaman lampau, berikut penguasaan unsur tiruan dari kehidupan dan kebudayaan bangsa lain.
(b)  Konvergensi, yang berarti kita harus menghindari hidup menyendiri, terisolasi dan mampu menuju ke arah pertemuan antar bangsa dan komunikasi antar negara menuju kemakmuran bersama atas dasar saling menghormati, persamaan hak dan kemerdekaan masing-masing.
(c)  Konsentris, yang berarti setelah kita bersatu dan berkomunikasi dengan bangsa-bangsa lain di dunia, kita jangan kehilangan kepribadian sendiri. Bangsa Indonesia adalah masyarakat merdeka yang memiliki adat istiadat dan kepribadian sendiri. Meskipun kita bertitik pusat satu, namun dalam lingkaran yang konsentris itu, kita masih tetap memiliki lingkaran sendiri yang khas yang membedakan negara kita dengan bangsa lain.
b)     Tripusat Pendidikan
Ki Hajar Dewantoro pertama kali menawarkan agar system gedung sekolah disatukan dengan pondok pesantren dengan tujuan agar anak-anak didik dapat hidup dan berkembang dalam tiga lingkungan pendidikan sehingga yang satu dengan yang lain saling berinteraksi dan memberikan pengaruh dalam perkembangan anak didik.  Ketiga lingkungan pendidikan tersebut menurut Wahyudi (2003) adalah:
(a)  Keluarga (lingkungan rumah), termasuk di dalamnya peran ayah, ibu sebagai orang tua yang berkewajiban mendidik putra-putrinya dalam kehidupan keluarga.
(b)  Perguruan (Lembaga Pendidikan), yaitu lingkungan sekolah dengan struktur dan sistem kelembagaan yang khas sebagai tempat persemaian anak bangsa.
(c)  Masyarakat, yaitu lingkungan masyarakat sekitar dengan segala dinamika dan karakteristiknya yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi perkembangan anak didik sebagai anggota masyarakat.
Bila dilihat dari pendapat Ki Hajar Dewantoro di atas, sebenarnya perguruan berfungsi tidak hanya sebagai tempat/rumah para guru dan siswa tetapi juga sebagai tempat berinteraksinya proses pembelajaran. Di dalam pondok asrama, guru dan siswa diperlakukan sebagai anggota keluarga, disitulah siswa dibina dan berkembang menjadi sosok yang diharapkan. Untuk lebih jelasnya, akan dijelaskan peranan masing-masing dari lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan masyarakat dan fungsi sekolah.

c)     Lingkungan Keluarga
Dalam UUSPN No. 20 tahun 2003 dijelaskan bahwa penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan melalui dua jalur, yaitu jalur pendidikan sekolah, dan jalur pendidikan luar sekolah.
        
B.    Landasan Pendidikan
Pendidikan adalah sesuatu yang universal dan berlangsung terus tak terputus dari generasi ke generasi di manapun di dunia ini. (Tirtarahardja, 2005). Ini menunjukkan bahwa pendidikan diselenggarakan untuk memanusiakan manusia berdasarkan pandangan hidup dan latar sosial kebudayaan yang berbeda pada masyarakat tertentu. Walaupun diketahui pendidikan itu bersifat universal tapi dalam pelaksanaannya terdapat perbedaan-perbedaan tertentu sesuai dengan pandangan hidup dan latar sosiokultural masyarakatnya. Demikian pula yang terjadi di Indonesia, untuk membekali tenaga kependidikan agar mempunyai wawasan dalam pelaksanaan tugasnya yang bertalian langsung dengan sosiokultural, ada tiga kajian penting yang akan dibahas yaitu landasan filosofis, landasan sosiologis, dan landasan kultural.
Kemudian, dilanjutkan dengan landasan psikologis dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman tentang perkembangan peserta didik dan cara belajarnya, sedangkan landasan iptek bertujuan untuk memudahkan guru dalam mencari berbagai literatur dan bahan ajar yang berkaitan dengan bidang studinya. Untuk memudahkan memahaminya di bawah ini akan dibahas satu persatu mulai dari landasan filosofis, landasan sosiologis, landasan kultural, landasan psikologis, dan landasan iptek.
a)     Landasan Filosofis
Untuk lebih memamahi secara dalam tentang landasan filosofis, sebaiknya perlu dipahami dulu tentang filsafat, hubungan filsafat bangsa dengan tujuan pendidikan, dan pengaruh filsafat dalam pendidikan.
(a)  Pengertian Filsafat
Untuk dapat memahami secara dalam tentang filsafat, terlebih dahulu akan dipaparkan beberapa pendapat para ahli, Plato misalnya menyebut filsafat sebagai ‘ilmu pengetahuan tentang kebenaran’, sedangkan Socrates menyebut filsafat sebagai  ‘cara berpikir yang radikal, menyeluruh dan mendasar’. Untuk itu, tugas falsafah, menurut Socrates, bukan terletak pada pertanyaan yang timbul dalam kehidupan melainkan mempersoalkan jawaban yang diberikan.  Falsafah senantiasa menanyakan tentang kegiatan berpikir manusia dari awal hingga akhir. Dari pandangan di atas, filsafat dapat dipandang sebagai ‘induk semang ilmu pengetahuan’.
Pemahaman lain tentang filsafat adalah ‘sistem nilai’ (value system), artinya filsafat dapat dianggap sebagai pandangan hidup manusia dalam mengaruhi bahtera kehidupan. Jadi, bila filsafat dianggap sebagai sistem nilai maka maksudnya adalah setiap manusia mempunyai sistem nilai tersendiri yang mungkin berbeda dengan sistem nilai yang dianut masyarakat lainnya. Ini berarti bahwa sistem nilai yang berkembang dalam suatu masyarakat dapat dipandang sebagai sistem nilai yang harus dianut dalam garapan pendidikan yang dilakukannya. Dengan kata lain filsafat hidup dalam masyarakat merupakan arti lain dari landasan filosofis penyelenggaraan pendidikan yang akan dilaksanakan. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan seperti yang dikatakan Winecoff (Wahyudin, dkk. 2003) filsafat bisa didefinisikan sebagai suatu studi tentang hakekat realitas, hakekat ilmu pengetahuan, hakekat sistem nilai, hakekat nilai kebaikan, hakekat keindahan, dan hakekat pikiran.
(b)  Hubungan filsafat dengan tujuan pendidikan
Dalam bidang pendidikan, filsafat akan mengkaji persoalan yang berkaitan dengan apa yang ingin diketahui, bagaimana cara mendapatkannya, serta apa nilai kegunaan pendidikan bagi manusia. Dengan demikian, filsafat pendidikan merupakan pola piker frilsafat dalam menjawab masalah-masalah yang berkaitan dengan perencanaan dan implementasi pendidikan. Filsafat pendidikan menentukan arah kemana peserta didik akan dibawa. Filsafat pendidikan merupakan perangkat nilai yang melandasi dan membimbing ke arah pencapaian tujuan. Oleh sebab itu, filsafat yang dianut suatu bangsa, atau fisafat kelompok masyarakat, akan mempengaruhi tujuan pendidikan yang akan dicapai.
Tujuan pendidikan pada dasarnya merupakan rumusan yang komprehensif tentang hasil apa yang seharusnya dicapai dalam suatu program. Tujuan pendidikan berarti pernyataan yang memuat berbagai kompetensi yang diharapkan bisa dimiliki para peserta didik selaras dengan sistem nilai dan falsafah yang dianut. Di sini berarti ada keterkaitan antara falsafat pendidikan dengan tujuan pendidikan. Falsafah negara yang dianut bagaimana pun juga akan mewarnai tujuan pendidikan suatu negara.
(c)  Manfaat filsafat pendidikan
Nasution (Wahyudin dkk., 2003) menyatakan bahwa manfaat filsafat pendidikan adalah sebagai berikut:
1.     Filsafat pendidikan dapat menentukan arah (direction) akan kemana anak didik dibawa. Sekolah ialah suatu lembaga yang didirikan oleh masyarakat  untuk mendidik anak bangsa sesuai dengan harapan dan cita-cita masyarakat tersebut.
2.     Dengan adanya tujuan pendidikan yang diwarnai oleh filsafat pendidikan yang dianut, kita mendapat gambaran yang jelas tentang hasil (output) yang harus dicapai dalam program pendidikan. Pribadi anak didik yang bagaimanakah yang akan ditempa dalam garapan pendidikan.
3.     Filsafat pendidikan menentukan cara dan proses untuk mencapai tujuan pendidikan yang ingin dicapai.
4.     Filsafat dan tujuan pendidikan akan member kesatuan yang bulat (unity) tentang segala upaya pendidikan yang dilakukan. Garapan pendidikan dilaksanakan secara sistematik, berkesinambungan serta berhubungan erat satu sama lain.
5.     Filsafat dan tujuan pendidikan memungkinkan para pengelola pendidikan melakukan penilaian tentang segala upaya yang telah dilaksanakann dalam implementasi pendidikan.
Berdasarkan pemahaman di atas dapat dikemukakan bahwa faktor filosofis berkaitan erat dengan pengkajian manusia ideal menurut kepribadian bangsanya. Pandangan ini selanjutnya dirumuskan menjadi tujuan-tujuan pendidikan, misalnya tujuan pendidikan nasional, tujuan institusional, tujuan kurikuler, tujuan instruksional umum, dan tujuan instruksional khusus. Dari garapan-garapan ini menunjukkan bahwa pendidikan senantiasa mencerminkan falsafah dan pandangan hidup suatu bangsa. Kearah mana potret kehidupan suatu bangsa secara nyata akan tercermin dari rumusan tujuan pendidikan nasional yang ditetapkannya.
Falsafah yang berbeda-beda, misalnya religius, sekuler, demokratis, sosialis, dan sebagainya akan mempunyai tujuan tersendiri sesuai dengan falsafah yang dianutnya, contohnya pada saat Indonesia masih berada di bawah kolonialisme Belanda, tujuan pendidikan kolonial akan berbeda dengan tujuan pendidikan nasional yang dianut Indonesia pada zaman kemerdekaan. Hal ini disebabkan karena falsafah yang dianut oleh Belanda dengan Indonesia berbeda, dengan kata lain bahwa falsafah suatu negara akan member warna dan pengaruh kepada falsafah pendidikan nasionalnya.
Bagi bangsa Indonesia, Pancasila menjadi dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia, artinya nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sepatutnya menjadi acuan dasar dalam kehidupan manusia Indonesia. Dengan demikian, pembangunan pendidikan nasional sebagai usaha sadar dan sistematis untuk membina manusia Indonesia dengan cara hidup dan pandangan hidup Pancasila, yang berarti bahwa garapan pendidikan nasional harus mampu membawa segenap bangsa Indonesia untuk menjadi manusia Pancasila.

a.     Landasan Sosiologis
Pendidikan adalah upaya manusia untuk memanusiakan manusia.  Manusia pada hakekatnya adalah mahluk ciptaan Tuhan yang paling tinggi derajatnya dibandingkan dengan mahluk lain ciptaan-Nya di muka bumi ini, hal ini disebabkan karena manusia memiliki akal dan pikiran sehingga dia mampu mengembangkan dirinya menjadi manusia yang berbudaya. (Wahyudi, dkk., 2003). Pendidikan adalah bagian dari proses sosial yang dilakukan manusia untuk dapat menjadi manusia yang berbudaya sehingga dapat meningkatkan harkat dan martabatnya. Dengan demikian pendidikan tidak bisa terlepas dari lingkungannya karena manusia sebagai mahluk sosial terikat oleh suatu sistem sosial dengan segala komponennya yang berkembang di masyarakat.
Selanjutnya menurut Wahyudi, dkk. (2003), bahwa garapan pendidikan secara nyata merupakan proses sosialisasi antarwarga melalui interaksi insani menuju masyarakat yang berbudaya. Hal inilah yang digunakan sebagai dasar untuk mengembangkan manusia sesuai dengan nilai budaya yang dianutnya, dipupuk dan dikembangkan sesuai dengan kemampuan yang ada pada dirinya agar dapat menjadi sosok manusia yang berbudaya. Nana Sudjana (Wahyudi, dkk; 2003) mengungkapkan bahwa ada tiga gejala yang diungkapkan dalam kebudayaan umat manusia, yaitu berupa:
a)     Ide dan gagasan seperti konsep, nilai, norma, peraturan sebagai hasil cipta dan karya manusia.
b)     Kegiatan seperti tindakan yang berpola dari manusia dalam masyarakat
c)     Hasil karya cipta manusia.
Karena pendidikan merupakan suatu proses budaya, maka pembinaan dan pengembangan cipta, rasa, dan karsa dapat dilakukan dalam tiga wujud di atas. Wujud yang pertama, yaitu ide dan gagasan sifatnya cenderung abstrak. Adanya dalam alam pikiran manusia dan warga masyarakat di tempat kebudayaan itu berada. Gagasan itu menjadi motivasi, pendorong, serta memberi jiwa dan makna bagi kehidupan manusia dalam bermasyarakat sehingga pola pikir tersebut menjadi suatu sistem yang dianut. Norma, adat, ataupun peraturan merupakan contoh dari hasil kebudayaan tersebut. Wujud kedua adalah kegiatan yang berpola dari manusia, yaitu aktivitas manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Tindakan ini disebut sistem sosial, dimana aktivitas manusia cenderung bersifat kongkret, bisa dilihat dan diobservasi secara langsung. Sedangkan wujud ketiga adalah seluruh hasil fisik dan non fisik serta perbuatan atau karya manusia dalam masyarakat. Sudah barang tentu wujud fisik ataupun non fisik ini hasil dari karya manusia sesuai dengan kebudayaan pertama dan kedua, artinya wujud ketiga merupakan hasil buah pikir dan keterampilan manusia sesuai dengan gagasan atau ide dan aktivitas manusia dalam struktur sistem sosialnya. (Wahyudi, dkk; 2003).
Merujuk pada uraian di atas sesungguhnya pendidikan tidak bisa terlepas dari pengaruh sosial budaya karena dalam belajar peserta didik tidak bisa terlepas dari masyarakat ketika bergaul dan berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam kehidupan bermasyarakat, latar belakang dan corak aktivitasnya pun beragam, cenderung dinamis dan berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan yang melatarbelakanginya. Asas yang sesuai dengan kondisi seperti ini adalah asas sosiologis karena dapat memberikan pijakan yang mendasar untuk menentukan apa yang cocok dipelajari para peserta didik, bagaimana mempelajari bahan tersebut sehingga produktivitas pendidikan (output) sesuai dengan harapan dan tuntutan kebutuhan masyarakat, baik diamati dari perkembangan sosial budayanya maupun diamati dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pandangan di atas menunjukkan bahwa dalam melaksanakan pendidikan harus memperhatikan pengaruh ilmu pengetahuan dan pendidikan yang melatar-belakangi masyarakat tersebut karena itu landasan sosiologislah yang paling tepat untuk dapat memberikan pijakan yang mendasar terhadap para peserta didik. Bila pijakannya sesuai maka lebih mudah untuk mempelajari bahan yang akan disampaikan sehingga produktivitas pendidikan pun sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat. Salah satu yang sangat berperan dalam mewarnai masyarakat adalah sekolah, untuk itu di bawah ini akan dijelaskan peran dan hubungan sekolah dengan masyarakat.
d)     Peran Sekolah dalam mewarnai masyarakat, adapun peran adalah sebagai berikut:
(a)  Pewaris kebudayaan, sekolah adalah tempat transmisi kebudayaan seperti bahasa, kesenian, pengetahuan, adat istiadat, kepercayaan, sistem mata pencaharian, dan sistem sosial bagi masyarakat modern. Oleh karena itu hubungan sekolah dengan masyarakat perlu dijaga dan dipelhirara dengan baik.
(b)  Pemelihara kebudayaan, sekolah berfungsi sebagai tempat untuk memelihara berlangsungnya prosses kebudayaan yaitu dengan memantau perilaku siswa, menggunakan kurikulum yang standard dan buku teks yang sesuai dengan kebutuhan zaman agar dapat diterapkan dalam kehidupan nyata.
(c)  Tempat reproduksi budaya, sekolah tempat mensosialisasikan nilai-nilai atau norma-norma yang ada dalam masyarakat dengan tetap melakukan perubahan atau perbaikan. Sekolah harus melakukan hubungan transformatif dengan masyarakat untuk menanamkan nilai-nilai baru melalui pelajaran yang relevan, kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler agar reproduksi budaya dapat dilakukan secara berkelanjutan.
(d)  Agen difusi kebudayaan, sekolah berfungsi sebagai agen distribusi kebudayaan dengan menyampaikannya kepada siswa agar kesejahteraan masyarakat dapat tercapai. Adapun yang perlu diperhatikan adalah tempat sekolah atau tempat berlangsungnya distribusi kebudayaan, dengan kata lain distribusi kebudayaan tidak dapat diseragamkan tergantung pada tempat atau daerah sekolah itu berada.
e)     Hubungan timbal balik antara sekolah dengan masyarakat
Dukungan masyarakat terhadap program sekolah sangat penting dilakukan agar terjadi hubungan yang harmonis, bila program-program yang akan dilaksanakan mendapatkan dukungan dari masyarakat maka semua program akan dapat berjalan dengan lancar, adapun bentuk-bentuk dukungan tersebut yaitu:
(a)  Transaksional, dukungan masyarakat dalam mengembangkan program-program sekolah dapat berjalan dengan baik, untuk itu program-program sekolah harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga masyarakat semakin banyak yang terdidik. Bila masyarakat sudah banyak yang terdidik maka cara berpikir masyarakat pun semakain banyak dan ekonomi masyarakat pun semakin maju dan hidup sejahtera.
(b)   Cara berhubungan dengan masyarakat, berhubungan dengan masyarakat dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
1.     Aktivitas kurikuler siswa, sebelum melaksanakan pembelajaran, sebaiknya pihak sekolah melakukan diskusi atau tanya jawab dengan masyarakat dengan tujuan agar kebutuhan masyarakat terpenuhi. Sedangkan untuk kegiatan seperti magang, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat, sekolah dapat bekerja sama dengan pendidikan tinggi khususnya LPTK (Lembaga Kependidikan Tenaga Kependidikan).
2.     Aktivitas guru, ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh guru agar hubungan sekolah dengan masyarakat khususnya para orang tua siswa, yaitu melaksanakan home visit (kunjungan rumah) dengan maksud agar guru dapat melakukan kerjasama dengan orang tua siswa, untuk membantu siswa tidak hanya di sekolah tapi juga di rumah.
3.     Kegiatan ekstrakurikuler, pihak sekolah melibatkan masyarakat dalam kegiatan kepramukaan, PMR, kesenian, dan kegiatan-kegiatan sejenis. Kegiatan-kegiatan semacam ini perlu dilakukan agar orang tua merasa mempunyai sekolah.
4.     Mengundang masyarakat ke sekolah, untuk menunjukkan hasil karya siswa pihak sekolah dapat melaksanakan pameran-pameran sederhana dengan mengundang wali murid pada hari-hari besar nasional seperti HUT Kemerdekaan RI, HUT sekolah, dan acara-acara yang senada dengan hal tersebut. Pelaksanaan model ini sangat penting dilakukan agar masyarakat mengetahui lebih banyak informasi-informasi tentang aktivitas putra-putri mereka yang belajar di sekolah tersebut.
5.     Media massa, selain itu pihak sekolah juga dapat melaksanakan kegiatan-kegiatan lainnya agar masyarakat khususnya para orang tua wali murid mengetahui kegiatan-kegiatan yang dilakukan di sekolah dengan membuat majalah, bulletin secara periodik, kemudian disampaikan kepada orang tua atau instansi-instansi terkait sehingga sekolah lebih dikenal aktivitasnya.

f)      Bentuk partisipasi masyarakat
Adapun bentuk partisipasi masyarakat di sekolah, yaitu:
(a)  Penyediaan dana pendidikan, selain mendapatkan dana dari pemerintah sekolah juga perlu menggali dari sumber-sumber lain. Untuk itu, peran serta masyarakat sangat diperlukan, seperti penambahan fasilitas belajar, anggaran belanja sekolah, dan lain-lain.
(b)  Penyediaan fasilitas belajar di rumah, agar anak dapat belajar dengan tenang dan bersemangat para orang tua perlu melengkapi segala fasilitas belajar yang dibutuhkan anak, seperti meja-kursi belajar, buku-buku bacaan, dan fasilitas-fasilitas pendukung lainnya.
(c)  Mengawasi dan mengikuti perkembangan anak, komitmen orang tua terhadap pendidikan anak sangat penting karena komitmen ini akan berdampak kepada keinginan orang tua yang tinggi untuk selalu mengawasi anak dalam belajar, mengetahui hal-hal yang dibutuhkan anak untuk mengembangkan kemampuannya.
(d)  Ikut mencari solusi dari masalah-masalah sekolah, masyarakat bersama-sama dengan sekolah mencari jalan keluar dari setiap permasalahan yang ditemukan oleh sekolah.
(e)  Ikut mengontrol pelaksanaan pendidikan di sekolah, masyarakat perlu mengontrol proses pembelajaran di sekolah agar mutu siswa dapat dicapai, semakin tinggi keinginan masyarakat mengontrol proses pelaksanaan pembelajaran di sekolah maka semakin tinggi pula mutu yang akan dicapai.
(f)   Memberi feed-back, diminta atau tidak, masyarakat diharapkan juga untuk memberikan masukan atas segala kelemahan yang terjadi di sekolah, diminta atau tidak masyarakat harus tetap melakukannya.
(g)  Meminjami sekolah fasilitas yang diperlukan, partisipasi masyarakat juga dapat dilakukan dengan meminjami beberapa fasilitas yang tidak dimiliki oleh sekolah seperti sound system, alat-alat kesenian, maupun alat-alat lainnya yang diperlukan sekolah.
(h) Menerima dan melayani siswa yang sedang belajar di masyarakat, dalam mengembangkan pembelajaran PAKEM di sekolah, masyarakat harus mengambil bagian dari pembelajaran tersebut dengan memberikan informasi yang dibutuhkan siswa.
(i)    Menjadi nara sumber, trainer bila diperlukan, untuk memaksimalkan berjalannya proses pembelajaran di sekolah, masyarakat khususnya yang mempunyai keahlian dapat menjadi nara sumber, atau trainer bagi guru maupun siswa bila dibutuhkan oleh sekolah.

g)     Faktor-faktor Sosial Problema Pendidikan
(a)  Faktor sosial kemajuan siswa  adalah  keadaan keluarganya, teman kelompok sebaya, tokoh acuannya di luar keluarga dan sekolah.
(b)  Faktor sosial kemajuan guru adalah karakteristik siswa, orang dan masyarakat, personalia administratif, keadaan keluarganya, orang profesi.
(c)  Faktor sosial kemajuan sekolah  adalah sumber dana masyarakat, stabilitas masyarakat, populasi usia sekolah, status sosial masyarakat dan lain-lain.

b.     Landasan Psikologis
Pendidikan selalu melibatkan aspek kejiwaan manusia, sehingga landasan psikologis merupakan salah satu landasan yang penting dalam bidang pendidikan. Pada umumnya landasan psikologis dari pendidikan tersebut terutama tertuju pada pamahaman manusia, khususnya tentang proses perkembangan dan proses belajar. (Tirtarahardja, dkk., 2005). Pendapat ini menunjukkan bahwa proses pendidikan berkaitan langsung dengan kejiwaan manusia, karena faktor kejiwaan sangat berpengaruh pada tingkat pemahaman manusia, sehingga penyampaian ilmu pengetahuan pun disesuaikan dengan tingkat perkembangan manusia untuk mempelajarinya.
Untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan pendidikan, terdapat beberapa pandangan yang membahas tentang hakekat manusia, pandangan tentang hakekat manusia dapat ditinjau dari aspek psikologis dalam pendidikan, yaitu strategi disposisional, strategi behavioral, dan strategi phenomenologis/humanistic. Strategi disposisional, yang merupakan pandangan konstitusional dari Kretschmer dan Sheldon, yang menekankan pada faktor hereditas pada perkembangan manusia.  Strategi behavioral, dan strategi phenomenologis, sama-sama menekankan pada faktor dalam perkembangan, tetapi berbeda pandangan tentang terjadinya proses pembelajaran. Strategi behavioral bertolak dari Lockean tradision, oleh J. Locke, memandang manusia terutama sebagai mahluk pasif yang tergantung pada pada lingkungannya. Pandangan ini tampak pada ‘a Scientific Psychology’ oleh B. F. Skinner. Strategi phenomenologist bertolak dari Leibnitzian tradition, yang memandang manusia sebagai mahluk aktif yang mampu beraksi dan melakukan pilihan-pilihan sendiri. Pandangan ini tampak pada ‘a Humanistic Pshychology dari Carl R. Roger. Akan tetapi dalam kenyataanya, manusia bukan hanya ‘receiver and transmitter of information’ tetapi juga ‘generator of information’ Sulo (Tirtarahardja, 2005). Untuk lebih memahami tentang landasan psikologis, di bawah ini akan dibahas tentang pengertian tentang landasan psikologis dan perkembangan peserta didik.
Manusia dilahirkan dengan sejumlah kebutuhan yang harus dipenuhi dan potensi yang harus dikembangkan. Dalam upaya memenuhi kebutuhannya itu maka manusia berinteraksi dengan lingkungannya karena dengan berinteraksi dengan lingkungannya akan menyebabkan manusia mengembangkan kemampuannya khususnya melalui proses belajar. Semakin kuat motif untuk memenuhi kebutuhan semakin tinggi hasil belajar yang dapai dicapainya.
Akan tetapi yang perlu dipahami bahwa setiap individu mempunyai aspek kejiwaan yang berbeda, bukan hanya terkait dengan kecerdasan dan bakat, tetapi juga perbedaan pengalaman dan tingkat perkembangan, perbedaan aspirasi dan cita-cita, bahkan perbedaan kepribadian. Oleh sebab itu, mengerti tentang perkembangan psikologis setiap anak sangat penting dilakukan, karena dengan memahami perkembangan anak maka semakin mudah pula untuk menanganinya. Selain itu, memahami perbedaan kepribadian setiap anak akan berpengaruh pula pada cara menangani perkembangannya, jadi pemahaman perkembangan kepribadian anak akan sangat bermanfaat untuk pendidikannya terutama dalam membentuk kepribadiannya.
Semakin bagus kepribadian anak semakin mandiri pula anak tersebut dan semakin kuat motivasi anak semakin tinggi pula keinginan untuk meraih kebutuhan yang ingin dicapainya. A. Maslow (Tirtarahardja, 2005) menyatakan terdapat enam kelompok kebutuhan, mulai dari kategorisasi yang paling sederhana sampai mendasar, yaitu: a) Kebutuhan fisiologis: Kebutuhan untuk mempertahankan hidup (makan, tidur, istirahat, dan sebagainya); b) Kebutuhan rasa aman: Kebutuhan untuk secara terus-menerus merasa aman dan bebas dari ketakutan; c) Kebutuhan akan cinta dan pengakuan: Kebutuhan berkaitan dengan kasih sayang dan cinta dalam kelompok dan dilindungi oleh orang lain; d) Kebutuhan harga diri (esteem    needs): Kebutuhan berkaitan dengan perolehan pengakuan oleh orang lain sebagai orang yang berkehendak baik; e) Kebutuhan untuk aktualisasi diri: Kebutuhan untuk dapat melakukan sesuatu dan mewujudkan potensi-potensi yang dimiliki (menyatakan pendapat, perasaan, dan sebagainya); f) Kebutuhan untuk mengetahui dan memahami: Kebutuhan yang berkaitan dengan penguasaan iptek.
Menurut Maslow (Tirtarahardja, 2005) bahwa kebutuhan yang paling utama adalah kebutuhan fisiologis, dan individu diharapkan dapat memenuhi kebutuhan ini sebelum mengejar kebutuhan akan rasa aman. Demikian juga untuk kebutuhan-kebutuhan berikutnya. Kebutuhan yang lebih rendah merupakan prasyarat bagi pemuasan kebutuhan berikutnya yang lebih tinggi. Pemuasan kebutuhan tingkat terandah hingga yang keempat sangat dipengaruhi oleh orang lain, sedangkan yang terakhir sangat ditentukan oleh diri sendiri. Dengan demikian, karena belajar pada dasarnya merupakan usaha untuk memenuhi kebutuhan tingkat tinggi, maka pemenuhannya sangat ditentukan oleh diri pelajar dan mempersyaratkan adanya rasa aman dan seterusnya yang lebih rendah.


B.    Landasan Ilmiah dan Teknologis
Azas lain yang sangat mempengaruhi garapan pendidikan adalah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Hal yang patut diakui, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam beberapa dasawarsa terakhir ini maju dengan pesat sebagai buah dari kegiatan penelitian dalam bidang ilmu murni (pure science) dan ilmu terapan (applied science) yang berkembang pesat pula.
Perkembangan yang pesat inilah yang berpengaruh kuat terhadap garapan pendidikan. Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan isi kurikulum pendidikan. Sedangkan isi kurikulum itu sendiri merupakan kumpulan pengalaman manusia yang disusun secara sistematis dan sistemik sebagai hasil atau buah karya kebudayaan umat manusia. Oleh sebab itu, pemulihan sebaran dan isi kurikulum dalam suatu program pendidikan pada hakikatnya merupakan penetapan isi atau ilmu yang relevan dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Di sini berarti, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagai salah satu karakteristik perkembangan sosial budaya, akan memberi corak dan warna bagi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan pendidikan. (Wahyudi, dkk., 2003).
Dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah kebutuhan dan tarap hidup manusia semakin meningkat yang menyebabkan tuntutan hidup pun semakin tinggi. Untuk mengatasi semua itu, yang paling tepat dilakukan adalah menyiapkan peserta didik, artinya garapan pendidikan harus menjadi prioritas, yaitu dengan menyiapkan kurikulum yang mampu menjawab tantangan dan tuntutan zaman, dengan menyiapkan program, pendekatan, dan strategi yang tepat untuk melaksanakannya.
Nana Syaodih Sukmadinata (Wahyudi, 2003) mengemukakan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara langsung akan menjadi isi/materi pendidikan. Sedangkan secara tidak langsung memberikan tugas kepada pendidikan untuk membekali masyarakat dengan kemampuan pe mecahan masalah yang dihadapi sebagai pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ini berarti bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat berpengaruh terhadap pendidikan terutama untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan.
Agar perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bisa senafas dengan tuntutan pembangunan nasional, maka Oemar Hamalik (1995) menyarankan lima hal untuk menjadi perhatian, yaitu:
a.      Perkembangan iptek harus berada dalam keseimbangan yang dinamis dan efektif dengan pembinaan sumber daya manusia, pengembanan sarana dan prasarana, iptek, pelaksanaan penelitian dan pengembangan serta rekayasa produksi dari jasa.
b.     Pembangunan iptek sepatutnya tertuju pada peningkatan kualitas, yakni untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan dan kehidupan bangsa.
c.      Pembangunan iptek sepatutnya selaras dengan nilai-nilai agama, nilai luhur budaya bangsa, kondisi sosial budaya, dan lingkungan hidup.
d.     Pembangunan iptek sepatutnya berpijak pada upaya peningkatan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas penelitian dan pengembangan yang lebih tinggi.
e.      Pembangunan iptek seyogyanya berdasarkan asas pemanfaatannya yang dapat memberikan nilai tambah dan memberikan pemecahan masalah konkret pembangunan nasional.
Bila dilihat dari pendapat di atas, maka pembangunan iptek seharusnya lebih berorientasi pada keseimbangan yang dinamis yang lebih mengarah pada peningkatan kualitas dan selaras dengan nilai-nilai agama, nilai luhur budaya bangsa, kondisi sosial budaya, dan lingkungan hidup. Selain itu, pembangunan bangsa juga lebih mengarah pada upaya produktivitas, dan efisiensi agar pembangunan nasional dapat berjalan lancar.
Dalam implementasinya khususnya yang terkait dalam pendidikan, nampaknya menyambut perkembangan teknologi sudah dapat dipastikan terutama yang berkaitan dengan pengembangan pembelajaran, seperti media audio  (radio, tape recorder, pita audio, phonograph), media visual  (flash card, OHP, MCR, film strip dan lian-lain), media audio visual  (TV, CCTV, video, film dan lain-lain), dan media penunjang lain seperti komputer, faximile, dan lain-lain.




BAB III
AZAS-AZAS POKOK DAN ALIRAN-ALIRAN PENDIDIKAN

A.   AZAS-ZAS POKOK PENDIDIKAN
Pendidikan merupakan merupakan suatu kebenaran dengan melakukan proses sedemikian rupa, karena di samping manusia dapat dididik, manusia juga dapat mendidik dirinya sendiri dan dapat mendidik manusia lainnya. Umar Tirtarahardja (2003) menyatakan bahwa asas pendidikan merupakan sesuatu kebenaran yang menjadi dasar atau tumpuan berpikir, baik pada tahap perancangan maupun pelaksanaan pendidikan. Artinya bahwa kebenaran menjadi dasar atau tumpuan berpikir dalam pelaksanaan pendidikan, sehingga bila dalam pelaksanaan dalam pendidikan itu ada unsur ketidakbenaran maka tahapan-tahapan dalam pelaksanaan pendidikan itu tidak tercapai.
Dalam kaitan dengan manusia dapat dididik, Tirtarahardja juga mengatakan bahwa bayi melalui pendidikan dapat dikembangkan menjadi calon pakar yang dapat merancang dan membuat pesawat angkasa luar yang dapat menjelajah angkasa, dan mampu merekayasa genetika yang memicu revolusi hijau dengan berbagai bibit unggul, ataupun sebaiknya mampu membuat bom yang dapat menghancurkan manusia dan kebudayaannya. Ini artinya bahwa manusia dapat dididik sedemikian rupa tergantung mau dibawa kemana anak tersebut, semakin tinggi pendidikannya semakin tinggi pula hasil yang akan dicapai. Akan tetapi terdapat dua pengaruh yang sangat tinggi pada pendidikan, bila pengaruh pendidikan itu dibawa kearah yang positif maka hasilnya pun sangat bermanfaat, tetapi bila tidak maka hasilnya pun sangat tidak bermanfaat dan sangat merugikan. Di bawah ini akan dijelaskan secara runut tentang asas-asas pendidikan yang pernah dianut dan ada pula yang masih bertahan sampai sekarang.

a.      Asas Tut Wuri Handayani
Azas tut wuri handayani yang saat ini menjadi semboyan Pendidikan Nasional Negara Indonesia merupakan salah satu azas dari “Azas 1922” yaitu tujuh buah azas dari Perguruan Nasional Taman Siswa, yang didirikan pada tanggal 3 Juli 1922. Sebagai azas pertama, tut wuri handayani merupakan inti dari Sistem Among dari perguruan ini, azas ini dikumandangkan oleh Ki Hadjar Dewantara yang mendapatkan tanggapan positif dari Drs. R.M.P. Sostrokartono (Filsuf dan ahli bahasa) dengan menambahkan dua semboyan untuk melengkapinya, yaitu: Ing Ngarso Sung Tulada dan Ing Madya Mangun Karsa. Tirtarahardja (Raka Joni, et.al.: 1985:38).
Apa yang dikumandangkan oleh Ki Hajar Dewantara ini sesungguhnya sangat baik untuk anak karena orang tua hanya berfungsi untuk mengikuti dari belakang potensi yang ada dari anak, bukan menarik-narik anak yang tidak sesuai dengan keinginannya. Anak-anak bisa mencari jalan keluar sendiri sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh anak itu sendiri. Hal ini disampaikan pula oleh Ki Moh. Tauhid yang berpendapat bahwa kebebasan ada pada diri anak karena anak dapat bergerak menurut kemauannya sendiri.
Pendapat inilah yang ada di Piagam dan Peraturan dasar Persatuan Taman Siswa yang lebih berorientasi pada mengikuti potensi anak karena anak memiliki sifat-sifat kondrati/potensi, yang menolak paksaan dan kekerasan sesuai dengan prinsip nativisme/voluntarisme (voluntas = kehendak).
Sedangkan arti dari Handayani ada menurut Ki hajar Dewantara adalah memberi pengaruh, artinya kalau si anak salah jalan baru si pamong boleh berinterfensi. Hal ini disampaikan juga oleh Ki Moh. Tauhid yang menyatakan bahwa pamong akan bertindak bila perlu dengan paksaan kalau keinginan anak akan membahayakan keselamatannya. Dengan kata lain bahwa perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh lingkungannya seperti orang tua, pamong dan lain-lain dalam rangka menyelamatkannya. Pendapat ini sengat senada dengan prinsip-prinsip empirisme/realisme, dan progressivisme/rekonstruk-sionisme yang cenderung kritis.

b.     Asas Belajar Sepanjang Hayat/Life Long Education
Asas life long education merupakan proses pendidikan yang sifatnya berkelanjutan yang bermula sejak lahir sampai meninggal. Proses pendidikan ini mencakup belajar informal, formal, dan non formal. Informal belajar di dalam keluarga, formal belajar di sekolah, dan non formal belajar di lembaga kerja dan masyarakat. Jadi long life education adalah proses penyesuaian diri dengan lingkungan untuk mendapatkan kesuksesan dalam hidup.  Penyesuaian dengan merubah diri atau merubah lingkungan  disebut hekikat belajar.
Proses belajar adalah usaha individu untuk memiliki pengetahuan dan keterampilan baru secara formal atau tidak, secara teratur atau tidak, agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan hidup dengan sukses. Menurut Owen Watts berpendapat bahwa proses belajar adalah a process of “self actualization of individual person”, atau “continous struggle for self-conquest” and does not end at 15 or even 25, but is on-going. Proses belajar lebih mengarah pada proses aktualisasi diri secara individu yang tidak berakhir di usia ke-15 atau usia ke-25 tetapi terus-menerus dan berkelanjutan.



c.      Asas-azas Kemandirian dalam Belajar
Saat ini lembaga-lembaga pendidikan dan masyarakat belum sepenuhnya dapat menerapkan azas-azas ini dalam proses belajar, hal ini disebabkan oleh beberapa permasalahan, yaitu:
a)      Belum meratanya masyarakat yang memahami asas-azas pendidikan
b)      Ada peserta didik yang belum memperoleh kesempatan pendidikan yang layak
c)      Kekurangan sumber-sumber pendukung pendidikan
d)      Angka drop out prosentasenya di setiap daerah masih tergolong besar.

d.     Pengembangan penerapan azas-azas pendidikan
Pengembangan penerapan azas-azas pendidikan dapat dilakukan dengan mengaktifkan lembaga-lembaga formal dan non formal, terutama untuk mengembangkan kemampuan baca tulis fungsional, vocational, profesional, ke arah perubahan dan pembangunan, kewargaan negara dan kedewasaan politik, serta kultural dan pengisian waktu senggang.
Untuk mengembangkan kemampuan baca tulis dapat dilakukan di lembaga-lembaga masyarakat. Demikian juga dengan keterampilan dapat dikembangkan di kursus-kursus keterampilan yang ada di masyarakat, menyusul peningkatan profesionalisme masyarakat, sehingga perubahan pembangunan dapat berkembang secara merata di setiap masyarakat.

B.    Aliran Klasik
a.      Aliran Nativisme/Pessimisme  tokohnya adalah  Schopenhauer, Jerman, 1778 – 1880. Pandangan:
a)     Manusia lahir dengan bawaan baik dan buruk.
b)    Hasil akhir pendidikan ditentukan oleh faktor bawaan.
c)     Lingkungan tidak dapat mempengaruhi anak.
b.     Aliran Naturalisme/Negativisme tokohnya adalah J.J. Rousseau, Perancis, 1712 – 1778. Pandangan:
a)     Manusia lahir dengan bawaan baik.
b)     Lingkungan dapat merusak  bawaan baik tersebut.
c)     Proses pendidikan serahkan pada alam.
c.      Aliran Empirisme/Environmentalisme tokohnya adalah John Locke, Ing-geris, 1632 – 1704. Pandangan:
a)     Manusia lahir seperti kertas putih. “Teori tabularasa”.
b)     Hasil akhir pendidikan ditentukan oleh lingkungan.
c)     Pendidik memegang peranan penting.
d.     Aliran Konvergensi/Interaksionisme  tokohnya adalah  W. Stern, Jerman, 1871 – 1939. Pandangan:
           a)      Manusia lahir dengan bawaan masing2.
           b)      Lingkungan berpengaruh dalam perkembangan anak..
           c)      Hasil akhir pendidikan ditentukan oleh faktor bawaandan lingkungan.

C.   Gerakan Baru Dalam Pendidikan
a.      John Dewey, Vermont USA, 1859 – 1952.
a)     Tujuan pendidikannya – membentuk anak didik menjadi anggota masyarakat yang berfaedah.
b)     Tujuan sekolahnya – sekolah kerja à untuk menghidupkan rasa gotong royong/belajar bekerja sama dan membentuk watak.
c)     Sekolahnya dilengkapi dengan tempat bertukang, memasak, laboratorium dan lain sebagainya, yang semuanya dibuat sendiri oleh siswa.
d)     Sekolahnya merupakan masyarakat kecil, membaca, menulis diberi sambil bermain.
John Dewey dikenal sebagai:
a)     Penganjur “Learning by doing”.
b)     Penganjur sekolah kerja.
c)     Penyusun metode proyek.
d)     Penganjur pentingnya kerja sama.
e)     Penganjur pembentukan watak dengan bekerja.

Pengaruh John Dewey di Indonesia
a)     Adanya sekolah-sekolah kejuruan.
b)     Adanya pelajaran pendidikan. kecakapan khusus di sekolah2 umum.
c)     Adanya sekolah2 kerja/bengkel2 kerja.
d)     Penggunaan metode pemecahan masalah di sekolah.
Pengaruh W. H. Kilpatrick – pengajaran proyek.
Proyek– kegiatan belajar dimana anak mendapat kesempatan memilih, merancang dan memimpin sendiri pekerjaannya, yang hampir mendekati keadaan sebenarnya dalam kehidupan sehari-hari. Pelajaran dimulai dari/dengan apa yang telah ditentukan sendiri oleh anak.
a)     Tujuannya:
              (a)      Memimpin perbuatan dan fikiran hingga anak bekerja sepenuh hati.
              (b)      Mengembangkan kebiasaan, sikap, dan cita2 anak.
              (c)      Pembentukan watak.
              (d)      Pendidikan sosial melalui kerja kelompok.
b)     Pelajaran proyek – mengaktifkan anak bekerja, mencari, dan berfikir sendiri.
c)     Pengaruhnya di Indonesia – pelaksanaan CBSA.
d)     Tokoh-tokoh lain:
(a)  Miss Hellen Parkhurst, USA, “Sistem Dalton (Laboratory Plan).
(b)  Maria Montessori, Roma, “Case Dei Bambini”.
(c)  Jan Lighthart, Belanda, “Metode pendidikan buah limau”/ “metode Sinaasappel”.

D. Aliran Pokok Pendidikan di Indonesia
1.     Perguruan Kebangsaan Taman Siswa
b.     Didirikan 3 Juli 1922 oleh RM Suwardi Suryaningrat/Ki Hajar Dewa.
c.      Dasarnya, Panca Darma Taman Siswa (asas; kemerdekaan, kodrat alam, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanusiaan), disusun 1947.
d.     Sekolah2 Taman Siswa
a)     Taman Indriya (TK) 5 – 6 tahun.
b)     Taman Anak (Kls 1 s/d 3) 6 – 10 tahun.
c)     Taman Muda (Kls 4 – 6) 10 –13 tahun.
d)     Taman Dewasa (SMP).
e)     Taman Madya (SMA).
f)      Taman Guru B I – Calon guru SD.
g)     Taman Guru B II – 1 tahun setelah taman guru B I.
h)    Taman Guru B III – 1 tahun setelah taman guru B II.
i)       Taman Guru Indriya – SLTP + 2 tahun.
j)       Taman Masyarakat, Taman Tani, Taman Rini (untuk wanita, Taman Karti (untuk pertukangan).
2.     Cita-cita pendidikannya – memelihara dan mengembangkan benih turunan dari bangsa Indonesia melalui pengembangan jiwa raga dengan menggunakan alat2 pendidikan yang berdasar adat istiadat rakyat/budaya sendiri. Dicapai melalui SISTIM AMONG – menuntun anak agar berkembang sesuai dengan kodratnya sendiri2. Dasar sistim among – kemerdekaan dan kodrat alam.
3.     Semboyan-semboyan Taman Siswa
a.                  Tut Wuri Handayani.
b.     Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso (DR Sosrokartono).
c.                  Rawe-rawe rantas malang-malang putung.
d.                 Lawan Sastra Ngesti Mulya.
e.                  Suci Tata Ngesti Tunggal.
4.     Tokoh-tokoh Pendidikan yang Mempengaruhinya
a.      J.J. Rousseau – tujuan pendidikannya, membentuk manusia bebas, merdeka tanpa tekanan maupun ikatan. Paralel dengan Panca Darma Taman Siswa.
b.     J.H. Pestalozzi – anak harus dididik menurut kodratnya. Kemampuan, pembawaan anak harus dikembangkan dan diarahakan kearah prikemanusiaan. Tugas pendidik, mendorong anak untuk menolong dirinya sendiri. Sesuai dg Sistim Among.
c.      Rabindranath Tagore–sekolah jangan terpisah dari kehidupan dan kebudayaan bangsa. Dasar pendidikan-nya; keaktifan, kebebasan, kebudayaan, ketuhanan, kemasyarakatan, dan pendidikan yang harmonis. Paralel dengan cita-cita pendidikan Taman Siswa dan Panca Darma Taman Siswa.
5.     Indonesische Nederlandsche School (INS)
Didirikan 31 – 10 – 1926 oleh Moh. Syafi’I (1899 – 1969).
Dasarnya, bakat anak didik, dan kemasyarakatan. Pendapat lain
-   Mendidik swasembada – memberi pendidikan untuk berkreasi sendiri agar bakatnya berkembang. Anak harus dapat mencipta.
-         Mendidik anak menjadi terampil – melalui pelajaran  pekerjaan tangan.
-         Gotong royong – antara guru dengan murid dalam bertani, membangun dsb.
6.     Cita2 pendidikannya – membentuk pemuda Indonesia yang berani bertanggung jawab, berani berdiri sendiri, membuka perusahaan sendiri, hidup bebas dan tidak tergantung pada orang lain. Dicapai melalui tujuan perguruannya:
a.      Mendidik anak agar dapat berfikir rasional.
b.     Mendidik anak bekerja teratur dan serius.
c.      Membantu siswa menjadi manusia berwatak.
d.     Menanamkan perasaan persatuan.
7.     Sekolah-sekolah INS
a.      Ruang bawah/ruang rendah – SD, lama belajar 7 tahun.
b.     Ruang atas/ruang dewasa – SM, lama belajar 6 tahun.
c.      RPPK (ruang pendidikan pengajaran dan kebudayaan).
d.     31 Oktober 1952 INS menjadi SGBN Istimewa.
e.      Semboyan INS, “Kerjakanlah dan usahakanlah sendiri”.
8.     Tokoh2 Pendidikan yang Mempengaruhinya
a.      J. Dewey dan G. Kerschensteiner – sekolah kerja. Penyelenggaraan pendidikan di INS antara lain: Mem-beri pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dan mendidik pemuda agar berguna bagi masyarakat. Seide dengan sekolah kerja.
b.     Rabindranath Tagore. Cita-cita pendidikan INS seide dengan dasar pendidikan Rabindranath Tagore. Pendidikan di Shanti Niketan (panti perdamaian) mempunyai persamaan dengan di INS seperti:
a)     Murid tinggal di asrama.
b)     Siswa dilatih agar memiliki rasa bebas, percaya diri, rasa tanggung jawab pada masyarakat dan negara, tolong menolong,cakap memimpin, dan disiplin.
c.                  Miss Hellen Parkhurst – sistim Dalton:
a)     Menuntut keaktifan siswa.
b)     Metode mengajarnya, pemberian tugas dan resitasi.
c)     Pembentukan regu kerja berdasarkan kemampuan, kecerdasan, dan usia. – Seide dengan INS.


BAB IV
MASYARAKAT MASA DEPAN DAN
PERMASALAHAN PENDIDIKAN

A.   Perkiraan Masyarakat Masa Depan
a.     Keadaan Sekarang
Kondisi masyarakat saat ini heteroginitasnya (kebhinekaannya) sangat tinggi, hal ini dipengaruhi oleh latar belakang sosial, tingkat pendidikan yang ada di masyarakat yang hetetogenitiasnya sangat tinggi, sehingga kesenjangan yang cukup mencolok, di satu sisi terdapat masyarakat yang pendidikan sangat rendah, di sisi lain terdapat pula masyarakat yang pendidikannya sudah di atas rata-rata. Kenyataan inilah yang menunjukkan bahwa di era globalisasi saat ini, dimana masyarakat sudah berpikir maju dan modern, masih ditemukan masyarakat yang terisolir dan tidak berpikir maju.
Demikian pula halnya dengan persoalan ekonomi, produktivitas masyarakat masih rendah dan bukan berorientasi eksport, masyarakat cenderung sebagai konsumen dan bukan sebagai pencipta, sedangkan dari segi budaya masyarakat masih berorientasi masa lalu, dan cenderung tidak mau manatap masa depan. Bila hal ini dipelihara maka yang akan terjadi adalah kemajuan yang hanya menjadi angan-angan dan tidak pernah kunjung tercapai. Untuk itulah, di bawah ini disajikan beberapa cara yang tepat dilakukan untuk menghadapi masa depan, yaitu:
a)     Melakukan revolusi industri yaitu meninggalkan gaya hidup abad pertanian menuju revolusi industry.
b)     Melakukan revolusi informasi dengan cara menangani dan menciptakan informasi, serta menguasai sistem pengkomunikasian-nya.

Ciri Arah Perkembangan Masa Datang

Perkembangan Iptek yang Pesat


 
       
             Temuan baru               Peralatan anggih
                       (informasi)          a.l. sistem telekomunikasi
 


    
Globalisasi   Profesionalisme
   (Perbuatan seseorang    (Pelayanan)
dapat berdampak global)


Yang akan terjadi:
       a)               Perubahan nilai dan sikap
       b)               Pengembangan budaya dan sarana kehidupan
       c)               Pengembangan sarana pendidikan.
       d)                 Peledakan jumlah penduduk yang tidak seiring dengan pertumbuhan perekonomian, termasuk di negara maju.
       e)                 Penyusutan sumber-sumber pendukung kehidupan, seperti minyak, hutan dan lain-lain
        f)                Pencemaran lingkungan
       g)                Penyalah gunaan obat dan narkotik.

b.     Upaya Pendidikan dalam Mengantisipasi Masa Depan
Melihat kenyataan di atas, berbagai upaya dapat dilakukan untuk mengantisipasi dan sekaligus sebagai pemberi jalan keluar, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah peningkatan kemampuan sumber daya manusia (SDM). Peningkatan SDM ini dapat dilakukan dengan pendidikan, seperti yang diungkapkan oleh Kauffman Jr., terdapat empat arah yang perlu ditempuh, yaitu:
a)     Pendidikan harus benar-benar membentuk kemampuan dan kemauan berpikir dalam menganalisis dan memahami permasalahan masa depan secara ilmiah.
b)     Pendidikan sejak dini perlu menjadikan sadar lingkungan yang berlandaskan pemahaman terhadap kaitan sistemik sebagai salah satu acuan dasarnya.
c)     Pendidikan dapat membantu memahami permasalahan dan kecenderungan masa depan berdasarkan; wawasan negara maju, dan perspektif global dan dampak tindakan-tindakan kebijaksanaan yang dilakukan sekarang di Indonesia – pembangunan berwawasan lingkungan.
d)     Pendidikan membantu siswa memahami perubahan serta mengatasi permasalahan-permasalahan yang ditimbulkannya.
Ke-empat cara di atas dapat dicapai dengan mengembangkan belajar siswa aktif (CBSA) sehingga terbentuk kebiasaan berpikir yang berawal dari pembentukan kemauan berpikir yang sejalan dengan pembentukan kemampuan berpikir. Untuk itu kelas harus diwujudkan menjadi kelas yang nyaman dan menyenangkan yaitu ‘a vigorous community of learners where intellectual authority derives from evidence and argument and not from assertion.’
Peran pendidik–sebagai pengendali, dan pengendalian untuk kemandirian peserta didik. Cara pengendalian:
a)     Menumbuhkan kemandirian dengan menyediakan kesempatan untuk memutuskan dan bertindak.
b)     Menumbuhkan kemampuan mengambil keputusan dan bertindak dengan meningkatkan penghetahuan dan keterampilan.
c)     Menyediakan sistem dukungan yang memberi kemudahan belajar sehingga menawarkan kesempatan kepada siswa untuk berlatih mengambil keputusan dan bertindak.

B. Permasalahan Pendidikan
a. Klasifikasi
a)       Dari Segi Lingkup Pengelolaan
              (a)      Masalah Pendidikan Makro meliputi masalah:
1.     Penyelenggaraan pemrintahan negara dalam bidang pendidikan –  secara fungsional dilaksanakan oleh Depdiknas.
2.     Perencanaan, pengorganisasian, penyusunan personal, peng-koordinasian, pengawasan, dan pembiayaan dalam menyelenggarakan SPN.
Contoh: Kurangnya tenaga kependidikan (guru, peneliti pendidikan, pengembang pendidikan), baik kualitas maupun kuantitasnya. Terjadinya SIAP (sisa anggaran pembangunan) yang cukup besar dan kontinyu.
              (b)      Masalah Pendidikan Mikro
1.     Masalah penyelenggaraan kegiatan pendidikan – secara fungsional diselenggarakan di sekolah-sekolah, kursus-kursus, orang. olah raga, seni, dan lain sebagainya.
2.     Masalah teknis penyelenggaraan pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan.
Contoh: Belum intens bimbingan belajar. Kurang sarana/ prasarana pendidikan.
b)       Berdasarkan Sifat Masalah.
(a)  Masalah yang besifat praktis – berkenaan dengan penyeleng SPN.
(b)  Masalah yang bersifat teoritis – berkenaan dengan pengembangan konsep-konsep pendidikan, baik yang bersifat filosofis maupun yang bersifat ilmiah. Contoh:
                       1.      Konsep-konsep teoritis yang dikembangkan kurang terpadu dan merupakan campuran berbagai konsep (diadopsi dari USA, Inggris dan lain-lain).
                       2.      Uji coba konsep2 pendidikan masih belum memadai, dan pengkajian hasil uji coba juga masih kurang memadai.

b.     Keterkaitan Antara Masalah Pendidikan
a)     Partisipasi – Tingkat partisipasi, tingkat penyerapan iptek, dan  tingkat penyesuaian.
b)     Efisiensi–kurang tepat memfungsikan tenaga, kurang tepat menggunakan prasarana dan sarana, dan dana.
c)     Efektivitas–kualitas dan kuantitas.
d)     Relevansi–gap antara supply dengan demand, keahlian out put dengan tuntutan masyarakat.
Masalah-masalah yang timbul diseputar masalah pokok pendidikan tertentu dapat  menimbulkan  masalah-masalah lain, atau  merupakan faktor pendukung timbulnya masalah pada masalah pokok pendidikan lainnya.

c.      Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Berkembangnya Perma-salahan Pendidikan
a)     Perkembangan iptek dan seni yang begitu pesat.
b)     Laju pertumbuhan penduduk.
c)     Aspirasi masyarakat yang ber-ubah2 dalam masyarakat yang ber-ubah-ubah.
d)     Keterbelakangan budaya dan sarana pendidikan.
Menurut Philip H. Combs, krisis dalam dunia pendidikan merupakan pertautan historis dari 5 faktor dominan sebagai berikut:
(a)  Banjir anak didik.
(b)  Kekurangan sumber2 secara akut – dana, material, dan insani.
(c)  Kenaikan cost per anak didik – pendidikan masih merupakan usaha yang labour-intensif.
(d)  Tidak sesuainya hasil pendidikan dgn kebutuhan masyarakat – Kebutuhan pembangunan Nasional   dan kebutuhan individu yang cepat berubah.
(e)  Inertia dan inefisiensi dari sistem dan administrasi pendidikan

d.      Masalah Pendidikan dalam Kelas
a)     Tugas utama guru dalam kelas  adalah  mengajar dan mengelola kelas.
b)     Mengajar adalah  rangkaian perbuatan – perencanaan, pelaksanaan s/d  penilaian hasil belajar.
c)     Mengelola kelas adalah mengatur berbagai jenis kegiatan yang sengaja dilakukan guru dengan tujuan untuk menciptakan dan mempertahankan kondisi dinamik bagi terjadinya proses pembelajaran yang optimal.
d)     Permasalahan pendidikan dalam kelas adalah berhubungan dgn tugas guru dalam kelas.
e)     Masalah pengajaran adalah metoda, materi, evaluasi–tujuan proses pembelajaran tidak tercapai secara optimal.
f)      Masalah pengelolaan adalah siswa kurang memperhatikan, kurang kompak, cari perhatian, mengganggu teman, meniru perilaku guru dan lain-lain – situasi proses pembelajaran tidak optimal, tujuan proses pembelajaran tidak tercapai secara efektif.
g)     Sumber masalah  adalah  guru, siswa, lingkungan.
h)    Hindari adalah teacher interruption, fade away, stops dan starts, digression,  overdwelling, dan fragmenting.
TUGAS : Inventarisir permasalahan-permasalahan yang pernah muncul dalam kelas (pengalaman masing-masing) berikut solusinya. Dikumpulkan dua minggu sebelum UAS.




BAB V
SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

A.         SPN Di Indonesia
a.      Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang diselenggarakan berdasarkan falsafah bangsa dan cita-cita nasional/Pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 45 – Bab I pasal 1 ayat 2 UU SPN 1989.
b.     SPN adalah  suatu keseluruhan yang terpadu dari semua satuan dan kegiatan pendidikan yang berkaitan satu sama lainnya untuk mengusahakan tercapainya tujuan Penas.
c.      UU No. 2/89 dan UU No. 20/03 adalah UU tentang SPN.
d.     Dasar Pendidikan nasional adalah  Pancasila dan UUD 45.
e.      Landasan Idiil  adalah  Pancasila.
f.       Landasan konstitusionil
·        UUD 45 bab XIII pasal 31 ayat 1 – tiap2 warganegara berhak mendapat pengajaran. Ayat 2 – pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran Nasional yang diatur dengan undang-undang. Pasal 32 – pemerintah memajukan kebudayaan Nasional Indonesia.
·        UU No. 12/54 Jo. UU No. 4/50 tentang dasar2 dan tujuan pendidikan dan pengajaran di sekolah
·        GBHN adalah  tentang pendidikan.
·        UU No. 2/89. tentang SPN 
g.     Fungsi dasar Pendidikan nasioanl adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, menyiapkan tenaga kerja terampil dan ahli, serta membina dan mengembangkan penguasaan teknologi.
h.     Pelaksanaan SPN
·        Secara semesta adalah terbuka bagi seluruh rakyat dan berlaku diseluruh wilayah Indonesia.
·        Secara menyeluruh adalah mencakup semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan.
·        Terpadu adalah pendidikan nasional terkait dengan seluruh usaha pembangunan Nasional.
i.       Pedoman Operasional  adalah  PP No. 27, 28, 29, dan 30 tahun 90, masing2 tentang Pendidikan; Prasekolah, Dikdas, Dikmen, dan Dikti. PP No. 72/91 terntang PLB.
j.       UU No. 2/89 adalah 20 bab dengan 59 pasal. Disahkan dan diundangkan di Jakarta tgl 27 Maret 1989.



B.          Kelembagaan Pendidikan
a.      Dua Jalur Pendidikan
Jalur Pendidikan 
a)     Jalur Pendidikan adalah pendidikan formal (in school education) meliputi pendidikan yang dasar, tujuan, isi, metode dan alat-alatnya disusun secara eksplisit, sistimatik dan distandardisasikan. Diselenggarakan di sekolah melalui keterampilan pembelajaran secara berjenjang dan berkesinambungan.
b)     Jalur PLS adalah pendidikan non formal (out of school) adalah  kegiatan pendidikan yang terorganisir yang diselenggarakan diluar jalur pendidikan sekolah. Diselenggarakan di luar sekolah melalui keteramapilan pembelajaran tidak harus berjenjang dan berkesinambungan – termasuk pendidikan keluarga.
b.     Jenjang Pendidikan adalah  Pendidikan Prasekolah, Pendidikan Dasar (Dikdas), Pendidikan Menengah (Dikmen) dan Pendidikan Tinggi (Dikti), seperti Universitas, Institut, Sekolah Tinggi, Akademi) – untuk jalur pendidikan sekolah.

C.   Program dan Pengelolaan Pendidikan
a)     Jenis Program Pendidikan
Jenis Pendidikan adalah Pendidikan; Umum (SMP, SMU) – ke PT. Kejuruan (Sekolah2 Kejuruan) – pasaran kerja, PT.  PLB, Kedinasan, Keagamaan, Akademik dan Profesional.
b.           Kurikulum Program Pendidikan
(a)  Kurikulum Nasional – berlaku umum untuk semua sekolah yang sama.
(b)  Kurikulum muatan lokal – Mulok adalah program pendidikan yang isi dan media penyampaiannya dikaitkan dgn lingkungan alam, lingkungan sosial, lingkungan budaya dan pola kehidupan serta kebutuhan pembangunan daerah yang perlu diajarkan kepada siswa.
c.            Pengelolaan Pendidikan
                                         a)      Lembaga Pemerintah
(a)  Depdiknas – jalur sekolah dan luar sekolah.
(b)  Depag – jalur sekolah dan luar sekolah.
(c)  Depkes – SAA, sekolah bidan, perawat.
(d)  Dep Pertanian – SPMA.
(e)  Dep Perhubungan – Sekolah Pelayaran.
(f)   Dep Perindustrian – STMA.
(g)  Dephankam – Akabri.
                                         b)      Swasta
d.     Organisasi Penyelenggara Sekolah Berlatar Agama:
a)     Islam – Muhammadiyah, NU dan lain-lain.
b)     Katolik – Don Bosco, Kanisius, Stella Duce, Atmajaya dan lain-lain.
c)     Kristen – Satyawacana, Majlis Pendidikan dan Pengajaran Kristen.

e.      Berlatar Sosbudnas dan Politik – Taman Siswa, Kartini,  17  Agustus,  PGRI,  Dewi  Sartika,    Taruma Negara, 45 dan lain-lain.
f.       Upaya Pembangunan Pendidikan Nasional
Pembangunan Pendidikan adalah perubahan pendidikan yang dilakukan dengan sadar, terencana dan berpola dalam rangka usaha mengatasi masalah-masalah pendidikan dan persiapan menghadapi masa datang yang lebih memberi harapan.
Upaya2 yang telah dan sedang dilakukan:
g.     Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP).
a)     Dimulai th 1971, dicoba di 8 IKIP se Indonesia.
b)     Sekolah Pembangunan yang diinginkan, yang mampu:
~  Melayani semua anak didik.
~  Meningkatkan mutu.
~ Menghasilkan out-put sesuai tuntutan pembangunan
~  Mengembangkan  dan  mendayagunakan  potensi dan bakat anak didik.
h.     Proyek Pamong
a)     Pendidikan anak oleh masyarakat, orang tua, dan guru – di Solo.
b)     Pada tingkat ASEAN dikenal dgn nama IMPACT (instructional management by parents, community and teachers).
c)     Tujuannya
a.      Menjajagi dan menentukan alternatif sistem penyampaian pendidikan nasional yang bersifat efektif, ekononomis dan merata yang sesuai dengan kondisi kebanyakan daerah di Indonesia.
b.      Menguji efektivitas dan efisiensi pelaksanaan konsep si pengelolaan pengalaman belajar yang diperoleh anak terutama dari sumber-sumber bukan guru.
c.      Sistem penyampaian yang digunakan,  modul.
i.       Proyek Perintis Perencanaan Integral Pendidikan Daerah (PROPPIDA).
a)     Dilaksanakan di Sumbar sejak 7 Nopember 1973.
b)     Di Jatim sejak 1 Maret 1974 dg bantuan The Ford Fo.
c)     Ruang lingkup – semua komponen pendidikan, semua instansi pendidikan yang menangani kegiatan-kegiatan pendidikan, dan organisasi masyarakat yg bergerak dalam bidang pendidikan.
d)     Tujuannya
(a) Melakukan  eksplorasi bentuk  yang  terbaik   bagi lembaga perencana pendidikan tingkat propinsi dalam struktur Kanwil Depdikbud.
(b) Menterjemahkan   perencanaan dan    kebijaksanaan Penas kedalam perencanaan pendidikan daerah.
(c) Koordinasi dgn semua usaha perencanaan pendidikan pro-pinsi hingga rencana pendidikan yg dihasilkan dapat menunjang tujuan-tujuan sektor lain dalam pambangunan propinsi.
(d) Mengembangkan pola program latihan bagi penataran tenaga perencanaan dan pengelolaan pendidikan di tingkat propinsi.
j.       Pramuka Transmigrasi
a)     Muncul tahun 1967, diperkuat dgn instruksi bersama Mentrans dan Koperasi serta Ketua Kwarnas Gerakan Pramuka tahun 1970. Dirintis di Jombang Jatim.
b)     Tujuannya
(a)  Memberi  lapangan  kerja  bagi anak putus sekolah atau yang tidak melanjutkan.
(b)  Menggalakkan transmigrasi dan sekaligus membendung urbanisasi.
(c)  Membantu pemerintah  dalam  memecahkan masalah       pengangguran dan pemerataan pembangunan.
k.     Sekolah Terbuka – SMP dan PT. Sistem penyampaian, modul dan siaran radio dan TV Pendidikan.
l.       SD Kecil–terpencil, siswa dan guru sedikit, bangunan sekolah sederhana.
m.  Sekolah Terpadu–siswa normal dan cacat tertentu bersama-sama mengikuti program pendidikan.
n.     Guru Kunjung – guru mengunjungi sejumlah siswa (cacat) pada waktu dan tempat tertentu.
o.     Siaran Radio dan TV Pendidikan.



C.   Pendidikan dan Pembangunan Nasional
a.     Pengertian Pembangunan Nasional
a)     Pembangunan Nasional merupakan rangkaian upaya pem-bangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional yang termaktub dalam pembukaan UUD 45, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah ….. dan keadilan sosial. (GBHN 93). Bandingkan dengan formulasi dalam GBHN terbaru.
b)     Hakikat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya, dengan Pancasila sebagai dasar dan tujuannya. (GBHN 93).
c)     Pembangunan nasional dilaksanakan secara berencana, menyeluruh, terpadu, terarah, bertahap dan berlanjut. (GBHN 93).
d)     Tujuan Pembangunan Nasional–Untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata, material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 45 dalam wadah negara kesatuan RI yang merdeka, berdaulat, bersatu dan berkedaulatan rakyat dalam suasana prikehidupan bangsa yang aman tentram, tertib dan dinamis dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai. (GBHN 93).
e)     Bidang-bidang Pembangunan Nasional
(a)  Semua aspek kehidupan bangsa yang meliputi; politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan.
(b)  Sasaran umum PJPT II – terciptanya kualitas manusia dan kualitas masyarakat Indonesia yang maju dan mandiri ….. dan seterusnya. (Lihat GBHN 93).
(c)  Usaha pencapaian sasaran tersebut melalui pembangunan tujuh bidang: Ekonomi, kesra pendidikan dan kebudayaan, agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Ip-tek, hukum, politik aparatur negara penerangan komunikasi dan media massa, Hankam.

b.     Peranan Manusia Dalam Pembangunan
     a)      Peranan Pendidikan Dalam Pembangunan Nasional
(a)  Menyiapkan tenaga2 perencana, pengawas dan pelaksana.
(b)  Meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
(c)  Mengadakan penelitian2 sebagai awal kegiatan pembangunan.
(d)  Ikut serta secara nyata dalam berbagai kegiatan pembangunan, baik fisik maupun mental spiritual.
Dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya, diharapkan pendidikan dapat memberi sumbangan dalam bentuk:
(a)  Pembinaan mental Pancasila.
(b)  Pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa.
(c)  Pembinaan ketahanan nasional.
(d)  Pembinaan rule of law – berbuat atas dasar hukum yg berlaku.
(e)  Pembinaan hak2 asasi manusia.
(f)   Pembinaan hidup rasional, efisien dan produktif, dan
(g)  Pembinaan ilmu pengetahun dan teknologi.









BAB VI
PRINSIP-PRINSIP PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN


1.     Kompetensi Dasar
Mahasiswa memiliki wawasan tentang Prinsip-prinsip Pendidikan dan Pembelajaran
2.     Indikator
Mahasiswa diharapkan dapat mendeskripsikan tentang Prinsip-prinsip Pendidikan dan Pembelajaran.

3.     Pengantar
Pada bab ini mahasiswa akan memahami tentang prinsip-prinsip pendidikan dan pembelajaran khususnya.

4.     Uraian Materi
A.   Pengertian Belajar
Belajar merupakan key term (istilah kunci) yang penting dalam pendidikan. Dapat dikatakan bahwa tanpa belajar, sesungguhnya tak pernah ada pendidikan. (Ratumanan, 2004). Jadi belajar sesungguhnya kunci penting bagi seseorang untuk dapat mengembangkan dirinya, karena dengan belajar perilaku seseorang bisa berubah, cara pandang dan pola pikir seseorang pun bisa berubah. Seperti yang diungkapkan oleh Morgan (Ratumanan, 2004) bahwa belajar dapat didefinisikan sebagai setiap perubahan tingkah laku yang relatif tetap dan terjadi sebagai hasil latihan atau pengalaman. Perubahan tingkah laku yang relatif tetap yang diakibatkan oleh latihan yang berkelanjutan atau karena hasil pengalaman yang dapat merubah perilaku dan mental seseorang.
Selanjutnya Ormrod (Ratumanan, 2004) mendeskripsikan adanya dua definisi belajar yang berbeda. Definisi pertama menyatakan bahwa “Learning is a relatively permanent change is behavior due to experience”, belajar merupakan perubahan yang relative permanen karena pengalaman. Sedangkan definisi kedua menyatakan bahwa “Learning is a relatively permanent change in mental associations due to experience”, belajar merupakan perubahan mental yang relative permanen karena pengalaman. Definisi pertama menekankan pada perubahan perilaku, sedangkan definisi kedua memberikan penekanan pada perubahan mental.
Pengertian di atas memberikan warning (peringatan) bahwa orientasi belajar, tidaklah semata-mata pada ‘hasil’, tetapi juga pada ‘proses’ yang dilakukan untuk memperoleh hal tersebut. Dengan demikian, belajar dapat diartikan sebagai suatu tahapan aktivitas yang menghasilkan perubahan perilaku dan mental yang relatif tetap sebagai bentuk respons terhadap suatu situasi atau sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan.
Pengertian-pengertian di atas menurut Ratumanan (2004) memperlihat-kan adanya beberapa karakteristik, yaitu:
a)     Bahwa belajar merupakan suatu aktivitas yang menghasilkan perubahan pada diri individu yang belajar;
b)     Bahwa perubahan tersebut berupa kemampuan baru dalam memberikan respons (tanggapan atau reaksi) terhadap suatu stimulus (rangsangan), dengan kata lain, individu yang telah melakukan kegiatan belajar akan memiliki kemampuan baru dalam memberikan respon terhadap situasi tertentu.
c)     Bahwa perubahan itu terjadi secara permanen. Artinya perubahan itu tidak berlangsung sesaat saja, tetapi dapat bertahan dan berfungsi dalam kurun waktu yang relatif lama.
d)     Bahwa perubahan tersebut terjadi bukan karena proses pertumbuhan atau kematangan fisik, melainkan karena usaha sadar. Artinya, perubahan tersebut terjadi kerena adanya usaha individu.
Ke-empat pengertian ini sesungguhnya menekankan pada perubahan perilaku yang bersifat permanen dan bukan berdasarkan kematangan fisik, serta kemampuan memberikan respon pada situasi tertentu yang berlangsung dan bertahan dalam kurun waktu yang relatif lama.

B.    Tujuan Belajar
Tujuan belajar adalah untuk memperoleh perubahan tingkah laku dari pembelajar, artinya bahwa setelah belajar diharapkan akan terjadi perubahan pada diri pembelajar (siswa), dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak memahami menjadi memahami, dari tidak terampil menjadi terampil, dan sebagainya. Hal yang sama juga terjadi pada sikap, karena belajar juga bertujuan untuk membangun sikap yang positif terhadap sesuatu. (Ratumanan, 2004). Sesungguhnya perubahan tingkah laku dalam belajar dapat dilihat dari sikap atau perilaku seseorang pembelajar, pemahaman seseorang terhadap sesuatu, dan keterampilan seseorang pembelajar, serta sikap positif yang dimilikinya dalam melakukan aktivitas kehidupannya sebagai pembelajar.
Jadi sesungguhnya tujuan belajar cukup bervariasi, yang dapat dicapai dengan melakukan kegiatan pembelajaran. Adapun hal-hal lain yang merupakan dampak pengiring dari belajar adalah pembelajar cenderung berpikir kritis, ketajaman dalam melakukan analisis pada hal-hal tertentu, pembelajar juga mampu memecahkan persoalan-persoalan yang kompleks pada dirinya. Memiliki sikap yang lebih terbuka, demokratis, dan memiliki kemampuan beradaptasi dengan lingkungannya di komunitas tempatnya berada.
Dengan kata lain bahwa belajar dapat merubah berbagai aspek dalam kehidupan seperti aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Benyamin S. Bloom (Ratumanan, 2004) menggolongkan bentuk tingkah laku sebagai tujuan belajar atas tiga ranah, yaitu ranah kognitif, ranah afeksi, dan ranah psikomotor. Ranah kognitif berkaitan dengan perilaku yang berhubungan dengan berpikir, mengatahui, dan memecahkan masalah. Ranah afektif berkaitan dengan sikap, nilai-nilai, minat, apresiasi, dan penyesuaian perasaan sosial. Dan ranah psikomotor mencakup tujuan berkaitan dengan keterampilan (skill) yang bersifat manual dan motorik. Untuk lebih memahami masing-masing ranah yang dikemukakan oleh Bloom tersebut, di bawah ini akan diuraikan masing-masing ranah dimaksud.

a.     Ranah Kognitif
Bloom (Ratumanan, 2004) membedakan ranah kognitif menjadi enam tingkatan, dari yang sederhana hingga yang tinggi, yaitu:
a)     Pengetahuan (knowledge), meliputi kemampuan ingatan tentang hal yang telah dipelajari dan tersimpan dalam ingatan. Pengetahuan itu berkenaan dengan fakta, peristiwa, pengertian, kaidah, teori, prinsip atau metode yang diketahui. Pengetahuan yang tersimpan dalam ingatan, digali pada saat dibutuhkan melalui bentuk memanggil kembali (recall) atau mengenal kembali (recognition). Memanggil kembali (recall) pengetahuan merupakan proses mental yang tidak lebih dari pada membawa pengetahuan ke dalam ingatan.
b)     Pemahaman (comprehension), meliputi kemampuan menangkap arti dan makna dari hal yang dipelajari. Pemahaman merupakan level terendah dari pengertian bagi siswa. Ada tiga subkategori dari pemahaman, yakni:
(b)  Translasi, yaitu kemampuan mengubah data yang disajikan dalam suatu bentuk ke dalam bentuk lain.
(c)  Interpretasi, yaitu kemampuan merumuskan pandangan baru, dan
(d)  Ekstrapolasi, yaitu kemampuan meramal perluasan trend atau kemampuan meluaskan trend di luar data yang diberikan.
c)     Penerapan (application), meliputi kemampuan menerapkan metode dari kaidah untuk menghadapi masalah yang nyata dan baru. Misalnya dalam menggunakan suatu rumus atau suatu teorema dalam menyelesaikan suatu masalah, atau menggunakan suatu metode kerja pada pemecahan masalah baru. Penekanan dalam penerapan adalah terhadap pengetahuan informasi yang berguna dan sesuai serta terhadap kemampuan memilih dan menggunakannya dalam situasi yang sesuai.
d)     Analisis (analysis), meliputi kemampuan merinci suatu kesatuan ke dalam bagian-bagian sehingga struktur keseluruhan dapat dipahami dengan baik. Analisis merupakan kemampuan membagi struktur informasi menjadi komponen-komponennya, sehingga ide-ide menjadi jelas, dan relasi anta ride menjadi nyata. Analisis menekankan pada penguraian materi menjadi komponen-komponennya, penemuan relasi antar komponen dan pengamatan organisasi komponen-komponen.
Selanjutnya, menurut Karthwohi dan Bloom (Ratumanan, 2004) ranah kognitif terdiri dari lima jenis perilaku yang diklasifikasikan dari yang sederhana hingga yang kompleks, yaitu:
a)     Penerimaan (receiving), yakni sensitivitas terhadap keberadaan fenomena atau stimuli tertentu, meliputi kepekaan terhadap hal-hal tertentu, dan kesediaan untuk memperhatikan hal tersebut. Misalnya kesadaran siswa akan adanya perbedaan individual dalam kelas, dan siswa mampu menerima akan aanya perbedaan tersebut.
b)     Pemberian respon (responding), yakni kemampuan memberikan respon secara aktif terhadap fenomena atau stimuli.
c)     Penilaian/penentuan sikap (valuing), yakni kemampuan untuk dapat memberikan penilaian atau pertimbangan terhadap suatu objek atau kejadian tertentu, termasuk kesediaan untuk menerima nilai, menghargai, mengakui dan menentukan sikap.
d)     Organisasi (organization), yakni konseptualisasi dari nilai-nilai untuk menentukan keterhubungan diantara nilai-nilai, termasuk kemampuan membentuk suatu sistem nilai sebagai pedoman dan pegangan hidup.
e)     Karakterisasi, yakni kemampuan yang mengacu pada karakter dan gaya hidup seseorang, termasuk kemampuan menghayati nilai dan membentuknya menjadi pola nilai kehidupan pribadi.

b.     Ranah Psikomotor
Menurut Simpson (Winkel, 1999: Fleishman dan Quaintance, 1984: Ratumanan, 2004) ranah psikomotor dapat diklasifikasikan atas:
a)     Persepsi (perception), meliputi kemampuan memilah-milah (mendiskrimi-nasikan) dua perangsang atau lebih, berdasarkan pembedaan antara cirri-ciri fisik yang khas pada masing-masing perangsang.
b)     Kesiapan melakukan suatu pekerjaan (set), kemampuan penempatan diri dalam keadaan dimana akan terjadi suatu gerakan atau rangkaian gerakan. Kemampuan ini meliputi aspek jasmani dan rohani.
c)     Gerakan terbimbing (mechanism), meliputi kemampuan melakukan gerasan sesuai contoh atau gerakan peniruan.
d)     Gerakan terbiasa, meliputi kemampuan melakukan suatu rangkaian gerakan dengan lancar, karena sudah dilatih sebelumnya, tanpa memperhatikan contoh yang diberikan.
e)     Gerakan kompleks (complex overt response), meliputi kemampuan untuk melakukan gerakan atau keterampilan yang terdiri dari beberapa komponen secara lancar, tepat, dan efisien.
f)      Penyesuaian pola gerakan (adaptation), meliputi kemampuan mengadakan perubahan dan penyesuaian pola gerak-gerik dengan persyaratan khusus yang berlaku.
g)     Kreativitas (creativity), meliputi kemampuan melahirkan pola-pola gerak-gerik yang baru atas dasar prakarsa dan inisiatif sendiri.


C.   Pengertian Pembelajaran
Pembelajaran dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan siswa dapat belajar. Degeng (Ratumanan, 2004) berpendapat bahwa pembelajaran merupakan upaya untuk membelajarkan siswa. Kemudian dalam pembelajaran matematika, Nikson (Ratumanan, 2004) mengemukakan bahwa pembelajaran matematika adalah suatu upaya membantu siswa untuk mengkonstruksi (membangun) konsep-konsep atau prinsip-prinsip matematika dengan kemampuannya sendiri melalui proses internalisasi sehingga konsep atau prinsip itu terbangun kembali. Transformasi informasi yang diperoleh menjadi konsep atau prinsip baru. Transformasi tersebut dapat mudah terjadi bila terjadi pemahaman karena terbentuknya schemata dalam benak siswa.
Dari pendapat di atas cukup jelas menunjukkan bahwa pembelajaran seperti ini tidak hanya berlaku pada matematika saja tetapi juga untuk pembelajaran berbagai pengetahuan. Jadi pembelajaran dapat didefinisikan sebagai suatu proses membangun pemahaman siswa. Pembelajaran lebih menekankan pada bagaimana upaya guru untuk mendorong dan memfasilitasi siswa belajar, bukan pada apa yang dipelajari siswa. Pembelajaran lebih menggambarkan bahwa siswa lebih banyak berperan dalam mengkonstruksikan pengetahuan bagi dirinya, dan bahwa pengetahuan itu bukan hasil proses transformasi dari guru.
Biggs (Syah, dalam Ratumanan, 2004) membagi konsep mengajadar dalam tiga macam pengertian, yaitu:
a.      Pengertian kuantitatif (yang menyangkut jumlah pengetahuan yang diajarkan).
Dalam pengertian ini, mengajar berarti the transmission of knowledge, yakni mengajar merupakan suatu proses transmisi pengetahuan. Dalam hal ini, guru hanya perlu menguasai ilmu pengetahuan bidang studinya dan menyampaikan kepada siswa dengan sebaik-baiknya. Bila perilaku belajr siswa tidak memadai atau gagal mencapai hasil yang diharapkan, maka kesalahan ditimpakan kepada siswa. Jadi kegagalan dianggap semata-mata karena siswa sendiri yang kurang kemampuan, kurang motivasi atau kurangan persiapan.
b.     Pengertian Institusional (yang menyangkut kelembagaan atau sekolah). Dalam pengertian ini mengajar diartikan sebagai …the efficient orchestration of teaching skills, yakni penataan segala kemampuan mengajar secara efisien. Dalam pengertian ini, guru dituntut untuk selalu siap mengadaptasikan berbagai teknik mengajar untuk bermacam-macam siswa yang berbeda bakat, kemampuan dan kebutuhannya.
c.      Pengertian kualitatif (yang menyangkut mutu hasil yang ideal). Dalam pengertian ini, mengajar diartikan sebagai the fasilitation of learning, yakni upaya membantu memudahkan kegiatan belajar siswa. Dalam hal ini, guru beriteraksi sedemikian rupa dengan siswa sesuai dengan konsep kualitatif, yakni agar siswa belajar dalam arti membentuk makna dan pemahamannya sendiri. Guru tidak menjejalkan pengetahuan kepada siswa, tetapi melibatkannya dalam aktivitas belajar yang efisien dan efektif.
Melaksanakan pembelajaran bukanlah hal yang mudah, karena guru bukan sebagai pemberi pengetahuan tetapi lebih berperan sebagai fasilitator yang mengarah pada bagaimana cara membantu siswa yang membutuhkan bimbingan guru. Artinya siswalah yang harus aktif dalam belajar dengan terlebih dahulu diberikan petunjuk atau teknis oleh guru sehingga siswa dapat mengkonstruksi pengetahuan sesuai dengan potensi yang dimiliki siswa. Beberapa ciri pembelajaran yang perlu diperhatikan oleh guru menurut Ratumanan (2004) adalah:
a.      Mengaktifkan motivasi
b.      Memberitahukan tujuan belajar
c.      Merancang kegiatan dan perangkat pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat terlihat secara aktif, terutama secara mental
d.      Mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dapat merangsang berpikir siswa (provoking question)
e.      Memberikan bantuan terbatas kepada siswa tanpa memberikan jawaban final
 f.      Menghargai hasil kerja siswa dan memberikan umpan balik
g.      Menyediakan aktivitas dan kondisi yang memungkinkan terjadinya konstruksi pengetahuan.

D.   Tujuan Pembelajaran
Di dalam desain pembelajaran, tujuan pembelajaran mempunyai kedudukan yang sangat penting, karena tujuan pembelajaran merupakan landasan bagi:
a)     Penentuan isi (materi) bahan ajar
b)     Penentuan dan pengembangan strategi pembelajaran, dan
c)     Penentuan dan pengembangan alat evaluasi.
Tujuan pembelajaran pada hakikatnya mengacu pada hasil yang diharapkan, ini berarti bahwa dalam merencanakan pembelajaran, tujuan pembelajaran harus ditetapkan terlebih dahulu, selanjutnya semua kegiatan pembelajaran diarahkan untuk mencapai tujuan tersebut.

E.    Faktor-faktor yang Mempengaruhi Belajar dan Pembelajaran
Pembelajaran merupakan upaya untuk membelajarkan siswa, sedangkan belajar merupakann suatu kegiatan mental yang menghasilkan kemampuan baru yang bersifat permanen pada diri siswa. Jadi belajar sesungguhnya akan dapat berhasil secara optimal apabila keseluruhan dari potensi siswa dilibatkan secara optimal pula.

Pada bagan di atas, ada tiga faktor utama yang saling berinteraksi dan mempengaruhi terjadinya kegiatan belajar dan pembelajaran yang pada akhirnya menentukan hasil belajar siswa, yakni:
a.      Masukan mentah
Masukan mentah merupakan kondisi subjek yang belajar pada situasi awal (sebelum kegiatan belajar dan pembelajaran berlangsung). Tingkat keberhasilan atau kegagalan belajar sangat tergantung pada masukan mentah (siswa) ini. Kondisi subjek ini meliputi kondisi fisiologis (yang bersifat jasmani, seperti kesehatan, kondisi organ tubuh, dan sebagainya), dan kondisi psikologis (tingkat kecerdasan/intelegensi, sikap minat, motivasi, gaya kognitif, dan sebagainya).
b.     Masukan instrumen
Masukan instrumen menunjukkan kualifikasi serta sarana yang diperlukan untuk dapat berlangsungnya kegiatan belajar dan pembelajaran. Masukan instrumental, meliputi berbagai komponen seperti guru (kemampuan/kompetensi, kesiapan, sikap, minat, dan sebagainya), kurikulum, metode, evaluasi (proses dan hasil belajar), sarana dan prasarana (ruangan, alat bantu belajar, buku teks, buku penunjang, dan sebagainya).
c.      Perkembangan kepribadian anak
Manusia berlangsung sejak konsepsi (pertemuan ovum dan sperma) sampai saat kematian, sebagai perubahan maju (progresif) ataupun kadang-kadang kemunduran (regresif). Tumbuh-kembang manusia sepanjang hidupnya sering dikelompokkan menjadi beberapa periode, umpamanya: masa prenatal (sebelum lahir) dan postnatal (sesudah lahir) yang meliputi masa bayi, masa kanak-kanak, masa anak sekolah, masa remaja, masa dewasa, masa kemunduran, dan masa ketuaan.
Di samping periode perkembangan yang bersifat menyeluruh, terdapat pula berbagai pendapat tentang perkembangan berbagai aspek kejiwaan manusia, seperti: bahasa, kognitif, moral, sosial dan sebagainya. Pemahaman tumbuh-kembang manusia itu sangat penting sebagai bekal dasar untuk memahami peserta didik dan untuk menentukan keputusan dan atau tindakan yang tepat dalam membantu proses tumbuh-kembang itu secara efisien dan efektif.
Salah satu aspek dari pengembangan manusia seutuhnya adalah yang berkaitan dengan perkembangan kepribadian, utamanya agar dapat diwujudkan kepribadian yang mantap dan mandiri. Meskipun terdapat variasi pendapat, namun dapat dikemukakan beberapa prinsip umum perkembangan kepribadian, karena:
a)     Prinsip itu mungkin dirumuskan dengan variasi tertentu dalam berbagai teori kepribadian.
b)     Prinsip itu akan tampak bervariasi pada kepribadian manusia tertentu (sebab kepribadian itu unit).
Salah satu prinsip perkembangan kepribadian ialah bahwa perkembangan kepribadian mencakup aspek behavioral maupun aspek motivasional dengan perkembangan kepribadian, bukan hanya perubahan dari tingkah laku yang tampak, tetapi juga perubahan dari yang mendorong tingkah laku itu.  Kepribadian itu selalu diartikan sebagai sistem psikofisik, sehingga perkembangan kepribadian haruslah dipandang sebagai perkembangan sistem psikofisik tersebut. Oleh karena itu, cara menyikapi dan memperlakukan siswa haruslah sebagai manusia dalam proses perkembangan kepribadiannya, yang akan beraksi dengan keutuhan pribadinya. Wawasan tersebut berpangkal pada pendangan bahwa kepribadian itu memiliki suatu struktur yang utuh dan dinamis. (Tirtarahardja, 2005).
Prinsip kedua dari perkembangan kepribadian adalah bahwa kepribadian mengalami perkembangan yang terus menerus dan tidak terputus-putus, meskipun pada suatu periode tertentu akan mengalami perkembangan yang cepat dibandingkan dengan periode lainnya. Di samping itu, hasil perkembangan pada periode tertentu akan menjadi landasan bagi perkembangan periode berikutnya.
Pada periode lima tahun pertama dari manusia (balita), Freud (Tirtarahardja, 2005) mengemukakan bahwa struktur kepribadian telah terbentuk pada akhir tahun kelima, bahkan Lewin berpendapat bahwa tiga tahun pertama merupakan masa perkembangan kepribadian yang cepat dan penting. Hal inilah yang membuktikan bahwa pendidikan informal di keluarga dan pendidikan prasekolah sangat penting, sedangkan bagi guru di sekolah diperlukan kerja sama yang erat dengan orang tua siswa, karena bila terjadi kerja sama yang baik antara sekolah dengan orang tua siswa maka perkembangan kepribadian siswa pun yang semakin baik.
Selain faktor di atas, faktor yang tidak kalah pentingnya dalam perkembangan kepribadian anak anak faktor hereditas (sperti keadaan fisik, inteligensi, tempramen, dan sebagainya), dan faktor sosial budaya di luar lingkungan keluarga. Alexander dengan tegas mengemukakan bahwa ada tiga faktor yang bekerja dalam menentukan pola kepribadian seseorang, yakni:
a)     Bekal hereditas individu
b)     Pengalaman awal di keluarga
c)     Peristiwa penting dalam hidupnya di luar keluarga. Hurlock (Tirtarahardja, dkk., 2005).
Dengan demikian, dari potensi hereditas, perkembangan kepribadian akan berlangsung atas dasar kerja sama antara proses manurasi (pendewasaan) sebagai pengaruh faktor-faktor pertumbuhan di dalam diri (intern) manusia, dengan proses belajar sebagai pengalaman-pengalaman manusia yang dijumpai dalam hidupnya.
Dari bagan di atas diketahui bahwa terdapat sejumlah faktor yang ikut mempengaruhi perkembangan ‘konsep diri’ anak, dan dengan demikian ikut mempengaruhi perkembangan kepribadian anak. Yang akan disoroti secara khusus adalah yang berkaitan dengan faktor yang berhubungan dengan sekolah (termasuk guru). Perlu ditekankan bahwa sesudah keluarga, sekolah merupakan lembaga yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan kepribadian, bahkan sesudah orang tua, gurulah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan kepribadian anak, termasuk pembentukan konsep diri. Akan tetapi terdapat perbedaan posisi antara keluarga (yakni orang tua) dengan sekolah (khususnya guru) terhadap perkembangan kepribadian anak, yakni sekolah tidak dari awal tetapi hanya melanjutkan apa yang telah dimulai di keluarga.
Dengan kata lain bahwa, saat anak memasuki bangku sekolah, sesungguhnya anak telah memasuki dua lembaga yang peranannya sangat besar terhadap perkembangan kepribadian anak, yakni keluarga dan sekolah. Bila terdapat keserasian antara keduanya maka pengaruhnya akan saling menguatkan kepribadian anak, tetapi bila keduanya tidak serasi, apalagi sampai bertentangan, maka akan membingungkan anak. Alasan inilah yang menyebabkan bahwa peranan guru sangat besar terhadap perkembangan kepribadian anak, guru harus mampu melihat perkembangan anak yang telah diletakkan oleh keluarga sehingga anak dapat berkembang sesuai dengan kepribadian yang dimilikinya. Untuk dapat melakukan semua itu, hubungan yang harmonis antara sekolah (khususnya guru) dengan keluarga (orang tua) harus terjalin dengan baik.

d.     Kecerdasan Anak
Anak terlahir dengan memiliki tingkat kecerdasan yang berbeda-beda, tingkat kecerdasan anak inilah yang dipergunakan untuk mengembangkan kemampuan. Salah satu yang sangat berpengaruh dalam mengembangkan kemampuan anak adalah keluarga dan sekolah, karena keluarga dan sekolahlah yang dapat mengembangkan kemampuan yang dimiliki anak dengan memberikan pengalaman belajar agar dapat beradaptasi dengan lingkungannya.
Selain itu, setiap manusia juga memiliki kecerdasan intelegensi yang dapat digunakan untuk memecahkan setiap persoalan. Kecerdasan intelegensi ini biasa disebut kecerdasan otak (Intelligence Quotient-IQ). Ada beberapa klasifikasi kecerdasan IQ, yaitu:
140  -  ….   genius                      80  -  89   di bawah normal
131 -  139  sangat pandai            70  -  79   bodoh\
120 -  129  pandai                      50  -  69   debil/moron
110 -  119  di atas normal                   25  -  49   imbecile
           90 -  109  normal                      0  -   24   idiot



e.      Pertumbuhan dan Perkembangan Anak
Dalam masa pertumbuhannya, setiap anak akan melalui tahapan-tahapan tertentu dalam masa perkembangannya, mulai dari pertumbuhan biologis, psikologis, dan didaktis. Pertumbuhan biologis akan berkembang pada tahapan-tahapan usia anak, kemudian pertumbuhan psikologis akan berkembangan sesuai kematangan kejiwaan anak, sedangkan pertumbuhan dedaktik akan berkembangan sesuai dengan tingkat pendidikan anak.
Piaget mengelompokkan tingkat psikologis anak menjadi empat fase, yaitu  fase senso motorik pada umur 0 – 2 tahun, fase pra operasional pada usia 2 – 7 tahun, dan fase operasional kongkrit pada usia 7 – 12 tahun, serta fase operasional formal pada usia 12 tahun ke atas.
Belajar adalah kegiatan yang disengaja untuk mengubah tingkat laku pembelajar hingga diperoleh kecakapan baru, tatapi dalam masa perkembangannya, setiap anak biasanya akan banyak menemukan berbagai permasalahan dalam belajar. Faktor yang paling mempengaruhi fase belajar anak biasanya berasal dari anak itu sendiri yaitu pengaruh fisik, dan mental anak, menyusul faktor dari luar seperti alam, sosial serta sarana dan prasarana. Faktor-faktor yang mempengaruhi inilah yang perlu menjadi perhatian yang serius terutama para orang tua untuk pendidikan dalam keluarga, dan di sekolah untuk pendidikan formal.


                                              BAB VII
PERENCANAAN PENDIDIKAN DAN
PENGEMBANGAN KURIKULUM

a.      Kompetensi Dasar
Mahasiswa memiliki wawasan tentang Perencanaan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum.
b.      Indikator
Mahasiswa diharapkan dapat mendeskripsikan tentang Perencanaan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum.
c.      Pengantar
Pada bab ini mahasiswa akan memahami tentang Perencanaan Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum.

A.   Perencanaan Pendidikan
Perencanaan pendidikan didasari oleh beberapa konsep-konsep. Dasar yang akan dibahas adalah mengenai perubahan lingkungan pendidikan, kebutuhan organisasi pendidikan, perencanaan akibat perubahan lingkungan, ciri-ciri sistem yang akan dipakai dalam perencanaan dan beberapa teori perencanaan.
Perencanaan sebagai subsistem dari manajemen adalah hal yang sangat penting dan langkah awal yang harus dilaksanakan dalam pengelolaan sebuah organisasi atau kegiatan lainnya, guna mencapai hasil secara efektif dan efisien. Seperti yang dijelaskan bahwa: “And planning, organizing, leadership and control are essential to the management.”(Newman, Warren dan McGill, 1987).
Adapun pengertian perencanaan pendidikan menurut Cunningham dalam buku Perencanaan Pendidikan Partisipatori, Pidarta (1990) menyatakan bahwa: perencanaan adalah menyeleksi dan menghubungkan pengetahuan, fakta-fakta, imajinasi-imajinasi dan asumsi-asumsi untuk masa yang akan dating, umtuk memvisualisasi dan mereformulasi hasil yang diinginkan, urutan-urutan kegiatan yang diperlukan dan perilaku dalam batas-batas yang dapat diterima yang akan digunakan dalam penyelesaian.
Selanjutnya dijelaskan bahwa perencanaan di sini menekankan pada usaha menyeleksi dan menghubungkan sesuatu untuk kepentingan masa yang akan datang serta usaha untuk mencapainya. Apa wujud yang akan datang itu dan bagaimana usaha untuk mencapainya adalah merupakan perencanaan. Selain itu Pidarta (1990) mengemukakan bahwa “perencanaan ialah hubungan antara apa adanya sekarang (what is) dan bagaimana seharusnya (what should be) yang bertalian dengan kebutuhan, penentuan tujuan, prioritas, program dan alokasi sumber.” Perencanaan disini menekankan pada usaha mengisi kesenjangan antara keadaan sekarang dengan keadaan yang ada pada masa datang sesuai dengan yang diinginkan.
Perencanaan pendidikan adalah suatu cara yang memuaskan untuk membuat organisasi pendidikan tetap berdidri tegak dan maju sebagai suatu sistem dalam tenunan supra sistem yang tetap berubah (Pidarta, 1990). Perencanaan berarti perencanaan yang melibatkan beberapa orang dalam suatu kegiatan atas dasar wewenang kedudukan baik di tingkat pusat, daerah dan para kepala sekolah. Demikian pula dalam hal mengambil keputusan, yaitu dengan melibatkan warga sekolah secara langsung dalam pengambilan keputusan, maka rasa memiliki warga sekolah dapat lebih ditingkatkan yang serta merta akan berdampak terhadap rasa tanggung jawab bersama yang bermuara pada dedikasi warga sekolah (stake holder) terhadapap sekolah.
Asas partisipatif ini diharapkan akan melahirkan rasa ikut memiliki (sence of belonging), dan rasa ikut beratnggung jawab (sence of responsibility) serta meningkatkan jiwa dedikasi (psycho dedication). Selain itu, Slamet P.H. (2001) berpendapat bahwa perencanaan pendidikan yang berorientasi MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) perlu dilaksanakan dengan alasan sebagai berikut:
a.     Sekolah lebih mengetahuai kekuatan, kelemahan, peluang dan hambatan bagi dirinya, sehingga dengan demikian akan bias lebih mengoptimalkan manfaat sumber daya yang ada.
b.     Sekolah lebih mengetahui kebutuhan lembaganya, khususnya input pendidikan yang akan dikembangakan dan didayagunakan dalam proses selanjutnya.
c.     Pengambilan keputusan lebih cocok untuk memnuhi kebutuhan sekolah karena tahu pa yang terbaik untuk dirinya.
d.     Penggunaan sumber daya pendidikan lebih efektif dan efisien bila dikontrol oleh masyarakat setempat.
e.     Keiikutsertaan (partisipasi) warga sekolah dalam merencanakan sampai dengan pengambilan keputusan menciptakan transformasi dan demokratisasi yang sehat
f.      Sekolah bertanggung jawab terhadap mutu pendidikan baik terhadap pemerintah, orang tua dan masyarakat.
g.     Sekolah dapat secara cepat dan tepat merespon aspirasi masyarakat dan lingkunagn yang dinamis.
Adapun perencanaan pendidikan partisipatori dalam MBS adalah:
a.     Perencanaan Strategis Sekolah
a)    Perencanaan strategis merupakan langkah perumusan filosofis, konsepsional dan strategis pengembangan sekolah berdasarkan kondisi obyektif sekolah.
b)    Perencanaan Strategis disusun oleh sekolah dengan melibatkan seluruh komponen sekolah (Kepala Sekolah, Guru, Siswa dan maysrakat melalui BP3/Komite Sekolah), sebagai bentuk pelaksanaan penetapan kebijakan partisipatif.
c)    Langkah-langkah penyusunan perencanaan strategis adalah sebagai berikut:
(a)  Perumusan Visi Sekolah yang merupakan mandat dari seluruh komponen sekolah.
(b)  Pengembangan mandat menjadi rumusan misi sekolah yang bersifat makro dan holistic
(c)  Analisis Lingkungan Strategis dengan pendekatan analisis SWOT
(d)  Perumusan tujuan dan sasaran,skala prioritas dan network planning sebagai  acuan dalam pengembangan program sekolah.
(e)  Perencanaan Strategis Sekolah selanjutnya menjadi acuan dalam pengembangan program operasional (tahunan, semester, caturwulan dan bulanan).
(f)   Sistematika penyusunan Perencanaan Strategis Sekolah, adalah sebagai  berikut:
1.     Pendidikanahuluan
2.     Visi dan Misi Sekolah
3.     Analisis Lingkungan Strategis
4.     Tujuan dan Sasaran Sekolah
5.     Pengembangan Program Strategis
6.     Penutup (Slamet, dkk., 2001).

d)    Perencanaan Strategis Pengembangan Program
Berdasarkan Perencanaan Strategis yang telah disusun, dikembangkan program jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek secara bertahap, dengan langkah-langkah sebagai berikut:
(a)  Analisis tujuan dan sasaran lembaga dalam satuan waktu tertentu (5 tahunan, tahunan, semester, dan bulanan).
(b)   Penetapan skala prioritas program berdasarkan pertimbangan hubungan antara satu kegiatan dengan penciptaan situasi sebagai prasyarat untuk kegiatan dan penciptaan situasi berikutnya.
(c)   Penysunan skala prioritas dalam sistem network planning 5 tahunan.
(d)   Penjabaran kegiatan tahunan berdasarkan network planning. Satu situasi yang digambarkan dalam network planning dapat dikembangkan menjadi beberapa kegiatan.
(e)   Analisis dukungan sumberdaya internal maupun eksternal sebagai acuan dalam pengembangan volume kegiatan.
(f)    Pembahasan program bersama Komite Sekolah dan BP3 sebagai lembaga yang menetapkan program dan menentukan kebijakan pengembangan sumberdaya.
(g)   Menentukan tim pelaksana program dengan prinsip pendistribusian kegiatan secara bertanggungjawab.
(h)  Penyusunan proposal kegiatan oleh Tim Pelaksana Program.


e)     Perencanaan Strategi Pengembangan Partisipasi  Masyarakat
Untuk melaksanakan MBS, mutlak diperlukan dukungan masyarakat secara moril, organisatoris dan finansial. Kondisi lingkungan masing-masing sekolah berbeda sehingga pengembangan strtaegi dalam rangka peningkatan partisipasi masyarakat dirancang dengan tepat oleh sekolah yang bersangkutan. Namun demikian, secara umum dapat direkomendasikan beberapa langkah strategis sebagai berikut:
(a)  Meningkatkan sistem informasi dan komunikasi antara sekolah dengan masyarakat melalui berbagai media.
(b)   Melaksanakan pengambilan keputusan partisipatif.
(c)   Membentuk Komite Sekolah yang meliputi unsur guru, BP3, siswa, dan tokoh masyarakat setempat atau perorangan lain yang memiliki komitmen untuk mengikatkan diri untuk mengembangkan pendidikan di sekolah yang bersangkutan sebagai anggota Komite Sekolah.
(d)   Merumuskan dengan jelas pola kerjasama dan hubungan kelembagaan antara komponen sekolah, orang tua siswa, BP3, Komite Sekolah dan Pembina Pendidikan.
(e)   Melibatkan Komite Sekolah dan BP3 dalam pelaksanaan dan penilaian program sekolah.
(f)    Melaksanakan sistem akuntabilitas publik dalam penilaian kinerja sekolah. (Slamet, dkk., 2001).
Kemudian dalam melaksanakan manajemen pendidikan yang maju dengan sistem kepemimpinan Kepala Sekolah yang kuat. Prinsip-prinsip pokok yang dapat dijadikan acuan adalah sebagai berikut:
a.      Sistem perencanaan yang bersifat fleksibel dengan menerapkan pola perencanaan menjulur (rolling plan).
b.     Memanfaatkan sumberdaya secara efaktif dan efisien.
c.      Meningkatkan kualitas proses sebagai upaya peningkatan kualitas hasil.
d.     Pelaksana MBS dengan sistem pengorganisasian yang lebih menunjukkan citra kemitraan dan kolaborasi antara seluruh komponen sekolah dengan masyarakat.
e.      Terselenggaranya sistem pemantauan dan penilaian pelaksanaan program secara independen, transparan dan akuntable.
f.       Terselenggaranya sistem pelaporan dan umpan balik dari Sekolah kepada masyarakat dan Pembina Pendidikan secara berkala dan berkesinam-bungan. (Slamet, dkk., 2001).


B.    Pengembangan Kurikulum
a.     Sejarah Kurikulum
Sejak dibelakukannya desentralisasi pemerintahan yang dikenal dengan UU Otonomi Daerah tahun 1999, perlahan-lahan pemerintah juga mulai memikirkan perubahan untuk mengatur sistem tata kehidupan berbangsa dan bernegara lainnya. Salah satunya adalah dunia pendidikan. UU Otonomi Daerah No 32 Tahun 2003 mengatakan bahwa “pendidikan dasar dan menengah telah diserahkan ke daerah” (Tilaar, 2006: 164). Sentuhan perubahan dunia pendidikan langsung ditujukan pada rohnya yaitu kurikulum.
Dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994,  2004 dan 2006. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai sebuah perangkat pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Semua kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945, perbedaannya pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta pendekatan yang digunakan dalam merealisasikannya.
Awalnya pada tahun 1947, kurikulum diberi nama Rentjana Pelajaran 1947. Pada saat itu kurikulum pendidikan di Indonesia masih dipengaruhi sistem pendidikan kolonial Belanda dan Jepang, sehingga hanya meneruskan yang pernah digunakan sebelumnya. Rentjana Pelajaran 1947 boleh dikatakan sebagai pengganti sistem pendidikan kolonial Belanda. Karena suasana kehidupan berbangsa saat itu masih dalam semangat juang merebut kemerdekaan maka pendidikan sebagai development conformism lebih menekankan pada pembentukan karakter manusia Indonesia yang merdeka dan berdaulat serta sejajar dengan bangsa lain di muka bumi ini.
Setelah Rentjana Pelajaran 1947, pada tahun 1952 kurikulum di Indonesia mengalami penyempurnaan. Pada tahun 1952 diberi nama Rentjana Pelajaran Terurai 1952. Kurikulum ini sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional. Yang paling menonjol dan sekaligus ciri dari kurikulum 1952 ini bahwa setiap rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.
Usai tahun 1952, menjelang tahun 1964, pemerintah kembali menyempurnakan sistem kurikulum di Indonesia. Kali ini diberi nama Rentjana Pendidikan 1964. Pokok-pokok pikiran kurikulum 1964 yang menjadi ciri dari kurikulum ini adalah bahwa pemerintah mempunyai keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana, yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelen, dan jasmani.
Kurikulum 1968 merupakan pembaharuan dari kurikulum 1964, yaitu dilakukannya perubahan struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Dari segi tujuan pendidikan, kurikulum 1968 bertujuan bahwa pendidikan ditekankan pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta mengembangkan fisik yang sehat dan kuat.
Kurikulum tahun 1975 sebagai pengganti kurikulum 1968 menggunakan pendekatan-pendekatan diantaranya sebagai berikut:
1.       Berorientasi pada tujuan.
2.       Menganut pendekatan integrative dalam arti bahwa setiap pelajaran memiliki arti dan peranan yang menunjang kepada tercapainya tujuan-tujuan yang lebih integratif.
3.       Menekankan kepada efisiensi dan efektivitas dalam hal daya dan waktu.
4.       Menganut pendekatan sistem instruksional yang dikenal dengan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Sistem yang senantiasa mengarah kepada tercapainya tujuan yang spesifik, dapat diukur dan dirumuskan dalam bentuk tingkah laku siswa.
5.       Dipengaruhi psikologi tingkah laku dengan menekankan kepada stimulus respon (rangsang-jawab) dan latihan (drill).
Kurikulum 1975 hingga menjelang 1983 dianggap sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan masyarakat dan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi. Atas dasar itu maka menjelang tahun 1983 antara kebutuhan atau tuntutan masyarakat dan ilmu pengetahuan/teknologi terhadap pendidikan dalam kurikulum 1975 dianggap tidak sesuai lagi, oleh karena itu diperlukan perubahan kurikulum. Kurikulum 1984 tampil sebagai perbaikan atau revisi terhadap kurikulum 1975. Dalam Kurikulum 1984, pendekatan pengajarannya berpusat pada anak didik melalui Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). CBSA adalah pendekatan pengajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif terlibat secara fisik, mental, intelektual, dan emosional dengan harapan siswa memperoleh pengalaman belajar secara maksimal, baik dalam ranah kognitif, efektif, maupun psikomotor.
Kurikulum 1994 dibuat sebagai penyempurnaan kurikulum 1984 dan dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini berdampak pada sistem pembagian waktu pelajaran, yaitu dengan mengubah dari sistem semester ke sistem caturwulan. Dengan sistem caturwulan yang pembagiannya dalam satu tahun menjadi tiga tahap diharapkan dapat memberi kesempatan bagi siswa untuk dapat menerima materi pelajaran cukup banyak.
Usaha pemerintah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan diikuti dengan perubahan kurikulum dari kurikulum 1994 menjadi kurikulum 2004 yang diberi nama Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), yang menitik beratkan pada pengembangan kemampuan untuk melakukan (kompetensi) tugas-tugas tertentu sesuai dengan standar performance yang telah ditetapkan.
Seiring perjalanan waktu dan tuntutan zaman maka kurikulum 2004 disempurnakan kembali menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada tahun 2006. Dalam kurikulum ini lembaga penyelenggara pendidikan diberi kewenangan penuh untuk menyusun rencana pendidikannya dengan mengacu pada standar-standar yang telah ditetapkan, mulai dari visi-misi, tujuan, struktur dan muatan kurikulum, beban belajar, kalender pendidikan, hingga pengembangan silabus dan Rencana Program Pembelajaran.
Kewenangan pengelolaan pendidikan yang diamanahkan oleh KTSP sebagai wujud dari desentralisasi pendidikan nasional disambut baik oleh seluruh lapisan masyarakat, khususnya praktisi pendidikan. Desentralisasi pendidikan dalam penyempurnaan roh kurikulum 2004 menjadi KTSP pada tahun 2006 semakin meningkatkan semangat lembaga pendidikan (sekolah-sekolah) untuk membangun kembali jiwa dan wibawa lembaga pendidikan beserta perangkatnya yang selama ini dianggap terabaikan.
Selain itu untuk meningkatkan daya saing bangsa, pemerintah menelurkan kebijakan agar dilaksanakannya Ujian Nasional, seperti yang diungkapkan oleh Tilaar (2006) bahwa kebijakan ini oleh pemerintah dianggap sebagai penjabaran atas Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 Tahun 2006, yang isinya antara lain “pendidikan nasional perlu ditentukan standarnya”. Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan adalah menentukan standar dan menaikkan standar setiap tahun melalui ujian nasional.



b.     Pengertian Kurikulum
2.     Kelompok Mata Pelajaran
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional  Pendidikan pasal 6 ayat (1) menyatakan bahwa kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas:
(a)  kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia;
(b)  kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian;
(c)  kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi;
(d)  kelompok mata pelajaran estetika;
(e)  kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan.
Cakupan setiap kelompok mata pelajaran disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1.   Cakupan Kelompok Mata Pelajaran
No
Kelompok Mata Pelajaran
Cakupan
1.
Agama dan Akhlak Mulia
Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, atau moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama.
2.
Kewarganega-raan dan Kepribadian
Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian dimaksudkan untuk peningkatan kesadaran dan wawasan peserta didik akan status, hak, dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta peningkatan kualitas dirinya sebagai manusia.
Kesadaran dan wawasan termasuk wawasan kebangsaan, jiwa dan patriotisme bela negara, penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, kemajemukan bangsa, pelestarian lingkungan hidup, kesetaraan gender, demokrasi, tanggung jawab sosial, ketaatan pada hukum, ketaatan membayar pajak, dan sikap serta perilaku anti korupsi, kolusi, dan nepotisme.
3.
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada SD/MI/SDLB dimaksudkan untuk mengenal, menyikapi, dan mengapresiasi ilmu pengetahuan dan teknologi, serta menanamkan kebiasaan berpikir dan berperilaku ilmiah yang kritis, kreatif dan mandiri.
Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada SMP/MTs/SMPLB dimaksudkan untuk memperoleh kompetensi dasar ilmu pengetahuan dan teknologi serta membudayakan berpikir ilmiah secara kritis, kreatif dan mandiri.
Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada SMA/MA/SMALB dimaksudkan untuk memperoleh kompetensi lanjut ilmu pengetahuan dan teknologi serta membudayakan berpikir ilmiah secara kritis, kreatif dan mandiri.
Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada SMK/MAK dimaksudkan untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi, mem-bentuk kompetensi, kecakapan, dan kemandirian kerja.
4.
Estetika
Kelompok mata pelajaran estetika dimaksudkan untuk meningkatkan sensitivitas,kemampuan mengekspresikan dan kemampuan mengapresiasi keindahan dan harmoni. Kemampuan mengapresiasi dan mengekspresikan keindahan serta harmoni mencakup apresiasi dan ekspresi, baik dalam kehidupan individual sehingga mampu menikmati dan mensyukuri hidup, maupun dalam kehidupan kemasyarakatan sehingga mampu menciptakan kebersamaan yang harmonis.
5.
Jasmani, Olahraga dan Kesehatan
Kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan pada SD/MI/SDLB dimaksudkan untuk meningkatkan potensi fisik serta menanamkan sportivitas dan kesadaran hidup sehat.
Kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan pada SMP/MTs/SMPLB dimaksudkan untuk meningkatkan potensi fisik serta membudayakan sportivitas dan kesadaran hidup sehat.
Kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan pada SMA/MA/SMALB/SMK/MAK dimaksudkan untuk meningkatkan potensi fisik serta membudayakan sikap sportif, disiplin, kerja sama, dan hidup sehat.
Budaya hidup sehat termasuk kesadaran, sikap, dan perilaku hidup sehat yang bersifat individual ataupun yang bersifat kolektif kemasyarakatan seperti keterbebasan dari perilaku seksual bebas, kecanduan narkoba, HIV/AIDS, demam berdarah, muntaber, dan penyakit lain yang potensial untuk mewabah.
Selain tujuan dan cakupan kelompok mata pelajaran sebagai bagian dari kerangka dasar kurikulum, perlu dikemukakan prinsip pengembangan kurikulum.

3.     Prinsip Pengembangan Kurikulum
Kurikulum tingkat satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah dikembangkan oleh sekolah dan komite sekolah berpedoman pada standar kompetensi lulusan dan standar isi serta  panduan penyusunan kurikulum yang dibuat oleh BSNP. Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip berikut.
a.      Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya
Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan.
b.      Beragam dan terpadu
Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, dan jenjang serta jenis pendidikan, tanpa membedakan agama, suku, budaya dan adat istiadat, serta status sosial ekonomi dan gender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat antarsubstansi.
c.      Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan,  teknologi, dan seni
Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni berkembang secara dinamis, dan oleh karena itu semangat dan isi kurikulum mendorong peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan secara tepat perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
d.      Relevan dengan  kebutuhan kehidupan
Pengembangan kurikulum dilakukan dengan   melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan  kemasyarakatan, dunia usaha dan  dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan pribadi,  keterampilan  berpikir, keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional merupakan keniscayaan.
e.      Menyeluruh dan berkesinambungan
Substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan antarsemua jenjang pendidikan.
 f.      Belajar sepanjang hayat
Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan, pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal, nonformal dan informal, dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya.
g.      Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah
Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kepentingan nasional dan kepentingan daerah harus saling mengisi dan memberdayakan sejalan dengan motto Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

c.      Prinsip Pelaksanaan Kurikulum
Dalam pelaksanaan kurikulum di setiap satuan pendidikan menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut.
a)     Pelaksanaan kurikulum didasarkan pada potensi, perkembangan dan kondisi peserta didik untuk menguasai kompetensi yang berguna bagi dirinya. Dalam hal ini peserta didik harus mendapatkan pelayanan pendidikan yang bermutu, serta memperoleh kesempatan untuk mengekspresikan dirinya secara bebas, dinamis dan menyenangkan.
b)     Kurikulum dilaksanakan dengan menegakkan kelima pilar belajar, yaitu: (a) belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, (b) belajar untuk memahami dan menghayati, (c) belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif, (d) belajar untuk hidup bersama dan berguna bagi orang lain, dan (e) belajar untuk membangun dan menemukan jati diri, melalui proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.
c)     Pelaksanaan kurikulum memungkinkan peserta didik mendapat pelayanan yang bersifat perbaikan, pengayaan, dan/atau percepatan sesuai dengan potensi, tahap perkembangan, dan kondisi peserta didik dengan tetap memperhatikan keterpaduan pengembangan pribadi peserta didik yang berdimensi ke-Tuhanan, keindividuan, kesosialan, dan moral.
d)     Kurikulum dilaksanakan dalam suasana hubungan peserta didik dan pendidik yang saling menerima dan menghargai, akrab, terbuka, dan hangat, dengan prinsip tut wuri handayani, ing madia mangun karsa, ing ngarsa sung tulada (di belakang memberikan daya dan kekuatan, di tengah membangun semangat dan prakarsa, di depan memberikan contoh dan teladan).
e)     Kurikulum dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan multistrategi dan multimedia, sumber belajar dan teknologi yang memadai, dan memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai sumber belajar, dengan prinsip alam takambang jadi guru (semua yang terjadi, tergelar dan berkembang di masyarakat dan lingkungan sekitar serta lingkungan alam semesta dijadikan sumber belajar, contoh dan teladan).
f)      Kurikulum dilaksanakan dengan mendayagunakan kondisi alam, sosial dan budaya serta kekayaan daerah untuk keberhasilan pendidikan dengan muatan seluruh bahan kajian secara optimal.
g)     Kurikulum yang mencakup seluruh komponen kompetensi mata pelajaran, muatan lokal dan pengembangan diri diselenggarakan dalam keseimbangan, keterkaitan, dan kesinambungan yang cocok dan memadai antarkelas dan jenis serta jenjang pendidikan.

d.     Struktur Kurikulum Pendidikan Umum
Struktur kurikulum merupakan pola dan susunan mata pelajaran yang harus ditempuh oleh peserta didik dalam kegiatan pembelajaran. Kedalaman muatan kurikulum pada setiap mata pelajaran pada setiap satuan pendidikan dituangkan dalam kompetensi yang harus dikuasai peserta didik sesuai dengan beban belajar yang tercantum dalam struktur kurikulum. Kompetensi yang dimaksud terdiri atas standar kompetensi dan kompetensi dasar yang dikembangkan berdasarkan standar kompetensi lulusan. Muatan lokal dan kegiatan pengembangan diri merupakan bagian integral dari struktur kurikulum pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.

1.     Struktur Kurikulum SD/MI
Struktur kurikulum SD/MI meliputi substansi pembelajaran yang ditempuh dalam satu jenjang pendidikan selama enam tahun mulai Kelas I sampai dengan Kelas VI. Struktur kurikulum SD/MI disusun berdasarkan standar kompetensi lulusan dan standar kompetensi mata pelajaran dengan ketentuan sebagai berikut.
a.      Kurikulum SD/MI memuat 8 mata pelajaran, muatan lokal, dan pengembangan diri seperti tertera pada Tabel 2.
Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada. Substansi muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan.
Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus diasuh oleh guru. Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, dan minat setiap peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah. Kegiatan pengembangan diri difasilitasi dan atau dibimbing oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan pengembangan diri dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling yang berkenaan dengan masalah diri pribadi dan kehidupan sosial, belajar, dan pengembangan karir peserta didik.
b.     Substansi mata pelajaran IPA dan IPS pada SD/MI merupakan “IPA Terpadu” dan “IPS Terpadu”.
c.      Pembelajaran pada Kelas I s.d. III dilaksanakan melalui pendekatan tematik, sedangkan pada Kelas IV s.d. VI  dilaksanakan melalui pendekatan mata pelajaran.
d.     Jam pembelajaran untuk setiap mata pelajaran dialokasikan  sebagaimana tertera dalam struktur kurikulum. Satuan pendidikan dimungkinkan menambah maksimum empat jam pembelajaran per minggu secara keseluruhan.
e.      Alokasi waktu satu jam  pembelajaran adalah 35 menit.
f.       Minggu efektif dalam satu tahun pelajaran (dua semester) adalah 34-38 minggu.


Struktur kurikulum SD/MI disajikan pada Tabel 2
Tabel 2.  Struktur Kurikulum SD/MI

Komponen

A.    Kelas dan Alokasi Waktu

I
II

III
IV, V, dan VI
A. Mata Pelajaran



3
1.    Pendidikan Agama



2.    Pendidikan Kewarganegaraan



2
3.    Bahasa Indonesia



5
4.    Matematika



5
5.    Ilmu Pengetahuan Alam



4
6.    Ilmu Pengetahuan Sosial



3
7.    Seni Budaya dan Keterampilan



4
8.    Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan



4
B. Muatan Lokal



2
C. Pengembangan Diri



2*)
Jumlah
26
27
28
32
            *) Ekuivalen 2 jam pembelajaran

e.      Pelaksanaan Kurikulum
Satuan pendidikan SD/MI/SDLB melaksanakan program pendidikan dengan menggunakan sistem paket. Beban belajar yang diatur pada ketentuan ini adalah beban belajar sistem paket pada jenjang pendidikan dasar. Sistem paket adalah sistem penyelenggaraan program pendidikan yang peserta didiknya diwajibkan mengikuti seluruh program pembelajaran dan beban belajar yang sudah ditetapkan untuk setiap kelas sesuai dengan struktur kurikulum yang berlaku pada satuan pendidikan. Beban belajar setiap mata pelajaran pada Sistem Paket  dinyatakan dalam  satuan jam pembelajaran.
Beban belajar dirumuskan dalam bentuk satuan waktu yang dibutuhkan oleh peserta didik untuk mengikuti program pembelajaran melalui sistem tatap muka, penugasan terstruktur, dan kegiatan mandiri tidak terstruktur. Semua itu dimaksudkan untuk mencapai standar kompetensi lulusan dengan memperhatikan tingkat perkembangan peserta didik. Kegiatan tatap muka adalah kegiatan pembelajaran yang berupa proses interaksi antara peserta didik dengan pendidik. Beban belajar kegiatan tatap muka per jam pembelajaran ditetapkan di SD/MI/SDLB berlangsung selama 35 menit. Sedangkan beban belajar kegiatan tatap muka per minggu untuk:
a)     Kelas I s.d. III adalah 29 s.d. 32 jam pembelajaran;
b)     Kelas IV s.d. VI adalah 34 jam pembelajaran.
Beban belajar kegiatan tatap muka keseluruhannya tertera pada di bawah ini:
Satuan Pendidikan
Kelas
Satu jam pemb. tatap muka (menit)
Jumlah jam pemb. Per minggu
Minggu Efektif per tahun ajaran
Waktu pembelajaran per tahun
Jumlah jam per tahun (@60 menit)
SD/MI/ SDLB*)
I s.d. III
35

26-28
34-38
884-1064 jam pembelajaran
(30940 – 37240
menit)

516-621
IV s.d. VI

35

32
34-38
1088-1216 jam pembelajaran
(38080 - 42560
menit

635-709

Penugasan terstruktur adalah kegiatan pembelajaran yang berupa pendalaman materi pembelajaran oleh peserta didik yang dirancang oleh pendidik untuk mencapai standar kompetensi. Waktu penyelesaian penugasan terstruktur ditentukan oleh pendidik. Kegiatan mandiri tidak terstruktur adalah kegiatan pembelajaran yang berupa pendalaman materi pembelajaran oleh peserta didik yang dirancang oleh pendidik untuk mencapai standar kompetensi. Waktu penyelesaiannya diatur sendiri oleh peserta didik.
Beban belajar  penugasan terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur adalah waktu untuk penugasan terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur bagi peserta didik pada SD/MI/SDLB maksimum 40% dari jumlah waktu kegiatan tatap muka dari mata pelajaran yang bersangkutan. Penyelesaian program pendidikan dengan menggunakan sistem paket adalah enam tahun.
f.       Alokasi Waktu
Permulaan tahun pelajaran  adalah waktu dimulainya kegiatan pembelajaran pada awal tahun pelajaran pada setiap satuan pendidikan. Minggu efektif belajar adalah jumlah minggu kegiatan pembelajaran  untuk setiap tahun pelajaran pada setiap satuan pendidikan.
Waktu pembelajaran efektif adalah jumlah jam pembelajaran setiap minggu, meliputi jumlah jam pembelajaran untuk seluruh matapelajaran termasuk muatan lokal, ditambah jumlah jam untuk kegiatan pengembangan diri. Waktu libur adalah waktu yang ditetapkan untuk tidak diadakan kegiatan pembelajaran terjadwal pada satuan pendidikan yang dimaksud. Waktu libur dapat berbentuk jeda tengah semester, jeda antar semester, libur akhir tahun pelajaran, hari libur keagamaan, hari libur umum termasuk hari-hari besar nasional, dan hari libur khusus.
Alokasi waktu minggu efektif belajar, waktu libur dan kegiatan lainnya tertera pada Tabel di bawah ini:

No
Kegiatan
Alokasi Waktu
Keterangan
1.     
Minggu efektif  belajar
Minimum 34 minggu dan maksimum 38 minggu
Digunakan untuk kegiatan pembelajaran efektif pada setiap satuan pendidikan
2.     
Jeda tengah semester
Maksimum 2 minggu
Satu minggu setiap semester
3.     
Jeda antarsemester
Maksimum 2 minggu

Antara semester I dan II
4.     
Libur akhir tahun pelajaran
Maksimum 3 minggu
Digunakan untuk penyiapan kegiatan dan administrasi akhir dan awal tahun pelajaran
5.     
Hari libur keagamaan
 2 – 4 minggu
Daerah khusus yang memerlukan libur keagamaan lebih panjang dapat mengaturnya sendiri tanpa mengurangi jumlah minggu efektif belajar dan waktu pembelajaran efektif
6.     
Hari libur umum/nasional
Maksimum 2 minggu
Disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah
7.     
Hari libur khusus
Maksimum 1 minggu
Untuk satuan pendidikan sesuai dengan ciri kekhususan masing-masing
8.     
Kegiatan khusus sekolah/madrasah
Maksimum 3 minggu
Digunakan untuk kegiatan yang diprogramkan secara khusus oleh sekolah/madrasah tanpa mengurangi jumlah minggu efektif belajar dan waktu pembelajaran efektif


f.  Penetapan Kalender Pendidikan
a)     Permulaan tahun pelajaran adalah bulan Juli setiap tahun dan berakhir pada bulan Juni tahun berikutnya.
b)     Hari libur sekolah ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional, dan/atau Menteri Agama dalam hal yang terkait dengan hari raya keagamaan, Kepala Daerah tingkat Kabupaten/Kota, dan/atau organisasi penyelenggara pendidikan dapat menetapkan hari libur khusus.
c)     Pemerintah pusat/provinsi/kabupaten/kota dapat menetapkan hari libur serentak untuk satuan-satuan pendidikan.
d)     Kalender pendidikan untuk setiap satuan pendidikan disusun oleh masing-masing satuan pendidikan berdasarkan alokasi waktu sebagaimana tersebut pada dokumen Standar Isi ini dengan memperhatikan ketentuan dari pemerintah/pemerintah daerah.


LITERATUR

A. Ahmadi. Pendidikan Dari Masa Ke Masa.
Dinn Wahyudin, Supriadi, Ishak Abdullah. Pengantar Pendidikan.
Ibrahim Musa. Otonomi Penyelenggaraan Dikdasmen.
Redja Mudyahardjo dkk. Materi Pokok DDK.
Sutan Z.A., dan Syahniar S. Dasar Dasar Kependidikan.
Tim Dosen FIP IKIP Malang. Pengantar DDK.
        UU No 20/2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Previous Post
Next Post

0 komentar: