Tuesday, July 11, 2017

Filsafat Bahasa

FILSAFAT   BAHASA

BAB  I 
PENDAHULUAN
1.1  Tujuan, fungsi dan manfaat filsafat

Menurut Harold H. Titus, filsafat adalah suatu usaha memahami alam semesta, maknanya dan nilainya. Apabila tujuan ilmu adalah kontrol, dan tujuan seni adalah kreativitas, kesempurnaan, bentuk keindahan komunikasi dan ekspresi, maka tujuan filsafat adalah pengertian dan kebijaksanaan (understanding and wisdom).




Dr Oemar A. Hoesin mengatakan: Ilmu memberi kepada kita pengatahuan, dan filsafat memberikan hikmah. Filsafat memberikan kepuasan kepada keinginan manusia akan pengetahuan yang tersusun dengan tertib, akan kebenaran. S. Takdir Alisyahbana menulis dalam bukunya: filsafat itu dapat memberikan ketenangan pikiran dan kemantapan hati, sekalipun menghadapi maut. Dalam tujuannya yang tunggal (yaitu kebenaran) itulah letaknya kebesaran, kemuliaan, malahan kebangsawanan filsafat di antara kerja manusia yang lain. Kebenaran dalam arti yang sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya baginya, itulah tujuan yang tertinggi dan satu-satunya.



Bagi manusia, berfilsafat itu bererti mengatur hidupnya seinsaf-insafnya, senetral-netralnya dengan perasaan tanggung jawab, yakni tanggung jawab terhadap dasar hidup yang sedalam-dalamnya, baik Tuhan, alam, atau pun kebenaran. Radhakrishnan dalam bukunya, History of Philosophy, menyebutkan: Tugasfilsafat bukanlah sekadar mencerminkan semangat masa ketika kita hidup, melainkan membimbingnya maju. Fungsi filsafat adalah kreatif, menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan arah dan menuntun pada jalan baru. Filsafat hendaknya mengilhamkan keyakinan kepada kita untuk menompang dunia baru, mencetak manusia-manusia yang menjadikan penggolongan-penggolongan berdasarkan 'nation', ras, dan keyakinan

keagamaan mengabdi kepada cita mulia kemanusiaan.

Filsafat tidak ada artinya sama sekali apabila tidak universal, baik dalam ruang lingkupnya maupun dalam semangatnya. Studi filsafat harus membantu orang-orang untuk membangun keyakinan keagamaan atas dasar yang matang secara intelektual. Filsafat dapat mendukung kepercayaan keagamaan seseorang, asal saja kepercayaan tersebut tidak bergantung pada konsepsi prailmiah yang usang, yang sempit dan yang dogmatis. Urusan (concerns) utama agama ialah harmoni, pengaturan, ikatan, pengabdian, perdamaian, kejujuran, pembebasan, dan Tuhan.


Berbeda dengan pendapat Soemadi Soerjabrata, yaitu mempelajari filsafat adalah untuk mempertajamkan pikiran, maka H. De Vos berpendapat bahwa filsafat tidak hanya cukup diketahui, tetapi harus dipraktekkan dalam hidup sehari-sehari. Orang mengharapkan bahwa filsafat akan memberikan kepadanya dasar-dasar pengetahuan, yang dibutuhkan untuk hidup secara baik. Filsafat harus mengajar manusia, bagaimana ia harus hidup secara baik. Filsafat harus mengajar manusia, bagaimana ia harus hidup agar dapat menjadi manusia yang baik dan bahagia. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan filsafat adalah mencari hakikat kebenaran sesuatu, baik dalam logika (kebenaran berpikir), etika (berperilaku), maupun metafisik (hakikat keaslian).



5. Aliran-aliran dalam filsafat

Aliran-aliran yang terdapat dalam filsafat sangat banyak dan kompleks. Di bawah ini akan kita bicarakan aliran metafisika, aliran etika, dan aliran-aliran teori pengetahuan.

a. Aliran-aliran metafisika

Menurut Prof. S. Takdir Alisyahbana, metafisika ini dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu (1) yang mengenai kuantitas (jumlah) dan (2) yang mengenai kualitas (sifat).Yang mengenai kuantitas terdiri atas (a)monisme, (b) dualisme, dan (c) pluralisme. Monisme adalah aliran yang mengemukakan bahwa unsur pokok segala yang ada ini adalah esa (satu). Menurut

Thales: air menurut Anaximandros: 'apeiron' menurut Anaximenes: udara. Dualisme adalah aliran yang berpendirian bahwa unsure pokok sarwa yang ada ini ada dua, yaitu roh dan benda. Pluralisme adalah aliran yang berpendapat bahwa unsur pokok hakikat kenyataan ini banyak. Menurut Empedokles: udara, api, air dan tanah. Yang mengenai kualitas dibagi juga menjadi dua bagian besar, yakni (a) yang melihat hakikat kenyataan itu tetap, dan (b) yang melihat hakikat kenyataan itu sebagai kejadian.

Yang termasuk golongan pertama (tetap) ialah: " Spiritualisme, yakni aliran yang berpendapat bahwa hakikat itu bersifat roh. " Materialisme, yakni aliran yang berpendapat bahwa hakikat itu bersifat materi. Yang termasuk golongan kedua (kejadian) ialah: " Mekanisme, yakni aliran yang berkeyakinan bahwa kejadian di dunia ini berlaku dengan sendirinya menurut hukum sebab-akibat. " Aliran teleologi, yakni aliran yang berkeyakinan bahwa kejadian yang satu berhubungan dengan kejadian yang lain, bukan oleh hukum sebab-akibat, melainkan semata-mata oleh tujuan yang sama. " Determinisme, yaitu aliran yang mengajarkan bahwa kemauan manusia itu tidak merdeka dalam mengambil putusan-putusan yang penting, tetapi sudah terpasti lebih dahulu.

" Indeterminisme, yaitu aliran yang berpendirian bahwa kemauan manusia itu bebas dalam arti yang seluas-luasnya.



b. Aliran-aliran etika

Aliran-aliran penting dalam etika banyak sekali, diantaranya ialah:

1) Aliran etika nuturalisme, yaitu aliran yang beranggapan bahwa kebahagiaan manusia itu diperoleh dengan menurutkan panggilan natural (fitrah) kejadian manusia sekali.

2) Aliran etika hedonisme, yaitu aliran yang berpendapat bahwa perbuatan susila itu ialah perbuatan yang menimbulkan 'hedone' (kenikmatan dan kelazatan).

3) Aliran etika utilitarianisme, yaitu aliran yang menilai baik dan buruknya perbuatan manusia ditinjau dari kecil dan besarnya manfaat bagi manusia (utility = manfaat).

4) Aliran etika idealisme, yaitu aliran yang menilai baik buruknya perbuatan manusia janganlah terikat pada sebab-musabab lahir, tetapi haruslah didasarkan atas prinsip kerohanian (idea) yang lebih tinggi.

5) Aliran etika vitalisme, yaitu aliran yang menilai baik-buruknya perbuatan manusia itu sebagai ukuran ada atau tidak adanya daya hidup (vital) yang maksimum mengendalikan perbuatan itu.

6) Aliran etika theologis, yaitu aliran yang berkeyakinan bahwa ukuran baik dan buruknya perbuatan manusia itu dinilai dengan sesuai atau tidak sesuainya dengan perintah Tuhan (Theos = Tuhan).


c. Aliran-aliran teori pengetahuan

Aliran ini mencoba menjawab pertanyaan, bagaimana manusia mendapat pengetahuannya sehingga pengetahuan itu benar dan berlaku.

Pertama, golongan yang mengemukakan asal atau sumber pengetahuan. Termasuk ke dalamnya:

" Rationalisme, yaitu aliran yang mengemukakan bahwa sumber pengetahuan manusia ialah pikiran, rasio dan jiwa manusia.

" Empirisme, yaitu aliran yang mengatakan bahwa pengetahuan manusia itu berasal dari pengalaman manusia, dari dunia luar yang ditangkap pancainderanya.

" Kritisisme (transendentalisme), yaitu aliran yang berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu berasal dari luar maupun dari jiwa manusia itu sendiri.

" Kedua, golongan yang mengemukakan hakikat pengetahuan manusia. Termasuk ke dalamnya:

" Realisme, yaitu aliran yang berpendirian bahwa pengetahuan manusia itu adalah gambar yang baik dan tepat dari kebenaran dalam pengetahuan yang baik tergambarkan kebenaran seperti sungguh-sungguhnya ada.

" Idealisme, yaitu aliran yang berpendapat bahwa pengetahuan itu tidak lain daripada kejadian dalam jiwa manusia, sedangkan kenyataan yang diketahui manusia itu sekaliannya terletak di luarnya.



d. Aliran-aliran lainnya dalam filsafat

Di samping aliran-aliran di atas, masih banyak aliran yang lain dalam filsafat. Aliran-aliran itu antara lain ialah:

1) Eksistensialisme, yaitu aliran yang berpendirian bahwa filsafat harus bertitik tolak pada manusia yang kongkret, yaitu manusia sebagai eksistensi, dan sehubungan dengan titik tolak ini. maka bagi manusia eksistensi itu mendahului esensi.

2) Pragmatisme, yaitu aliran yang beranggapan bahwa benar dan tidaknya sesuatu ucapan, dalil, atau teori, semata-mata bergantung pada berfaedah atau tidaknya ucapan, dalil atau teori tersebut bagi manusia untuk bertindak di dalam kehidupannya.

3) Fenomenologi, yaitu aliran yang berpendapat bahwa hasrat yang kuat untuk mengerti yang sebenarnya dan keyakinan bahwa pengertian itu dapat dicapai jika kita mengamati fenomena atau pertemuan kita dengan realitas.

4) Positivisme, yaitu aliran yang berpendirian bahwa filsafat hendaknya semata-mata berpangkal pada peristiwa yang positif, artinya peristiwa-peristiwa yang dialami manusia.

5) Aliran filsafat hidup, yaitu aliran yang berpendapat bahwa berfilsafat barulah mungkin jika rasio dipadukan dengan seluruh kepribadian sehingga filsafat itu tidak hanya hal yang mengenai berpikir saja, tetapi juga mengenai ada, yang mengikutkan kehendak, hati, dan iman, pendeknya seluruh hidup.






Artikel Pendidikan – Hubungan  Ilmu dengan Filsafat

.





Hubungan  Ilmu dengan Filsafat  atau hubungan filsafat dan ilmu ditinjau dari segi historis, hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang sangat menyolok. Pada permulaan sejarah filsafat di Yunani, “philosophia” meliputi hampir seluruh pemikiran teoritis. Tetapi dalam perkembangan ilmu pengetahuan di kemudian hari, ternyata juga kita lihat adanya kecenderungan yang lain. Filsafat Yunani Kuno yang tadinya merupakan suatu kesatuan kemudian menjadi terpecah-pecah (Bertens, 1987, Nuchelmans, 1982).
Lebih lanjut Nuchelmans (1982), mengemukakan bahwa dengan munculnya ilmu pengetahuan alam pada abad ke 17, maka mulailah terjadi perpisahan antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian dapatlah dikemukakan bahwa sebelum abad ke 17 tersebut ilmu pengetahuan adalah identik dengan filsafat. Pendapat tersebut sejalan dengan pemikiran Van Peursen (1985), yang mengemukakan bahwa dahulu ilmu merupakan bagian dari filsafat, sehingga definisi tentang ilmu bergantung pada sistem filsafat yang dianut.
Dalam perkembangan lebih lanjut menurut Koento Wibisono (1999), filsafat itu sendiri telah mengantarkan adanya suatu konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar-bercabang secara subur. Masing-masing cabang melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri dan masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri.
Dengan demikian, perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru bahkan kearah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti spesialisasi-spesialisasi. Oleh karena itu tepatlah apa yang dikemukakan oleh Van Peursen (1985), bahwa ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin-menjalin dan taat asas (konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat ditentukan.
Terlepas dari berbagai macam pengelompokkan atau pembagian dalam ilmu pengetahuan, sejak F.Bacon (1561-1626) mengembangkan semboyannya “Knowledge Is Power”, kita dapat mensinyalir bahwa peranan ilmu pengetahuan terhadap kehidupan manusia, baik individual maupun sosial menjadi sangat menentukan. Karena itu implikasi yang timbul menurut Koento Wibisono (1984), adalah bahwa ilmu yang satu sangat erat hubungannya dengan cabang ilmu yang lain serta semakin kaburnya garis batas antara ilmu dasar-murni atau teoritis dengan ilmu terapan atau praktis.





Filsafat ilmu merupakan salah satu cabang dari filsafat. Oleh karena itu, fungsi filsafat ilmu kiranya tidak bisa dilepaskan dari fungsi filsafat secara keseluruhan, yakni :
         Sebagai alat mencari kebenaran dari segala fenomena yang ada.
         Mempertahankan, menunjang dan melawan atau berdiri netral terhadap pandangan filsafat lainnya.
         Memberikan pengertian tentang cara hidup, pandangan hidup dan pandangan dunia.
         Memberikan ajaran tentang moral dan etika yang berguna dalam kehidupan
         Menjadi sumber inspirasi dan pedoman untuk kehidupan dalam berbagai aspek kehidupan itu sendiri, seperti ekonomi, politik, hukum dan sebagainya. Disarikan dari Agraha Suhandi (1989)
Sedangkan Ismaun (2001) mengemukakan fungsi filsafat ilmu adalah untuk memberikan landasan filosofik dalam memahami berbagi konsep dan teori sesuatu disiplin ilmu dan membekali kemampuan untuk membangun teori ilmiah. Selanjutnya dikatakan pula, bahwa filsafat ilmu tumbuh dalam dua fungsi, yaitu: sebagai confirmatory theories yaitu berupaya mendekripsikan relasi normatif antara hipotesis dengan evidensi dan theory of explanation yakni berupaya menjelaskan berbagai fenomena kecil ataupun besar secara sederhana.
      A.      Substansi Filsafat Ilmu
Telaah tentang substansi Filsafat Ilmu, Ismaun (2001) memaparkannya dalam empat bagian, yaitu substansi yang berkenaan dengan: (1) fakta atau kenyataan, (2) kebenaran (truth), (3) konfirmasi dan (4) logika inferensi.
      1.       Fakta atau kenyataan
Fakta atau kenyataan memiliki pengertian yang beragam, bergantung dari sudut pandang filosofis yang melandasinya.
         Positivistik berpandangan bahwa sesuatu yang nyata bila ada korespondensi antara yang sensual satu dengan sensual lainnya.
         Fenomenologik memiliki dua arah perkembangan mengenai pengertian kenyataan ini. Pertama, menjurus ke arah teori korespondensi yaitu adanya korespondensi antara ide dengan fenomena. Kedua, menjurus ke arah koherensi moralitas, kesesuaian antara fenomena dengan sistem nilai.
         Rasionalistik menganggap suatu sebagai nyata, bila ada koherensi antara empirik dengan skema rasional, dan
         Realisme-metafisik berpendapat bahwa sesuatu yang nyata bila ada koherensi antara empiri dengan obyektif.
         Pragmatisme memiliki pandangan bahwa yang ada itu yang berfungsi.
Di sisi lain, Lorens Bagus (1996) memberikan penjelasan tentang fakta obyektif dan fakta ilmiah. Fakta obyektif yaitu peristiwa, fenomen atau bagian realitas yang merupakan obyek kegiatan atau pengetahuan praktis manusia. Sedangkan fakta ilmiah merupakan refleksi terhadap fakta obyektif dalam kesadaran manusia. Yang dimaksud refleksi adalah deskripsi fakta obyektif dalam bahasa tertentu. Fakta ilmiah merupakan dasar bagi bangunan teoritis. Tanpa fakta-fakta ini bangunan teoritis itu mustahil. Fakta ilmiah tidak terpisahkan dari bahasa yang diungkapkan dalam istilah-istilah dan kumpulan fakta ilmiah membentuk suatu deskripsi ilmiah.
1.       Kebenaran (truth)
Sesungguhnya, terdapat berbagai teori tentang rumusan kebenaran. Namun secara tradisional, kita mengenal 3 teori kebenaran yaitu koherensi, korespondensi dan pragmatik (Jujun S. Suriasumantri, 1982). Sementara, Michel William mengenalkan 5 teori kebenaran dalam ilmu, yaitu : kebenaran koherensi, kebenaran korespondensi, kebenaran performatif, kebenaran pragmatik dan kebenaran proposisi. Bahkan, Noeng Muhadjir menambahkannya satu teori lagi yaitu kebenaran paradigmatik. (Ismaun; 2001)
      a.       Kebenaran koherensi
Kebenaran koherensi yaitu adanya kesesuaian atau keharmonisan antara sesuatu yang lain dengan sesuatu yang memiliki hirarki yang lebih tinggi dari sesuatu unsur tersebut, baik berupa skema, sistem, atau pun nilai. Koherensi ini bisa pada tatanan sensual rasional mau pun pada dataran transendental.
      b.      Kebenaran korespondensi
Berfikir benar korespondensial adalah berfikir tentang terbuktinya sesuatu itu relevan dengan sesuatu lain. Koresponsdensi relevan dibuktikan adanya kejadian sejalan atau berlawanan arah antara fakta dengan fakta yang diharapkan, antara fakta dengan belief yang diyakini, yang sifatnya spesifik
      c.       Kebenaran performatif
Ketika pemikiran manusia menyatukan segalanya dalam tampilan aktual dan menyatukan apapun yang ada dibaliknya, baik yang praktis yang teoritik, maupun yang filosofik, orang mengetengahkan kebenaran tampilan aktual. Sesuatu benar bila memang dapat diaktualkan dalam tindakan.
      d.      Kebenaran pragmatik
Yang benar adalah yang konkret, yang individual dan yang spesifik dan memiliki kegunaan praktis.
      e.      Kebenaran proposisi
Proposisi adalah suatu pernyataan yang berisi banyak konsep kompleks, yang merentang dari yang subyektif individual sampai yang obyektif. Suatu kebenaran dapat diperoleh bila proposisi-proposisinya benar. Dalam logika Aristoteles, proposisi benar adalah bila sesuai dengan persyaratan formal suatu proposisi. Pendapat lain yaitu dari Euclides, bahwa proposisi benar tidak dilihat dari benar formalnya, melainkan dilihat dari benar materialnya.
      f.        Kebenaran struktural paradigmatik
Sesungguhnya kebenaran struktural paradigmatik ini merupakan perkembangan dari kebenaran korespondensi. Sampai sekarang analisis regresi, analisis faktor, dan analisis statistik lanjut lainnya masih dimaknai pada korespondensi unsur satu dengan lainnya. Padahal semestinya keseluruhan struktural tata hubungan itu yang dimaknai, karena akan mampu memberi eksplanasi atau inferensi yang lebih menyeluruh.
1.       Konfirmasi
Fungsi ilmu adalah menjelaskan, memprediksi proses dan produk yang akan datang, atau memberikan pemaknaan. Pemaknaan tersebut dapat ditampilkan sebagai konfirmasi absolut atau probalistik. Menampilkan konfirmasi absolut biasanya menggunakan asumsi, postulat, atau axioma yang sudah dipastikan benar. Tetapi tidak salah bila mengeksplisitkan asumsi dan postulatnya. Sedangkan untuk membuat penjelasan, prediksi atau pemaknaan untuk mengejar kepastian probabilistik dapat ditempuh secara induktif, deduktif, ataupun reflektif.
1.       Logika inferensi
Logika inferensi yang berpengaruh lama sampai perempat akhir abad XX adalah logika matematika, yang menguasai positivisme. Positivistik menampilkan kebenaran korespondensi antara fakta. Fenomenologi Russel menampilkan korespondensi antara yang dipercaya dengan fakta. Belief pada Russel memang memuat moral, tapi masih bersifat spesifik, belum ada skema moral yang jelas, tidak general sehingga inferensi penelitian berupa kesimpulan kasus atau kesimpulan ideografik.
Post-positivistik dan rasionalistik menampilkan kebenaran koheren antara rasional, koheren antara fakta dengan skema rasio, Fenomena Bogdan dan Guba menampilkan kebenaran koherensi antara fakta dengan skema moral. Realisme metafisik Popper menampilkan kebenaran struktural paradigmatik rasional universal dan Noeng Muhadjir mengenalkan realisme metafisik dengan menampilkan kebenaranan struktural paradigmatik moral transensden. (Ismaun,200:9)
Di lain pihak, Jujun Suriasumantri (1982:46-49) menjelaskan bahwa penarikan kesimpulan baru dianggap sahih kalau penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara tertentu, yakni berdasarkan logika. Secara garis besarnya, logika terbagi ke dalam 2 bagian, yaitu logika induksi dan logika deduksi.
A.      Corak dan Ragam Filsafat Ilmu
Ismaun (2001:1) mengungkapkan beberapa corak ragam filsafat ilmu, diantaranya:
         Filsafat ilmu-ilmu sosial yang berkembang dalam tiga ragam, yaitu : (1) meta ideologi, (2) meta fisik dan (3) metodologi disiplin ilmu.
         Filsafat teknologi yang bergeser dari C-E (conditions-Ends) menjadi means. Teknologi bukan lagi dilihat sebagai ends, melainkan sebagai kepanjangan ide manusia.
         Filsafat seni/estetika mutakhir menempatkan produk seni atau keindahan sebagai salah satu tri-partit,

Bab  ll
2.1  Definisi  filsafa
Filsafat mengenai bahasa dan filsafat  berdasarkan bahasa
a)      Filsafat mengenai bahasa adalah yang bersifat memiliki sistem  yang di gunakan untuk mendekati nahasa sebagai objek khusus.
Contoh: hewan berdiri khusus
Bahasa yang di gunakan untuk menjelaskan  ciri tersebut
b)      Filsafat berdasarkan bahasa adalah filsaat ini bersifat dengan menjadikan bahsa sebagai titik  tindak berfilsafat

2.2   Cabang- cabang  filsafat




2.3  Tugas  filsafat  bahasa

a)      filsafat bahasa bukan membuat pertanyaan tetapi memecahkan masalah  yang timbul karena  ketidak pahaman tentang  suatu  persoalan 
b)       filsafat menganalisis suatu yang dapat di katakan dan tidak dapat dikatakan


2.4  Metode filsafat  bahasa  bersifat analitik
           Artinya memberikan kritikan terhadap suatu  masalah karena para filsuf  menganggap  bahasa filsafat  banyak kaidah tersiplin tergantung

2.5  CIRI-CIRI FILSAFAT BAHASA



2.6  HUBUGAN FILSAFAT BAHASA DENGAN BAHASA
      
a)      Bahasa merupakan objek matri filsafat  sehingga filsafat menganlisis hakekat bahasa itu sebagai makna utama. Bahasa sebagai alat komunikasi utama memiliki kencenderungan kesalahan pemaknaan
b)      Bahasa adalah aktifitasnya  manusia yang pangkal pada pemikiran manusia untukmenanamkan keadilan dalam hidupnya
c)      Dunia fakta dan realita  yang menjadi objek filsafat secara simbolik hanya terakui oleh bahasa
d)     Ungkapan pikiran dan hasil  renungan filsafat  hanya dapat di jelaskan dengan bahasa.
e)      Bahasa sebagai penghubung refleksi filosofis

2.7   JENIS  BAHASA  KOMUNIKASI
        a)  filsafat  dan bahasa
                   kesibukan filsafat berdasarkan  ahli mengatakan bahwa bahsa  seumur dengan filsafat karena berfikir bebas merupkan realisasi dari pola kebenaran retorika  yang berdasarkan pada keputusan logika yang benar yang beroriasinya pada objek yang jelas.
Pandangan ini bertawanan dengan apa yang di katakan oleh kaum stole yang mempertahan kan bahasa sebagai  yang alamiayah/kodrat perbedaan pendapat ini oleh Fiat dan Aristoteles  diberikan jalan pemecahan filsafat  diangkat sebgai ilmu disipliners/disiplin khusus.
       b)pandangan beberapa filsafat bahasa 
a. Dalam  Kratglus.Flaton mengkaji filosofis dalam hubunganya  anatara nama-nama “dengan benda-benda”.Cratylus  mengatakan diantara keduanya berhubungan secara alami.sedangkan pendapat kaucaranya  mengatakan hubungan antara nama-nama dan benda merupakan kesepakatan.
Contoh : nama kayu jati tidak ada hubungan alamiyah antara nama-nama benda yang    lunduk pemberian berdasarkan pada jenis benda yng dicermatkan berdasarkan situasinya.
b.  Aristoteles menyatakan bahwa nama berhubungan dengan logika dan pengetahuan (logika dan epistemologi) sebagai alat khusus nama dalam suatu benda.
c.  Hobbes menyatakan bahwa bahasa alat penghitung  dengan menggunakan kata-kata senantiasa mengikuti pengalaman.
d.  Tubui menyatakan bahwa bahasa merupakan karakter universal yang dijabarkan.
e.  Yon Humbool  mengatakan bahwa setiap bahasa mempunyai sfatail form/ bentuk bofin yag mengandung sacara tersirat  pandangan dunia yang lekas. 
f.  Ferdinand D.sansute mengatakan bahwa bahasa sebagai lambang karangan dan ungkapan (evase) kalimat-kalimat hasil aktifitas bebas dan kreatifitas
g.  Paul Tullen  memngatakan antara tanda dan lambang yang digunakan dalam bidang  keagamaan
h.  Ludding Wittqonstein dan farsel  menyatakan bahwa harus ada hubungan keriminan antara simpol dan fakta antara simbol yang disimbolkanya  seperti hubungan antara wajah seseorang  dengan bayangan dari cermin


  

BAB III
EPISTEMOLOGI

3.1 EPISTEMOLOGI
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu episteme, yang berarti pengetahuan (knowledge) dan logos yang berarti ilmu. Jadi menurut arti katanya, epistemologi ialah ilmu yang membahas masalah-masalah pengetahuan. Di dalam Webster New International Dictionary, epistemologi diberi definisi sebagai berikut: Epistimology is the theory or science the method and grounds of knowledge, especially with reference to its limits and validity, yang artinya Epistemologi adalah teori atau ilmu pengetahuan tentang metode dan dasar-dasar pengetahuan, khususnya yang berhubungan dengan batas-batas pengetahuan dan validitas atau sah berlakunya pengetahuan itu. (Darwis. A. Soelaiman, 2007, hal. 61).
            Istilah Epistemologi banyak dipakai di negeri-negeri Anglo Saxon (Amerika) dan jarang dipakai di negeri-negeri continental (Eropa). Ahli-ahli filsafat Jerman menyebutnya Wessenchaftslehre. Sekalipun lingkungan ilmu yang membicarakan masalah-masalah pengetahuan itu meliputi teori pengetahuan, teori kebenaran dan logika, tetapi pada umumnya epistemologi itu hanya membicarakan tentang teori pengetahuan dan kebenaran saja.
            Epistemologi atau Filsafat pengetahuan merupakan salah satu cabang filsafat yang mempersoalkan masalah hakikat pengetahuan. Apabila kita berbicara mengenai filsafat pengetahuan, yang dimaksud dalam hal ini adalah ilmu pengetahuan kefilsafatan yang secara khusus hendak memperoleh pengetahuan tentang hakikat pengetahuan.
            Beberapa pakar lainnya juga mendefinisikan espitemologi, seperti J.A Niels Mulder menuturkan, epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang watak, batas-batas dan berlakunya dari ilmu pengetahuan. Jacques Veuger mengemukakan, epistemologi adalah pengetahuan tentang pengetahuan dan pengetahuan yang kita miliki tentang pengetahuan kita sendiri bukannya pengetahuan orang lain tentang pengetahuan kita, atau pengetahuan yang kita miliki tentang pengetahuan orang lain. Pendek kata Epistemologi adalah pengetahuan kita yang mengetahui pengetahuan kita. Abbas Hammami Mintarejo memberikan pendapat bahwa epistemology adalah bagian filsafat atau cabang filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan dan mengadakan penilaian atau pembenaran dari pengetahuan yang telah terjadi itu. (Surajiyo, 2008, hal. 25).
            Dari beberapa definisi yang tampak di atas bahwa semuanya hampir memiliki pemahaman yang sama. Epistemologi adalah bagian dari filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat, metode, dan keshahihan pengetahuan. Jadi objek material dari epistemology adalah pengetahuan dan objek formalnya adalah hakikat pengetahuan itu.
            Epistemologi atau Teori Pengetahuan yang berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui akal dan panca indera dengan berbagai metode, diantaranya; metode induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis dan metode dialektis.
Susriasumantri, Jujun S. 1987. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Baktiar, Amsal. 2004. Filsafat Ilmu. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Ahmad Tafsir. 2006. filsafat ilmu. Bandung: Rosdakarya.
Salam, Burhanudin. 1997. Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Rineka Cipta
Ugm, Tim Dosen Filsafat Ilmu. 2007. Filsafat Ilmu. Yogyakarta
Susano, A. 2011. Filsafat Ilmu Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis Epistemologis, dan Aksiologis. Jakarta : PT. Bumiaksara.


3.2  MACAM- MACAM PENGETAHUAN
Pengetahuan bahwa adalah pengetahuan tentang informasi tertentu tahu bahwa sesuatu terjadi, tahu bahwa itu atau itu memang demikian adanya, bahwa apa yang dikatakan memang benar, jenis pengetahuan itu disebut juga pengetahuan teoritis, pengetahuan ilmiah, walaupun masih pada tingkatan yang tidak begitu mendalam, pengetahuan ini berkaitan dengan keberhasilan dalam mengumpulkan informasi atau data tertentu. Seseorang yang mempunyai pengetahuan jenis ini berarti ia memang mempunyai informasi akurat melebihi orang lain.
Pengetahuan Tahu Tentang / Akan / Mengenai
Yang dimaksud dengan jenis pengetahuan ini adalah sesuatu yang sangat spesifik menyangkut pengetahuan akan sesuatu atau seseorang melalui pengalaman atau pengenalan pribadi secara langsung pada obyeknya. Oleh karena itu, sering disebut sebagai pengetahuan berdasarkan pengenalan, ciri-ciri pengetahuan model ini adalah sebagai berikut :
  • Mempunyai tingkat obyektifitas yang cukup tinggi.
  • Subyek mampu membuat penilaian tertentu atas obyeknya karena pengenalan dan pengalaman pribadi yang bersifat langsung dengan obyek.
  • Bersifat singular yaitu hanya berkaitan dengan barang atau obyek khusus.
  •  
Pengetahuan,Tahu Mengapa
Biasanya jenis pengetahuan berkaitan dengan “pengetahuan bahwa” hanya saja “tahu mengapa” jauh lebih mendalam dan serius, karena berkaitan dengan penjelasan. Penjelasan ini merupakan pengetahuan tertinggi dan mendalam sekaligus juga merupakan pengetahuan ilmiah (Keref & Michael, 2001).
Demikian beberapa macam pengetahuan dalam  diri manusia. Dengan mengetahui pembagian ini setidaknya,  kita akan  mengetahui jenis apa pengetahuan terhadap sesuatu yang ada dalam otak kita.
3.3  PENGETAHUAN MATEMATIAKA DAN STATISTIKA

Posted by yunusarifin on Sep 29, 2011 in PENGETAHUANUncategorized
Matematika (dari bahasa Yunani: μαθηματικά – mathēmatiká) adalah studi besaran, struktur, ruang, dan perubahan. Para matematikawan mencari berbagai pola, merumuskan konjektur baru, dan membangun kebenaran melalui metode deduksi yang kaku dari aksioma-aksioma dan definisi-definisi yang bersesuaian.
Terdapat perselisihan tentang apakah objek-objek matematika seperti bilangan dan titik hadir secara alami, atau hanyalah buatan manusia. Seorang matematikawan Benjamin Peirce menyebut matematika sebagai “ilmu yang menggambarkan simpulan-simpulan yang penting”. Di pihak lain, Albert Einstein menyatakan bahwa “sejauh hukum-hukum matematika merujuk kepada kenyataan, mereka tidaklah pasti; dan sejauh mereka pasti, mereka tidak merujuk kepada kenyataan”.
Melalui penggunaan penalaran logika dan abstraksi, matematika berkembang dari pencacahan, perhitungan, pengukuran, dan pengkajian sistematis terhadap bangun dan pergerakan benda-benda fisika. Matematika praktis telah menjadi kegiatan manusia sejak adanya rekaman tertulis. Argumentasi kaku pertama muncul di dalam Matematika Yunani, terutama di dalam karya Euklides, Elemen. Matematika selalu berkembang, misalnya di Cina pada tahun 300 SM, di India pada tahun 100 M, dan di Arab pada tahun 800 M, hingga zaman Renaisans, ketika temuan baru matematika berinteraksi dengan penemuan ilmiah baru yang mengarah pada peningkatan yang cepat di dalam laju penemuan matematika yang berlanjut hingga kini.
Kini, matematika digunakan di seluruh dunia sebagai alat penting di berbagai bidang, termasuk ilmu alam, teknik, kedokteran/medis, dan ilmu sosial seperti ekonomi, dan psikologi. Matematika terapan, cabang matematika yang melingkupi penerapan pengetahuan matematika ke bidang-bidang lain, mengilhami dan membuat penggunaan temuan-temuan matematika baru, dan kadang-kadang mengarah pada pengembangan disiplin-disiplin ilmu yang sepenuhnya baru, seperti statistika dan teori permainan. Para matematikawan juga bergulat di dalam matematika murni, atau matematika untuk perkembangan matematika itu sendiri, tanpa adanya penerapan di dalam pikiran, meskipun penerapan praktis yang menjadi latar munculnya matematika murni ternyata seringkali ditemukan terkemudian.


Statistika adalah ilmu yang mempelajari bagaimana merencanakan, mengumpulkan, menganalisis, menginterpretasi, dan mempresentasikan data. Singkatnya, statistika adalah ilmu yang berkenaan dengan data. Istilah 'statistika' (bahasa Inggrisstatistics) berbeda dengan 'statistik' (statistic). Statistika merupakan ilmu yang berkenaan dengan data, sedang statistik adalah data, informasi, atau hasil penerapan algoritma statistika pada suatu data. Dari kumpulan data, statistika dapat digunakan untuk menyimpulkan atau mendeskripsikan data; ini dinamakan statistika deskriptif. Sebagian besar konsep dasar statistika mengasumsikan teori probabilitas. Beberapa istilah statistika antara lain: populasisampelunit sampel, dan probabilitas.
Statistika banyak diterapkan dalam berbagai disiplin ilmu, baik ilmu-ilmu alam (misalnya astronomi dan biologi maupun ilmu-ilmu sosial (termasuk sosiologi dan psikologi), maupun di bidang bisnisekonomi, dan industri. Statistika juga digunakan dalam pemerintahan untuk berbagai macam tujuan; sensus penduduk merupakan salah satu prosedur yang paling dikenal. Aplikasi statistika lainnya yang sekarang popular adalah prosedur jajak pendapat atau polling (misalnya dilakukan sebelum pemilihan umum), serta jajak cepat (perhitungan cepat hasil pemilu) atau quick count. Di bidang komputasi, statistika dapat pula diterapkan dalam pengenalan pola

b.PENGERTIAN STATISTIK
Sudjana (2004, dalam Riduwan dan Sunarto, 2007) mendefinisikan statistika sebagai pengetahuan yang berhubungan dengan cara-cara pengumpulan fakta, pengolahan serta pembuatan keputusan yang cukup beralasan berdasarkan fakta dan analisa yang dilakukan. Sementara statistic dipakai untuk menyatakan kumpulan fakta, umumnya berbentuk angka yang disusun dalam tabel atau diagram yang melukiskan atau menggambarkan suatu persoalan.
Lebih lanjut Sudjana (2004, dalam Riduwan dan Sunarto, 2007) menyatakan statistika adalah ilmu terdiri dari teori dan metode yang merupakan cabang dari matematika terapan dan membicarakan tentang : bagaimana mengumpulkan data, bagaimana meringkas data, mengolah dan menyajikan data, bagaimana menarik kesimpulan dari hasil analisis, bagaimana menentukan keputusan dalam batas-batas resiko tertentu berdasarkan strategi yang ada.
Singgih Santoso (2002) menyatakan, pada prinsipnya statistic diartikan sebagai kegiatan untuk mengumpulkan data, meringkas/menyajikan data, menganalisa data dengan metode tertentu, dan menginterpretasikan hasil analisis tersebut.
Dalam kaitannya untuk menyelesaikan masalah, pendekatan statistic terbagi dua yaitu pendekatan statistic dalam arti sempit dan luas. Dalam arti sempit (statistic deskriptif), statistika yang hanya mendeskripsikan tentang data yang dijadikan dalam bentuk tabel, diagram, pengukuran rata-rata, simpangan baku, dan seterusnya tanpa perlu menggunakan signifikansi atau tidak bermaksud membuat generalisasi.
Sementara dalam arti luas (statistic inferensi/induktif) adalah alat pengumpul data, pengolah data, menarik kesimpulan, membuat tindakan berdasarkan analisis data yang dikumpulkan dan hasilnya dimanfaatkan / digeneralisasi untuk populasi.
Bidang keilmuan statistika adalah sekumpulan metode untuk memperoleh dan menganalisa data dalam pengambilan suatu kesimpulan. Meski merupakan cabang ilmu matematika, statistika memiliki perbedaan mendasar pada logikanya. Jika matematika menggunakan logika deduktif, sementara statistic menggunakan logika induktif.
Logika statistika, dengan demikian sering disebut dengan logika induktif yang tidak memberikan kepastian namun member tingkat peluang bahwa untuk premis-premis tertentu dapat ditarik kesimpulan, dan kesimpulannya mungkin benar mungkin juga tidak. Langkah yang ditempuh dalam logika statistika adalah :
  1. Observasi dan eksperimen
  2. Munculnya hipotesis ilmiah
  3. Verifikasi dan pengukuhan dan berakhir pada
  4. Sebuah teori dan hokum ilmiah (Cecep Sumarna, 2004:98)
B. LANDASAN KERJA STATISTIK
Menurut Sutrisno Hadi (dalam Riduwan dan Sunarto, 2007) ada tiga jenis landasan kerja statistic meliputi :
  1. Variasi. Didasarkan atas kenyataan bahwa seorang peneliti atau penyelidik selalu menghadapi persoalan dan gejala yang bermacam-macam (variasi) baik dalam bentuk tingkatan dan jenisnya
  2. Reduksi, Hanya sebagian dan seluruh kejadian yang berhak diteliti (sampling)
  3. Generalisasi. Sekalipun penelitian dilakukan terhadap sebagain atau seluruh kejadian yang hendak diteliti, namun kesimpulan dan penelitian ini akan diperuntukkan bagi keseluruhan kejadian atau gejala yang diambil.
Gottfried Achenwall (1749) menggunakan Statistik dalam bahasa Jerman untuk pertama kalinya sebagai nama bagi kegiatan analisis data kenegaraan, dengan mengartikannya sebagai “ilmu tentang negara (state)”. Pada awal abad ke-19 telah terjadi pergeseran arti menjadi “ilmu mengenai pengumpulan dan klasifikasi data”. Sir John Sinclair memperkenalkan nama (Statistics) dan pengertian ini ke dalam bahasa Inggris. Jadi, statistika secara prinsip mula-mula hanya mengurus data yang dipakai lembaga-lembaga administratif dan pemerintahan.



1. 1 pengetahuan tt suatu bidang yg disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yg dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu: dia memperoleh gelar doktor dl -- pendidikan2 pengetahuan atau kepandaian (tt soal duniawi, akhirat, lahir, batin, dsb); 

-- padi, makin berisi makin runduk, pb makin banyak pengetahuan makin rendah hati; menunjukkan -- kpd orang menetak, pb nasihat yg baik itu tidak berguna bagi orang yg tidak mau menggunakannya; -- lintabung, ki bodoh tetapi sombong (tt seseorang); 

-- administrasi ilmu tt berbagai hasil pengalaman yg berhubungan dng masalah pemerintahan, baik negara maupun swasta; -- agama pengetahuan tt ajaran (sejarah dsb) agama; teologi; -- akaid pengetahuan tt keyakinan dan kepercayaan; -- akhirat pengetahuan mengenai segala sesuatu yg berhubungan dng kehidupan di akhirat atau kehidupan sesudah manusia mati; -- akhlak pengetahuan tt tabiat ma-nusia; -- alam pengetahuan tt keadaan alam; -- alat ilmu nahu dan saraf; -- anatomi ilmu yg menguraikan organisme tumbuhan, binatang, atau manusia untuk mencapai pengertian tt susunan dan fungsi bagian-bagiannya; -- bahas bagian filsafat yg berkenaan dng berpikir dsb; -- bahasa penge-tahuan bersistem tt (ihwal) bahasa (tata bahasa); linguistik; -- bangsa-bangsa pengetahuan tt adat istiadat, kehidupan, dsb suatu bangsa (suku bangsa dsb); etnologi; -- bangun pengetahuan ukur-mengukur ruang dsb; -- bangunan pengetahuan tt membangun (membuat) rumah, gedung, jembatan, dsb; -- batin pengetahuan mengenai jiwa dan segala yg gaib; ilmu suluk; -- bayan pengetahuan tt berbagai arti dan maksud yg termuat di dl Alquran; -- bedah pengetahuan tt membedah (mengoperasi) bagian tubuh; -- bentuk kata pengetahuan tt bentuk kata (tt awalan, akhiran, dsb); morfologi; -- bisnis ilmu perdagangan; ilmu berjual beli; -- bumi pengetahuan untuk mengamati, meng-golong-golongkan, dan menganalisis perbedaan berbagai daerah di permukaan bumi; geografi; -- burhani pengeta-huan yg diperoleh berdasarkan alasan ahli mantik; -- cuaca ilmu iklim; -- dagang pengetahuan tt berniaga; -- daruri pengetahuan yg sewajarnya krn sudah jelas dan tidak di-perlukan alasan atau akli(ah) mantiki(ah); -- dasar ilmu tt asas-asas hal yg diteliti; -- dunia pengetahuan atau kepandaian untuk mencari kehidupan di dunia; -- ekonomi 1 ilmu tt produksi, distribusi, dan konsumsi barang, serta berbagai masalah yg bersangkutan dng itu, spt tenaga kerja, pembiayaan, dan keuangan; 2 ilmu pengetahuan tt kegiatan sosial manusia dl memenuhi kebutuhan hidupnya yg diperoleh dr lingkungannya; -- ekonomi makro Ek ilmu ekonomi tt peranan dan perkembangan unsur ekonomi secara keseluruhan, spt pengaruh pengeluaran pemerintah, pendapatan nasional, indeks harga, dan jumlah uang yg beredar; -- ekonomi mikro Ek ilmu ekonomi tt perilaku subjek dan barang ekonomi secara individual dl hubungannya dng perkembangan harga barang, faktor ekonomi, tingkat upah, penghasilan, dan laba perusahaan; -- eksakta ilmu yg berdasarkan ketepatan dan kecermatan dl metode penelitian dan analisis; -- faal pengetahuan tt gejala hidup pd alat tubuh manusia (spt alat pernapasan, peredaran darah, jasad tumbuhan dan binatang); fisiologi; -- fikih pengetahuan tt kewajiban yg diperintahkan oleh agama Islam; ilmu tt hukum syarak; -- firasat pengetahuan tt keadaan muka orang dsb yg bertalian dng tabiatnya; -- fisika lihat fisika; -- gaib pengetahuan tt segala yg tidak kelihatan (rahasia alam dsb); -- gaya bahasa pengetahuan mengenai pemakaian kata dl kalimat khusus; stilistika; -- gizi ilmu pengetahuan tt bagaimana cara memanfaatkan makanan untuk kepentingan kesehatan tubuh manusia pd umumnya; -- halimunan mantra yg jika diucapkan dapat membuat diri tidak kelihatan; -- han-dasah ilmu ukur tanah (spt tt luas tanah, bentangannya); -- hayat pengetahuan tt makhluk hidup (binatang dan tumbuhan); biologi; -- hewan pengetahuan mengenai kehidupan binatang; zoologi; -- hisab ilmu hitung; matematika; -- hitam pengetahuan tt kebatinan yg berhubungan dng pekerjaan setan atau pekerjaan mencelakakan orang (spt membuat orang gila, mencuri dng bantuan makhluk halus); -- hitung pengetahuan mengenai angka sehubungan dng penambahan, pengurangan, perkalian, pembagian, pemangkatan, dan akar bilangan; -- hukum 1 Antr ilmu tt aturan, norma kehidupan masyarakat, serta adat-istiadat yg dibuat oleh penguasa dl suatu masyarakat; 2 pengetahuan tt hukum (undang-undang dsb); -- iklim pengetahuan tt keadaan cuaca (hawa, musim, dsb); klimatologi; -- jaringan ilmu tt struktur mikroskopik dan fungsi jaringan tubuh; -- jiwa ilmu tt segala sesuatu mengenai jiwa manusia; psikologi; -- kalam ilmu tauhid; -- kasekten Jw ilmu sakti; -- kebatinan ilmu batin; -- kebidanan cabang ilmu kedokteran yg berhubungan dng kelahiran bayi dan pertolongan kpd orang bersalin; obstetri; -- kedokteran ilmu tt penyakit pd organisme manusia atau hewan, serta cara dan metode pengobatannya; -- kehutanan ilmu yg mencakupi pengusahaan tanah hutan sbg sumber produksi yg permanen, penanaman dan penggunaan kayu, pengaturan hutan guna proteksi air, pengaliran air sungai, dan manajemen binatang liar di hutan; -- kemanusiaan Antr ilmu tt hasil pikiran manusia serta hubungan antarmanusia, terutama yg tercantum dl kesusastraan dan yg diekpresikan oleh kesenian; -- kesaktian ilmu sakti; -- kesehatan pengetahuan tt hal penjagaan dan pemeliharaan kesehatan, serta pencegahan penyakit; -- kesehatan masyarakat ilmu tt pencegahan penyakit, pemerpanjangan hidup, serta peningkatan kesehatan dan efisiensinya melalui organisasi yg resmi; -- kesenian pengetahuan mengenai seluk-beluk seni secara umum; -- kewarganegaraan cabang ilmu pengetahuan, khususnya bidang ilmu politik, mengenai hubungan antarwarga negara dan hubungan umum yg menyangkut masalah hak dan kewajiban warga negara thd negara dan sebaliknya; -- kiat kepandaian mengobati dsb dng jampi-jampi; -- kimia ilmu tt unsur dan ciri-ciri zat, serta reaksi yg menyebabkan timbulnya zat-zat baru; -- kira-kira cak tanpa kepastian, serba kiraira saja; -- klenik ilmu yg mengajarkan hal yg mengandung rahasia (spt ilmu yg dapat membuat orang tunduk atau jatuh cinta); -- limunan ilmu halimunan; -- maani pengetahuan tt mengarang dan berpidato dng baik; -- mantik pengetahuan tt cara berpikir (atau hal menerangkan sesuatu) hanya berdasarkan pikiran belaka; logika; -- masyarakat pengetahuan tt kehidupan manusia dl masyarakat; sosiologi; -- mendidik didaktik; -- nahu ilmu tt susunan dan bentuk kalimat; sintaksis; -- negara ilmu tt sendi-sendi dan pengertian pokok dr negara; -- obat pengetahuan mengenai berbagai obat (khasiatnya, takaran pemakaiannya, dsb); farmakologi; -- panas ilmu sihir; -- pasti pengetahuan mengenai ruang dan bilangan (spt aljabar, ilmu ukur); -- pemerintahan ilmu tt metode mengatur, menguasai, dan mengelola negara; -- pendidikan pengetahuan tt prinsip dan metode belajar, membimbing, dan mengawasi pelajaran; -- penerbangan pengetahuan mengenai keadaan dan cara mengoperasikan pesawat terbang; -- pengetahuan gabungan berbagai pengetahuan yg disusun secara logis dan bersistem dng memperhitungkan sebab dan akibat; -- pengetahuan alam ilmu yg mencakupi biologi, fisika, dan kimia; -- pengetahuan modern ilmu pengetahuan pd zaman modern yg menampilkan penemuannya dng landasan teori modern dan analisis bersistem thd data lapangan tertentu; -- pengetahuan sosial ilmu pengetahuan yg merupakan fusi atau paduan sejumlah mata pelajaran sosial (spt sejarah, ekonomi, geografi); -- perpustakaan pengetahuan dan keahlian mengenai administrasi perpustakaan berikut koleksinya, ekonomi perpustakaan, dan bibliografi; -- pertanian pengetahuan tt tanam-tanaman (bercocok tanam dsb); -- peternakan cabang biologi terapan yg berkaitan dng pengembangan hewan sesuai dng kondisi setempat dan perkembangan permintaan; -- peruang kl ilmu yg menyebabkan dapat tahan lama menyelam dl air (berupa mantra untuk mendapatkan cukup udara sewaktu menyelam dl air); -- pisah ilmu kimia; -- politik ilmu tt pranata politik, asas, dan organisasi pemerintahan negara; -- praktis ilmu tt kebenaran sebab-akibat untuk diterapkan ke dalam dunia nyata; -- praktis normatif ilmu praktis yg memberikan ukuran atau kaidah yg disebut norma; -- purbakala pengetahuan tt kehidupan pd zaman kuno dan benda peninggalan kuno; arkeologi; -- putih ilmu batin yg digunakan untuk melawan ilmu hitam (untuk mengobati orang sakit, orang kena guna-guna, mengusir setan, dsb); -- racun pengetahuan mengenai pembuatan dan penawaran racun; -- sakti ilmu tt kekuatan yg dimiliki oleh seseorang yg didorong oleh tenaga gaib; -- salik ilmu suluk; -- saraf morfologi; -- sejarah cabang ilmu pengetahuan sosial tt penelitian dan penyelidikan secara bersistem keseluruhan peristiwa dan perkembangan masyarakat serta kemanusiaan di masa lampau dng maksud untuk dinilai secara kritis seluruh hasil penelitian dan penyelidikan tsb agar dapat dijadikan perbendaharaan bagi penilaian dan penentuan masa sekarang serta arah kemajuan masa depan; -- serum pengetahuan tt hal, sifat, dan reaksi serum darah serta cara mengobati penyakit dng berbagai serum; -- sihir ilmu tt rasa pemakaian kekuatan gaib; ilmu gaib (teluh, tuju, dsb); -- sosial ilmu tt perilaku kehidupan manusia sbg makhluk hidup yg bermasyarakat; -- sufi ilmu suluk; tasawuf; -- suluk pengetahuan yg berkenaan dng usaha mendekatkan diri kpd Tuhan; -- tabii ilmu alam (fisika); -- tarekat ilmu tasawuf; ilmu suluk; -- tasawuf ilmu tt kesucian diri secara lahir dan batin untuk mengenal dan mendekatkan diri kpd Allah guna mencapai makrifat Allah; -- tasrih anatomi; -- tata negara ilmu tt segala sesuatu mengenai pemerintahan negara, alat-alat pemerintahan (aparatur) negara, warga negara, dsb; -- tauhid ilmu tt keesaan Allah; -- terapan ilmu tt cara menerapkan prinsip umum untuk memecahkan masalah yg terjadi dl alam semesta dan masyarakat manusia; -- ternak ilmu tt cara memelihara dan memperkembangkan hewan ternak (babi, domba, dsb); -- tib ilmu mengenai obat-obatan atau kesehatan; ilmu kedokteran; -- tilik hewan ilmu tt cara menilai baik-buruknya ternak dilihat dr bentuk luarnya; -- tumbuh-tumbuhan pengetahuan tt tumbuh-tumbuhan; botani; -- udara pengetahuan mengenai keadaan udara; -- ukur ruang pengetahuan ukur-mengukur benda (spt kerucut, limas); -- ukur sudut pengetahuan ukur-mengukur yg berdasarkan perhitungan sudut; -- urai ilmu tt susunan tubuh dan hubungan alat tubuh; anatomi; -- usaha ilmu tt cara mengombinasikan faktor produksi dl mengusahakan suatu tanaman atau ternak supaya memperoleh keuntungan maksimal dan terus-menerus; -- usuludin ilmu tauhid ; -- wasilah ilmu dan kepandaian menghubungkan diri dng roh; 

ber·il·mu v mempunyai ilmu; berpengetahuan; pandai: senang sekali mempunyai teman akrab yg ~; 

~ lintabung ki bodoh, tetapi sombong; ~ padi ki pandai, tetapi tidak mau menunjukkan (menonjolkan) kepandaiannya; 
meng·il·mu·kan v menjadikan ilmu pengetahuan; 
ke·il·mu·an n barang apa yg berkenaan dng pengetahuan; secara ilmu pengetahuan: dl masalah ~ , janganlah ragu-ragu bertanya kpd beliau


3.7  Filsafat Bahasa sebagai ilmu

Filsafat Bahasa adalah pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakekat bahasa, sebab, asal, dan hukumnya. Adapun bahasa itu sebagai alat untuk menyatakan atau mneyampaikan suatu fikiran yang merupakan hasil hasil dari kerja akal di dalam otak.berdasarkan hal tersbeut Perhatian filsuf terhadap bahasapun semakin besar. Mereka sadar bahwa dalam kenyataannya banyak persoalan-persoalan filsafat, konsep-konsep filosofis akan menjadi jelas dengan menggunakan analisis bahasa. Tokoh-tokoh filsafat analitika bahasa hadir dengan terapi analitika bahasanya untuk mengatasi kelemahan kekaburan, kekacauan yang selama ini ada dalam berbagai macam konsep filosofis. Berbeda dengan perkembangan filosofis bahasa di Inggris, di Perancis terdapat suatu perubahan yang sangat radikal. F. de Saussure telah meletakkan dasar-dasar filosofis terhadap linguistik. Pandangannya tentang hakikat bahasa telah membuka cakrawala baru bagi ilmu bahasa yang sebelumnya hanya berkiblat pada tradisi Yunani. Secara keseluruhan filsafat bahasa dapat dikelompokkan atas dua pengertian

  1. Perhatian filsuf terhadap bahasa dalam menganalisis, memecahkan dan menjelaskan problema-problema dan konsep-konsep filosofis.
  2. Perhatian filsuf terhadap bahasa sebagai objek materi yaitu membahas dan mencari hakikat bahasa yang pada gilirannya menjadi paradigma bagi perkembangan aliran dari teori-teori linguistik. (Kaelan, 1998 : 5).

Berdasarkan pengertian di atas bahasa sebagai sarana analisis para filsuf dalam memecahkan, memahami dan menjelaskan konsep-konsep, problema-problema filsafat (bahasa sebagai subjek). Dan yang kedua bahasa sebagai objek material filsafat, sehingga filsafat bahasa membahas hakikat bahasa itu sendiri. Hakikat bahasa sebagai substansi dan bentuk yaitu bahwa bahasa di samping memiliki makna sebagai ungkapan pikiran manusia juga memiliki unsur fisis yaitu struktur bahasa.

Berbicara mengenai struktur bahasa maka termasuk kedalam peran bahasa itu sendiri sehingga Adapun Peranan Filsafat Bahasa Dalam Pengembangan Ilmu Bahasa yaitu ; 

Dimana  telah dibicarakan tentang pengertian filsafat bahasa, dan juga sudah diuraikan mengenai hubungan filsafat dengan bahasa sangat erat, atau sangat penting. Begitu juga peranan (kegunaan) filsafat bahasa, sangat penting dalam pengembangan ilmu bahasa. Kegunaan (peranan) filsafat bahasa itu sangat penting pada pengembangan ilmu bahasa karena filsafat bahasa itu adalah pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakekat bahasa, sebab, asal, dan hukumnya. Jadi pengetahuan dan penyelidikan itu terfokus kepada hakekat bahasa, juga sudah termasuk perkembangannya. Pada dasarnya perkembangan filsafat analitika bahasa meliputi tiga aliran yang pokok yaitu atomisme logis, positivisme logis, dan filsafat bahasa biasa. Aliran filsafat bahasa biasa inilah yang memiliki bentuk yang paling kuat bilamana dibandingkan dengan aliran yang lain, dan memiliki pengaruh yang sangat luas, baik di Inggris, Jerman dan Perancis maupun di Amerika. Aliran ini dipelopori oleh Wittgenstein.

Aliran filsafat bahasa biasa juga mempunyai kelemahan-kelemahan antara lain , yaitu ;
  1. Kekaburan makna
  2. Bergantung pada konteks
  3. Penuh dengan emosi
  4. Menyesatkan

Untuk mengatasi kelemahan dan demi kejelasan kebenaran konsep-konsep filosofis maka perlu dilakukan suatu pembaharuan bahasa, yaitu perlu diwujudkan suatu bahasa yang sarat dengan logika sehingga ungkapan-ungkapan bahasa dalam filsafat kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan. Kelompok filsuf ini adalah Bertrand Russell. Menurut kelompok filsuf ini tugas filsafat yaitu membangun dan mengembangkan bahasa yang dapat mengatasi kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam bahasa sehari-hari ini. Dengan suatu kerangka bahasa yang sedemikian itu kita dapat memahami dan mengerti tentang hakikat fakta-fakta atau kenyataan-kenyataan. Dasar tentang struktur metafisis dan realitas kenyataan dunia yang menjadi perhatian yang terpenting adalah usaha untuk membangun dan memperbaharui bahasa itu membuktikan bahwa perhatian filsafat itu memang berkenaan dengan konsepsi umum tentang bahasa serta makna yang terkandung di dalamnya. Sebagai suatu bidang filsafat khusus, filsafat bahasa mempunyai kekhususannya,yaitu masalah yang dibahas berkenaan dengan bahasa. Jadi peranan filsafat bahasa jelas sangat penting, atau berpengaruh terhadap pengembangan ilmu bahasa. Namun berbeda dengan ilmu bahasa atau lingkungan yang membahas ucapan tata bahasa, dan kosa kata, filsafat bahasa lebih berkenaan dengan arti kata atau arti bahasa (semantik). Masalah pokok yang dibahas dalam filsafat bahasa lebih berkenaan dengan bagaimana suatu ungkapan.

Bahasa itu mempunyai arti, sehingga analisa filsafat tidak lagi dimengerti atau tidak lagi dianggap harus didasarkan pada logika teknis, baik logika formal maupun matematik, tetapi berfilsafat didasarkan pada penggunaan bahasa biasa. Oleh karena itu mempelajari bahasa biasa menjadi syarat mutlak bila ingin membicarakan masalah-masalah filsafat, karena bahasa merupakan alat dasar dan utama untuk berfilsafat. Di dalam pengembangan bahasa banyak ditemui kata-kata yang bersinonim, ini membuktikan bahwa bahasa itu berkembang sehingga banyak kata yang bersinonim. Begitu juga akibat perkembangan bahasa itu timbul kata-kata baru, yang singkat dan tepat, dan mewakili kata-kata yang panjang, seperti kata canggih, dahulu kata canggih belum ada, sekarang timbul dan mewakili kata-kata yang panjang. Cukup kita mengatakan canggih saja, di dalam dunia modern, masa kini. Selanjutnya kata rekayasa, dahulu kata rekayasa tidak ditemukan, sekarang timbul untuk mewakili kata-kata yang panjang yaitu penerapan kaidah-kaidah ilmu seperti perancangan, membangun, pembuatan konstruksi. Selanjutnya kata monitor atau memantau dahulu kata monitor (memantau) belum ada, sekarang timbul dan mewakili kata-kata yang panjang, yaitu mengawasi, mengamati, mengontrol, mencek dengan cermat, terutama untuk tujuan khusus.

Struktur kalimat juga berkembang sesuai dengan ilmu pengetahuan yang meningkat.
Contoh : Dahulu struktur kalimat mempunyai pokok, sebutan, objek, sekarang timbul subjek, predikat, keterangan dan ada lagi frase benda, frase kerja, dan frase keterangan. Ada lagi paradigma baru seperti kata pemimpin, dengan pimpinan, yang mempunyai makna berbeda. Pemimpin adalah orang yang memimpin, sedangkan pimpinan adalah orang yang dpimpin. Selanjutnya kata simpulan yang benar dari kata kesimpulan. Simpulan itu adalah akhir dari pembahasan. Kata keterangan dengan terangan yang betul adalah terangan. Jadi makin banyak perubahan atau perkembangan bahasa itu akibat ilmu pengetahuan tentang bahasa yang meningkat.

Ada juga kata-kata yang timbul pada saat ini tetapi tidak diterima oleh masyarakat seperti kata sangkil dan mangkus dalam bahasa Inggris effektif dan eftsien, masyarakat lebih menerima kata berhasil guna, dan berdaya guna. Begitu juga singkatan-singkatan atau akronim sering terjadi pada masyarakat masa kini. 

Contoh :
OTISTA, Obrolan Artis dalam Berita
KISS, Kisah Seputar Selebritis
Selanjutnya masalah hukum DM (Diterangkan, Menerangkan).
Bahasa Indonesia Hukum DM

Contoh : Rumah putih ( D M )
Bahasa Inggris mempunyai Hukum MD

Contoh : White house ( M D )
Dahulu terdapat kata Sarjana Wanita ini mempunyai hukum MD, muncul Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris.
Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan (seperti yang diusung oleh kaum idealisme khususnya idealisme Jerman Klasik).
Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan. Terdapat tiga tahap dalam perkembangan positivisme, yaitu:
1. Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer.
2. Munculnya tahap kedua dalam positivisme – empirio-positivisme – berawal pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius. Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme.
3. Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina dengan tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain. Serta kelompok yang turut berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis, positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain.

Positivisme Logis

Dalam perkembangannya, positivisme mengalami perombakan dibeberapa sisi, hingga munculah aliran pemikiran yang bernama Positivisme Logis yang tentunya di pelopori oleh tokoh-tokoh yang berasal dari Lingkaran Wina.
Positivisme logis adalah aliran pemikiran dalam filsafat yang membatasi pikirannya pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah. Fungsi analisis ini mengurangi metafisika dan meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah. Tujuan dari pembahasan ini adalah menentukan isi konsep-konsep dan pernyataan-pernyataan ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris.
Tujuan akhir dari penelitian yang dilakukan pada positivisme logis ini adalah untuk mengorganisasikan kembali pengetahuan ilmiah di dalam suatu sistem yang dikenal dengan ”kesatuan ilmu” yang juga akan menghilangkan perbedaan-perbedaan antara ilmu-ilmu yang terpisah. Logika dan matematika dianggap sebagai ilmu-ilmu formal.
Positivisme berusaha menjelaskan pengetahuan ilmiah berkenaan dengan tiga komponen yaitu bahasa teoritis, bahasa observasional dan kaidah-kaidah korespondensi yang mengakaitkan keduanya. Tekanan positivistik menggarisbawahi penegasannya bahwa hanya bahasa observasional yang menyatakan informasi faktual, sementara pernyataan-pernyataan dalam bahasa teoritis tidak mempunyai arti faktual sampai pernyataan-pernyataan itu diterjemahkan ke dalam bahasa observasional dengan kaidah-kaidah korespondensi.

Auguste Comte dan Positivisme

Comte adalah tokoh aliran positivisme yang paling terkenal. Kamu positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dimana metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum sosial kemasyarakatan. Aliran ini tentunya mendapat pengaruh dari kaum empiris dan mereka sangat optimis dengan kemajuan dari revolusi Perancis.
Pendiri filsafat positivis yang sesungguhnya adalah Henry de Saint Simon yang menjadi guru sekaligus teman diskusi Comte. Menurut Simon untuk memahami sejarah orang harus mencari hubungan sebab akibat, hukum-hukum yang menguasai proses perubahan. Mengikuti pandangan 3 tahap dari Turgot, Simon juga merumuskan 3 tahap perkembangan masyarakat yaitu tahap Teologis, (periode feodalisme), tahap metafisis (periode absolutisme dan tahap positif yang mendasari masyarakat industri.
Comte menuangkan gagasan positivisnya dalam bukunya the Course of Positivie Philosoph, yang merupakan sebuah ensiklopedi mengenai evolusi filosofis dari semua ilmu dan merupakan suatu pernyataan yang sistematis yang semuanya itu tewujud dalam tahap akhir perkembangan. Perkembangan ini diletakkan dalam hubungan statika dan dinamika, dimana statika yang dimaksud adalah kaitan organis antara gejala-gejala ( diinspirasi dari de Bonald), sedangkan dinamika adalah urutan gejala-gejala (diinspirasi dari filsafat sehjarah Condorcet).
Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu :

1. Metode ini diarahkan pada fakta-fakta

2. Metode ini diarahkan pada perbaikan terus meneurs dari syarat-syarat hidup

3. Metode ini berusaha ke arah kepastian

4. Metode ini berusaha ke arah kecermatan.

Metode positif juga mempunyai sarana-sarana bantu yaitu pengamatan, perbandingan, eksperimen dan metode historis. Tiga yang pertama itu biasa dilakukan dalam ilmu-ilmu alam, tetapi metode historis khusus berlaku bagi masyarakat yaitu untuk mengungkapkan hukum-hukum yang menguasai perkambangan gagasan-gagasan.

Karl R Popper: Kritik terhadap Positivisme Logis

Asumsi pokok teorinya adalah satu teori harus diji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya, dan Popper menyajikan teori ilmu pengetahuan baru ini sebagai penolakannya atas positivisme logis yang beranggapan bahwa pengetahuan ilmiah pada dasarnya tidak lain hanya berupa generalisasi pengalaman atau fakta nyata dengan menggunakan ilmu pasti dan logika. Dan menurut positivisme logis tugas filsafat ilmu pengetahuan adalah menanamkan dasar untuk ilmu pengetahuan.
Hal yang dikritik oleh Popper pada Positivisme Logis adalah tentang metode Induksi, ia berpendapat bahwa Induksi tidak lain hanya khayalan belaka, dan mustahil dapat menghasilkan pengetahuan ilmiah melalui induksi. Tujuan Ilmu Pengetahuan adalah mengembangkan pengetahuan ilmiah yang berlaku dan benar, untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan logika, namun jenis penalaran yang dipakai oleh positivisme logis adalah induksi dirasakan tidak tepat sebab jenis penalaran ini tidak mungkin menghasilkan pengetahuan ilmiah yang benar dan berlaku, karena elemahan yang bisa terjadi adalah kesalahan dalam penarikan kesimpulan, dimana dari premis-premis yang dikumpulkan kemungkinan tidak lengkap sehingga kesimpulan atau generalisasi yang dihasilkan tidak mewakili fakta yang ada. Dan menurutnya agar pengetahuan itu dapat berlaku dan bernilai benar maka penalaran yang harus dipakai adalah penalaran deduktif.
Penolakan lainnya adalah tentang Fakta Keras, Popper berpendapat bahwa fakta keras yang berdiri sendiri dan terpisah dari teori sebenarnya tidak ada, karena fakta keras selalu terkait dengan teori, yakni berkaitan pula dengan asumsi atau pendugaan tertentu. Dengan demikian pernyataan pengamatan, yang dipakai sebagai landasan untuk membangun teori dalam positivisme logis tidak pernah bisa dikatakab benar secara mutlak.

Daftar Pustaka

                                

 

Positivisme

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasicari
Dalam bidang ilmu sosiologiantropologi, dan bidang ilmu sosial lainnya, istilah positivisme sangat berkaitan erat dengan istilah naturalisme dan dapat dirunut asalnya ke pemikiran Auguste Comte pada abad ke-19. Comte berpendapat, positivisme adalah cara pandang dalam memahami dunia dengan berdasarkan sains. Penganut paham positivisme meyakini bahwa hanya ada sedikit perbedaan (jika ada) antara ilmu sosial dan ilmu alam, karena masyarakat dan kehidupan sosial berjalan berdasarkan aturan-aturan, demikian juga alam.
Positivisme secara etimologi berasal dari kata positive, yang dalam bahasa filsafat bermakna sebagai suatu peristiwa yang benar-benar terjadi, yang dapat dialami sebagai suatu realita. Ini berarti, apa yang disebut sebagai positif bertentangan dengan apa yang hanya ada di dalam angan-angan (impian), atau terdiri dari apa yang hanya merupakan konstruksi atas kreasi kemampuan untuk berpikir dari akal manusia. Dapat disimpulkan pengertian positivisme secara terminologis berarti merupakan suatu paham yang dalam "pencapaian kebenaran"-nya bersumber dan berpangkal pada kejadian yang benar-benar terjadi. Segala hal diluar itu, sama sekali tidak dikaji dalam positivisme.



Rasionalisme atau gerakan rasionalis adalah doktrin filsafat yang menyatakan bahwa kebenaran haruslah ditentukan melalui pembuktian, logika, dan analisis yang berdasarkan fakta, daripada melalui imandogma, atau ajaran agama. Rasionalisme mempunyai kemiripan dari segi ideologi dan tujuan dengan humanisme dan atheisme, dalam hal bahwa mereka bertujuan untuk menyediakan sebuah wahana bagi diskursus sosial dan filsafat di luar kepercayaan keagamaan atau takhayul. Meskipun begitu, ada perbedaan dengan kedua bentuk tersebut:
  • Humanisme dipusatkan pada masyarakat manusia dan keberhasilannya. Rasionalisme tidak mengklaim bahwa manusia lebih penting daripada hewan atau elemen alamiah lainnya. Ada rasionalis-rasionalis yang dengan tegas menentang filosofi humanisme yang antroposentrik.
  • Atheisme adalah suatu keadaan tanpa kepercayaan akan adanya Tuhan atau dewa-dewa; rasionalisme tidak menyatakan pernyataan apapun mengenai adanya dewa-dewi meski ia menolak kepercayaan apapun yang hanya berdasarkan iman. Meski ada pengaruh atheisme yang kuat dalam rasionalisme modern, tidak seluruh rasionalis adalah atheis.
Di luar diskusi keagamaan, rasionalisme dapat diterapkan secara lebih umum, misalnya kepada masalah-masalah politik atau sosial. Dalam kasus-kasus seperti ini, yang menjadi ciri-ciri penting dari perpektif para rasionalis adalah penolakan terhadap perasaan (emosi), adat-istiadat atau kepercayaan yang sedang populer.
Pada pertengahan abad ke-20, ada tradisi kuat rasionalisme yang terencana, yang dipengaruhi secara besar oleh para pemikir bebas dan kaum intelektual.
Rasionalisme modern hanya mempunyai sedikit kesamaan dengan rasionalisme kontinental yang diterangkan René Descartes. Perbedaan paling jelas terlihat pada ketergantungan rasionalisme modern terhadap sains yang mengandalkan percobaan dan pengamatan, suatu hal yang ditentang rasionalisme kontinental sama sekal


RASIONALISME
Dalam pembahasan tentang suatu teori pengetahuan, maka Rasionalisme menempati sebuah tempat yang sangat penting. Paham ini dikaitkan dengan kaum rasionalis abad ke-17 dan ke-18, tokoh-tokohnya ialah Rene Descartes, Spinoza, leibzniz, dan Wolff, meskipun pada hakikatnya akar pemikiran mereka dapat ditemukan pada pemikiran para filsuf klasik misalnya Plato, Aristoteles, dan lainnya.
Paham ini beranggapan, ada prinsip-prinsip dasar dunia tertentu, yang diakui benar oleh rasio manusi. Dari prinsip-prinsip ini diperoleh pengetahuan deduksi yang ketat tentang dunia. Prinsip-prinsip pertama ini bersumber dalam budi manusia dan tidak dijabarkan dari pengalaman, bahkan pengalaman empiris bergantung pada prinsip-prinsip ini.
Prinsip-prinsip tadi oleh Descartes kemudian dikenal dengan istilah substansi, yang tak lain adalah ide bawaan yang sudah ada dalam jiwa sebagai kebenaran yang tidak bisa diragukan lagi. Ada tiga ide bawaan yang diajarkan Descartes, yaitu:
  1. Pemikiran; saya memahami diri saya makhluk yang berpikir, maka harus diterima juga bahwa pemikiran merupakan hakikat saya.
  2. Tuhan merupakan wujud yang sama sekali sempurna; karena saya mempunyai ide “sempurna”, mesti ada sesuatu penyebab sempurna untuk ide itu, karena suatu akibat tidak bisa melebihi penyebabnya.
  3. Keluasaan; saya mengerti materi sebagai keluasaan atau ekstensi, sebagaimana hal itu dilukiskan dan dipelajari oleh ahli-ahli ilmu ukur.
Sementara itu menurut logika Leibniz yang dimulai dari suatu prinsip rasional, yaitu dasar pikiran yang jika diterapkan dengan tepat akan cukup menentukan struktur realitas yang mendasar. Leibniz mengajarkan bahwa ilmu alam  adalah perwujudan dunia yang matematis. Dunia yang nyata ini hanya dapat dikenal melaui penerapan dasar-dasar pemikiran. Tanpa itu manusia tidak dapat melakukan penyelidikan ilmiah. Teori ini berkaitan dengan dasar pemikiran epistimologis Leibniz, yaitu kebenaran pasti/kebenaran logis dan kebenaran fakta/kebenaran pengalaman. Atas dasar inilah yang kemudian Leibniz membedakan dua jenis pengetahuan. Pertama; pengetahuan yang menaruh perhatian pada kebenaran abadi, yaitu kebenaran logis. Kedua; pengetahuan yang didasari oleh observasi atau pengamatan, hasilnya disebut dengan “kebenaran fakta”.
Paham Rasionalisme ini beranggapan bahwa sumber pengetahuan manusia adalah rasio. Jadi dalam proses perkembangan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia harus dimulai dari rasio. Tanpa rasio maka mustahil manusia itu dapat memperolah ilmu pengetahuan.  Rasio itu adalah berpikir. Maka berpikir inilah yang kemudian membentuk pengetahuan. Dan manusia yang berpikirlah yang akan memperoleh pengetahuan. Semakin banyak manusia itu berpikir maka semakin banyak pula pengetahuan yang didapat. Berdasarkan pengetahuan lah manusia berbuat dan menentukan tindakannya. Sehingga nantinya ada perbedaan prilaku, perbuatan, dan tindakan manusia sesuai dengan perbedaan pengetahuan yang didapat tadi.
Namun demikian, rasio juga tidak bisa berdiri sendiri. Ia juga butuh dunia nyata. Sehingga proses pemerolehan pengetahuan ini ialah rasio yang bersentuhan dengan dunia nyata di dalam berbagai pengalaman empirisnya. Maka dengan demikian, seperti yang telah disinggung sebelumnya kualitas pengetahuan manusia ditentukan seberapa banyak rasionya bekerja. Semakin sering rasio bekerja dan bersentuhan dengan realitas sekitar maka semakin dekat pula manusia itu kepada kesempunaan.
Prof. Dr. Muhmidayeli, M.Ag menulis dalam bukunya Filsafat Pendidikan yaitu “Kualitas rasio manusia ini tergantung kepada penyediaan kondisi yang memungkinkan berkembangnya rasio kearah yang memedai untuk menelaah berbagai permasalahan kehidupan menuju penyempurnaan dan kemajuan” Dalam hal ini penulis memahami yang dimaksud penyedian kondisi diatas ialah menciptakan sebuah lingkungan positif yang memungkinkan manusia terangsang untuk berpikir dan menelaah berbagai masalah yang nantinya memungkinkan ia menuju penyempunaan dan kemajuan diri.
Karena pengembangan rasionalitas manusi sangat bergantung kepada pendyagunaan maksimal unsur ruhaniah individu yang sangat tergantung kepada proses psikologis yang lebih mendalam sebagai proses mental, maka untuk mengembangkan sumber daya manuia menurut aliran rasionalisme ialah dengan pendekatan mental disiplin, yaitu dengan melatih pola dan sistematika berpikir seseorang melalui tata logika yang tersistematisasi sedemikian rupa sehingga ia mampu menghubungkan berbagai data dan fakta yang ada dalam keseluruhan realitas melalui uji tata pikir logis-sistematis menuju pengambilan kesimpulan yang baik pula.
EMPIRISME
Secara epistimologi, istilah empirisme barasal dari kata Yunani yaitu emperia yang artinya pengalaman. Tokoh-tokohnya yaitu Thomas Hobbes, Jhon Locke, Berkeley, dan yang terpenting adalah David Hume.
Berbeda dengan rasionalisme yang memberikan kedudukan bagi rasio sebagai sumber pengetahuan, maka empirisme memilih pengalaman sebagai sumber utama pengenalan, baik pengalaman lahiriyah maupun pengalaman batiniyah.
Thomas Hobbes menganggap bahwa pengalaman inderawi sebagai permulaan segala pengenalan. Pengenalan intelektual tidak lain dari semacam perhitungan (kalkulus), yaitu penggabungan data-data inderawi yang sama, dengan cara yang berlainan. Dunia dan materi adalah objek pengenalan yang merupakan sistem materi dan merupakan suatu proses yang berlangsung tanpa hentinya atas dasar hukum mekanisme. Atas pandangan ini, ajaran Hobbes merupakan sistem materialistis pertama dalam sejarah filsafat modern.
Prinsip-prinsip dan metode empirisme pertama kali diterapkan oleh Jhon Locke, penerapan tersebut terhadap masalah-masalah pengetahuan dan pengenalan, langkah yang utama adalah Locke berusaha menggabungkan teori emperisme seperti yang telah diajarkan Bacon dan Hobbes dengan ajaran rasionalisme Descartes. Penggabungan ini justru menguntungkan empirisme. Ia menentang teori rasionalisme yang mengenai ide-ide dan asas-asas pertama yang dipandang sebagai bawaan manusia. Menurut dia, segala pengetahuan datang dari pengalaman dan tidak lebih dari itu. Menurutnya akal manusia adalah pasif pada saat pengetahuan itu didapat. Akal tidak bisa memperolah pengetahuan dari dirinya sendiri. Akal tidak lain hanyalah seperti kertas putih yang kosong, ia hanyalah menerima segala sesuatu yang datang dari pengalaman. Locke tidak membedakan antara pengetahuan inderawi dan pengetahuan akali, satu-satunya objek pengetahuan adalah ide-ide yang timbul karena adanya pengalaman lahiriah dan karena pengalaman bathiniyah. Pengalaman lahiriah adalah berkaitan dengan hal-hal yang berada di luar kita. Sementara pengalahan bathinyah berkaitan dengan hal-hal yang ada dalam diri/psikis manusia itu sendiri.
Sementara menuru David Hume bahwa seluruh isi pemikiran berasal dari pengalaman, yang ia sebut dengan istilah “persepsi”. Menurut Hume persepsi terdiri dari dua macam, yaitu: kesan-kesan dan gagasan. Kesan adalah persepsi yang masuk melalui akal budi, secara langsung, sifatnya kuat dan hidup. Sementara gagasan adalah persepsi yang berisi gambaran kabur tentang kesan-kesan. Gagasan bisa diartikan dengan cerminan dari kesan. Contohnya, jika saya melihat sebuah “rumah”, maka punya kesan tertentu tentang apa yang saya lihat (rumah), jika saya memikirkan sebuah rumah maka pada saat itu saya sedang memanggil suatu gagasan. Menurut Hume jika sesorang akan diberi gagasan tentang “apel” maka terlebih dahulu ia harus punya kesan tentang “apel” atau ia harus terlebih dahulu mengenal objek “apel”. Jadi menurut Hume jika seandainya manusia itu tidak memiliki alat untuk menemukan pengalaman itu buta dan tuli misalnya, maka manusia itu tidak akan dapat memperoleh kesan bahkan gagasan sekalipun. Dalam artian ia tidak bisa memperoleh ilmu pengetahuan.

Emperisme
Kata ini berasal dari kata Yunani empeirikos yang berasal dari kata empeiria, artinya pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya. Dan bila dikembalikan kepada kata Yunaninya, pengalaman yang dimaksud ialah pengalaman indrawi. Manusia tahu es dingin karena ia menyentuhnya, gula manis karena ia mencicipinya. Jadi emperisme adalah memperoleh pengetahuan melalui pengalaman dan lebih sedikit melalui akal. Pada sisi lain ilmu pengetahuan yang bermanfaat, pasti, dan benar hanya diperoleh lewat indra ( empiri) dan empirilah satu- satunya sumber pengetahuan. Pemikiran tersebut lahir denagn nama Empirisme.
Kaum empiris memegang teguh pendapat bahwa pengetahuan manusia dapat diperoleh lewat pengalaman. Dalam persoalan fakta maka kaum impiris harus diyakinkan oleh pengalaman sendiri. Dua aspek dari teori empiris adalah yang pertama adalah perbedaan antara yang mengetahui dan yang diakui. Yang mengetahui subyek dan benda yang diketahui adalah obyek. Kedua, kebenaran atau pengujian kebenaran dari fakta atau obyek didasarkan kepada pengalaman manusia. Aspek lain adalah prinsip keteraturan. Pengetahuan tentang alam didasarkan pada persepsi mengenai cara yang teratur tentang tingkah laku sesuatu. Pada dasarnya alam adalah teratur. Di samping berpegang kepada keteraturan, kaum empiris mempergunakan prinsip keserupaan. Keserupaan berarti bahwa bila terdapat gejala-gejala yang berdasarkan pengalaman adalah identik atau sama, maka kita memepunyai cukup jaminan untuk membuat kesimpulan yang bersifat umum tentang hak itu.
John Locke (1632-1704), bapak aliran ini pada zaman modern mengemukakan teori tabula rasa yang secara bahasa berarti meja lilin. Maksudnya ialah bahwa manusia itu pada mulanya kosong dari pengetahuan, lantas pengetahuannya mengisi  jiwa yang kosong itu, lantas ia  memiliki pengetahuan. Mula-mula tangkapan indera yang masuk itu sederhana, lama kelamaan ruwet, lalu tersusunlah pengetahuan berarti. Berarti, bagaimana pun kompleks (ruwet)-nya pengetahuan manusia, ia selalu dapat dicari ujungnya pada pengalaman indera. Sesuatu yang tidak dapat diamati dengan indera bukanlah pengetahuan yang benar. Jadi, pengalaman indera itulah sumber pengetahuan yang benar. Karena itulah metode penelitian yang menjadi tumpuan aliran ini adalah metode eksperimen.
Ada dua ciri pokok empirisme, yaitu mengenai teori tentang makna dan teori tentang pengetahuan.
Teori makna pada aliran empirisme biasanya dinyatakan sebagai teori tentang asal pengetahuan, yaitu asal-usul idea atau konsep. Pada abad pertengahan teori ini diringkas dalam rumus Nihil est in intellectu quod non prius fuerit in sensu (tidak ada sesuatu di dalam pikiran kita selain didahului oleh pengalaman). Sebenarnya pernyataan ini merupakan tesis Locke yang terdapat dalam bukunya, An Essay Concerning Human Understanding, yang dikeluarkannya tatkala ia menentang ajaran idea bawaan (innate idea) pada orang-orang rasionalis. Jiwa (mind) itu, tatkala orang dilahirkan, keadaannya kosong, laksana kertas putih atau tabula rasa, yang belum ada tulisan di atasnya, dan setiap idea yang diperolehnya mestilah datang melalui pengalaman; yang dimaksud dengan pengalaman di sini ialah pengalaman inderawi. Atau pengetahuan itu datang dari observasi yang kita lakukan terhadap jiwa (mind) kita sendiri dengan alat yang oleh Locke disebut inner sense (pengindera dalam).
Pada abad ke-20 kaum empiris cenderung menggunakan teori makna mereka pada penentuan apakah suatu konsep diterapkan dengan benar atau tidak, bukan pada asal-usul pengetahuan. Salah satu contoh penggunaan empirisme secara pragmatis ini ialah pada Charles Sanders Peirce dalam kalimat “Tentukanlah apa pengaruh konsep itu pada praktek yang dapat dipahami kemudian konsep tentang pengaruh itu, itulah konsep tentang objek tersebut”.
Filsafat empirisme tentang teori makna amat berdekatan dengan aliran positivisme logis (logical positivism) dan filsafat Ludwig Wittgenstein. Akan tetapi, teori makna dan empirisme selalu harus dipahami lewat penafsiran pengalaman. Oleh karena itu, bagi orang empiris jiwa dapat dipahami sebagai gelombang pengalaman kesadaran, materi sebagai pola (pattern) jumlah yang dapat diindera, dan hubungan kausalitas sebagai urutan peristiwa yang sama.
Teori kedua, yaitu teori pengetahuan, dapat diringkaskan sebagai berikut: Menurut orang rasionalis ada beberapa kebenaran umum, seperti “setiap kejadian tentu mempunyai sebab”, dasar-dasar matematika, dan beberapa prinsip dasar etika, dan kebenaran-kebenaran itu benar dengan sendirinya yang dikenal dengan istilah kebenaran a priori yang diperoleh lewat intuisi rasional. Empirisme menolak pendapat itu. Tidak ada kemampuan intuisi rasional itu. Semua kebenaran yang disebut tadi adalah kebenaran yang diperoleh lewat observasi jadi ia kebenaran a posteriori.
Tokoh lain yang mengemukakan tentang pemikiran emperisme adalah :
.
  1. Pengamantan dan Pengumpulan Data
Tahap ini merupakan sesuatu yang paling dikenal dalam metode keilmuan. Disebabkan oleh banyaknya kegiatan keilmuan yang diarahkan kepada pengumpulan data ini maka banyak orang menyamakan keilmuan dengan pengumpulan fakta. Pengamatan yang diteliti yang dimungkinkan oleh terdapatnya berbagai alat, yang dibuat manusia dengan penuh akal, memberikan dukungan yang dramatis terhadap konsep keilmuan sebagai suatu prosedur yang pada dasarnya adalah empiris dan induktif.
  1. Penyusunan dan Klasifikasi Data
Tahap metode keilmuan ini menekankan kepada penyusunan fakta dalam kelompok- kelompok, jenis-jenis dan kelas-kelas. Dalam semua cabang-cabang ilmu, usaha untuk mengidentifikasikan, dan memebedakan fakta-fakta yang relevan tergantung pada adanya sistem klasifikasi ini disebut taxonomi, dan ilmuwan modern terus berusaha untuk menyempurnakan taxonomi khusus bidang keilmuan mereka.
  1. Perumusan Hipotesis

paradigma baru menjadi Wanita Sarjana menjadi hokum D M
Yang betul adalah Wanita Sarjana, karena Bahasa Indonesia mempunyai
Hukum DM. Ini semua karena ilmu pengetahuan yang semakin meningkat.


BAB IV  LOGIKA
A. DEFINISI  LOGIKA
         Logika berdasarkan  ethimologisnya dalam bahasa inggris yaitu logic,dalam bahasa latin yaitu logika,dalam bahasa yunani logice.
-Logika adalah pola berpikir seseorang yang teratur,sistematis,dimengerti
-logika adalah teori atau persyaratan penalaran yang syah,istilah ini pertama kali dipelopori oleh(Alfrend  Alexander dan Aprhroderius)
-logika juga disebut aturan-aturan atau kaidah penalaran yang tepat,disamping sebagai penalaran logika juga disebut bentuk pol pikiran.
B.  PERKEMBANGAN LOGIKA 
1. Logika  berkembang sejak 2500 tahun sm,didunia barat dan timur sebagai pendekatan historis dan analisis.
2.  Disamping  di yunani logika juga berkembangnya di India yang disebut nyanya yang menekankan logika Aristoteles bersaing dengan logika Megarian stoa marhab ini, berhubungan dengan dielektida zeno.
3.  Marhab paripatetik terus mengembangkan logika Aris toeteles bersaing dengan logika Megarian stoa marhab ini berhubungan dielektida zeno.
4.  Saingan marhab paripatetik adalah marhab epikurean marhab menegaskan bahwa logika berawal dari perpisahan  emperis kemudian berkembang menjadi individu dan amilon.










 C. LOGIKA MODERN
Logika modern yang juga dikenal dengan nama logika simbolik atau logika matematik adalah corak-corak baru logika [1]. seperti yang terdapat pada:
  • Logika modalitas (modal logic)
  • Logika bernilai banyak (many-valued logic)
  • Sistem implikasi nonstandar (nonstandard system of implication)
  • Sistem kuantifikasi nonstandar (nonstandard systems of quantification)
Logika modern tetap berpegang kepada prinsip-prinsip yang dikenalkan oleh logika tradisional, namun berbeda dengan logika tradisional, logika modern hanya menggunakan tan
D. TIGA BAGIAN LOGIKA 
Logika bgian 1
Marxisme dan kritik ekonomi politik
            Marx menulis tentang metamorfosis komoditas. Bagaimana komoditas beralih-wujud menjadi uang untuk kemudian beralih kembali jadi komoditas yang lain? Apa yang memungkinkan metamorfosis ini? Pertama, mesti ada komoditas. Namun agar ada komoditas, mesti ada proses produksi. Karenanya, syarat pertama metamorfosis ialah keberadaan proses produksi. Kedua, mesti ada uang. Namun uang tak lain daripada mediator yang menghubungkan proses produksi yang berbeda. Karenanya, syarat kedua metamorfosis adalah keberadaan mediator produksi. Ketiga, mesti ada pasar. Apa yang dimaksud pasar ialah ruang tempat transaksi dagang terjadi, lengkap dengan seluruh pengaruh yang dihasilkannya pada transaksi tersebut. Syarat ketiga metamorfosis, karenanya, adalah keberadaan ruang gerak. Proses produksi, mediator produksi dan pasar sebagai ruang gerak—inilah ketiga syarat yang mesti dipenuhi agar sirkuit komoditas-uang-komoditas dimungkinkan.
Dalam tulisan ini, kita akan menggunakan skema tiga syarat metamorfosis komoditas tersebut untuk membaca transaksi politik. Apa yang tergambar dalam pemaparan berikut tak lain adalah politik yang dibaca dalam logika ekonomi.
Logika bagian  ll
PEMAHAMAN KATA-KATA
Dari Metafisika ke Logika
                 filsafat memberi kita wawasan penting mengenai metafisika, yang pada awalnya ditemukan oleh Sokrates, lalu diungkap dengan jauh lebih lengkap oleh Kant. Seperti akar pohon yang hampir seluruhnya terpendam di tanah sehingga kita tidak bisa melihatnya, sebagaimana adanya (sekurang-kurangnya tidak tanpa menumbangkan pohon), landasan metafisis pengetahuan kita pun terdiri atas sesuatu yang pada dasarnya tak dapat diketahui oleh benak manusia. Dengan dilengkapi dengan wawasan ini, sekarang kita  bisa menarik diri dari kedalaman metafisika yang kelam dan naik ke bagian pohon filsafat yang membiarkan diri untuk diamati dengan lebih mudah.
Seperti yang kita perhatikan di Kuliah 1, “logika” filosofis itu bagaikan batang pohon. Namun, apakah logika itu? Saya ingin kalian turut menjawab pertanyaan ini untuk beberapa saat. Saya menduga, sebelum kalian mengikuti matakuliah ini kebanyakan dari kalian lebih memiliki pandangan mengenai hakikat logika daripada mengenai hakikat filsafat pada umumnya. Jadi, saya harap pertanyaan diskusi ini akan agak lebih mudah daripada yang kita hadapi di Kuliah 1. Siapa yang mau mengajukan jawaban pertama? Apakah logika itu?
Mahasiswa H. “Saya pikir logika itu seperti sains: sama-sama diharapkan untuk mengajarkan kita fakta-fakta di dunia ini, sehingga kita tidak harus bersandar pada pendapat kita belaka.”
Logika memang berkaitan dengan sesuatu yang mempermudah kita dalam melihat hal-hal di balik opini kita sendiri. Akan tetapi, saya rasa saya tak mungkin sepakat dengan anda bila anda hubungkan logika sedemikian dekat dengan fakta-fakta ilmiah. Namun demikian, saya senang anda mengatakannya, karena pandangan yang keliru mengenai logika ini banyak dianut oleh mahasiswa yang baru belajar filsafat. Logika sebetulnya sama sekali tidak mengajarkan kita fakta-fakta baru! Sesungguhnya, logika lebih menyerupai metafisika daripada fisika bila sampai pada persoalan pengajaran fakta-fakta baru. Metafisika, sekurang-kurangnya bagi Kant, tidak menambah pengetahuan sama sekali, tetapi mencegah kekeliruan, seperti halnya akar-akar pohon tidak mengandung buah, namun perlu dipelihara untuk memastikan agar buahnya sehat. Begitu pula batangnya, logika. Alasan mengkaji metafisika dan logika bukanlah agar kita bisa lebih mengetahui, melainkan supaya kita dapat belajar mengungkapkan dengan lebih jelas dan cermat pengetahuan yang kita peroleh dari sumber-sumber lain. Kalau tidak, kita bisa mendapati diri membudidayakan wawasan yang terlihat manis di luar, tetapi busuk ketika kita “gigit”. Jadi, apakah logika itu?
Mahasiswa I. “Logika adalah proses berpikir selangkah demi selangkah, seperti yang selalu dipakai oleh ilmuwan yang baik.”
Saya rasa pandangan anda benar bahwa berpikir ilmiah harus logis; berpikir “selangkah demi selangkah”, yang mensyaratkan langkah-langkah yang harus diikuti menurut suatu tatanan tertentu, tentu saja merupakan salah satu ciri utama segala hal yang logis. Kata “tatanan” (order) menyiratkan pertalian tertentu yang ada antara langkah-langkah berlainan yang kita ikuti dalam proses berpikir kita. Saya menganggap itulah maksud anda kala mengatakan “selangkah demi selangkah”. Namun jawaban anda memperlihatkan bahwa anda salah paham terhadap pertanyaan saya. Apakah kalian menyadarinya? Jika dalam Pengantar Sejarah seorang mahasiswa menanyai saya “Apakah sejarah itu?”, maka memadaikah jawaban saya kepadanya bila mengatakan “Sejarah adalah sesuatu mengenai masa lalu yang penting”? Adakah di antara kalian yang sedang mempelajari sejarah saat ini yang bisa memberi tahu saya apakah pemerian saya tentang apa yang sedang anda pelajati itu akurat ataukah tidak?
Mahasiswa J. “Kami belajar banyak mengenai peristiwa-peristiwa signifikan yang terjadi di masa lalu.”
Itukah tepatnya yang anda pelajari? Di semua matakuliah, para mahasiswa pasti mempelajari hal-hal penting mengenai masa lalu tanpa benar-benar mengkaji sejarah. Contohnya, di kuliah-kuliah terdahulu kita sudah mempelajari metafisika dengan menelaah ide-ide filsuf masa lalu, tetapi pengambilan pendekatan historis tidak berarti kita mengkaji sejarah begitu saja. Hal lain apa yang kalian pelajari di matakuliah sejarah?
Mahasiswa J. “Sebagian pengajar menyajikan berbagai teori tentang bagaimana perubahan historis pada aktualnya berlangsung, umpamanya perdebatan apakah sejarah itu seperti garis ataukah lingkaran. Juga, kita diharapkan untuk tidak sekadar mempelajari fakta-fakta masa lalu, tetapi mengapa fakta-fakta itu signifikan, dan bagaimana kita bisa menafsirkannya dengan cara sebaik-baiknya.”
Bagus sekali! Nah, seperti halnya semua disiplin akademik mengajarkan sesuatu mengenai masa lalu tanpa perlu mengajarkan sejarah, semua disiplin akademik—atau paling tidak, mestinya—pun bersifat logis, namun tidak mengajarkan logika. Tidak hanya matakuliah sains; sejarah, ekonomi, politik, agama, musik, dan seni pun biasanya juga diajarkan dengan cara logis, tertata (namun tentu saja terdapat berbagai tipe tatanan). Jadi, permintaan saya sekarang, katakan apa yang menjadikan logika itu sendiri khas sebagai disiplin akademik! Bila kita alihkan perhatian kita ke logika, apa yang akan kita telaah?
                                                                                                    



E. MACAM-MACAM LOGIKA
Logika ada dua macam, yaitu:
  1. Logika Modern yang dikenal dengan nama logika simbolik atau logika matematik. Prinsip Logika Tradisional yang telah dikembangkan oleh Aristoteles tetap menjadi Prinsip Logika Modern. Karena Logika Modern hanya menggunakan simbol-simbol matematik dalam realita tidak mungkin dapat ditangkap sepenuhnya dan secara tepat oleh simbol matematik tersebut.
  2. Logika Tradisional membahas dan mempersoalkan definisi, konsep, dan term menurut struktur, susunan dan nuansanya, serta seluk beluk penalaran untuk memperoleh kebenaran yang lebih sesuai dengan realita. Oleh karena itu Martin Heidegger (1889 – 1976) berpendapat bahwa logika modern mengabaikan cara berfikir yang sesungguhnya. Logika Modern tetap tidak dapat menggeser kedudukan logika tradisional.
Penalaran adalah kegiatan berfikir. Kegiatan berfikir tidak mungkin dapat berlangsung tanpa bahasa. Jadi, penalaran senantiasa bersangkut paut dengan bahasa. Setiap orang yang menalar selalu menggunakan bahasa, baik bahasa yang digunakan didalam fikira, diucapkan dengan mulut, maupun tertulis. Dengan demikian, bahasa adalah alat berfikir. Bahasa adalah alat bernalar. Baik logika maupun tata bahasa terkait erat dengan bahasa, namun keahlian dalam tata bahasa bukan merupakan prasyarat untuk mempelajari logika. Logika membahas proses penalaran dan isi pikiran seperti diungkapkan dalam bahasa untuk suatu kebenaran.
Empat kegunaan logika, yaitu :
  1. Membantu setiap orang yang mempelajari logika untuk berfikir secara rasional, kritis, lurus, tepat, tertib, metodis, dan koheren.
  2. Meningkatkan kemampuan berfikir secara abstrak, cermat, dan objektif.
  3. Menambah kecerdasan dan meningkatkan kemampuan berfikir secara tajam dan mandiri.
  4. Meningkatkan cinta akan kebenaran dan menghindari kekeliruan serta kesesatan. 
Tidak ada ilmu logika pengetahuan yang tidak didasarkan pada logika, Ilmu Pengetahuan tanpa logika tidak akan pernah mencapai kebenaran ilmiah. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Bapak Logika, Aristoteles, “Logika benar-benar merupakan alat bagi seluruh ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, siapa saja yang mempelajari logika, sesungguhnya ia telah menggenggam master key (kunci utama) untuk membuka semua pintu masuk ke berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan logika adalah prasyarat bagi ilmu-ilmu lain”.

F.KELOGITAN  DAN BAHASA
A. logika berasal dari kata Yunani kuno λόγος (logos) yang berarti hasil pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Logika adalah salah satu cabang filsafat.
Sebagai ilmu, logika disebut dengan logike episteme (Latin: logica scientia) atau ilmu logika (ilmu pengetahuan) yang mempelajari kecakapan untuk berpikir secara lurus, tepat, dan teratur[1].
Ilmu di sini mengacu pada kemampuan rasional untuk mengetahui dan kecakapan mengacu pada kesanggupan akal budi untuk mewujudkan pengetahuan ke dalam tindakan. Kata logis yang dipergunakan tersebut bisa juga diartikan dengan masuk akal.



B. Bahasa adalah kapasitas khusus yang ada pada manusia untuk memperoleh dan menggunakan sistem komunikasi yang kompleks, dan sebuah bahasa adalah contoh spesifik dari sistem tersebut. Kajian ilmiah terhadap bahasa disebut dengan linguistik. Semua perkiraan dari jumlah akurat dari bahasa-bahasa di dunia bergantung kepada suatu perubahan sembarang antara perbedaan bahasa dan dialek. Namun, perkiraan beragam antara 6.000-7.000 bahasa. Bahasa alami adalah bicara atau bahasa isyarat, tapi setiap bahasa dapat disandikan ke dalam media kedua menggunakan stimulus audio, visual, atau taktil, sebagai contohnya, dalam tulisan grafisbraille, atau siulan. Hal ini karena bahasa manusia adalah modalitas-independen. Bila digunakan sebagai konsep umum, "bahasa" bisa mengacu pada kemampuan kognitif untuk dapat belajar dan menggunakan sistem komunikasi yang kompleks, atau untuk menjelaskan sekumpulan aturan yang membentuk sistem tersebut, atau sekumpulan pengucapan yang dapat dihasilkan dari aturan-aturan tersebut. Semua bahasa bergantung pada proses semiosis untuk menghubungkan isyarat dengan makna tertentu. Bahasa oral dan Bahasa isyarat memiliki sebuah sistem fonologis yang mengatur bagaimana simbol digunakan untuk membentuk urutan yang dikenal sebagai kata atau morfem, dan suatu sistem sintaks yang mengatur bagaimana kata-kata dan morfem digabungkan untuk membentuk frasa dan penyebutan.
Bahasa manusia unik karena memiliki properti-properti produktivitasrekursif, dan pergeseran, dan karena ia secara keseluruhan bergantung pada konvensi sosial dan pembelajaran. Strukturnya yang kompleks mampu memberikan kemungkinan ekspresi dan penggunaan yang lebih luas daripada sistem komunikasi hewan yang diketahui. Bahasa diperkirakan berasal sejak hominin mulai secara bertahap mengubah sistem komunikasi primata mereka, memperoleh kemampuan untuk membentuk suatu teori pikiran dan intensionalitas berbagi.
Perkembangan tersebut terkadang diperkirakan bersamaan dengan meningkatnya volume otak, dan banyak ahli bahasa melihat struktur bahasa telah berkembang untuk melayani fungsi sosial dan komunikatif tertentu. Bahasa diproses pada banyak lokasi yang berbeda pada otak manusia, tapi terutama di area Broca dan area Wernicke. Manusia mengakuisisi bahasa lewat interaksi sosial pada masa balita, dan anak-anak sudah dapat berbicara secara fasih kurang lebih umur tiga tahun. Penggunaan bahasa telah berakar dalam kultur manusia. Oleh karena itu, selain digunakan untuk berkomunikasi, bahasa juga memiliki banyak fungsi sosial dan kultural, seperti untuk menandakan identitas suatu kelompok, stratifikasi sosial, dan untuk dandanan sosial dan hiburan.
Bahasa-bahasa berubah dan bervariasi sepanjang waktu, dan sejarah evolusinya dapat direkonstruksi ulang dengan membandingkan bahasa modern untuk menentukan sifat-sifat mana yang harus dimiliki oleh bahasa leluhurnya supaya perubahan nantinya dapat terjadi. Sekelompok bahasa yang diturunkan dari leluhur yang sama dikenal sebagai rumpun bahasa. Bahasa yang digunakan dunia sekarang tergolong pada keluarga Indo-Eropa, yang mengikutkan bahasa seperti InggrisSpanyolPortugisRusia, dan HindiBahasa Sino-Tibet, yang melingkupi Bahasa MandarinCantonese, dan banyak lainnya; bahasa Semitik, yang melingkupi ArabAmhar, dan Hebrew; dan bahasa Bantu, yang melingkupi SwahiliZuluShona, dan ratusan bahasa lain yang digunakan di Afrika. Konsensusnya adalah antara 50 dan 90% bahasa yang digunakan sekarang kemungkinan akan punah pada tahun 2100.[1] [2]


G.  KONTRADIKSI
Dalam logika matematikakontradiksi adalah suatu pernyataan majemuk yang bernilai salah untuk semua kemungkinan dari premis-premisnya. Jadi, kontradiksi berlawanan dengan tautologi. Hal ini dapat dibuktikan menggunakan tabel kebenaran ataupun sifat-sifat logika.
Kontradiksi
Tidak dapat sama-sama benar pada waktu yang sama dan dalam pengertian yang sama.
Apakah maksudnya? Mari kita sama-sama mencoba mengerti dari contoh sebelumnya. Ebing menganggap bahwa Farhan pipis di celana. Tetapi Farhan membantahnya. Kamu perlu membaca terlebih dahulu kisah yang dimaksud.
http://pak-ari.com/sites/pak-ari.com/files/article/2013/04/814/kontradiksi-pipis.png
Kita dapat menyederhanakan dialog mereka dengan dua kalimat berikut.
http://pak-ari.com/sites/pak-ari.com/files/article/2013/04/814/konsistensi-ebing.png
Farhan pipis di celana.
http://pak-ari.com/sites/pak-ari.com/files/article/2013/04/814/konsistensi-farhan.png
Farhan tidak pipis di celana.

Tidak dapat sama-sama benar

Kontradiksi tidak dapat sama-sama benar. Sementara Ebing bilang iyaFarhan bilang tidak. Entah siapa dari mereka yang benar, yang jelas kalau ternyata Ebing benar, berarti Farhan salah. Sebaliknya, kalau Ebing salah, pasti Farhan benar. Hanya ada dua kemungkinan, dan tidak mungkin keduanya sama-sama benar. Ini adalah kontradiksi.

http://pak-ari.com/sites/pak-ari.com/files/article/2013/04/814/konsistensi-ebing.png
http://pak-ari.com/sites/pak-ari.com/files/article/2013/04/814/konsistensi-farhan.png
Kemungkinan 1
http://pak-ari.com/sites/pak-ari.com/files/page/2012/01/648/yes.png
http://pak-ari.com/sites/pak-ari.com/files/page/2012/01/648/no.png
Kemungkinan 2
http://pak-ari.com/sites/pak-ari.com/files/page/2012/01/648/no.png
http://pak-ari.com/sites/pak-ari.com/files/page/2012/01/648/yes.png
Tetapi kita perlu memastikan bahwa ini adalah kontradiksi. Benarkah kedua kelompok ini tidak dapat sama-sama benar? Kita harus memastikan bahwa mereka membicarakan hal yang sama. Kita harus memeriksa waktu dan pengertian yang dimaksud dari kalimat yang mereka permasalahkan: Farhan pipis di celana.

Pada waktu yang sama

Apakah waktu yang dimaksud oleh kedua orang itu sama? Seandainya kita tanya kepada mereka mengenai waktu kejadiannya, dan mereka menjawab seperti ini:
http://pak-ari.com/sites/pak-ari.com/files/article/2013/04/814/konsistensi-ebing.png
Iya. Farhan pipis di celana sekarang.
http://pak-ari.com/sites/pak-ari.com/files/article/2013/04/814/konsistensi-farhan.png
Nggak. Aku tidak pipis di celana kemarin.
Kalau mereka menjawab seperti itu, maka ini bukan kontradiksi. Mengapa? Karena waktu yang dimaksud berbeda. Ebing memaksudkan Farhan pipis sekarang, tetapi Farhan memaksudkan tidak pipis kemarin. Kedua kalimat ini sedang membicarakan kejadian yang berbeda.
Entah mereka berkata benar atau tidak, kita tidak tahu. Yang jelas, keduanya masih mungkin sama-sama benar. Ketika Farhan mengatakan Aku tidak pipis di celana kemarin, ia tidak mengatakan apa-apa mengenai kejadian hari ini. Berarti masih ada kemungkinan ia pipis di celana hari ini.
Tetapi kalau mereka memaksudkan waktu yang sama:
http://pak-ari.com/sites/pak-ari.com/files/article/2013/04/814/konsistensi-ebing.png
Iya. Farhan pipis di celana sekarang.
http://pak-ari.com/sites/pak-ari.com/files/article/2013/04/814/konsistensi-farhan.png
Nggak. Aku tidak pipis di celana sekarang.
Kita masih harus menguji satu aspek lagi, yaitu pengertiannya.

Dalam pengertian yang sama

Seandainya kita tanya, apa yang mereka maksudkan mengenai pipis di celana.
http://pak-ari.com/sites/pak-ari.com/files/article/2013/04/814/konsistensi-ebing.png
Tentu saja maksudnya Farhan pipis di celananya sendiri.
http://pak-ari.com/sites/pak-ari.com/files/article/2013/04/814/konsistensi-farhan.png
Aku tidak pipis di celana Gilang.
Sama seperti pengandaian sebelumnya, pembicaraan ini mengacu pada kejadian yang berbeda. Ketika Farhan mengatakan Aku tidak pipis di celana Gilang, ia tidak mengatakan apa-apa mengenai ia pipis di mana. Jadi masih ada kemungkinan ia pipis di celananya sendiri. Jadi, kedua kalimat di atas masih bisa sama-sama benar.





BAB V
KEBENARAN
5.1 Konsep Kebenaran
Ketika kita berbicara mengenai kebenaran milik siapa ?
               Allah maha mengtahui dan sudah pasti Dia yang membuat kebenaran Namun. Allah tidak pernah menyebutkan kebenaran itu hanya  bisa diketahui oleh Allah. tetapi manusia juga bisa menemukannya
               Bukti bahwa kebenaran bisa ditemukan oleh manusia contohnya adalah kasus perang Khandaq “parit” dimana pada saat itu pendapat nabi dikalahkan oleh sahabat bernama “Salman Al Farisi” memberikan masukan bahwa pada perang tersebut lebih baik menggunakan strategi parit agar musuh terperangkap jebakan. Pendapat tersebut mengalahkan strategi nabi sendiri yang ingin melakukan penyerangan langsung. Pendapat nabi tanpa masukan atau petunjuk dari Allah. Dalam peperangan tersebut nabi setuju untuk menggunakan strategi dari sahabat tersebut dan kaum muslim bisa menang.
1.      kebenaran itu sesuai dengan fakta empirisnya
         misal orang dikatakan benar jika mengatakan benda matahari itu bulat karena sesuai dengan apa yang ada Terkadang fenomoena di alam ini kompleks sehingga membutuhkan pengamatan dan penelitian yang mendalam.
         Contohnya seperti “berapa kecepatan cahaya itu”, para peneliti tidak bisa menggunakan suatu alat yang sederhana untuk mencari standart kecepatan tersebut sehingga bisa ditemukan dijaman modern sekarang.

2.      Kebenaran itu bisa menyelesaikan masalah sesuai dengan konteks
         Seperti permasalahan “kita ingin berliburan ke solo” moda angkutan yang bisa dipakai bisa bermacam macam mulai kereta , pesawat, mobil, sepeda motor atau jalan kaki hal tersebut bisa memberikan jawaban untuk pergi ke jakarta.
         Hal itu merupakan kebenaran, namun jika kita tambahkan konteks efisiensi waktu maka yang paling efisien adalah pesawat. Dan akan berbeda dan semakin rumit  seiring bertambahnya konteks yang dipakai.
Maka bisa dikatakan bahwa kebenaran bisa diketahui oleh orang yang memiliki pengaetahuan atau yang telah meneliti dengan detail dan mendalam dengan metode yang pas tentunya dalam mengkaji suatu fenomena atau peristiwa di alam ini.

3.      Konsep Keyakianan Akan Kebenaran
         Ada orang yang mengatakan kalo kita harus menghargai pendapat orang lain Tidak boleh merasa  pendapat kita paling benar Semua bebas memberikan komentar.

                  Kita harus menghargai pendapat orang lain Jika jita harus menghargai pendapat orang lain yang menyatakan semua benar maka kita juga harus menghargai pendapat orang yang berfikir pendapatnya paling benar. Semua boleh berpendapat dan mengungkapkan pendapatnya baik yang menyatakan semua benar maupun hanya 1 kebenaran (percaya pendapatnya sendiri yang benar) Kita harus menghargai pendapat yang bertentangn dengan pendapat kita seperti kebenaran itu banyak dan pendapat kebenaran itu satu.
                  Dalam logika tersebut ada yang salah dimana ketika kita menggunakan atau melakukan premis kebebasan maka kita harus membebaskan atau membiarkan para masyarakat atau  orang yang memiliki pandangan hanya pendapat mereka lah yang benar.

 5.2 Paradikma Kebenaran
                        Paradigma adalah kumpulan tata nilai yang membentuk pola pikir seseorang sebagai titik tolak pandangannya sehingga akan membentuk citra subjektif seseorang – mengenai realita – dan akhirnya akan menentukan bagaimana seseorang menanggapi realita itu
                        Kebenaran sebenarnya adalah persamaan antara pikiran (thought) dan sesuatu (thing). Dikatakan formal atau logical truth jika pemikiran memberikan pertimbangan yang benar akan suatu realitas. Oleh karena itu, kebenaran senantiasa berhubungan dengan pertimbangan dimana pikiran memberikan persetujuan atau ketidaksetujuan akan ide-ide dan realitas, dimana ide-ide ini dimanifestasikan.


1.       Penelitian
            Setiap tahun, ratusan ribu calon sarjana di Indonesia membuat penelitian, setidaknya sekali seumur hidup mereka, entah itu yang dinamai skripsi, tugas akhir, proyek akhir dan sebagainya.  Teorinya, suatu bangsa yang memiliki banyak sumberdaya manusia melek penelitian, akan jadi bangsa yang tangguh.  Mereka adalah bangsa yang mencintai kebenaran dan juga mampu menghasilkan karya-karya ilmiah dan teknologi.  Di abad 21 ini jelas, keunggulan suatu bangsa makin ditentukan oleh penguasaannya atas iptek, tidak lagi pada kekayaan alamnya, atau besar jumlah penduduknya.
            Tanpa stimulasi ini, sulit dibayangkan bahwa para pemuda di Indonesia, terutama yang mengenyam pendidikan tinggi, akan tertarik untuk mengalami suatu proses penelitian.  Dunia kita saat ini digeber justru untuk lebih tertarik pada sesuatu yang tidak rasional, baik itu mistik ataupun kehidupan glamour ala artis.  Hampir tidak ada bupati atau konglomerat yang berlomba memberi hadiah bagi pemenang Lomba Karya Ilmiah Remaja atau Pemilihan Peneliti Remaja Indonesia.  Namun hampir semua jor-joran mengguyur juara AFI yang notabene pasti sudah ditawari menjadi bintang iklan dengan nilai ratusan juta Rupiah.
            Pertanyaannya adalah, perlukah semua mahasiswa itu nanti jadi peneliti?  Jadi peneliti atau ilmuwan di Indonesia ini belum menjadi idola banyak orang.  Lain dengan menjadi dokter spesialis, jadi selebriti atau – sekarang ini – jadi anggota legislatif!  Dan faktanya, jadi peneliti di Indonesia ini masih harus “Omar Bakri”.  Tunjangan peneliti yang tertinggi (untuk Ahli Peneliti Utama) baru Rp. 1.118.000,-  Bersama gaji pokok tertinggi (Rp. 1.500.000), seorang peneliti senior (yang sampai botak!) dengan pengalaman akademis minimal 20 tahun, hanya akan membawa pulang kurang dari Rp. 3 juta.  Jumlah ini bisa didapat Inoel hanya dengan goyang pantat selama 10 menit!
            Di instansi pemerintah, sudah rahasia umum bahwa badan-badan Litbang adalah “Sulit Berkembang” atau orang-orangnya “Dililit dan Dibuang”.  Anggaran riset kita tak sampai 0,2% PDB  Bandingkan dengan Malaysia, yang R&D tersebut hampir 2% PDB, atau Jepang yang hampir 5% PDB.  Sementara itu di sektor swasta, penelitian juga tiarap.  Mungkin hanya di sedikit industri farmasi ada riset.  Sementara itu sebagian besar industri kita hanya “kacung” dari suatu raksasa di Luar Negeri.  Di negeri asal itulah ada R&D.  Di sini, mau buat apa?  Jangan-jangan malah khawatir nanti disintegrasi …
            Sebenarnyalah, senang meneliti tidak harus jadi peneliti.  Sikap (attitude) dan kemahiran yang didapatkan dari pelatihan penelitian atau skripsi, mestinya dibawa sampai mati, tidak dibatasi ruang dan waktu, apalagi bentuk-bentuk institusi.
            Seharusnya, bagus-bagus saja, ketika seorang yang pernah dilatih penelitian, kemudian ketika menjadi pejabat politik, dia tidak hanya mengikuti gossip, wangsit ataupun instink belaka, namun mengkaji permasalahan secara ilmiah, sehingga keputusannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara rasional kepada publik. Juga tentu bagus sekali, bila keahlian meneliti itu dipakai untuk mengembangkan enterpreneurship. Sekarang ini konon lapangan kerja sedikit sehingga cari kerja susah.  Faktanya, banyak pemilik modal atau perusahaan kesulitan mendapatkan SDM yang tepat. Banyak sarjana, tapi pola pikirnya tidak berbeda dengan lulusan SD.  Tidak rasional, tidak kreatif dan tidak-tidak yang lain.  Ya terang saja perusahaan itu kesulitan, karena pada umumnya mereka yang pintar dan kreatif, lebih suka buka perusahaan sendiri, sudah jadi bos sendiri, bisa ngatur penghasilannya sendiri, dan juga bisa menolong orang dapat kerjaan (dapat pahala).  Nah untuk tahu bagaimana memilih bisnis yang tepat, dan setelah itu bagaimana agar bisnis itu berjalan lancar dan maju, ini semua perlu dievaluasi dan dianalisis terus menerus dengan metode ilmiah – sesuatu yang mudah-mudah didapatkan mahasiswa selama pelatihan atau tugas akhirnya.
            Bahkan jika ada alumni pelatihan penelitian itu akhirnya lebih banyak beraktivitas di rumah (misal jadi ibu rumah tangga), mereka seharusnya bisa mengenali permasalahan di rumah, baik yang sifatnya fisik, finansial, maupun psikologis.  Metode ilmiah banyak membantu menyelesaikan segalanya, walaupun tentu bukan segala-galanya.

2.       Kebenaran
            Bila di suatu majelis ada perbedaan pendapat, sebagian orang sering langsung mengeluarkan jurus “peredam ikhtilaf”, yaitu kalimat-kalimat seperti “Kebenaran itu relatif”, “yang mutlak benar hanya Tuhan, kebenaran ilmu itu relatif”, dsb.
            Masalah ini bermula ketika berbagai usaha untuk “islamisasi ilmu pengetahuan” sering terjebak pada keinginan untuk mencocok-cocokkan suatu fakta ilmiah dengan Qur’an atau Hadits.  Tindakan ini sangat berbahaya, karena andaikata suatu ketika yang dianggap fakta ilmiah itu teranulir oleh fakta yang lebih akurat, maka Qur’an atau Hadits akan kehilangan kredibilitasnya.
            Maka kita perlu menengok sejauh mana relativitas kebenaran itu, dan sejauh mana kita bisa menempatkan diri secara proporsional.
            Dalam filsafat ilmu, kita mengenal tiga jenis aliran informasi, dan ini berakibat ada tiga macam kebenaran, yaitu: (1) kebenaran deduktif atau bisa disebut juga kebenaran subjektif/otoritatif/deklaratif; (2) kebenaran naratif atau transmisif; (3) kebenaran induktif atau objektif/konklusif.  Tiga jenis kebenaran ini bisa berkaitan namun tak bisa dicampuradukkan.
a.       Kebenaran deduktif
      adalah kebenaran pernyataan (declare) dari seseorang karena otoritasnya – yang tentu saja bisa subjektif.  Seorang ayah berhak memberi nama anaknya Ahmad, sehingga pasti salah kalau orang lain memanggil anak itu Aceng.  Suatu pemerintah berhak menetapkan bahwa kendaraan jalan di lajur kiri, sehingga pasti salah bila ada kendaraan jalan di lajur kanan.  Di sini kebenaran sama sekali tidak relatif.  Kebenaran ini hanya bisa digugat ketika otoritas ayah atau pemerintah tersebut dipertanyakan.
      Ummat muslim seharusnya menyadari, bahwa kebenaran sumber-sumber Islam seperti Qur’an, Sunnah atau Ijma’ as-Shahabah, adalah memiliki deduktif/subjektif, artinya kebenarannya tergantung sejauh mana otoritas yang mengeluarkannya itu (Allah-Rasul) memiliki arti bagi kita.  Karena itu hal yang paling mendasar adalah pengakuan atas otoritas tadi, yaitu syahadatain.
b.      Kebenaran naratif
      adalah kebenaran akurasi dari objek atau informan ke penerima.  Kebenaran ini terkait dengan akurasi alat transmisi (alatnya cacat, noise, bias atau tidak) dan tingkat kepercayaan manusia yang terlibat (apa benar pernah bertemu dan mendengar/melihat, sejauh mana ingatannya, reputasi kredibilitasnya, dll).  Inilah kebenaran yang sering diandalkan oleh para jurnalis, pengadilan, pemberantas korupsi dan periwayat hadits.
c.       Kebenaran induktif
      adalah kebenaran objektif.  Nilai kebenaranya tidak tergantung dari siapa yang mengeluarkan, namun dari alur logis cara menarik kesimpulan tentang objeknya, yang bisa diulangi oleh siapapun.  Inilah jenis kebenaran yang paling luas, yang ditemui di dunia sains maupun fiqih.  Dalam kebenaran induktif, sesuatu dianggap benar sampai ditemukan suatu kejanggalan, yaitu ketika ada dalil atau fakta yang tidak “fit” di konklusinya.
      Kebenaran induktif ini ada yang bersifat relatif dan ada yang mutlak.  Yang bersifat relatif pada umumnya mencakup hal-hal yang rumit dan rinci.  Yang mutlak mencakup hal-hal yang sederhana.
      Contoh: adalah mutlak benar mengatakan bahwa bentuk bumi ini mirip bola (dan mutlak salah mengatakan bumi ini seperti cakram).  Namun mengatakan berapa besar radius bumi sampai milimeter terdekat masih relatif benar, karena hal itu terkait dengan beberapa penyederhanaan yang menjadi asumsinya.
      Dalam ilmu pengetahuan, agar sesuatu itu bisa berguna, dia tidak harus mutlak benar.  Cukup bahwa prediksi yang dihasilkannya sesuai dengan kenyataan, sudah akan membuat ilmu itu memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi.
      Pada abad pertengahan, peta-peta yang dipakai oleh para penjelajah dunia, masih sangat sederhana, dan dilihat dari kacamata sekarang, jelas banyak yang salah.  Namun peta-peta itu telah berguna membawa banyak tokoh sejak dari Al-Biruni, Vasco da Gama atau James Cook mencapai tempat-tempat yang saat itu sulit dibayangkan.
      Demikian juga teori mekanika Newton sebenarnya tidak tepat benar.  Kalau untuk memprediksi gerakan planet Mercurius, teori Newton akan gagal.  Orang harus beralih ke Teori Relativitas Umum Einstein.  Namun teori Newton ini berguna untuk 95% persoalan sehari-hari, mulai dari perhitungan struktur bangunan, aerodinamika pesawat, hingga prediksi planet-planet selain Mercurius.  Orang kemudian memandang bahwa Teori Einstein lebih benar dan lebih luas dari teori Newton, atau Teori Newton adalah special-case dari Teori Einstein.
      Yang jelas, kebenaran induktif yang mutlak, bisa menjadi acuan untuk kebenaran deduktif dan naratif.  Siapakah ayah yang berhak memberi nama anaknya, bisa dicari secara induktif, misalnya dengan tes DNA.  Juga siapakah Nabi yang memang authorized untuk menyatakan diri sebagai Rasul utusan Tuhan, bisa dibuktikan (induktif) dari mukjizat yang dibawanya.  Demikian juga, siapa yang ternyata kredible dalam penuturan hadits, dikaji terlebih dulu secara induktif.
      Namun di luar persoalan kebenaran, ada persoalan lain.  Filsafat membagi objek empiris dalam tiga dunia: “logika” (yang mengenal BENAR dan SALAH), “etika” (yang mengenal BAIK dan BURUK) dan “estetika” (yang mengenal INDAH dan JELEK).  Pada umumnya, ketiga dunia ini dianggap sama sekali tak saling bertaut.  Karenanya, suatu ekspresi seni yang secara etika dianggap melanggar norma kesopanan, oleh kalangan lain dianggap memiliki nilai estetis.
      Di sinilah Islam mengintegrasikan ketiga dunia tersebut di bawah satu payung kebenaran syariat.  Syariat menentukan nilai BENAR-SALAH dari suatu perbuatan, dan yang sesuai syariat adalah BAIK, dan nilai keindahanpun baru ada bila memenuhi kriteria minimal syariat (HALAL).  Tentu saja bagi yang telah memenuhi syarat minimal syariat, masih terbentang spektrum dari yang BAIK dan LEBIH BAIK, dari yang INDAH dan LEBIH INDAH.  Dan ini sangat subjektif.

3.      Kreatifitas
            Ketika nilai kebenaran dijadikan sandaran untuk memahami alam semesta, kehidupan dan manusia, kreatifitas diperlukan untuk menjawab tantangan permasalahan yang dihadapi di dunia ini.  Kreatifitaslah yang menjadikan suatu bangsa unggul dalam ilmu dan teknologi, dan bukan nilai kebenaran atau kebijaksanaan yang mereka kumpulkan.
            Kreativitas bisa dibagi dalam suatu matriks 3 x 3.  Pada sumbu datar adalah jenis kreatifitas dari segi kematangan untuk digunakan, yaitu observatif – analitif – kreatif.  Sedang pada sumbu tegak adalah tingkat kesulitan mendapatkannya, yaitu aplikatif – modifikatif – inovatif.

BAB VI
6.1 definisi penalaran
Penalaran adalah proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (pengamatan empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Berdasarkan pengamatan yang sejenis juga akan terbentuk proposisi – proposisi yang sejenis, berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap benar, orang menyimpulkan sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak diketahui. Proses inilah yang disebut menalar.
Dalam penalaran, proposisi yang dijadikan dasar penyimpulan disebut dengan premis (antesedens) dan hasil kesimpulannya disebut dengan konklusi (consequence).
Hubungan antara premis dan konklusi disebut konsekuensi.

Penalaran adalah proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (pengamatan empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Berdasarkan pengamatan yang sejenis juga akan terbentuk proposisi – proposisi yang sejenis, berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap benar, orang menyimpulkan sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak diketahui. Proses inilah yang disebut menalar.
Penalaran sebagai sebuah kemampuan berpikir, memiliki dua ciri pokok, yakni logis dan analitis. Logis artinya bahwa proses berpikir ini dilandasi oleh logika tertentu, sedangkan analitis mengandung arti bahwa proses berpikir ini dilakukan dengan langkah-langkah teratur seperti yang dipersyaratkan oleh logika yang dipergunakannya. Melalui proses penalaran, kita dapat samapai pada kesimpulan yang berupa asumsi, hipotesis atau teori. Penalaran disini adalah proses pemikiran untuk memperoleh kesimpulan yang logis berdasarkan fakta yang relevan. Kemampuan menalar adalah kemampuan untuk menarik kesimpulan yang tepat dari bukti-bukti yang ada dan aturan tertentu.
Cara berpikir masyarakat dapat dibagi menjadi 2, yaitu : Analitik dan Non analitik. Sedangkan jika ditinjau dari hakekat usahanya, dapat dibedakan menjadi : Usaha aktif manusia dan apa yang diberikan.
Penalaran Ilmiah sendiri dapat dibagi menjadi 2, yaitu :
1.      Deduktif yang berujung pada rasionalisme
2.      Induktif yang berujung pada empirisme
Logika merupakan suatu kegiatan pengkajian untuk berpikir secara shahih
Contoh :
·         Ketika seorang pengemis berkata :”kasihanilah saya orang biasa”. Itu merupakan suatu ungkapan yang tidak logis.
·         Ketika seorang peneliti mencari penyebab mengapa orang mabuk? Ada 3 peristiwa yang ditemuinya
·         ada orang yang mencampur air dengan brendi dan itu menyebabkan dia mabuk
·         ada yang mencampur air dengan tuak kemudian dia mabuk
·         ada lagi yang mencampur air dengan whiski kemudian akhirnya dia mabuk juga
Dari 3 peristiwa diatas, apakah kita bisa menarik kesimpulan bahwa air-lah yang menyebabkan orang mabuk?
Logika deduktif merupakan cara penarikan kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat khusus (individual). Sedangkan logika induktif merupakan cara penarikan kesimpulan dari kasus individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya mempergunakan pola berpikir silogisme, dua pernyataan dan sebuah kesimpulan. Dan didalam silogisme terdapat premis mayor dan premis minor.
Contoh :
·         Semua makhluk punya mata ( premis mayor )
·         Si Adam adalah seorang makhluk ( premis minor )
·         Jadi, Adam punya mata ( kesimpulan )
Kriteria kebenaran :
3+4=75+2=76+1=7
Menurut seorang anak kecil, hal ini tidak benar.
Ini membuktikan bahwa tidak semua manusia mempunyai persyaratan yang sama terhadap apa yang dianggapnya benar.
Secara deduktif dapat dibuktikan ketiganya benar. Pernyataan dan kesimpulan yang ditariknya adalah konsisten dengan pernyataan dan kesimpulan yang telah dianggap benar. Teori ini disebut koherensi. Matematika adalah bentuk pengetahuan yang penyusunannya dilakukan pembuktian berdasarkan teori koherensi.






6.2  metafilsafat
Metafilsafat
Collin McGinn, salah satu filsuf Amerika kontemporer, melontarkan gagasan tentang apa yang disebutnya sebagai metafilsafat. Sebuah penyelidikan filosofis tentang apa sesungguhnya kodrat dari persoalan filsafat, kemungkinan pengetahuan filosofis dan metode yang diadopsi demi kemajuan filsafat. Sebuah filsafat tentang filsafat. Menurut McGinn, ada dua tradisi besar metafilsafat yang saling bertolak belakang. Pertama adalah tradisi Platonian. Tradisi ini berkeras bahwa persoalan filsafat adalah persoalan esoteris. Filsafat adalah disiplin yang memacu nalar manusia menggapai "yang esoteris". Tradisi kedua adalah Wittgensteinian. Bertolak belakang dengan Plato, Wittgenstein menolak apa yang disebut sebagai persoalan esoteris filsafat. Persoalan filsafat sesungguhnya adalah persoalan bahasa. Pertanyaan filosofis menjadi semu dan tak bermakna akibat penyalahgunaan bahasa. Dengan kata lain, persoalan filsafat sesungguhnya adalah soal penyembuhan bahasa.
Tulisan saya, Tanah Tak Berjejak Para Penyair ("Bentara", Kompas, 2 Mei 2003), berusaha mendamaikan dua tradisi metafilsafat tersebut dengan mengajukan hipotesis nalar puitis. Nalar puitis tidak berkonsentrasi pada persoalan yang absolut-esoteris, namun tidak juga mengalah pada jerat kebahasaan belaka. Nalar puitis adalah nalar yang selalu peka terhadap yang transenden berdasarkan postulatnya akan kodrat semiotis kenyataan. Selalu ada yang bergentayangan di luar modus pengucapan yang dominan. Itulah yang dikejar oleh nalar puitis. Oleh karena itu, modus bernalar biasa harus ditinggalkan. Modus bernalar yang mencari kodrat harus digeser oleh modus bernalar yang mencari modus pengucapan baru. Konsentrasinya bukan pada jawaban positif, tetapi pada pertanyaan-pertanyaan asali guna menemukan modus pengucapan baru.
Heidegger meletakkan fondasi awal bagi metafilsafat nalar puitis. Bernalar bagi Heidegger adalah keunggulan filsafat. Karenanya, filsafat harus memiliki modus bernalar yang melebihi ilmu-ilmu positif, yakni modus yang tidak berkonsentrasi pada jawaban positif melainkan, seperti diisyaratkan Russel, melulu prihatin pada pelebaran ruang imajinasi nalar kita sendiri. Pelebaran yang sesekali harus melontarkan pertanyaan pada pertanyaan filosofis itu sendiri. Ini yang dilakukan Heidegger saat mengajukan pertanyaan terhadap seluruh pertanyaan filsafat, mulai dari Yunani klasik sampai modern. Bagi Heidegger, semua pertanyaan itu harus dipertanyakan ulang karena tidak bertanya tentang Ada yang sesungguhnya, yaitu Ada yang menopang segala adaan. Para filsuf terlalu asyik bertanya sehingga melupakan perbedaan kentara antara Ada dan ada.
Pertanyaan-pertanyaan filsafat yang berlontaran dalam sejarah tak mampu menampung transendensi sang Ada. Kelumpuhan ini, menurut Heidegger, disebabkan oleh filsafat yang masih berkutat dengan nalar epistemologis, nalar yang mengejar keakuratan representasi antara benak dan kenyataan, nalar yang mewakili bukan menyingkap. Sejarah filsafat adalah sejarah nalar epistemologis. Mulai dari filsuf Milesian yang coba menalar kodrat semesta sesungguhnya, sampai Descartes yang menelanjangi kodrat kognitif manusia sebagai dasar pengetahuannya tentang dunia. Bahkan, Nietzsche yang dituduh pelbagai pihak antinalar sesungguhnya masih terjebak dalam sejarah nalar epistemologis saat menelanjangi kodrat manusia sebagai naluri untuk penguasaan.
Saat nalar kehilangan kepekaannya pada yang transenden, kidung bait-bait puisi dalam tubuhnya pun lamat-lamat menghilang. Kondisi ini diperparah lewat lahirnya sains pada abad ke-17 sebagai wujud sempurna filsafat alam. Sains membekukan geliat nalar pada pandangan dunia mekanisme yang telah menghilangkan dunia dari kemisteriusan. Pengeringan dunia dari yang asing ini membuat nalar kehilangan kemampuannya membawa kita ke tanah tak berjejak. Nalar pun sekadar kalkulasi, bukan eksplorasi. Ini yang dimaksud Heidegger saat mengejek fisika sebagai semata-mata kalkulasi, bukan pemikiran.
Kematian nalar puitis adalah saat nalar terjebak pada fungsi metodologisnya. Nalar yang melulu bersibuk dengan langkah-langkah menemukan kebenaran, bukan menciptakan. Metode dalam menentukan yang benar maupun yang baik. Padahal, seperti dikemukakan Whitehead, spekulasi nalar tidak terjerat oleh metode. Ia mentransendenkan semua metode. Nalar adalah naluri dasar manusia yang senantiasa merindu pada yang tak terbatas. Ini yang membuat sebuah kemajuan dimungkinkan.
Naluri kerinduan nalar pada yang transenden redup saat nalar difungsikan semata-mata secara komunitarian. Saat nalar terkurung oleh kategori-kategori kultural, jelajah nalar puitis pun mandek secara historis. Ia menjadi ansilla historica, hamba sejarah. Sebuah kesia-siaan yang tak perlu. Kesia-siaan yang dituduhkan para pembela nalar kepada para neosofis yang antikebenaran tunggal. Nalar identik dengan universalisme, kata mereka. Pertanyaannya kemudian adalah apakah pilihan antara relativisme dan universalisme adalah sebuah pilihan dikotomis.
Saya menyodorkan hipotesis nalar puitis sebagai muara metamorfosis nalar manusia setelah pengejaran terhadap yang transenden dihentikan. Hipotesis yang ternyata banyak mendapat reaksi keras pelbagai pihak. Sebagian menafsirkannya sebagai maklumat hukuman mati bagi nalar. Tuduhan yang berpijak pada sangkaan pengulangan gagasan aleitheia Heidegger dalam hipotesis saya. Tuduhan-tuduhan itu cukup berdasar. Hanya serangan terakhir yang terdengar menggelikan. Saya dituduh memutlakkan jalan puisi. Sungguhkah demikian?
Jelas tergurat bahwa nalar puitis bukan puisi. Puisi bagi saya sekadar metafora bagi kemampuan nalar membuka modus-modus pengucapan baru tentang jagat raya. Kemampuan yang lenyap saat ilmu pengetahuan, filsafat, dan teologi mengejar kebenaran bukan kelainan. Pengejaran yang sadar atau tidak disadari menggendong sebuah pandangan dunia tertentu. Fisika, misalnya, dicela Heidegger sebagai semata-mata kalkulasi bukan pemikiran. Mengapa? Karena fisika tak bisa melepaskan diri dari pandangan dunia mekanistik. Ia hanya berfokus menghitung-hitung gerak-gerik semesta tanpa menghasilkan sebuah modus pengucapan alternatif.
Nalar puitis juga bukan sekadar keisengan yang antinalar. Nalar puitis adalah nalar yang selalu terjaga pada "kelainan". "Kelainan" berbeda dengan yang transenden. Transendensi adalah modus epistemologis, sementara "kelainan" adalah modus puitis. Di mana letak perbedaannya? Modus epistemologis bekerja dengan kategori benar-salah. Tanah berjejak yang ditinggalkan adalah sesuatu yang kadar epistemologisnya lebih rendah ketimbang dataran kognitif baru yang dituju. Sementara "kelainan", sebaliknya, tidak berurusan dengan kategori benar-salah. Ia semata-mata sebuah kemungkinan baru dalam berbincang-bincang tentang semesta. Semesta selalu sudah menampilkan dirinya secara kebahasaan. Yang dikejar oleh nalar puitis, bukan kebenaran baru, melainkan sebuah kosakata baru tanpa klaim epistemologis apa pun.
Selanjutnya, apakah nalar puitis sekadar pengulangan hipotesa "aleitheia" Martin Heidegger? Saat Heidegger menjelaskan panjang lebar tentang bahasa sebagai rumah Ada, ia sesungguhnya sudah bersentuhan dengan apa yang saya maksud. Namun, ketika itu semua diletakkan dalam proyek pencarian Ada, maka ia terjebak dalam epistemologi. Berpikir seharusnya bukan mencari Ada, melainkan membangun rumah-rumah Ada yang baru. Aroma epistemologis semakin jelas tercium saat Heidegger berbicara tentang Dasein otentik yang mengambil jarak dari "ke-mereka-an" (Dasman). Pengambilan jarak Dasein, yakni being in the world, adalah sebuah momen kebenaran setelah ia tenggelam dalam kepalsuan publik. Ini semua menjadi kesulitan pokok Heidegger dari kacamata nalar puitis.
Matinya epistemologi
Kapan manusia berhenti bertanya? Nalar puitis berhenti bersuara saat pertanyaan menjelma pengalaman yang pada gilirannya menukik pada pengetahuan. Sejarah adalah hasil sedimentasi pengetahuan yang bercikal bakal pada lontaran pertanyaan nalar puitis. Sedimentasi yang menebal itulah yang membuat kita tidak lagi bertanya. Kalaupun bertanya, maka pertanyaan itu sekadar pertanyaan komunitaris. Pertanyaan yang sudah diarahkan jawabannya oleh kesepakatan epistemik satu komunitas. Ia tak bisa menembus belenggu epistemologi yang dirajutnya sendiri. Kita sedang hidup di masa yang melupakan apakah.
Benarkah demikian? Nietzsche dalam bukunya, Beyond Good and Evil, mempersoalkan klaim universalitas yang baik dan yang jahat. Yang baik dan yang jahat, menurut Nietzsche, adalah bentukan sejarah orang-orang yang kalah secara moral. Ia adalah sebentuk fiksi etis-komunitarian yang diuniversalkan. Persoalan ini sepintas persoalan aksiologis (nilai). Namun, sesungguhnya ia adalah persoalan epistemologis (pengetahuan). Bahwa pengetahuan kita tentang yang baik dan yang buruk adalah buatan tangan sejarah. Konsekuensinya adalah itu bukan pilihan satu-satunya. Kita bisa merajut fiksi baru untuk mendongkelnya.
Berakar dari proyek-proyek genealoginya, Nietzsche pun dituduh sebagai pendaur ulang klaim-klaim relativisme kaum sofis, gagasan yang mendapatkan pembenaran dari hampir semua komentatornya. Saya sendiri akan bertanya, apakah Nietzsche sedang mempraktikkan nalar komunitaris yang tak berpuisi? Atau, sungguhkah Nietzsche bisa dijebloskan masuk pada barisan antitransenden? Padahal, kalau membuka halaman demi halaman buku-bukunya, kita menemukan jarum-jarum aforisme yang tajam menghunjam indra. Buku-bukunya adalah puisi panjang tentang kealpaan yang disahkan sejarah.
Nietzsche, sebaliknya, justru menjalankan nalar puitis guna mencari gramatika epistemologi moral baru. Nietzsche membebaskan moral dari ikatan nalar konvensional. Ikatan yang membuat moral seolah-olah bersimpuh pada satu metode. Pengetahuan moral yang sudah tersedimentasi sejak lama itulah yang kemudian diruntuhkan Nietzsche. Ketika orang sudah tak lagi bertanya tentang legitimasi sebuah pengetahuan moral, Nietzsche dengan lincah memainkan nalar puitis menembus yang benar dan salah. Menjejakkan kaki kognitif di tanah tak berjejak. Melampaui relativisme. Itulah pagelaran nalar puitis yang dipertontonkan Nietzsche. Nalar puitis Nietzsche jauh melompati sedimentasi sejarah. Bergerak liar mencari kemungkinan-kemungkinan baru. Dan, semuanya itu hanya mungkin karena dorongan naluri akan yang lain.
Naluri akan yang lain. Suara purba itu sirna oleh tumpukan pengalaman yang menyejarah. Tumpukan yang berakar dari kecemasan akan ribuan tanda tanya yang menyelimuti semesta. Ribuan tanda tanya yang harus dipastikan supaya manusia hidup tanpa kejutan dan entakkan. Semua tanda tanya harus dipastikan. Kalau tidak, manusia hidup dalam api kekalutan yang tak kunjung padam. Kondisi yang tentu saja tak mengenakkan. Manusia lebih suka hidup dalam-menyitir Giddens-kesadaran praktis. Kesadaran bertindak dalam mana manusia tak harus berpikir keras untuknya. Sebuah kesadaran dalam lingkup komunitarian yang pekat.
Semua tanda tanya harus dipastikan. Satu saja lolos, tertib kosmis akan mengalami gangguan. Alam yang ternalar sempurna tidak boleh menyisakan ganjalan epistemologis yang mengganggu. Manusia butuh kepastian. Seperti jejaka yang menunggu jawaban pinangannya dari sang dara. Keliaran nalar pun harus dihentikan. Nalar harus bekerja tertib karena alam pun sesuatu yang tertib. Tertib alam harus terpantul sempurna dalam kinerja nalar. Yang nyata adalah rasional dan yang rasional adalah nyata, menurut Hegel. Alam bekerja berdasarkan satu gramatika. Dan, gramatika itu hanya bisa disibak oleh nalar yang patuh.
Jatuhnya nalar pada kesatuan gramatika membuat naluri akan yang lain lumpuh. Keberanian nalar dalam menjelajah pelbagai kemungkinan pengucapan pun dilibas oleh kecemasan epistemologis yang berlebihan. Padahal, justru relativisme lahir dari rahim kecemasan sedemikian. Kecemasan untuk mengarungi ruang hampa di luar lingkungan komunitarisnya, yaitu lingkungan yang memberlakukan satu aturan bagi kebenaran, kebaikan, dan keindahan.
Karl Raimund Popper, filsuf sains termasyhur, menolak bentuk komunitarianisme macam itu. Ia menyerang relativisme paradigma yang digagas rekannya, Thomas Kuhn. Bagi Popper, Kuhn menjebak nalar pada kubah-kubah komunitas ilmiah yang memacetkan daya transendensinya. Daya transendensi nalar, menurut Popper, adalah saat nalar induksi digantikan oleh nalar falsifikasi. Ia mencibir metode induksi yang dibakukan positivisme sebagai pembeda sains dan nirsains. Pengumpulan fakta-fakta guna membenarkan sebuah teori cacat dari kacamata logika. Sebuah teori secara logika dapat diruntuhkan hanya dengan satu fakta yang bertolak belakang.
Lahirlah nalar falsifikasi menggeser segala dogma, ideologi, atau ilusi karena ia terbuka bagi falsifikasi. Nalar falsifikasi membuat kita tidak lagi bicara kepastian, melainkan kehampiran. Kebenaran tidak bisa dipastikan. Ia hanya bisa dihampiri lewat uji falsifikasi terus-menerus. Teori yang paling tahan uji adalah teori yang paling dekat menghampiri kebenaran.
Puitiskah nalar falsifikasi Popper? Sungguh tak dapat dimungkiri. Berkat falsifikasi, sains pun terlepas dari jerat konservatisme dan bergandengan erat dengan kemajuan. Namun, kemajuan yang dihasilkan bersifat linier dan monistik. Kelincahan nalar seperti yang dipertontonkan Nietzsche tidak tampak. Kesatuan gramatika pengujian kebenaran masih menggayuti nalar falsifikasi Popper. Pandangan dunia sains pun masih mengeram pada lantai paling bawah pemikirannya. Paul Feyerabend, seorang anti-Popperian, menggugat linieritas nalar falsifikasi Popper. Baginya, mengapa tak kita biarkan nalar bekerja dalam gramatikanya sendiri-sendiri. Kesatuan metode harus memberi jalan pada pluralisme. Ia mengajak kita untuk sadar bahwa nalar adalah majemuk. Ia tidak tunggal, namun seperti digagas Wittgenstein, harus dikembalikan pada permainan bahasa masing-masing komunitas.
Kelompok penolak universalisme nalar berpegangan pada premis bahwa pengetahuan adalah konstruksi budaya. Budaya adalah sesuatu yang berdiri diametral dengan pengetahuan. Pengetahuan berpegang pada obyektivitas, universalitas, dan ketetapan. Budaya, sebaliknya, sesuatu yang bergerak dan bercabang ke sana-sini seiring alun sejarah. Mengatakan pengetahuan sebagai produk budaya sama artinya dengan mengatakan bahwa pengetahuan tidak seabsolut yang dikira orang. Ia berubah dan bercabang bersama sejarah.
Pergeseran dari obyektivitas menjadi komunalitas memperoleh tantangan politis. Bagaimana kemajemukan nalar bisa dipertanggungjawabkan dari kacamata politik? Atau dengan kata lain, bagaimana sebuah hidup bersama yang baik itu mungkin? Richard Rorty, Jurgen Habermas, dan John Rawls adalah sebagian dari mereka yang menggulati masalah ini. Mereka tidak peduli dengan gramatika nalar masing-masing komunitas. Mereka memikirkan bagaimana sebuah gramatika nalar percakapan yang bisa membuat pelbagai kelompok memiliki kesatuan konsepsi tentang hidup bersama.
Nalar percakapan sendiri adalah nalar yang tidak berpihak. Ia adalah prosedur bagi masing-masing nalar komunitarian dalam memutuskan sebuah konsensus. Ia tidak berurusan dengan isi gramatika kultural itu sendiri, melainkan prosedur yang sehat percakapan antargramatika. Apakah ini potret nalar puitis? Dari sisi ketidakterjebakannya pada gramatika, kelompok nalar percakapan memang terdengar puitis. Namun, ketidakpeduliannya pada isi gramatika kultural itu sendiri menyimpan masalah. Nalar percakapan hanya mengamini kemajemukan gramatika tanpa memeriksa sedimentasi pengalaman yang menua dalam masing-masing gramatika. Seolah-olah masing-masing gramatika diterima apa adanya.
Ini membuat agresivitas nalar puitis pun mandek. Nalar hanya diaksentuasikan dalam merumuskan prinsip-prinsip yang bisa diterima sebanyak mungkin kelompok. Namun, tidak ditatapkan pada gramatika kelompok itu sendiri. Tidak digerakkan secara lincah mencari gramatika-gramatika pengucapan baru untuk membuka lapisan-lapisan yang tersembunyi dalam sedimentasi pengalaman tersebut. Tuduhan monisme pun akhirnya bisa dijatuhkan kepada para pembela nalar percakapan. Sesuatu yang sebenarnya ingin dijauhkan mereka dari sistem-sistem pemikiran kontemporer.
Kemandekan upaya eksplorasi puitis nalar membuat sejarah menang telak atas pertanyaan. Apa mendominasi apakah. Sebuah potret semesta yang digambarkan Heidegger sebagai perlahan-lahan dilanda kegelapan. Ribuan tanda tanya pun terselimuti jawaban. Yang asing hanya dihadirkan sebagai obat kecemasan. Saat manusia berhadapan dengan teka-teki yang tak terpecahkan, yang transenden didatangkan sebagai juru selamat. Tuhan bekerja secara misterius, habis perkara.
Yang transenden lalu dituduh sebagai ruang hampa kognisi. Setelah nalar berhenti, intuisi bekerja meneruskan perjalanan spiritual menuju yang asing. Yang transenden hanya bisa dikenali lewat absennya nalar dan menguatnya hati. Nalar manusia terbatas. Begitu cibir para mistikus. Namun, nalar puitis tak mengenal horizon seperti itu. Naluri kerinduan pada yang tak terbatas membuatnya senantiasa lincah bekerja mencari gramatika-gramatika baru. Pencarian yang menyeret yang transenden ke dalam terang pengetahuan. Melampaui yang benar dan yang salah menurut sejarah. Menggeser relativisme, sekaligus senantiasa penuh selidik terhadap universalisme-absolutisme.
Hening
Tak satu pun lentera menyala saat aku membaca/ selintas suara bergumam, "segala sesuatu jatuh ke dalam kebekuan yang mencekam"/ bahkan melon atau pir dari taman tak berdaun. Sebait puisi karya penyair Wallace Stevens itu mengingatkan kita untuk selalu eling lan waspodo, ingat dan sadar, pada segurat keheningan yang senantiasa membayangi cakrawala pengetahuan. Segurat keheningan yang senantiasa membujuk kita memainkan nalar secara puitis.
Pada masa yang mulai melupakan apakah ini, ingat dan sadar akan "yang hening" dan "yang lain" sungguh menjanjikan sejumput cahaya. Cahaya yang telah lama redup dalam sepak terjang sains, teologi, dan filsafat. Nalar yang digunakan tak lagi mencukupi untuk membuat puisi baru. Yang berlaku semata-mata daur ulang gramatika ilmiah, teologis, atau filosofis yang mulai menua dan membosankan. Saatnya bagi sains, teologi, dan filsafat untuk berhening sejenak. Melepaskan diri dari keramaian jawaban dan mulai belajar mengajukan pertanyaan. Singkat kata, belajar merangkul kembali "kelainan" yang hilang.
Keheningan dan kelainan berbeda dengan kesepian. Kita hidup dalam semesta yang menyimpan seribu gramatika pembuka rahasia. Nalar yang sadar akan multiplisitas ini tak akan berhenti pada satu sedimentasi sejarah. Melainkan, senantiasa bergulat mencari kunci-kunci pembuka tanah tak berjejak yang tertimbun sejarah. Para sahabat yang melontarkan kritik pada tulisan saya, Tanah Tak Berjejak Para Penyair, sungguh tahu bagaimana memainkan nalar secara puitis. Mereka membuka dimensi-dimensi yang saya sendiri tak menyadarinya sebelum ini. Mereka membaca sebuah gramatika baru dalam embrio pemikiran. Pembacaan yang membuat saya kembali berkhidmat pada "yang lain" dan "yang hening".












6.3 Penalaran

Sebagaimana kita pahami bersama, bahwa selain sebagai dunia rekaan (bukan nyata) dan sebagai dunia refleksi, sastra 

ternyata juga bisa dikatakan sebagai sebuah dusta. Sastra adalah dusta di dalam dirinya. Dikatakan demikian, lantaran 

sastra dapat menjadi 'kebenaran' melalui 'pembenaran-pembenaran' yang terjadi secara individual.



Di antara kebenaran dan dusta itu tak ada satu pun prosedur yang memungkinkannya menjadi 'kebenaran' atau 'dusta' 
massal atau kolektif. Semua bisa terjadi dalam dunia kemungkinan, sebagaimana semua pihak dapat menerima atau 
menolaknya melalui standar pribadi yang dimilikinya.

Simpulannya, dusta dan kebenaran dalam sastra memang tak terbatas, keduanya sedemikian rupa bias bercampur bagai 
molekul yang saling melarut. Ketika sastra diminta atau dipaksa mendesakkan dunia rekaannya pada pihak lain, ia 
berhenti menjadi seni. Mungkin ia berubah menjadi slogan, propaganda, agama, sains, atau ideologi. Dan sastra, tak 
berdaya untuk itu.

Bahkan dalam bukunya yang berjudul Kebenaran dan Dusta dalam Sastra, Radhar Panca Dahana menulis, bahwa jika 
hal di atas terjadi, maka sastra akan bernasib seperti kotak mainan anak, ia akan tergeletak di pojok, di atas lemari baju, 
atau teronggok di balik etalase barang elektronik; lusuh dan berdebu, terlupakan, tak terbeli. Begitu lemahkah sastra? 
Demikian kira-kira Radhar kembali bertanya. Sebuah pertanyaan yang kembali membutuhkan jawaban idealistis, 
mitologis, romantis atau kadang-kadang terlalu dramatis.

Seandainya pertanyaan itu tidak bergema dan bergayut sekalipun, pertanyaan atas posisi sastra akan senantiasa ada, tak 
pernah berhenti, tak pernah tuntas, dan tak pernah ada simpulan, penyelesaian, atau batasan-batasan definitifnya. Semua 
sekadar catatan bahwa manusia memang menjalani sebuah proses untuk menemukan dirinya sendiri, menyempurnakan 
pemahaman-pemahaman atas dunia, menempatkan posisi yang labil di dalamnya.

Sastra dan pertanyaan-pertanyaan itu senantiasa berulang dan tujuan sebenarnya adalah untuk menemukan manusia 
yang ternyata selalu hilang (dalam setiap perubahan zamannya). Semua bergulir dalam satu pusat yang tak terhindarkan: 
rekonstitusi dan rekonstruksi manusia serta efek-efek lain yang ditimbulkannya.


Dunia imajinasi yang ditata dalam karya sastra adalah semesta yang menghimpunnya tak hanya 'kesadaran akal' namun 
juga 'kesadaran batin' dan 'kesadaran badan'. Dunia empirik yang ada padanya tak dapat dijelaskan oleh kategori 
sehari-hari yang kita pahami, sebagaimana pengalaman batin dan badan takkan pernah mampu kita jelaskan secara 
menyeluruh. Karakter inilah yang membedakan karya sastra dari produk laboratorium, karya jurnalistik, telaah sejarah, 
atau penyusunan biografi.

Karena itu, seorang pembaca hendaknya memiliki ancang-ancang sendiri untuk menghadapi karya sastra, karena sekali 
lagi --semua bergulir dalam satu pusat yang tak terhindarkan: rekonstitusi dan rekonstruksi manusia serta efek-efek lain 
yang ditimbulkannya.

Dan kiranya, pemikiran tentang rekonstruksi manusia serta efek-efek yang ditimbulkannya itu --serta gagasan menarik dari 
Radhar Panca Dahana tentang kebenaran dan dusta dalam sastra-- akan menjadi menarik apabila lebih dikaji dalam 
suatu objek kajian.

Barangkali juga merupakan sebuah objek kajian yang menggelitik, bila kita melirik kembali rekonstruksi sebuah naskah 
sejarah menjadi karya sastra, misalnya --naskah Perang Bubat. Naskah sejarah Perang Bubat merupakan satu contoh 
bentuk naskah sejarah yang bisa kita lihat, telah banyak mengalami rekonstruksi dari pengarang dalam wilayah kultur 
berbeda, antara pengarang berasal dari kultur sosial Jawa dan Sunda masih merupakan satu kajian yang tak pernah 
selesai.

Naskah Perang Bubat sebagai bentuk naskah sejarah ini jelas menjadi naskah karya sastra manakala di dalamnya telah 
terjadi rekonstruksi oleh pengarang melalui wacana dialog tokoh-tokohnya yang tidak pernah tercatat dalam sejarah. Hal 
ini sebagaimana yang terjadi dalam bentuk naskah-naskah lain, semisal dalam naskah Ken Arok - Ken Dedes-nya 
Pramoedya. Namun, rekonstruksi seperti itu jelas berbeda dengan rekonstruksi naskah yang berbau sejarah seperti 
Rumah Kaca, Bumi Manusia, atau lain-lainnya yang kemudian direkonstruksi menjadi sebuah karya sastra.

Rekonstruksi naskah Perang Bubat menjadi menarik karena di dalamnya melibatkan berbagai aspek emosi atas 
pembelaan terhadap sebuah ras, kesukuan dalam dua kultur: Sunda dan Jawa. Dan sebagaimana kita maklumi juga, 
bahwa dua kubu suku ini telah mengalami 'keretakan' secara latar sosialnya --karena persoalan yang pernah ditimbulkan 
dalam Perang Bubat itu sendiri sebagai sejarah.

Dengan demikian hadir berbagai persoalan khususnya yang menyangkut posisi sebuah karya sastra itu sendiri di tengah 
rekonstruksi yang demikian, juga tanggung jawab seorang pengarang, dan kesiapan seorang pembaca, apakah masih 
menganggap naskah seperti itu sebagai karya sastra manakala di dalamnya terjalin rangkaian dialog antartokohnya 
sebagai hasil rekonstruksi pengarang, serta posisi 'dusta' dan 'kebenaran' yang bukan lagi bergerak dalam batas-batas 
realitas antara sesuatu yang bersifat empiris dan imajis, melainkan sudah melibatkan aspek-aspek subjektivitas 
pengarang dengan segala bentuk konsekuensinya.

Di sinilah kita mulai memahami, bahwa karya sastra bisa menjadi dusta dan kebenaran. Di sini pula kita mulai 
memahami bahwa 'dusta' yang sesungguhnya adalah 'dusta' hasil rekonstruksi seorang pengarang dari naskah sejarah 
ke karya sastra, walau sekali lagi --secara garis besar cerita-- tidak beranjak dari kebenaran peristiwa sejarah itu sendiri.

Rekonstruksi naskah sejarah ke sastra dipandang sebagai sebuah 'dusta', manakala aspek-aspek individualisme, 
bahkan --komunalisme-- telah berlaku di dalamnya. Di situ kita memahami bagaimana posisi 'kebenaran' naskah sebagai 
sejarah yang diyakini kebenarannya, dan bagaimana posisi 'dusta' dalam naskah sejarah itu sendiri yang telah 
mengalami rekonstruksi. Sebuah 'dusta' yang sesungguhnya berada di luar keberadaan sebuah karya sastra karena 
terkait dengan latar belakang pengarang. Dan seorang pembaca, kiranya perlu untuk tahu keberadaan posisinya, bukan 
hanya berpegangan pada aspek-aspek individual atau komunal. Sebuah kajian yang tentunya memerlukan ruang 
tersendiri sebagai satu penelitian yang belum tuntas. n penulis adalah penyair dan eseis, tinggal di bandung.


 6.4 nalar

SETENGAH abad yang silam Soedjatmoko, cendekiawan yang pernah disebut sebagai Dekan Intelektual Bebas Indonesia, 

mengumumkan adanya "suatu krisis dalam kesusastraan kita". Di dalam tulisan yang merupakan "Pengantar" untuk edisi 

perdana majalah Konfrontasi, Juli-Agustus 1954, Soedjatmoko mengakui bahwa "banyak ciptaan yang memang berjasa serta 

adanya kelancaran dalam bahasa yang dipakai. Akan tetapi, ciptaan-ciptaan kesusastraan yang lebih besar masih saja 

ditunggu kehadirannya."

BAHASA memang medium yang dengannya sastra menghamparkan dirinya: menggelar kekuatannya sekaligus memamerkan 
krisisnya. Jika bahasa hanya dipandang sebagai ungkapan pikiran dan perasaan spontan manusia dengan memakai bunyi 
atau aksara, maka kita memang sulit melihat adanya krisis dalam sastra kita. Kita pun bisa dengan takzim bersepakat dengan 
HB Jassin atau siapa pun yang mengatakan "Kesusastraan Indonesia Modern Tak Ada Krisis".

Bahkan, sejak zaman Jassin menuliskan pembelaannya, kita sudah bisa membaca sejumlah karya sastra yang memamerkan 
kelancaran dalam bahasa yang dipakai. Setengah abad kemudian, kelancaran berbahasa sejumlah sastrawan muda kita kini 
bahkan sudah lebih baik dari generasi Jassin. Terlepas dari "apa" yang ingin mereka katakan, namun kemampuan 
"bagaimana" mereka mengatakannya jelas menunjukkan kelancaran berbahasa yang kian licin. Penggunaan bahasa dalam 
beberapa karya itu mencapai tingkat yang tidak jauh-jauh amat dari-bahkan hampir menyamai-kepiawaian berbahasa para 
pemenang hadiah Nobel, katakan seperti penggunaan bahasa Tony Morrison, Derek Walcott, atau JM Coetze.

PADA kulit luarnya, bahasa memang ungkapan pikiran dan perasaan manusia, tetapi pada intinya bahasa adalah 
pengorganisasian dunia: dimulai dengan pengorganisasian dunia kognitif yang kelak bergerak ke pengorganisasian dunia 
luar. Pengorganisasian dunia kognitif sudah dilakukan sejak penciptaan unsur dasar sastra seperti metafor yang, dalam 
kalimat Walter Benjamin, adalah perangkat di mana kesatuan dunia secara puitis disajikan. Kekerasan terorganisasi atas 
bahasa sehari-hari, seperti yang dipahami kaum Formalis Rusia, hanyalah salah satu cara yang mungkin untuk 
mengorganisasikan, dan mengorganisasikan ulang, dunia kognitif.

Sebagai bentuk khusus yang mengorganisasikan seluruh bidang semantik, sastra yang benar-benar kuat dan besar adalah 
sastra yang akhirnya menyeret kehidupan hanyut meniru separuh atau bahkan mungkin seluruh sastra tersebut. Sastra seperti 
ini, di mana kehidupan berpusar dan mengambil ilham darinya, tegak menjulang dengan bayang-bayang yang melintasi abad 
dan benua.

Jika bahasa dilihat sebagai pengorganisasian dunia dan sastra adalah wujud kesadaran dramatik atas pengorganisasian 
dunia itu, mungkin kita baru akan melihat krisis kita, yang bukan hanya krisis sastra (juga bukan sekadar krisis sastra 
berbahasa Indonesia). Krisis itu langsung menelanjangi diri dalam dua gejala paling menonjol penggunaan bahasa dalam 
sastra Indonesia, yang sudah sering diangkat sejumlah pengamat. Gejala pertama diperlihatkan oleh para penyair kita yang 
tampak begitu piawai menyusun puisi yang ganjil dan begitu tertatih-tatih ketika coba menyusun esai atau prosa yang kuat. 
Puisi-puisi mereka pun umumnya gelap. Dan, jika puisi-puisi itu cukup jernih, puisi itu terasa sebagai rekaman dari indra yang 
dilanda chaos.

Gejala kedua diperlihatkan oleh beberapa novelis kita yang paling menjanjikan. Mereka menulis novel dengan bahasa yang 
menari-nari. Tapi, novel ini sangat lemah dalam alur dan perwatakan. Gejala ini juga diperlihatkan oleh film-film kita yang 
gambarnya puitis, tetapi struktur ceritanya lemah. Sebagian sangat besar karya sastra dan seni kita, yang produksinya terus 
berjalan itu, memang mudah memelesetkan orang mengenang sebaris kalimat dalam novel Magic Mountain Thomas Mann. It 
was fresh-that was all. It lacked odor, it lacked content, it lacked moisture. It went easily into the lungs and said nothing to the 
soul.

Tentu saja tidak bisa dikatakan bahwa sama sekali tak ada karya seni dan intelektual di Indonesia yang bisa mengatakan 
sesuatu pada jiwa, tetapi jumlah mereka sangat sedikit dan kemunculannya pun sangat acak, dan karena itulah disebut krisis. 
Untuk sementara saya menyebut gejala luas ini sebagai dominasi nalar indra atas nalar dunia.

DATA pertama bagi indra dan pengalaman manusia memang berada dalam keadaan yang begitu kompleks, bahkan 
kacau-balau. Sementara itu, alam yang tak bisa dipahami, betapapun mentah pemahaman itu, sungguh bukan alam yang bisa 
dihidupi. Kompleksitas data itu mengobarkan dalam benak manusia kerinduan akan penjelasan yang sederhana, yang bisa 
membantunya bertahan hidup.

Sebelum penjelasan yang sederhana itu diperoleh, manusia dan leluhur primatnya mengandalkan kelangsungan hidup pada 
indranya: pada apa yang langsung dilihat oleh matanya, pada apa yang langsung didengar oleh telinganya, pada apa yang 
langsung dirasakan oleh kulitnya. Nalar memang belum banyak digunakan, dan kalaupun dipakai maka itu lebih berupa nalar 
indra, yakni nalar yang disusun dengan mengandalkan data-data spontan indrawi. Nalar indra adalah nalar asosiatif yang 
cenderung mengaitkan sebuah tanda dengan peristiwa yang kaitan logisnya bisa sangat lemah, atau lebih tepatnya: dasar 
empiriknya sangat rapuh.

Secara linguistik, "nalar indra" merupakan oksimoron (contoh lain: cahaya gelap), sementara "nalar dunia" adalah pleonasme 
(contoh lain: cahaya terang). Sebagaimana tak ada cahaya yang benar-benar gelap, begitu juga tak ada makhluk hidup yang tak 
bernalar karena bahkan organisme bersel tunggal pun, dengan "sistem indra"-nya yang sederhana, terbukti memiliki penalaran 
sendiri yang membuatnya bisa meneruskan arus genetiknya di tengah dunianya yang terbatas. Kegiatan indra memang tak 
punya kaitan kuat dengan penalaran logis dan abstraksi kompleks. Indra mengaitkan diri pada trauma dan prasangka yang tak 
harus logis. Sementara kegiatan nalar adalah kegiatan yang dengan sendirinya membangun struktur; dari struktur yang 
sederhana ke struktur yang kian kompleks: dunia dengan dimensi ruang dan waktunya, di mana masa silam dihuni oleh 
lumbung pengetahuan dan masa depan diisi dengan abstraksi dan penyempurnaan dunia.

Yang pasti, strategi survival yang mengandalkan indra itu terbukti berguna terutama ketika informasi lingkungan memang 
kacau-balau, peristiwa-peristiwa terjadi seakan tanpa kaitan yang jelas. Tetapi, strategi ini hanya berguna untuk survival, bukan 
untuk berbudaya. Kebudayaan muncul ketika manusia mulai membangun pemahaman bahwa dunia pada dasarnya 
terstruktur, bahwa peristiwa-peristiwa terjadi karena sejumlah kaitan. Alam, betapapun, memang menunjukkan sejumlah 
keteraturan, lewat perubahan siang dan malam, pertukaran musim, lewat kelahiran dan kematian. Pengamatan dan ingatan 
atas keteraturan itu memberi jalan pada manusia untuk "memahami" kaitan-kaitan antarperistiwa, "membaca" tanda-tanda. 
Mereka membangun teknologi sosial bernama bahasa dan mitologi untuk mengorganisasikan pengalaman dan 
menstrukturkan dunia.

JIKA pengetahuan diandaikan sebagai sistem kibernetik, maka pengetahuan dan strategi berpikir masyarakat pramodern 
adalah sistem saibernetik yang masukannya berasal dari apa yang dicerap indra. Padahal, orang sungguh tak harus belajar 
geologi, Marx, Freud atau Levi-Strauss untuk paham bahwa realitas yang spontan tercerap oleh indra manusia, kerap berasal 
dari suatu taraf yang lebih mendalam, yang tak tercerap jangkauan sempit indra.

Karena ditata melulu di atas persepsi realitas yang spontan, sistem pengetahuan dan strategi berpikir masyarakat pramodern 
perlu waktu untuk sadar bahwa konstruksi kognitif yang dihasilkan oleh strategi berpikir itu bisa juga dimaterialkan dan 
diumpankan balik, di-reentry-kan ke dalam sistem itu, suatu kegiatan kognitif yang dalam literatur filsafat disebut refleksi dan 
dalam kibernetik disebut referensi diri. Setelah bekerja ribuan tahun, ditopang oleh suatu mekanisme nonlinier yang muncul 
dalam pemikiran sejumlah genius purba, sistem pramodern bisa juga menghasilkan sistem pengetahuan, sari pati 
perenungan dunia dan manusia, yang tak gampang diremehkan.

Selain karena masukannya yang jauh lebih luas dari apa yang bisa dicerap spontan indra manusia, pengetahuan ingeniur 
mengubah dunia dengan radikal dalam waktu begitu singkat, terutama karena kesadarannya mengumpanbalikkan dirinya ke 
dalam dirinya sendiri, yang terus memberi wawasan baru ke dalam semesta kenyataan. Referensi diri yang bertanggung jawab 
terhadap pertumbuhan, atau tepatnya peledakan, pengetahuan ilmiah secara eksponensial ini jadi sumber revolusi pemetaan 
kognitif dan perangkaan rujukan kosmologis manusia.

ADALAH keperkasaan nalar dunia dan ilmu pengetahuan yang membuat dunia berubah demikian hebat. Metafor hari kemarin 
pun tanpa bisa dielakkan menjadi klise hari ini yang menuntut penciptaan metafor-metafor baru.

Revolusi dan perubahan dunia itu, bagi sebagian orang, terhampar sebagai proses mahadahsyat, yang dikira berada di luar 
kemampuan manusia untuk membayangkan, menangkap, mengerti, dan merasakannya. Bagi orang yang berada di pinggir, 
berputar-putar hanya luar pusaran penciptaan dunia baru itu, pendek kata, bagi mereka yang tak terlibat dengan 
produksi-pengertian kunci yang dipegang Bertolt Brecht dalam perdebatannya menghadapi George Lukacs-dunia telah 
berkembang di luar batas-batas yang bisa dipahami.

Menghadapi dunia yang berlari tunggang langgang menjauh dari batas-batas pengetahuan tradisionalnya, manusia akan 
cenderung bersikap defensif atau kehilangan orientasi. Sebagian menjadi masokhis dan menipu diri dengan cara yang patetis. 
Mereka pun membangun pemikiran yang mulanya mungkin terdengar revolusioner, tetapi akhirnya cuma layak dikuburkan, 
setidaknya dibongkar ulang karena pemikiran itu telah menjadi resep bagi primitivisasi dunia di mana manusia diminta untuk 
semata-mata bergantung pada indranya.

Neil Postman, misalnya, yang pernah dikutip penyair Adi Wicaksono, mendakwahkan perlunya suatu sikap yang cenderung 
tidak hirau terhadap kepaduan dan koherensi teks akibat empasan gelombang pasang ingar-bingar dunia tipografis yang 
diledakkan oleh revolusi ilmu dan teknologi. Yang dicari justru keterpecahan, ketercerai-beraian, fragmentasi, segregasi, 
benturan-benturan acak, suatu histeria yang diam-diam menghasilkan semacam sikap emoh struktur. Citra yang berpilin 
dengan citra, gambar yang tumpah dalam buncahan dan potongan-potongan gambar, cukuplah diterima sebagai empasan 
sensasi yang menyentuh indra penglihatan, tak perlu diusut hal ihwal di baliknya, tak penting benar apakah ada maknanya atau 
sekadar nonsens.

Dicarilah apa yang disebut Roland Barthes sebagai jouissance, suatu kenikmatan yang dihasilkan dari permainan bentuk yang 
semata-mata indrawi, dangkal dan wantah, bukannya suatu plaisir yang dapat menghasilkan semacam kenikmatan intelektual. 
Suatu permainan visual untuk tujuan permainan itu sendiri. Dan, di situ tak diperlukan koherensi dalam bentuk apa pun. 
Pengejaran kenikmatan indrawi secara ekstrem ini ditopang dengan penumpulan nalar dan pelaksanaan kekuasaan secara 
arbitrer, dihadirkan dan diejek dengan kuat, misalnya dalam film Pier Paolo Pasolini: Salo.

Seni dan pemikiran yang mengaitkan diri dengan semangat postmodern dekonstruksionis ini dalam beberapa hal memang 
layak dibongkar karena berdiri di atas sejumlah pengertian yang rapuh. Salah satu di antara pengertian yang nyaris mencapai 
tingkat iman itu adalah bahwa dunia dan kenyataan bersifat kacau-balau, terpecah-pecah, kaotis. Keyakinan yang meluas 
bahwa kenyataan bersifat kacau-balau atau arbitrer meletakkan kaum penghujat rasio itu sejajar dengan masyarakat primitif 
pra-ilmiah yang mengira bahwa bumi ini datar dan Matahari beredar mengitari bumi. Sekalipun pengalaman spontan dan 
indrawi menunjukkan bahwa kenyataan berwatak acak dan terpecah-pecah, tidak dengan sendirinya kenyataan dan dunia 
memang acak dan terpecah-pecah. Pengalaman memang bisa jadi guru yang sesat dan menyesatkan.

REAKSI terhadap perkembangan dan perubahan dunia yang luar biasa itu, dalam khazanah sastra Indonesia, menunjukkan 
banyak hal menarik. Dalam hampir semua karya sastra Indonesia, dunia yang dibentuk oleh sejarah dan manusia adalah 
tokoh yang tak pernah hadir. Dan, kalaupun hadir, ia lebih merupakan tamu yang tak diundang. Ia lebih sering muncul sebagai 
bahan yang digunjingkan setelah sebelumnya direduksi, bahkan dimutilasi dengan tak semena-mena. Dalam pergunjingan itu, 
dunia dicurigai, disepelekan, dijauhi.

Memang ada juga karya di mana dunia, dalam hal ini Barat, malah disembah secara membabi buta. Meskipun demikian, 
dalam khazanah sastra ini, dunia tidak hadir sebagai kawan dekat yang menghamparkan diri dengan segala kebesaran dan 
kompleksitasnya, dengan segenap proses pertumbuhan dan percobaannya, yang kadang menakjubkan kadang menggelikan, 
yang memberi ruang bagi penulis dan pembaca untuk tumbuh bersama mengembangkan dan mengkritik diri, memperpeka 
indra memperkaya rohani.

Karya yang disusun dengan jarak dari dunia memang memustahilkan munculnya kerja seni besar yang, dalam kalimat 
Soedjatmoko, seolah-olah membuka mata kita secercah kepada kebenaran yang dirasakan sebagai pengalaman langsung 
tetapi tak berwujud, sebagai kesadaran serta kejadian batin, yang oleh si pencipta seni ditangkap dan dipantulkan, seperti 
cahaya Matahari ditangkap intan permata dan terbias berpancaran aneka warna pada faset-fasetnya.

Dalam khazanah karya yang sudah terentang puluhan tahun itu, orang mudah naik pitam mencari karya dengan penjelajahan 
dan perayaan atas sesuatu yang jauh lebih besar ketimbang karakter-karakter atau tempat-tempat istimewa yang diuraikannya. 
Karya yang tidak benar-benar bergulat dengan dunia, tidak memahami benar logikanya, adalah karya yang memang 
memustahilkan hadirnya sebuah pandangan dunia, pengalaman eksplorasi sejumlah pertanyaan-pertanyaan besar tentang 
arah hidup individual dan sosial, tentang sebuah sistem keyakinan, tentang tradisi-tradisi masa silam dan 
kemungkinan-kemungkinan hari depan-tentang hal-hal besar yang dengannya kita mendefinisikan kebudayaan.

Yang gampang ditemukan adalah karya-karya di mana para sastrawan, mengutip satu baris Wing Karjo, ikut menuang racun 
berwarna-warni, dalam dunia yang menurut pengalaman indrawi mereka: karut-marut dan serba tak pasti. Dan, warna racun 
yang paling dominan adalah ungu, dengan berbagai gradasinya: psikologisme dengan berbagai kepekatannya. Mereka ini 
sibuk menularkan kesadaran palsu bahwa dunia memang tak terkontrol dan mustahil dipahami, bahwa dunia memang 
sebagaimana yang melulu dialami secara indrawi, bahwa upaya untuk membangun narasi besar, karena sejumlah 
kegagalannya, maka akan seterusnya ditakdirkan gagal.

RACUN warna-warni itu dituang juga oleh para sastrawan yang paling hebat. Goenawan Mohamad jelas adalah penyair yang 
termasuk paling berjasa dalam memperkaya bahasa Indonesia. Yang menarik-atau justru tidak menarik-dari Goenawan 
adalah bahwa bahasa yang ia kembangkan adalah bahasa yang dilandasi oleh ketidaknyamanan terhadap dunia. Ia pernah 
menyebut sejarah yang hadir sebagai sesuatu yang brutal, kebudayaan sebagai trauma. Dibantu oleh sejumlah pemikiran 
postmodern, Goenawan pun memarodikan nalar dan ilmu, menghadirkannya sebagai sesuatu yang wataknya tak akan 
berubah dan akan selalu memiskinkan dunia.

Membuat parodi tentang nalar dan ilmu, lalu melancarkan kritik terhadapnya, memang tidak dengan sendirinya mencerminkan 
pengetahuan dan kritik yang memadai terhadap nalar dan ilmu. Terbukti bahwa kritik nalar dan ilmu terhadap dirinya jauh lebih 
revolusioner dan tentu saja lebih produktif dibandingkan dengan kritik yang datang dari luar.

Kecurigaan Goenawan terhadap nalar dan ilmu, yang rupanya punya banyak pengekor itu, tampil bersama dengan kecurigaan 
terhadap bahasa ilmu dan teknologi, yang mutlak membutuhkan konsep yang jelas, makna yang taksa, arti yang tak terbantah; 
bahasa yang dikira sebagai bahaya maut bagi kehidupan puisi Indonesia.

Ketaksukaan terhadap bahasa dengan makna taksa itu, bahasa matematika, misalnya, sudah muncul antara lain lewat 
Heidegger yang mempersoalkan calculability and certitude of representation. Matematika memang memberi ilmu sebuah 
bahasa yang transparan dan telah kehilangan seluruh rahasia ontologisnya sehingga memungkinkan munculnya makna yang 
tunggal dan stabil. Sebagai bahasa, matematika telah dimurnikan dari sifat acak absolut bahasa sehari-hari, sebelum adanya 
figurasi dan makna, atau dengan figurasi dan makna yang terus berubah bersama mobilitas tanda linguistik.

Di dunia di mana kelimpah-ruahan dan ambiguitas makna disembah, matematika memang akan berhadapan diametral 
dengan puisi. Dalam matematika, tanda bahasa boleh berubah-ubah dan beraneka, namun artinya sudah tertetap dan tertentu. 
Dalam puisi, ada banyak arti meskipun tanda-tandanya tertetap dan tertentu. Sajak, meminjam Octavio Paz, adalah suatu 
totalitas pekat-kental, dan perubahan paling kecil pun sudah mengubah bukan saja arti, tetapi juga keseluruhan komposisi. 
Dan puisi, seperti ditulis Goenawan Mohamad, tak cuma kata, tak cuma kalimat, yang menuntut kita melotot. Ia juga nada, 
bunyi, bahkan kebisuan, juga elemen ketidaksadaran, atau jika kita setuju dengan Freud, ungkapan yang terbentuk dari 
dorongan-dorongan naluri. Di sini puisi niscaya akan tampil sebagai pahlawan dengan kualitas ilahiah memperkaya dan 
bahkan mentransendenkan bahasa, sedang matematika akan tampak sebagai penjahat dengan kemampuan satu-satunya 
memiskinkan dan membunuh bahasa, dengan menyedot darah kelimpah-ruahan dan ambiguitas makna darinya.

Akan tetapi, jika sebuah bangunan matematis dihadapi dalam suasana Stimmung ala Nietzsche, maka bangunan matematis 
yang memang meniatkan membebaskan diri dari infeksi sejarah, mengosongkan diri dari fungsi ruang dan waktu itu, juga 
sanggup untuk membuat orang mendengar gagasan di belakang simbol matematis itu, intuisi di belakang gagasan itu, dan 
nalar di belakang intuisi itu: Nalar yang berbicara pada manusia dan dunia lewat formulasi tipografis matematikawan. 
Stimmung jelas akan mengubah keindahan matematis-yang dalam pandangan Bertrand Russell hanyalah keindahan yang 
dingin dan sederhana yang tak memancing reaksi dari hakikat manusia yang lemah, tanpa jeratan yang memukau-menjadi 
keindahan yang hampir setingkat penyingkapan kekuatan rahasia logika di hadapan kenyataan.

Dengan kalimat lain, sebuah rumusan matematis bisa membawa efek estetik-spiritual yang sama dengan sebuah taman pasir 
dan karang. Efek estetik dan spiritual itu hanya sebagian dari sejumlah kekuatan yang dimiliki oleh matematika, kekuatan yang 
menjadikan matematika bahasa yang mampu memberi ilmu landasan untuk mengontrol dunia fisik, untuk mengatasi 
kenyataan.

PRAMOEDYA Ananta Toer tampaknya memang novelis Indonesia paling menonjol yang menyambut hangat dan tegas 
kehadiran ilmu dan teknologi; satu-satunya yang dengan sadar menyatakan bahwa karangannya disusun untuk menjadi 
sebuah tesis. Genre sastra yang ia pilih memang lebih memungkinkan ia menata sebuah pandangan dunia. Kesadaran 
bahwa karya adalah sebuah tesis, di samping pergulatan nyata dengan dunia yang ditulisnya, itulah agaknya sumber 
kekuatannya yang memberi sejumlah gravitasi pada tulisan-tulisannya yang terbaik yang lebih hemat kata.

Andreas Teeuw pernah menyebut bahwa Pram adalah penulis yang lahir sekali dalam satu abad, setidaknya satu generasi. 
Saya sungguh-sungguh berharap semoga Pram benar-benar menjadi penulis terakhir Indonesia yang membiarkan karyanya 
dicemari oleh sejenis Manicheanisme, sebuah kosmologi kuno yang keterlaluan sederhananya, yang membagi dunia dalam 
dua kutub yang tak terdamaikan. Semoga tak ada lagi sastrawan Indonesia yang sadar atau tidak, merusak karyanya dengan 
sejumlah esensialisasi, yang mereduksi sekaligus mengasosiasikan seseorang atau satu kaum pada sejumlah isme yang 
mustahil orang-orang seperti Pram berdamai dengannya.

Biarlah proyek pengungkapan sejarah Pram menjadi salah satu bahan mentah para penulis yang mencoba menghadirkan 
ulang Indonesia dan dunia di masa-masa yang silam. Bahan mentah yang menanti sentuhan dan ilham yang memungkinkan 
penulis seperti Walter Benjamin bergerak membangun ulang ibu kota dunia abad ke-19, Paris, dengan cara yang konon 
sebanding dengan metode fisi nuklir yang melepaskan energi yang terpenjara dalam struktur atom. Cara itu dimaksudkan 
untuk membebaskan energi sejarah yang dahsyat yang tidur mendekam di bawah berbagai narasi sejarah yang klasik.

Adapun mengenai karya sastra yang sudah ada, dan cita-cita literer yang belum tercapai, biarlah jadi bahan bagi upaya 
memadukan segenap kekuatan estetik yang terserak dan kenyataan yang terpecah-pecah, untuk membangkitkan sekaligus 
menantang dunia dengan alegori dan ironi, seperti reaksi fusi yang melebur atom-atom sederhana, untuk menghasilkan atom 
baru dan ledakan energi yang memekarkan bintang-bintang dan Matahari.

Sastra dan seni besar seperti itu tentu saja masih butuh indra. Tubuh dan indra adalah instrumen yang paling peka untuk 
mengecek kenyataan, indikator akan kekonkretan. Tetapi, karya seperti itu juga butuh sesuatu yang sangat intelektual, yang 
setara dengan upaya monoteisme Ibrahim mengajukan waktu linier yang berurutan dan tak berulang, sebagai kritik terhadap 
waktu siklis dunia Yunani-Romawi Kuno dan segenap masyarakat penganut politeisme. Dalam pandangan dunia monoteistis, 
di atas waktu linier historis yang terbentang sejak kejatuhan Adam sampai ke Hari Pembalasan, masih ada waktu magis lain 
yang tak mengenal perubahan, yakni kekekalan.

BAB VII HERMENEUTIK


7.1 Definisi Hermenetika
Hermeneutika, yang dalam bahasa Inggrisnya adalah hermeneutics, berasal dari kata Yunani hermeneune dan hermeneia yang masing-masing berarti “menafsirkan” dan “penafsiran”.[1][1] Istilah hermeneutika pertama kali ditemui dalam karya Plato (429-347 SM), Politikos, Epinomis, Definitione, dan Timeus. Lebih dari itu, sebagai sebuah terminologi, hermeneutika juga bermuatan pandangan hidup (worldview) dari para penggagasnya. Sehingga bisa dikatakan bahwa hermeneutika tidak bebas nilai. Istilah ini bukan merupakan sebuah istilah yang netral.[2][2][1]Definisi Hermenetika


Semula hermenutika berkembang di kalangan gereja dan dikenal sebagai gerakan eksegesis (penafsiran teks-teks agama) dan kemudian berkembang menjadi “filsafat penafsiran” kehidupan sosial.[1][3] Kemunculan hermeneutika dipicu oleh persoalan-persoalan yang terjadi dalam penafsiran Bible. Awalnya bermula saat para reformis menolak otoritas penafsiran Bible yang berada dalam genggaman gereja. Menurut Martin Luther (1483-1546 M), bukan gereja dan bukan Paus yang dapat menentukan makna kitab suci, tetapi kitab suci sendiri yang menjadi satu-satunya sumber final bagi kaum Kristen. Menurut Martin Luther , Bible harus menjadi penafsir bagi Bible itu sendiri. Dia menyatakan, “This means that [Scripture] itself by itself is the most unequivocal, the most accessible [facilima], the most testing, judging, and illuminating all things,…”[1][4] Pernyataan tegas Martin Luther yang menggugat otoritas gereja dalam memonopoli penafsiran Bible, berkembang luas dan menjadi sebuah prinsip Sola Scriptura (cukup kitab suci saja, tak perlu ‘tradisi’).[1][5] Berdasarkan prinsip Sola Scriptura, dibangunlah metode penafsiran bernama hermeneutika. Definisi Hermenetika
Seorang Protestan, F.D.E. Schleiermacherlah yang bertanggung jawab membawa hermeneutika dari ruang biblical studies (biblische Hermeneutik) atau teknik interpretasi kitab suci ke ruang lingkup filsafat (hermenutika umum), sehingga apa saja yang berbentuk teks bisa menjadi objek hermeneutika.[1][6] Bagi Schleiermacher, tidak ada perbedaan antara tradisi hermeneutika filologis yang berkutat dengan teks-teks dari Yunani-Romawi dan hermeneutika teologis yang berkutat dengan teks-teks kitab suci.[1][7] Dalam sebuah tesis Ph.D. dinyatakan bahwa :Definisi Hermenetika
Oleh karena transformasi yang dilakukan olehnya, maka Schleiermacher dianggap sebagai bapak hermeneutika modern (the father of modern hermeneutics)Definisi Hermenetika
Schleiermacher bukan hanya meneruskan usaha para pendahulunya semisal Semler dan Ernesti yang berupaya “membebaskan tafsir dari dogma”.[1][9] Lebih dari itu, ia juga mengajukan perlunya melakukan desakralisasi teks. Dalam perspektif hermeneutika umum ini, “semua teks harus diperlakukan sama, “tidak ada yang perlu diistimewakan, tak peduli apakah itu kitab suci (Bible) ataupun teks hasil karangan manusia biasa.[1][10]
The New Encyclopedia Brittanica menulis, bahwa hermeneutika adalah studi prinsip-prinsip general tentang interpretasi Bible (the study of general principle of biblical interpretation). Tujuan dari hermeneutika adalah untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam Bible.[1][11]
Menurut Adian Husaini, hermeneutika bukan sekedar tafsir, melainkan satu “metode tafsir” tersendiri atau satu filsafat tentang penafsiran, yang bisa sangat berbeda dengan metode tafsir Al-Quran. Di kalangan Kristen, saat ini, penggunaan hermeneutika dalam interpretasi Bible sudah sangat lazim, meskipun juga menimbulkan perdebatan (Husaini, 2007 : 8). Dari definisi di atas jelas, bahwa penggunaan hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur’an memang tidak terlepas dari tradisi Kristen. Celakanya, tradisi ini digunakan oleh para hermeneut (pengaplikasi hermeneutika untuk Al-Qur’an) untuk melakukan dekonstruksi[1][12] terhadap al-Qur’an dan metode penafsirannya.
Secara epistemis, terbukti bahwa kelahiran tafsir hermeneutika tidak bisa dilepaskan dari sejarah Yahudi dan Kristen, ketika mereka dihadapkan pada pemalsuan kitab suci, dan monopoli penafsiran kitab suci oleh gereja. Bahkan yang menjadi pemicu pemisahan agama kristen menjadi dua aliran, protestan dan katholik adalah sebab perbedaan penafsiran Bible yang menggunakan metode hermeneutika.
Salah seorang yang pertama kali memperkenalkan hermeneutika dalam penafsiran Alquran adalah Nasr Hamid Abu Zayd (hermeneutika sastra kritis) yang kemudian menyeru kepada umat Islam agar menafsirkan ulang Alquran agar sesuai dengan tuntutan zaman, akhirnya dia kemudian memperkenalkan hermeneutika, tapi sayangnya penafsiran yang ia bawa dinilai menyimpang dan tidak sesuai dengan ajaran Islam, bahkan oleh sebahagian ulama ia dianggap kafir.
Setelah itu banyak lagi tokoh-tokoh yang mengikuti jejak langkah beliau, sebut saja Hassan Hanafi (hermeneutika-fenomenologi), Mohammad Arkoun (hermeneutika-antropologi nalar Islam), Fazlur Rahman (hermeneutika double movement), Fatima Mernissi, Riffat Hassan, Amina A. Wadud (hermeneutika gender), Muhammad Syahrur (hermeneutika linguistik fiqih perempuan).


7.2 Pengertian Bahasa dan Hermeneutika
Bahasa adalah sistem lambang bunyi berartikulasi (yang dihasilkan alat-alat ucap) yang bersifat sewenang-wenang dan konvesional yang dipakai sebagai alat komunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran.[2] Bahasa sangat penting dalam usaha berkomunikasi antar pribadi. Bahasa yang mengandung pikiran dapat menjamin terbukanya otak manusia untuk menyadari dunia dan dirinya sendiri.[3] Bahasa menjadikan hubungan antar pribadi dapat saling mengenal dan memahami realitas sekitarnya. Manusia menggunakan bahasa dengan baik agar suatu hal yang hendak disampaikannya dapat dipahami dengan baik oleh pendengar. Kesesuaian komunikasi terletak pada penggunaan bahasa yang baik dan benar. Kecenderungan ini membuat bahasa menjadi hal yang urgen dibicarakan seiring dengan perkembangan budaya dan pemikiran manusia sendiri.
Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneuo yang berarti mengungkapkan pikiran-pikiran seseorang dalam kata-kata atau hermeneuein yang berarti menafsirkan dan hermeneia yang berarti penafsiran. Kata Yunani tersebut berhubungan dengan dewa Hermes, dewa dalam mitos orang Yunani yang bertugas untuk menyampaikan berita dari para dewa di gunung Olympus kepada manusia. Sosok Hermes digambarkan sebagai seseorang yang mempunyai sayap. Dalam bahasa Latin, sosok ini lebih dikenal dengan nama Mercurius. Dewa ini adalah dewa ilmiah, penemuan, kefasihan bicara, seni tulis dan kesenian. Hermes harus mampu menginterpretasikan atau menyadur sebuah pesan ke dalam bahasa yang digunakan dalam pendengarnya.[4]
2.2 Bahasa dan Hermeneutika menurut Hans-Georg Gadamer
2.2.2 Hubungan Bahasa dan Hermeneutika
            Bahasa adalah hal yang paling hakiki dalam kehidupan ini yang  membantu manusia menemukan dirinya dalam dunia yang terus berubah ini. Bahasa tidak boleh dipikirkan sebagai hal yang mengalami perubahan. Bahasa harus dipikirkan dan dipahami sebagai sesuatu yang memiliki ketertujuan (teleologi) di dalam dirinya.[6] Manusia menggunakan bahasa untuk sebuah tujuan dan arah yang hendak dicapai. Manusia yang memakai bahasa menyadari penggunaan bahasanya baik bahasa ibu maupun bahasa umum. Bahasa mengartikan sesuatu lewat kata-kata yang bisa dipahami dan dimengerti dengan baik. Manusia menangkap arti dan makna kata-kata dengan tepat sekalipun baru pertama kali dilakukannya. Manusia pun memiliki kemampuan untuk mencampurkan gaya-gaya bahasa yang berbeda satu sama lain.
Bahasa berarti memahami. Menurut Gadamer, posisi sentral bahasa dalam hermeneutika ada yang dapat dipahami dengan bahasa.[7] Pemahaman ini berarti mengerti peristiwa historis yang mengandalkan pemahaman yang mempertimbangkan aspek waktu, masa lalu dan masa sekarang. Pemahaman juga berarti penafsiran. Ia mengatakan bahwa pemahaman merupakan proses holistik yang terjadi dalam suatu siklus hermeneutik antara bagian-bagian teks dan pandangan manusia dalam seluruh dimensi personal, historis dan sosial.[8] Penafsiran menandakan adanya sebuah pemahaman baru yang bisa dilakukan agar sesuatu yang sebelumnya diketahui oleh subjek. Hal ini pula berdampak pada cara manusia memandang apa yang sebelumnya sudah manusia ketahui.
            Setiap bahasa mempunyai prioritas pada pemahaman. Pemahaman adalah sebuah proses bahasa.[9] Memahami berarti menginterpretasikan sesuatu. Manusia berusaha memahami objek dan membentuk pengertian-pengertian tertentu terhadap objek tersebut. Gadamer menegaskan interpretasi adalah pencipataan kembali.[10] Memahami adalah menafsirkan pengertian-pengertian yang terangkum dalam konsep-konsep baru. Dalam hal ini, adanya pertemuan dua substansi, antara objek dan subjek. Bahasa memahami adalah mediator atau perantara untuk menjembatani dua substansi tersebut. Memahami sesuatu hanya mungkin terjadi apabila subjek yang mengenal dibedakan dari objek yang dipahami.
Keberadaan hermeneutika dalam bahasa merupakan awal dari pemahaman. Hermeneutika sebagai sebuah sistem baru muncul jauh setelah ia dipratekkan dalam filologi dan studi-studi kitab suci.[11] Teks-teks yang ada perlu ditafsir karena tidak jelas bila karya dibaca dan dipahami dalam waktu yang singkat. Untuk dapat memahami teks, seseorang hermeneutik atau penafsir selalu memahami realitas dengan titik tolak sekarang yang sesuai dengan data historis teks-teks suci tersebut. Selain itu, para penafsir kitab suci mencoba masuk dalam teks asli agar memahami dengan sungguh-sungguh yang sesuai dengan tujuan dan maksud penulisannya. Jadi hermeneutika merupakan suatu yang universal, bukan hanya sekedar metode dalam memahami sesuatu dalam pemahaman manusia.[12]
III. Peran Bahasa Hermeneutika terhadap Pemahaman Manusia Menurut Hans-Georg Gadamer
 Penafsiran Kitab-kitab Suci dan Tradisi
Tradisi berarti adat kebiasaan turun temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat.[13] Hakikat tradisi menyangkut proses pewarisan isi materi yang diwariskan dan memerlukan penafsiran agar maknanya tidak hilang. Tradisi mengandaikan adanya penerusan yang terjadi dari generasi-generasi berikutnya. Tradisi terjadi dalam hal tertentu misalnya kehidupan religius yang sangat dihormati oleh masyarakat. Tradisi pun mengambil bagian penting dalam pengalaman dan pengetahuan manusia. Pengetahuan manusia menjadi amat penting tatkala mampu mengembangkan dan mempertahankan tradisi agar sesuai dengan tradisi aslinya. Manusia dapat mengembangkan tradisi asalkan sesuai dengan aslinya.
Hermeneutika  Alkitab adalah suatu usaha untuk menjelaskan, menginterpretasikan dan menerjemahkan isi teks. Kitab suci perlu ditafsir agar dapat dipahami umat. Bahasa membantu manusia memahami Kitab Suci. Kegiatan pemahaman dan tradisi dijembatani oleh tradisi yang sama. Manusia berusaha mendekati makna dan isi teks-teks suci karena teks tersebut patut dikenal dan dipahami. Teks-teks suci akan menyingkapkan maknanya jika subjek memiliki harapan tertentu dari teks tersebut. Subjek (manusia) akan berusaha untuk mengetahui teks yang dimulai dari tradisi (pengalaman) yang mengutamakan kekuatan arti dan maknanya. Tradisi membantu manusia untuk lebih jauh mencari objek yang hendak dikenal.
Tradisi membentuk dan menentukan gambaran manusia tentang sesuatu. Tradisi membawa teori atau pikiran yang memungkinkan manusia memahami teks sesuai dengan yang diketahuinya. Dalam hubungannya dengan tindakan religius, tradisi berisi pemahaman atau pengalaman-pengalaman historis yang diungkapkan dalam teks-teks suci. Manusia memahami sesuatu karena ada tradisi yang menentukan prasangka awal. Namun tradisi tidak sepenuhnya menentukan pemahaman manusia. Ia hanya membantu manusia. Manusia sendiri yang menentukan pemikiran dan pandangannya sendiri. Hal ini mengakibatkan adanya pembenturan dan perbedaan antara tradisi dan pemahaman manusia.

7.3      jenis-jenis hermeneutika
Adapun hermeneutika macam-macam hermeneutika itu ada 3 yaitu:
1)         Hermeneutika teoritis ( epistimologi ) yang mana hermeneutika ini mencari makna atau pemahaman yang benar. Maksudnya adalah makna yang diinginkan olah penggagas teks tersebut. ( makna yang obyektif atau makna yang valid menurut pengarang atau penggagas teks ). Berkaitan dengan hermeneuitika ini Schleiermacher melakukan ini denag dua pendekatan yaitu pendekatan linguistic ( dari sisi bahasa ) yaitu dengan cara analisis teks secara langsung. Dan pendekatan psikologi yaitu mengarah pada unsur psikologis yang obyektif sang penggagas ( harus mengetahui psikologis sang penggagas teks ) mengandaikan seorang penafsir atau pembacanya itu harus menyamakan posisinya dengan dengan penggagasnya untuk mencapai makna yang obyektif,dengan pendekatan psikologis menyatakan bahwa penafsiran dan pemahaman adalah mengalami kembali proses-proses mental dari pengarang teks atau reexperiencing the mental prosesses of the teks author.  Pendapat senada juga di setujui oleh Dilthey dengan pendekatan histori menyatakan bahwa makna sebagai produk dari aktifitas penafsiran bukan dityentukan oleh subjek yang transcendental tetapi lahir dari realitas hidup yang menyejarah. Dilthey juga yang diinginkan adalah makna yang obyektif dari ekspresi sejarah munculnya teks. Dengan demikian maka teks itu sebetulnya merupakan representasi dari kondisi historikalitas penulis atau pengarang teks. Kemudian dilanjutkan oleh Emilio Betti yag menyatukan pendekatan-pendekatannya antara Schleiwrmacher dan Delthey menjadi asatu yaitu pendekatan linguistic, pendekatan psikologis dan pendekatan historis yang menghasilkan makna yang obyekfif pula.
2)   Hermeneutika filsafat ( ontotlogi ), proses pemahaman itu atau pra pemahaman yaitu pertemuan antar pembaca dan teks. Hermeneutrika fifosofis berpendapat dengan tegas bahwa penafsir atau pembaca telah memiliki prasangka atau pra pemahaman atas teks yang dihadapi sehingga tidak mungkin untuk menghasilkan makna yang obyektif atau makna yang sesuai dengan penggagas teks. Hermeneutika tidak bertujuan untuk memeperoleh makna yang obyektif sebagaimana teori hermeneutika melainkan pada pengungkapan mengenai dassein manusia dalam temporalitas dan historikalitasnya. Implikasinya konsep mengenai apa yang yang terlibat dalam penafsiran pada akhirnya bergeser dari reproduksi sebuah teks yang sudah ada sebelumnya menjadi partisipasi dalam komunikasi yang sedang berlangsung antara masa lalu dan masa kini. Istilah lain bahwa jika teorihermeneutika bertujuan untuk memproduksi makna sebagaimana makna awal, yaitu makna yang diinginkan penulis atau penggagas teks, maka filsafat hermeneutika bertujuan memproduksi makna yang sama sekali baru. Tokoh yang mendukung aliran ini adalah Heidegger dan Gadamer. Herdegger lebih ddahulu membuka jalan dengan menggeser. Konsep hermeneuitika ini dari wilayah metodologis-epistimologis ke wilayah ontologism atau istilah  lain bahwa hermeneutika adalah bukan  a way of knowing tetapi a mode of being. Dan kemudian Gadamer berjalan melewati jalan tersebut denagn menyatakan bahwa penafsiran adalah peleburan horizon-horizon ( fusion of horizon ) yaitu horizon penulis atau pengarang dan penafsir atau pembaca, masa lalu dan masa kini. Dengan demikian makna teks sebagai produk aktifitas penafsiran pasti akan melampaui penulis atau pengarang teks itu sendiri.
3)   Hermeneutika kritis ( mengungkap kepentingan / kepentinagn penggagas ) karena dalam hermeneutika ini teks dianggap medium mengusai ( curiga ). Kalau dilihat  secara umum, sebutan kritis di sini adalah penaksiran atu hubungan-hubungan yang telah ada pada pandangan standar, yang berasal dari pengetahuan mengenai sesuatu yang lebih baik, yang telah ada sebagai potensi atau tendensi di masa kin. Sedangkan secara spesifik, istilah hermeneutika kritis ini menunjuk kepada adanya sebuah relasi dengan teori kritis madzab Frankfurt. Dikatakan hermeneutika kritis karena sedut pandangnya yang mengkritik standar konsep-konsep penafsiran yang ada pada sebelumnya, yaitu hermeneutika teoritis dan hermeneutika filisofis. Kedua hermeneutika yang mempunyai sudut pandang yang berbeda ternyata sama-sama mempunyai sikap setiap terhadap teks, artinya sama-sama berusaha menjamin kebenaran makna teks. Ini yang kemudian menjadi lading hermeneutika kritik, yang justru lebih cenderung mencurigai teks yang diasumsikan sebagai tempat persembunyian kesadaran-kesadaran palsu. Hermeneutika kritis lebih cenderung pada penyelidikan dengan membuka selubunh-selubung penyebab adanya distorsi dalam pemahaman dan komunikasi yang berlangsung dalam interaksi kehidupan sehari-hari.  Adapun tokoh yang setuju dengan sudut pandang ini adalah Habermas. Ia lalu mempertimbangkan factor-faktor di luar teks yang dianggap membantu mengkonstitusikan konteks teks.

7.4 HERMENEUTIK DAN SASTRA
Hermenetik menurut pandangan kritik sastra ialah Sebuah metode untuk memahami teks yang diuraikan dan diperuntukkan bagi penelaahan teks karya sastra. Hermenetik cocok untuk membaca karya sastra karena dalam Kajian sastra, apa pun bentuknya, berkaitan dengan suatu aktivitas yakni interpretasi (penafsiran). Kegiatan apresiasi sastra dan kritik sastra, pada awal dan akhirnya, bersangkutpaut dengan karya sastra yang harus diinterpreatasi dan dimaknai. Semua kegiatan kajian sastra–terutama dalam prosesnya–pasti melibatkan peranan konsep hermeneutik. Oleh karena itu, hermeneutik menjadi hal yang prinsip dan tidak mungkin diabaikan. Atas dasar itulah hermeneutik perlu diperbincangkan secara komprehensif guna memperleh pemahaman yang memadai.[3][11]
Kajian sastra, apa pun bentuknya, berkaitan dengan suatu aktivitas yakni interpretasi (penafsiran). Kegiatan apresiasi sastra dan kritik sastra, pada awal dan akhirnya, bersangkutpaut dengan karya sastra yang harus diinterpreatasi dan dimaknai. Semua kegiatan kajian sastra--terutama dalam prosesnya--pasti melibatkan peranan konsep hermeneutik. Oleh karena itu, hermeneutik menjadi hal yang prinsip dan tidak mungkin diabaikan. Atas dasar itulah hermeneutik perlu diperbincangkan secara komprehensif guna memperleh pemahaman yang memadai.
Dalam studi sastra ada tiga cabang, yaitu teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Teori sastra adalah kaidah-kaidah untuk diterapkan dalam analisiskarya sastra. Kritik sastra adalah penerapan kaidah-kaidah tertentu dalam analisiskarya sastra. Sejarah sastra adalah sejarah perkembangan sastra. Tiga cabangtersebut saling terkait dan semuanya bersumber pada sastra, khususnya karya sastra sendiri.
Dalam hubungan ini, mula-mula perlu disadari bahwa interpretasi dan pemaknaan tidak diarahkan pada suatu proses yang hanya menyentuh permukaan karya sastra, tetapi yang mampu “menembus kedalaman makna” yang terkandung di dalamnya. Untuk itu, interpreter (si penafsir) mesti memiliki wawasan bahasa, sastra, dan budaya yang cukup luas dan mendalam. Berhasil-tidaknya interpreter untuk mencapai taraf interpretasi yang optimal, sangat bergantung pada kecermatan dan ketajaman interpreter itu sendiri. Selain itu, tentu saja dibutuhkan metode pemahaman yang memadai; metode pemahaman yang mendukung merupakan satu syarat yang harus dimiliki interpreter. Dari beberapa alternatif yang ditawarkan para ahli sastra dalam memahami karya sastra, metode pemahaman hermeneutik dapat dipandang sebagai metode yang paling memadai.
Menurut Gerhard Ebeling yang ditulis Palmer, bahwa kata hermeneutic sendiri memiliki tiga bentuk penggunaan, yaitu: 1) menyampaikan; to say; to express; to assert, 2) menjelaskan; to explain, 3) menerjemahkan; to translate. Sedangkan ketiga aspek dari bentuk penggunaan kata hermeneuein sebenarnya dapatlah diwakilkan di dalam satu kata kerja bahasa Inggris: to interpret (interpretasi). Namun meskipun demikian, ketiga bentuk penggunaan kata interpretasi secara sendiri-sendiri membentuk sebuah makna independen dan signifikan bagi interpretasi. Sehingga dapatlah dikatakan bahwa interpretasi dapat mengacu kepada tiga hal yang berbeda: penyampaian verbal, penjelasan yang masuk akal, dan penerjemahan. Tujuan dari interpretasi sendiri adalah membuat sesuatu yang kabur, jauh, dan gelap maknanya menjadi sesuatu yang jelas, dekat, dan dapat dipahami.[4][12]
Hermeneutik yang berkembang dalam interpretasi sastra sangat berkait dengan perkembangan pemikiran hermeneutik, terutama dalam sejarah filsafat dan teologi karena pemikiran hermeneutik mula-mula muncul dalam dua bidang tersebut, sebagaimana dikemukakan. Untuk memahami hermeneutik dalam interpretasi sastra, memang diperlukan pemahaman sejarah hermeneutik, terutama megenai tiga varian hermeneutik seperti yang dikemukakan Lefevere (hermeneutik tradisional, dialektik, dan ontologis). Yang jelas, dengan pemahaman tiga varian hermeneutik tersebut, niscaya akan lebih memungkinkan adanya pemahaman yang memadai tentang hermeneutik dalam sastra.
Di dalam interpretasi Bible ada ketidaksetujuan mengenai pemakaian metode hermeneutik. Namun sebagaimana kemudian cukup baik diulas oleh Herman C. Hanko, bahwa metode hermeneutik tetap diperlukan di dalam interpretasi Bible namun dengan catatan bahwa Bible meskipun ditulis oleh manusia tetap merupakan sebuah teks yang diilhami oleh wahyu Tuhan. Bible sendiri tidak mungkin tidak adalah bentuk refleksi dari bahasa dan budaya lokal di mana teks Bible tersebut diproduksi dan tidak bisa dipungkiri bahwa gaya tulis dari penulis-penulis yang berkontribusi di dalam Bible turut mempengaruhi bentuk rupa Bible sebagaimana diketahui oleh pengkaji Bible bahwa Bible tidak ditulis oleh satu orang dan juga tidak disusun dari perode waktu yang sama.[5][13]
Pada mulanya hermeneutik muncul sebagai teori interpretasi teks Bible, kemudian meluas ke ranah lain sebagai metodologi filologi, ilmu pemahaman linguistik, pondasi metodologis geisteswissenschaften (ilmu humaniora), fenomenologi eksistensi, kemudian sistem interpretasi secara luas apapun bentuknya.[6][14]
Pada interpretasi Bible, keadaan awal mula diperlukannya hermeneutik sebab Bible pada saat itu mengalami masalah alih bahasa manakala penyebaran Kristen di masa awal begitu cepat terjadi sedangkan pengalihbahasaan butuh waktu yang tidak sebentar. Pengalihbahasaan yang tanpa kontrol tersebut membuat muncul berbagai versi Bible yang berselisih atau terkorup karena beberapa alih bahasa dikerjakan agar ritual dan pengajaran dapat pas dengan budaya lokal. Keadaan inilah yang membuat baru pada abad ke-empat (382 M), Damasus I memerintahkan Santo Jerome untuk menstandarisasi alih bahasa Bible yang beredar di masyarakat pada masa itu ke dalam bahasa Latin, memberikan tambahan tulisan-tulisan prolog di dalam skriptur-skriptur tersebut, mengadakan revisi interpretatif terhadap skriptur gospel, dan kemudian membundelkan skriptur-skriptur yang bermacam-macam ke dalam satu jilid. Versi inilah yang kemudian disebut sebagai The Vulgate, dianggap sebagai bentuk alih bahasa resmi dari Bible dan juga menjadi Bible kanon yang menggantikan berbagai macam versi Bible yang pada waktu itu beredar di masyarakat Kristen.[7][15]
Selama ini, hermeneutik merupakan salah satu model pamahaman yang paling representatif dalam studi sastra, karena hakikat studi sastra itu sendiri sebenarnya tidak dari interpretasi teks sastra berdasar pemahaman yang mendalam. Namun, sebagaimana dikatakan Lefevere, hermeneutik tidak mempunyai status khusus dan bukan merupakan model pemahaman yang secara khusus begitu saja diterapkan dalam sastra, karena sastra merupakan objektivitas jiwa manusia.[8][16] Beranjak dari apa yang dikatakan Lefevere jelaslah bahwa sesungguhnya diperlukan pengkhususan jika hermeneutik mau diterapkan dalam sastra, mengingat objek studi sastra itu adalah karya estetik.
Dalam perkembangan teoriteori sastra kontemporer juga terlihat bahwa ada kecenderungan yang kuat untuk meletakkan pentingnya peran subjek pembaca (audience) dalam menginterpretasi makna teks. Kecenderungan itu sangat kuat tampak pada hermeneutik ontologis yang dikembangkan oleh Gadamer, yang pemahamannya didasarkan pada basis filsafat fenomenologi Heidegger, Valdes menyebut hal ini sebagai hermeneutik fenomenologi, dan terkait dengan nama-nama tokoh Heidegger, Gadamer, dan Ricoeur.[9][17]
Untuk itu, jika kita menerima hermeneutik sebagai sebuah teori interpretasi reflektif, hermenetuika fenomenologis merupakan sebuah teori interpretasi reflektif yang didasarkan pada perkiraan filosofis fenomenologis. Dasar dari hermeneutik fenomenologis adalah mempertanyakan hubungan subjek-objek dan dari pertanyaan inilah dapat diamati bahwa ide dari objektivitas perkiraan merupakan sebuah hubungan yang mencakup objek yang tersembunyi. Hubungan ini bersifat mendasar dan fundamental (being-in-the-world).[10][18]
Dalam hubungan tersebut, perlu pula disebut seorang tokoh bernama Paul Rocoeur. Ia dalah seorang tokoh setelah Gadamer yang dalam perkembangan mutakhir banyak mengembangkan hermeneutik dalam bidang sastra dan meneruskan pemikiran filosofi fenomenologis. Menariknya, dalam hermeneutik fenomenologis, ia menyatakan bahwa setiap pertanyaan yang dipertanyakan yang berkenaan dengan teks yang akan diinterpretasi adalah sebuah pertanyaan tentang arti dan makna teks.[11][19] Arti dan makna teks itu diperoleh dari upaya pencarian dalam teks berdasarkan bentuk, sejarah, pengalaman membaca, dan self-reflection dari pelaku interpretasi.
Jika dicermati, pernyataan Ricoeur tersebut tampak mengarah pada suatu pandangan bahwa interpretasi itu pada dasrnya untuk mengeksplikasi jenis being-in-the-world (Dasein) yang terungkap dalam dan melalui teks. Ia juga menegaskan bahwa pemahaman yang paling baik akan terjadi manakala interpreter berdiri pada self-understanding. Bagi Ricoeur, membaca sastra melibatkan pembaca dalam aktivitas refigurasi dunia, dan sebagai konsekuensi dari aktivitas ini, berbagai pertanyaan moral, filosofis, dan estetis tentang dunia tindakan menjadi pertanyaan yang harus dijawab.[12][20]
Selain itu, ada satu hal prinsip lagi yang perlu diperhatikan sehubungan dengan pemahaman-khususnya dalam pemahaman terhadap teks sastra-adalah gagasan "lingkaran hermeneutik" yang dicetuskan oleh Dilthey dan yang diterima oleh Gadamer. Dalam studi sastra, gerak melingkar dari pemahaman ini amat penting karena gagasan ini menganggap bahwa untuk memahami objek dibatasi oleh konteks-konteks. Misalnya, untuk memahami bagian-bagian harus dalam konteks keseluruhan dan sebaliknya, dalam memahami keseluruhan harus memahami bagian per bagian. Dengan demikian, pemahaman ini berbentuk lingkaran. Dengan perkataan lain, untuk memahami suatu objek, pembaca harus memiliki suatu pra-paham, kemudian pra-paham itu perlu disadari lebih lanjut lewat makna objek yang diberikan. Pra-paham yang dimiliki untuk memahami objek tersebut bukanlah suatu penjelasan, melainkan suatu syarat bagi kemungkinan pemahaman. Lingkaran pemahaman ini merupakan "lingkaran produktif." Maksudnya, pemahaman yang dicapai pada masa kini, di masa depan akan menjadi pra-paham baru pada taraf yang lebih tinggi karena adanya pengayaan proses kognitif. Oleh karena itulah penafsiran terhadap teks dalam studi sastra pada prinsipnya terjadi dalam prinsip yang berkesinambungan.
Jadi, tugas hermeneutik menurut Gadamer adalah: ”is not to develop a procedure of understanding but to clarify the the conditions in which understanding can take place”. Atau dapatlah dikatakan bahwa standarisasi pembuatan prosedur adalah bukan tujuan utama dari hermeneutik, tujuan utama sesungguhnya dari hermeneutik adalah memberikan jalan kepada pemahaman terhadap suatu teks. Jadi ketika metode interpretasi ini diterapkan ke dalam analisis karya sastra, maka tujuan utamanya adalah memberikan jembatan, atau menjadi hermes, bagi pemahaman arti dari sebuah karya sastra, baik makna tersirat maupun makna tersurat.[13][21]
Pendekatan hermeneutic merupakan suatu cara untuk memahami agama (teks kitab suci).[14][22] Pendekatan ini dianggap tepat dalam memahami karya sastra dengan pertimbangan bahwa diaantara karya tulis, yang paling dekat dengan agama adalah karya sastra. Pada tahap
tertentu teks agama sama dengan teks karya sastra. Perbedaannya, merupakan kebenaran keyakinan, sastra merupakan kebenaran imajinasi, agama dan sastra adalah bahasa, baik lisan maupun tulisan. Asal mula agama adalah firman tuhan, asal mula sastra adalah kata-kata pengarang. Baik sebagai hasil ciptaan subjek illahi maupun subjek creator, agama dan sastra perlu di intrpretasikan/ditafsirkan, sebab disatu pihak seperti disebutkan diatas, kedua genre terdiri atas bahasa.
Secara keseluruhan, dapatlah dinyatakan bahwa hermeneutik memang dapat diterapkan dalam interpretasi sastra. Dalam interpretasi sastra, hermeneutik tidak lagi hanya diletakkan dalam kerangka metodologis, tetapi ia sudah mengikuti pemikiran hermeneutik mutakhir yang berada dalam kerangka ontologis. Ini kaitannya dengan Tiga varian hermeneutik (tradisional, dialektik, dan ontologis).
Lefevere memandang bahwa ada tiga varian hermeneutik yang pokok. Dari ketiga varian tersebut, tidak satu pun dapat melepaskan diri sepenuhnya dari sumber asalnya, yakni penafsiran terhadap kitab-kitab suci. Konsekuensinya, gaya tulisan menjadi berbelit-belit dan hampir tidak pernah jelas, dan ini menjadi ciri khas berbagai tulisan hermeneutik. Permainan kata yang bertele-tele dan ungkapan khusus turut membuat hermeneutik membosankan. Kenyataan ini dapat mengaburkan substansi hermeneutik yang sesungguhnya sangat bernilai.[15][23]
Ketiga varian yang dimaksudkan Lefevere adalah: pertama, hermeneutik tradisional (romantik); kedua, hermeneutik dialektik; dan ketiga, hermeneutik ontologis. Perlu dikemukakan, di satu sisi, ketiga varian itu sepakat dengan pendefinisian sastra sebagai objektivisasi jiwa manusia, yang pada dasarnya bisa diamati, dijelaskan, dan dipahami (verstehen). Di sisi lain, ketiga varian hermeneutik itu berbeda dalam menginterpretasi verstehen-nya. Untuk itu, selanjutnya perlu dijelaskan bagaimana ketiga varian hermeneutik itu dalam kerangka kajian sastra, mulai hermeneutik tradisional, dialektik, hingga ontologis.[16][24]



BAB VIII
IMAJINASI DAN BAHASA
8.1 Devinisi Imajinasi
      1. Imajinasi Adalah Kekuatan Atau Proses Menghasilkan Citra Mental Dan Ide.

                        Istilah ini secara teknis dipakai dalam psikologi sebagai proses membangun kembali persepsi dari suatu benda yang terlebih dahulu diberi persepsi pengertian. Sejak penggunaan istilah ini bertentangan dengan yang dipunyai bahasa biasa, beberapa psikolog lebih menyebut proses ini sebagai “menggambarkan” atau “gambaran” atau sebagai suatu reproduksi yang bertentangan dengan imajinasi “produktif” atau “konstruktif”.
                        Gambaran citra dimengerti sebagai sesuatu yang dilihat oleh “mata pikiran”. Suatu hipotesis untuk evolusi imajinasi manusia ialah bahwa hal itu memperbolehkan setiap makhluk yang sadar untuk memecahkan masalah (dan oleh karena itu meningkatkan fitnes) perseorangan oleh penggunaan simulasi jiwa.

               Bagaimana?
               Apakah anda mengerti maksudnya?

                        Saya pribadi kurang paham dan sepaham dengan penjelasan-penjelasan tersebut. Menurut saya imajinasi ya imajinasi, bukan hanya sebuah penggambaran/ pencitraan bentuk, warna, rasa, hawa, atau suara. Imajaniasi lebih terlihat seperti hasil bentukan visi, misi, hasrat, semangat, dan impian seseorang. Tanpa sebuah hasrat atau impian imajinasi tidak akan terbentuk atau bahkan menjadi sebuah kenyataan. Imajinasi sebenarnya tidak ‘bertempat tinggal’ dipikiran, pikiran hanya membantu membentuk citraan dan menampung imajinasi yang ada. Yang harus kita yakini adalah, sebenarnya imajinasi sebenarnya ada secara nyata, bukan hanya sebuah penggambaran atau pencitraan. Imajinasi atau impian ada ‘disuatu tempat’  di ‘dunia lain’ (bukan dunia ghaib) atau ‘dimensi lain’ dan dapat benar-benar kita realisasikan menjadi sebuah kenyataan, tinggal menunggu situasi dan waktu yang tepat agar ‘dimensi’ alias dunia tempat kita hidup ini dapat dimasuki oleh imajinasi kita itu terlepas dari semua pendapat itu, seperti yang yang saya atakana tadi “imajinasi ya imajinasi”, dapat anda presepsikan sendiri, karena “imajinasi anda” hanya “anda yang memiliki”.
2. Definisi Bahasa

                  bahasa adalah alat untuk beriteraksi atau alat untuk berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau perasaan. Dalam studi sosiolinguistik, bahasa diartikan sebagai sebuah sistem lambang, berupa bunyi, bersifat arbitrer, produktif, dinamis, beragam dan manusiaw
                  Bahasa adalah sebuah sistem, artinya, bahasa dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan. Sistem bahasa berupa lambang-lambang bunyi, setiap lambang bahasa melambangkan sesuatu yang disebut makna atau konsep. Karena setiap lambang bunyi itu memiliki atau menyatakan suatu konsep atau makna, maka dapat disimpulkan bahwa setiap suatu ujaran bahasa memiliki makna. Contoh lambang bahasa yang berbunyi “nasi” melambangkan konsep atau makna ‘sesuatu yang biasa dimakan orang sebagai makanan pokok’.
    
a.       Bahasa Bersifat Abritrer
        Bahasa bersifat abritrer artinya hubungan antara lambang dengan yang dilambangkan tidak bersifat wajib, bisa berubah dan tidak dapat dijelaskan mengapa lambang tersebut mengonsepi makna tertentu. Secara kongkret, alasan “kuda” melambangkan ‘sejenis binatang berkaki empat yang bisa dikendarai’ adalah tidak bisa dijelaskan.
        Meskipun bersifat abritrer, tetapi juga konvensional. Artinya setiap penutur suatu bahasa akan mematuhi hubungan antara lambang dengan yang dilambangkannya. Dia akan mematuhi, misalnya, lambang ‘buku’ hanya digunakan untuk menyatakan ‘tumpukan kertas bercetak yang dijilid’, dan tidak untuk melambangkan konsep yang lain, sebab jika dilakukannya berarti dia telah melanggar konvensi itu.

b.      Bahasa Bersifat Produktif
        Bahasa bersifat produktif artinya, dengan sejumlah besar unsur yang terbatas, namun dapat dibuat satuan-satuan ujaran yang hampir tidak terbatas. Misalnya, menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan WJS. Purwadarminta bahasa Indonesia hanya mempunyai kurang lebih 23.000 kosa kata, tetapi dengan 23.000 buah kata tersebut dapat dibuat jutaan kalimat yang tidak terbatas.

c.       Bahasa Bersifat Dinamis
        Bahasa bersifat dinamis berarti bahwa bahasa itu tidak lepas dari berbagai kemungkinan perubahan sewaktu-waktu dapat terjadi. Perubahan itu dapat terjadi pada tataran apa saja: fonologis, morfologis, sintaksis, semantic dan leksikon. Pada setiap waktu mungkin saja terdapat kosakata baru yang muncul, tetapi juga ada kosakata lama yang tenggelam, tidak digunakan lagi.

d.      Bahasa Bersifat Beragam
        Meskipun bahasa mempunyai kaidah atau pola tertentu yang sama, namun karena bahasa itu digunakan oleh penutur yang heterogen yang mempunyai latar belakang sosial dan kebiasaan yang berbeda, maka bahasa itu menjadi beragam, baik dalam tataran fonologis, morfologis, sintaksis maupun pada tataran leksikon. Bahasa Jawa yang digunakan di Surabaya berbeda dengan yang digunakan di Yogyakarta. Begitu juga bahasa Arab yang digunakan di Mesir berbeda dengan yang digunakan di Arab Saudi.

e.       Bahasa Bersifat Manusiawi
        Bahasa sebagai alat komunikasi verbal, hanya dimiliki manusia. Hewan tidak mempunyai bahasa. Yang dimiliki hewan sebagai alat komunikasi, yang berupa bunyi atau gerak isyarat, tidak bersifat produktif dan dinamis. Manusia dalam menguasai bahasa bukanlah secara instingtif atau naluriah, tetapi dengan cara belajar. Hewan tidak mampu untuk mempelajari bahasa manusia, oleh karena itu dikatakan bahwa bahasa itu bersifat manusiawi.



8.2 Evaluasa Konsep Imajinasi

                        Sebelum kita berbicara mengenai perencanaan evaluasi, kita perdalam lebih dahulu istilah ‗rencana‘ dan ‗perencanaan‘. Kita pahami bahwa rencana adalah ―a detailed proposal for doing or achieving something‖, artinya suatu rancangan rinci untuk melakukan sesuatu atau mencapai sesuatu. Dalam hal ini, perencanaan berarti ―proses merencanakan sesuatu‖. Harus kita sadari bahwa perencanaan merupakan suatu cara untuk memproyeksi maksud dan tujuan. Seperti yang telah kita tahu, perencanaan berkaitan dengan konsep masa depan, masalah-masalah yang memerlukan imajinasi dan pilihan (choice), pemikiran yang ditujukan ke masa depan, dan proses mencapai suatu tujuan. Oleh karena itu, perencanaan mencerminkan upaya yang penuh pertimbangan. Perencanaan diakui sebagai cara yang paling andal (reliable) untuk mewujudkan tujuan dan sasaran. Perencanaan merupakan suatu cara untuk menentukan serangkaian tindakan untuk mengarahkan tindakan tersebut agar sesuai dengan visi.

                        Setelah kita mengenal konsep dan pengertian perencanaan, kita ulang sekilas mengenai konsep evaluasi itu sendiri. Dalam hal ini, evaluasi pendidikan biasanya dibagi menjadi dua kategori umum:

·         Evaluasi sumatif
 biasanya dilakukan dengan maksud membuat penilaian mengenai keseluruhan aktivitas dan program. Pengumpulan dan analisis biasanya ditujukan pada pengukuran hasil dan tingkat pencapaian dengan mengacu pada tujuan dan standar tertentu yang telah dipahami
·         Evaluasi formatif,
 sebaliknya, mengacu pada evaluasi yang muncul selama proses atau produk itu dirancang. Evaluasi formatif biasanya digunakan untuk memperbaiki pengembangan, dan dapat dikatakan sebagai evaluasi berkelanjutan yang mengiringi upaya pengembangan atau proses perubahan yang lebih besar.


LANGKAH-LANGKAH PERENCANAAN EVALUASI
1.      Menentukan Tujuan Evaluasi
            Memahami tujuan evaluasi adalah salah satu wawasan paling penting yang harus dimiliki seorang evaluator. Apapun bentuk dan pendekatan evaluasi, penentuan tujuan evaluasi akan selalu berkenaan dengan apa yang diharapkan dari pelaksanaan suatu evaluasi, yaitu output (misalnya; produk pembelajaran, dokumentasi siswa/guru, dsb.) dan outcome (misalnya; efektivitas/efisiensi pembelajaran siswa, perubahan sikap siswa, perubahan kinerja dan sikap guru, perubahan kelembagaan, posisi di dunia pendidikan dan dunia kerja, dsb.).
2.       Merumuskan Masalah Evaluasi
            Masalah evaluasi bisa dilihat dari fenomena yang terjadi. Dengan mengacu pada contoh sebelumnya, yaitu masalah kurikulum, dapat dilihat bahwa masalah yang terjadi adalah rendahnya mutu pembelajaran siswa atau bahwa hasil pembelajaran tidak sesuai dengan tujuan pembelajaran yang diharapkan.
3.       Menentukan Jenis Data yang Akan Dikumpulkan
            Pada tahap ini evaluator mengidentifikasi data/informasi sesuai dengan kebutuhan dan variabel yang akan dievaluasi. Jenis data secara umum adalah data kuantitatif dan data kualitatif.
4.       Menentukan Sampel
            Sampel digunakan bila kita akan mengevaluasi sebagian dari populasi yang menjadi subjek atau objek evaluasi, dengan memperhatikan sifatnya yang homogenitas dan heterogenitas. Evaluator juga menentukan teknik pengambilan sampel (sampling) yang cocok diambil.
5.      Menentukan Model Evaluasi
            Penentuan modal evaluasi sangat berkaitan dengan berbagai pendekatan evaluasi. Evaluator hendaknya memahami berbagai pendekatan dalam evaluasi, kekuatan dan kelemahan setiap pendekatan.
6.      Menentukan Alat Evaluasi
            Alat evaluasi yang umumnya dipakai oleh evaluator antara lain adalah tes, pengukuran sikap, survey dan kuesioner survey, wawancara, pengamatan, on-site evaluation, teknik Delphi, analisis kebutuhan, analisis konten, sampling, eksperimental, quasi-experimental, dan sebagainya.
7.       Merencanakan Personal Evaluasi
            Yang dimaksud personal evaluasi di sini adalah seluruh sumberdaya manusia yang tersedia dan terlibat untuk pelaksanaan evaluasi. Termasuk di sini antara lain adalah (1) evaluator atau team evaluator, (2) klien yang meminta evaluasi, dan (3) evaluand (objek evaluasi). Dalam posisi kita sebagai evaluator, kita bisa meminta bantuan dari evaluator eksternal yang memiliki keahlian tertentu dalam bidangnya.
8.      Merencanakan Anggaran
            Anggaran dan pembiayaan kadang bisa menjadi kendala untuk keberhasilan pelaksanaan evaluasi. Dana yang tidak sesuai dengan perencanaan anggaran bisa menghambat jalannya program. Di lain pihak, perencanaan anggaran yang tidak realistis juga akan berdampak buruk dalam pelaksanaan evaluasi.
9.       Merencanakan Jadwal Kegiatan
            Suatu perencanaan akan lebih mudah dipahami dan lebih mudah dilaksanakan bila kita memiliki suatu jadwal kegiatan, yang terdiri dari jenis-jenis kegiatan yang akan dilakukan dan waktu yang tersedia. Dengan jadwal, kita dapat menentukan apa yang harus kita lakukan hari ini, misalnya. Kita harus tetap menjaga agar aktivitas dan waktu kita tidak keluar dari jadwal yang telah ditetapkan, sebab jika hal tersebut terjadi, maka kegiatan lainnya akan terpengaruh juga

8.3 perbedaan imajinasi
  KETIKA kita menyaksikan realitas politik yang diciptakan para politikus di negeri ini, dengan kasat mata kita bisa melihat struktur politik yang dibangun dengan imajinasi pupuler, sebuah ruang, waktu dan tanda politik yang dibentuk, disesaki, dan dipenuhi laku politik yang bersifat dangkal, remeh-temeh dan bermutu rendah. Orang-orang yang lahir dari rahim partai politik begitu canggih memainkan seni verbalisme politik demi kepentingan diri dan kelompok (partai)-nya.
   Mereka menggunakan partai politik sebagai mesin pencetak harta kekayaan dan kekuasaan. Mereka hanya mengedepankan hal-hal yang yang bersiat duniawi dengan mengesampingkan dunia eskatologis. Di sinilah sifat materialistis-hedonistis mendapatkan tempatnya.
  Celakanya, tidak sedikit politikus, baik di tingkat pusat maupun daerah, saat ini sangat gemar mengembangkan imajinasi populer tersebut. Alih-alih memperjuangkan kepentingan rakyat, kader-kader partai malah bekerjasama melakukan korupsi dan terlibat “kongkalikong” dengan para aktor ekonomi (misalnya pengusaha) yang seringkali  sangat merugikan kepentingan rakyat banyak.
  Inilah realitas politik yang sering kita saksikan yang dilandasi imajinasi dan fantasi-fantasi yang dibangun secara sadar oleh individu atau kelompok (politikus, partai politik) untuk membedakan mereka dengan orang atau kelompok lainnya.

  Imajinasi populer yang dicirikan oleh sifat-sifatnya yang murahan, rendah, vulgar, umum, rata-rata atau rakyat kebanyakan, kini telah digunakan untuk menghimpun massa dalam berbagai wacana politik sebagai massa populer. 



  Yasraf Amir Piliang dalam bukunya Dunia yang Dilipat menjelaskan bahwa  Imajinasi populer ini terdapat setidak-tidaknya empat bidang, yaitu cara berpikir populer, komunikasi populer, ritual populer, dan simbol populer.

1.       cara berpikir populer, yaitu cara berpikir yang dipengaruhi oleh berbagai wacana budaya populer, seperti televisi, media massa, dunia hiburan dan dunia seni populer, yang dicirikan oleh sifat-sifat kedangkalan, permukaan dan selera massanya.
      Dalam konteks politik, ter masuk ke dalam cara berpikir populer adalah berbagai wacana politik populer yang dikembangkan politikus, yang dikemas dengan cara tertentu yang seakan-akan merupakan bagian dari ilmu pengetahuan politik. Padahal, para politikus itu hanya memproduksi cara berpikir politik yang sangat dangkal.

2.       komunikasi populer, yaitu berbagai bentuk komunikasi  politik yang dicirikan oleh sifat-sifat dangkal ketimbang kedalaman, permukaan ketimbang substansi, lebih menghibur ketimbang mencerahkan, lebih menawarkan rasa kesenangan ketimbang ilmu pengetahuan, lebih membangkitkan sensasi ketimbang subtansi.  

      Hal ini bisa berwujud bahasa, tindakan, dan penampilan populer politikus. Berbagai psikologi massa, sebagaimana digunakan di dalam budaya populer, kini digunakan di dalam wacana politik, seperti cara-cara untuk membangkitkan dan mengendalikan emosi (simpati, empati) rakyat.
      Misalnya, di televisi para politikus korup bertindak  sebagai  orang yang harus dikasihani, agar rakyat memaafkan tindakan korupnya. Bahkan, ada politikus yang siap digantung di Monas sekalipun demi meyakinkan rakyat bahwa ia tidak terlibat korupsi serupiah pun.
3.       ritual populer, yaitu berbagai bentuk ritual politik yang secara massal dilakukan mengikuti paradigma budaya populer, yang dalam pelaksanaannya menggunakan logika komoditas.
      Ritual-ritual itu ditata sedemikian rupa sesuai dengan prinsip perbedaan sosial. Kegiatan ritual politik digiring ke dalam perangkap artifisialitas, permainan bebas bahasa dan citra sebagai cara dalam menciptakan imajinasi kolektif dan pemanipulasian pikiran massa.
      Misalnya tempat rapat atau pertemuan mewah yang digunakan orang-orang partai yang membedakan tempat rapat partai lainnya. Mereka terkadang tidak peduli apakah kemewahan yang ditampilkan tersebut menyakiti hati rakyat yang masih menderita kemiskinan atau tidak. Yang ada dalam benak mereka adalah  penunjukkan keterpesonaan  yang serba “wah”.
4.       simbol populer, ini artinya bahwa simbol-simbol populer digunakan di dalam berbagai praktik politik. Simbol pupuler yang identik dengan penampilan populer mengarahkan pada penampilan yang mencakup mulai dari pakaian sampai rambut dan eksesoris yang menekankan efek-efek kesenangan, simbol, status, tema, prestise, daya pesona, dan berbagai dorongan selera rendah lainnya tanpa mengutamakan substansi politik.



BAB IX
BAHASA DAN PIKIRAN
9.1  Definisi

           Bahasa adalah alat komunikasi yang berupa system lambang bunyi yang dihasilkan alat ucap manusia. Sebagaimana kita ketahui, bahasa terdiri atas kata-kata atau kumpulan kata. Masing-masing mempunyai makna, yaitu, hubungan abstrak antara kata sebagai lambang dengan objek atau konsep yang diwakili Kumpulan kata atau kosakata itu oleh ahli bahasa disusun secara alfabetis, atau menurut urutan abjad,disertai penjelasan artinya dan kemudian dibukukan menjadi sebuah kamus atau leksikon. Pada waktu kita berbicara atau menulis, kata-kata yang kita ucapkan atau kita tulis tidak tersusun begitusaja, melainkan mengikuti aturan yang ada. Untuk mengungkapkan gagasan, pikiran atau perasaan, kita harus memilih kata-kata yang tepat dan menyusun kata-kata itu sesuai dengan aturan bahasa. Seperangkataturan yang imendasari pemakaian bahasa, atau yang kita gunakan sebagai pedoman berbahasa inilah yangdisebut tata bahasa.
           Fungsi utama bahasa, seperti disebutkan di atas, adalah sebagai alat komunikasi, atau sarana untuk menyampaikan informasi (fungsi informatif). Tetapi, bahasa pada dasarnya lebih dari sekadar alat untuk menyampaikan informasi, atau mengutarakan pikiran, perasaan, atau gagasan, karena bahasa juga berfungsi:

§  untuk tujuan praktis: mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari.
§  untuk tujuan artistik: manusia mengolah dan menggunakan bahasa dengan seindah-indahnya guna pemuasan rasa estetis manusia.
§  sebagai kunci mempelajari pengetahuan-pengetahuan lain, di luar pengetahuan kebahasaan.

§  untuk mempelajari naskah-naskah tua guna menyelidiki latar belakang sejarah manusia, selama

kebudayaan dan adat-istiadat, serta perkembangan bahasa itu sendiri (tujuan filologis).


Ø  Definisi Bahasa Menurut Para Ahhli:

1.      Bill Adams Bahasa adalah sebuah sistem pengembangan psikologi individu dalam sebuah konteks inter-subjektif
2.      Wittgenstein Bahasa merupakan bentuk pemikiran yang dapat dipahami, berhubungan dengan realitas, dan memiliki bentuk dan struktur yang logis
3.      Ferdinand De Saussure Bahasa adalah ciri pembeda yang paling menonjol karena dengan bahasa setiap kelompok sosial merasa dirinya sebagai kesatuan yang berbeda dari kelompok yang lain
4.      Plato Bahasa pada dasarnya adalah pernyataan pikiran seseorang dengan perantaraan onomata (nama benda atau sesuatu) dan rhemata (ucapan) yang merupakan cermin dari ide seseorang dalam arus udara lewat mulut
5.      Bloch & Trager Bahasa adalah sebuah sistem simbol yang bersifat manasuka dan dengan sistem itu suatu kelompok sosial bekerja sama.
6.      Carrol Bahasa adalah sebuah sistem berstruktural mengenai bunyi dan urutan bunyi bahasa yang sifatnya manasuka, yang digunakan, atau yang dapat digunakan dalam komunikasi antar individu oleh sekelompok manusia dan yang secara agak tuntas memberi nama kepada benda-benda, peristiwa-peristiwa, dan proses-proses dalam lingkungan hidup manusia
7.      Sudaryono Bahasa adalah sarana komunikasi yang efektif walaupun tidak sempurna sehingga ketidaksempurnaan bahasa sebagai sarana komunikasi menjadi salah satu sumber terjadinya kesalahpahaman.
8.      Saussure Bahasa adalah objek dari semiologi
9.      Mc. Carthy Bahasa adalah praktik yang paling tepat untuk mengembangkan kemampuan berpikir
10.  William A. Haviland Bahasa adalah suatu sistem bunyi yang jika digabungkan menurut aturan tertentu menimbulkan arti yang dapat ditangkap oleh semua orang yang berbicara dalam bahasa itu

                        pikiran adalah sebuah teori bahwa pikiran tidak dapat langsung diobservasi Anggapan bahwa orang lain memiliki suatu pikiran diistilahkan teori pikiran karena setiap manusia hanya dapat mengintuisi keberadaan dari pikirannya sendiri lewat introspeksi, dan tidak ada orang lain yang memiliki akses langsung terhadap pikiran orang lain. Secara tipikal diasumsikan bahwa orang lain memiliki pikiran dengan analogi yang seseorang miliki, dan berdasarkan interaksi sosial alami timbal-balik, sebagaimana yang diobservasi dalam atensi bersama penggunaan fungsi bahasa dan memahami emosi dan aksi orang lain Memiliki teori pikiran membuat seseorang mengatribusikan pemikiran, hasrat, dan intensi kepada orang lain, untuk memperkirakan atau menjelaskan aksi mereka, dan untuk menempatkan intensi mereka. Dalam arti aslinya, ia membuat seseorang untuk memahami bahwa keadaan mental dapat menjadi penyebab - yang digunakan untuk menjelaskan dan memperkirakan - perilaku orang lain Kemampuan mengatribusikan keadaan mental terhadap orang lain dan memahaminya sebagai penyebab perilaku menandakan, sebagian, bahwa seseorang harus dapat memahami pikiran sebagai "pembangkit representasi Jika seseorang tidak memiliki teori pikiran yang komplit ia mungkin menandakan gangguan kognitif atau perkembangan.

                        pikiran muncul sebagai potensi kemampuan lahiriah pada manusia, tapi membutuhkan pengalaman sosial dan pengalaman lainnya selama beberapa tahun sampai menghasilkan sesuatu. Orang yang berbeda bisa saja membentuk teori pikiran yang lebih, atau kurang, efektif. Empati adalah konsep yang berkaitan, yang berarti mengenali dan memahami teori pikiran lewat pengalaman, termasuk kepercayaan, hasrat dan terkadang emosi orang lain, sering dikarakterkan sebagai kemampuan untuk "menempatkan diri sendiri di posisi orang lain." Kajian terbaru dari neuro etologis perilaku hewan, menyarankan bahkan tikus mungkin memperlihatkan kemampuan etikal atau empati






9.1 Ketegori-Kategori Negatif

              Ciri-Ciri Pacar atau Kekasih Sudah Bosan Dengan Anda
                  Kabarnya sih masa yang paling menyenangkan dalam hubungan asmara adalah masa PDKT. Di masa ini rasanya yang ada adalah hal-hal indah melulu. Nyaris tak ada yang bilang kalau PDKT itu menyebalkan, sehingga momen ini selalu dikenang. Tetapi, biasanya kalau sudah berpacaran agak lama, hubungan jadi makin dingin dan dia menjadi tak seperti dulu lagi. Kenapa ya?
           Sebenarnya pria itu juga makhluk yang mudah bosan. Bukan karena tak cinta lagi, tetapi kebosanan lumrah dialami oleh pria yang memang lebih suka tantangan dan hal baru ketimbang wanita. Jangan keburu menyimpulkan kalau si dia sudah tak cinta, mungkin saja si dia sedang bosan apabila tanda-tanda ini muncul padanya.

Kesibukannya Mendadak Bertambah

           Akhir-akhir ini dia jadi lebih sibuk dan banyak melakukan aktivitas baik sendiri maupun bersama teman-temannya. Dia jadi tak punya waktu dengan Anda. Tetapi, mungkin memang ia sedang aktif dan terlibat banyak hal untuk mengusir rasa bosannya. Jadi tak perlu sampai berpikir negatif bahwa ia sedang menghindar. Tidak. Ia tidak menghindar kok, hanya ia punya cara tersendiri untuk tidak bosan lagi.

Anda Yang Menghubungi Terlebih Dahulu

           Dengan alasan sibuk, akhirnya jadi Anda yang lebih sering menghubunginya terlebih dahulu. Apa yang salah? Dari sisi dia mungkin tak ada yang salah, tetapi apabila Anda membiarkan pikiran sensitif itu terus berkembang, maka Anda akan merasa kesepian dan ditinggalkan. Padahal sih nyatanya si dia hanya sedang sibuk saja. Toh yang Anda ingin tahu adalah kabar dari si dia, jadi tak ada salahnya lah apabila Anda yang menghubungi terlebih dahulu.



Kontak Fisik Yang Minim

           Dulu, setiap saat setiap waktu ia akan mencuri kesempatan untuk merangkul bahu dan menggenggam tangan Anda. Mungkin sekarang hal itu tak dilakukannya sesering dulu. Tetapi bila ia masih melakukannya di depan umum, maka ini adalah tanda bahwa ia memang sedang bosan saja.

Tidak Tepat Janji

           Perlu digaris bawahi, di sini yang dimaksud dengan tidak tepat janji adalah semisal ia janji menjemput Anda jam 9 tetapi baru muncul sejam kemudian, atau ia bilang hendak membawa Anda nonton, ternyata malah membawa Anda makan agar tidak terlalu larut malam. Ia hanya butuh waktu sendirian, tetapi bukan berarti ia ingin meninggalkan Anda.
           Apabila tanda-tanda tersebut memang cukup mengganggu Anda, hentikan merajuk dan bersikap kekanak-kanakan. Yang perlu Anda lakukan adalah berbincang dengannya sehingga ia tahu bahwa beberapa hal yang ia lakukan sedang mengganggu Anda. Jauh lebih mudah apabila Anda mencari jalan keluarnya berdua, agar hubungan kembali hangat dan rasa bosannya mulai luntur. 

9.2  Kategori-Kategori Sosial

            Berangkat dari pendapat Koentjaraningrat yang menjelaskan bahwa kategori sosial dan golongan sosial merupakan konsep dual hal yang berbeda walaupun dalam buku pelajaran Antropologi dan Sosiologi dalam bahasa asing biasanya hal tersebut dikenal dengan istilah yang sama, yakni Social Category. Namun, karena adanya terdapat unsur perbedaaan maka dengan itu kita perlu membedakan dua konsep tersebut. Dalam hal itu dapat diibaratkan dua konsep tersebut memiliki makna “serupa tapi tak sama”, begitulah juga pada konsep tersebut memilki pengertian yang berbeda walaupun terdapat kemiripan.
1.      Dalam hal kategori sosial dijelaskan bahwa konsep ini merupakan kesatuan manusia yang terwujud karena adanya suatu ciri khas atau suatu kompleks ciri-ciri objektif yang dapat dikenakan kepada manusia-manusia itu. Ciri khas tersebut dilakukan dengan maksud untuk memudahkan penggolongan dalam suatu tujuan dan biasanya dikenakan oleh pihak luar tanpa disadari oleh pihak yang bersangkutan. Sebut saja peneliti yang akan melakukan penelitian terhadap kehidupan masyarakat tertentu perlu melakukan penggolongan unuk memudahkan penelitian mereka, walupun pihak yang diteliti tidak menyadari hal tersebut.

2.      Sehubungan dengan itu untuk mempermudah pemahaman kita mengenai kategori sosial tersebut dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari dimana terdapat kategori orang yang memiliki sepeda motor dan kategori orang tidak memilikinya dengan tujuan untuk menentukan harus menaati peraturan lalu-lintas dan bebas dari peraturan tersebut, terdapat katagori mahasiswa yang memiliki banyak buku bacaan dan kategori Mahasiswa yang sedikit memiliki buku bacaan dengan maksud untuk menentukan minat belajar, dan juga terdapat kategori orang bisa bermain Sepak bola dan kategori tidak bisa bermain dengan maksud untuk mengetahui minat olah raga sepak bola. Dari uraian tersebut dapatlah dikatakan bahwa unsur yang terkait dengan konsep kategori sosial biasanya tidak terikat dengan kesatuan adat, sistem norma, tidak mempunyai lokasi dan mengarah pada pembicaraan “kerumunan”.

3.      Selanjutnya golongan sosial dijelaskan merupakan suatu kesatuan manusia yang ditandai oleh suatu ciri tertentu, bahkan sering kali ciri itu juga dikenakan kepada mereka oleh pihak luar kalangan masyarakat sendiri. Dalam konsep ini dapatlah kita umpamakan  dimana dalam golongan masyarakat Prasejarah sudah mengenal adanya penggolongan sosial masyarakatnya, diantaranya terdapat golongan pemimpin suku dan adanya pembagian golongan kerja di dalam kehidupan mereka tersebut. Disamping itu juga terdapat penggolongan masyarakat berdasarkan sistem kasta, yakni kasta Brahmana (pemuka agama), Ksatria (bangsawan), Waisya (pedagang), Sudra (rakyat jelata), dan Paria (gelendangan, peminta dan sebagainya).

4.      Di dalam konsep golongan sosial tersebut didasarkan terjadi dengan sendirinya dan terjadi dengan sengaja. Terjadi dengan sendirinya dapat dipahami bahwa proses ini berjalan dengan sendirinya dan bentuk dasar penggolongan itu bervariasi menurut lokasi, waktu dan budaya masyarakat dimana sistem itu berlaku. Sedangkan golongan sosial yang terjadi dengan sengaja ditujukan untuk mengejar tujuan bersama, sistem penggolongan ini dapat kita lihat dalam pemerintahan, parpol, perusahaan besar dan sebagainya. Dengan lain perkataan konsep golongan sosial biasanya terikat dengan kesatuan adat, norma, identitas sosial dan bersifat berkelanjutan.

5.      Dengan demikian konsep kategori sosial dan golongan sosial memiliki pengertian konsep yang berbeda, pada konsep kategori sosial mengarah pada suatu “kerumunan” sebaliknya golongan sosial mempunyai ikatan identitas sosial. Namun, kedua konsep tersebut memiliki perbedaan tapi perlu digaris bawahi konsep tersebut sama-sama tidak memenuhi syarat yang disebut masyarakat seutuhnya. Dikatakan tidak memenuhi syarat sebagai masyarakat karena ada suatu syarat pengikat yang tidak ada pada kedudukannya, yakni prasarana khusus untuk melakukan interaksi sosial.

Bab x
10.1 SISTEM KOMUNIKASI BURUNG
 agar dapat saling mengeti satu sama lain adalah suatu hal yang sangat unik untuk dipelajari. Begitu pula dengan cara lebah berkomunikasi antara satu lebah dengan lebah yang lainnya. Lantas, bagaimanakah cara lebah berkomunikasi dengan lebah lainnya? Bila seekor lebah pekerja telah menemukan bunga yang berisi air madu, maka bagaimanakah cara lebah pekerja itu menyampaikan berita tentang apa yang telah ditemukannya itu kepada koloni lebah yang lainnya? Bagaimana cara menjelaskan kepada lebah-lebah yang lain tentang jenis bunga yang ia temukan, seberapa jauh letak bunga itu dan kearah mana yang harus mereka tempuh untuk bisa sampai ke tempat itu? Cara lebah menyampaikan berita adalah suatu tanda kebesaran Allah dalam mengatur dan memelihara makhluknya dan keajaiban alam yang menakjubkan. Alat utama dalam rangkaian peristiwa ini tentunya adalah bahasa dan "bahasa" yang dipakai oleh seekor lebah adalah nalurinyaSeekor lebah mengetahui "bahasa" itu tanpa belajar sama sekali atau diajari terlebih dahulu. Setiap lebah pekerja, yang sudah mencapai tingkat usia tertentu pasti memahami "bahasa" ini secara otomatis.
10.2 SISTEM KOMUNIKASI LEBAH
                                                              
Bahasa lebah itu adalah bahasa yang terbentuk dari bau dan tarian. Apabila seekor lebah menemukan air madu atau tepung sari bunga, maka segelah lebah tersebut pulang kesarangnya. Lalu memulai menari didepan kawanan lebah yang ada di sarangnya. Lebah itu terbang menari-nari sambil membuat lingkaran-lingkaran kecil. Tarian ini tentunya menarik perhatian lebah-lebah yang lainnya dan merupakan isyarat bagi mereka bahwa lebah yang sedang menari itu telah menemukan suatu tempat yang ada air madu dan tepung sari bunga. Lebah-lebah madu yang lainnya dapat pula mencium bau dari yang dibawa pulang oleh si lebah penemu tadi. Dengan demikian, lebah-lebah yang lain sudah bisa mengetahui jenis madu dan bagaimana rasa madu yang akan mereka garap nantinya.

Apabila lebah penemu itu menari-nari dengan penuh gairah dan bersemangat sekali, maka itu berarti tempat penemuaannya itu terdapat banyak sekali persediaan makanan. Maka akan lebih banyak pula jumlah lebah pekerja yang akan berangkat beramai-ramai ke tempat itu untuk mengambil bahan makanan. Para lebah-lebah Pekerja itu akan bersama-sama mencari dan mendatangi tempat itu. Tarian lebah itu menerangkan bahwa ada terdapat air madu atau tepung sari bunga yang dapat diperolehnya. Bau di tubuh lebah yang terdapat pada lebah penemu itu juga telah menjelaskan jenis bunga yang akan mereka garap nantinya. Sekaligus mereka juga mengetahui apakah yang akan mereka angkut itu air madu atau tepung sari bunga. Kegairahan tarian yang bersemangat itu menggambarkan berapa besar jumlah makanan yang harus mereka angkut.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjXoAerxYvzDkuFZcQWvL2D46T4ShrDOJdHYlP0EZkb6thu7IHT6lHzeTdDzVfuUxxzWVMD-P9jRnNVE6sH2PYRufckhoP9VfV7cOwOGuvoKLxc1E6Hp7xqYzhwFCyLVbSdiyjQMs23ffr6/s320/tarian+lebah.jpgTetapi bahasa isyarat tarian lebah ini hanya berlaku untuk menunjukkan letak sumber bahan makanan yang jaraknya tidak lebih dari 100 yard dari sarang lebah. Apabila seekor lebah menemukan sumber bahan makanan yang letaknya lebih jauh, maka ia akan pulang kesarangnya dan memepertunjukkan jenis tarian lebah yang lain lagi. Kali ini lebah tersebut tidak akan menari-nari dengan membuat lingkaran-lingkaran kecil. Melainkan dengan membuat sebuah tarian dengan ekornya sambil membentuk angka 8. Dengan mengoyang-goyangkan ekornya, lebah tersebut menyambung kedua bentuk lingkaran pada angka delapan itu dengan satu garis lurus, dengan cara menggoyang-goyangkan ekor atau bagian belakang tubuhnya dari kiri ke kanan.

Tentu saja sebagai tambahan keterangan terhadap yang lainnya itu, maka tarian goyang ekor lebah itu sekaligus pula menerangkan berapa jauh jarak yang harus ditempuh untuk sampai ketujuan dan kearah mana mereka harus terbang. Jumlah gerak lekuk pada setiap menit menunjukkan seberapa jauh jarak sumber makanan itu. Semakin jauh jarak sumber makanan itu, maka semakin kurang bentuk angka 8 yang dibuat oleh lebah itu. Misalnya, 11 kali gerak gerak lekuk dalam setiap menit berarti 3000 yard jauhnya tempat yang akan dituju. Garis yang dibuat oleh lebah itu antara kedua lingkaran dalam lukisan angka 8 itu menunjukkan arah mana letak tempat itu. Lalu apakah yang lebah gunakan sebagai pedoman arah? tidak lain adalah matahari. Garis penunjuk arah ini ditarik sehubungan dengan letak matahari melintasi angkasa. Dengan demikian, lebah-lebah yang lainnya akan segera melihat sudut yang dibentuk oleh garis itu dengan letak matahari. Oleh karenanya seekor lebah tidak akan pernah




Bab  ll FILSAFAT BAHASA
2.1.  DEFINISI FILSAFAT BAHASA
Filsafat mengenai bahasa dan filsafat  berdasarkan bahasa
c)      Filsafat mengenai bahasa adalah yang bersifat memiliki sistem  yang di gunakan untuk mendekati nahasa sebagai objek khusus.
Contoh: hewan berdiri khusus
Bahasa yang di gunakan untuk menjelaskan  ciri tersebut
d)     Filsafat berdasarkan bahasa adalah filsaat ini bersifat dengan menjadikan bahsa sebagai titik  tindak berfilsafat

2.2  CABANG FILSAFAT
Logika
Ada cabang filsafat lain yang menaruh perhatian pada bahasa. Cabang itu sering disebut logika. Logika ialah studi tentang inference (kesimpulan-kesimpulan). Logika berusaha menciptakan suatu kriteria guna memisahkan inferensi yang sahih dari yang tidak sahih. Karena penalaran itu terjadi dengan bahasa, maka analisis inferensi itu tergantung kepada analisis statement-statement yang berbentuk premis dan konklusi. Studi tentang logika membukakan kenyataan bahwa sahih dan tidaknya informasi itu tergantung kepada wujud statement yang mengandung premis dan konklusi. Adapun yang dimaksud dengan wujud ialah jenis istilah yang terkandung di dalam statement dan juga cara bagaimana istilah itu disusun menjadi statement.






2.3  TUGAS FILSAFAT BAHASA

c)      filsafat bahasa bukan membuat pertanyaan tetapi memecahkan masalah  yang timbul karena  ketidak pahaman tentang  suatu  persoalan 
d)      filsafat menganalisis suatu yang dapat di katakan dan tidak dapat dikatakan


2.4  METODE
           Artinya memberikan kritikan terhadap suatu  masalah karena para filsuf  menganggap  bahasa filsafat  banyak kaidah tersiplin tergantung

2.5  CIRI-CIRI FILSAFAT BAHASA

1.4 Cabang-cabang Filsafat       
            Jika kita mengamati karya-karya besar filsuf, seperti aristoteles (384-322 SM) dan Imanuel Kant (1724-1804), ada tiga tema besar yang menjadi fokus kajian dalam karya-karya mereka, yakni kenyataan, nilai, dan pengetahuan. Ketiga tema besar tersebut masing-masing dikaji dalam tiga cabang besar filsafat. Kenyataan merupakan bidang kajian metafisika, nilai adalah bidang kajian aksiologi, dan pengetahuan merupakan bidang kajian epistimologi.
Namun ada juga yang membagi cabang filsafat berdasarkan karakteristik objeknya. Berdasarkan karakteristik objeknya filsafat dibagi dua, yaitu :
1.      filsafat umum/murni
a.       Metafisika, objeknya adalah hakikat tentang segala sesuatu yang ada.
b.      Epistemologi. Objeknya adalah pengetahuan/ kenyataan
c.       Logika. Merupakan studi penyusunan argumen-argumen dan penarikan kesimpulan yang valid. Namun ada juga yang  memasukkan Logika ke dalam kajian epistimologi.
d.      Aksiologi. Objek kajiannya adalah hakikat menilai kenyataan.
2.      Filsafat Khusus/Terapan,
 yang lebih mengkaji pada salah satu aspek kehidupan. Seperti misalnya filsafat hukum, filsafat pendidikan, filsafat bahasa, dan lain sebagainya.

Pembagian cabang-cabang filsafat di atas tidak kaku. Seorang filsuf yang mengklaim bahwa pemikiran filsafatnya berupa kajian ontologis sering kali pula membahas masalah-masalah eksistensi manusia, kebudayaan, kondisi masyarakat, bahkan etika. Ini misalnya tampak dari filsafat Heidegger. Dalam bukunya yang terkenal, Being and Time (1979), dia menulis bahwa filsafatnya dimaksudkan untuk mencari dan memahami “ada”. Akan tetapi dia mengakui bahwa “ada” hanya dapat ditemukan pada eksistensi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, dalam bukunya itu dia membahas mengenai keotentikan, kecemasan, dan pengalamn-pengalaman manusia dalam kehidupan sehari-hari


2.6  HUBUGAN FILSAFAT BAHASA DENGAN BAHASA
      
f)       Bahasa merupakan objek matri filsafat  sehingga filsafat menganlisis hakekat bahasa itu sebagai makna utama. Bahasa sebagai alat komunikasi utama memiliki kencenderungan kesalahan pemaknaan
g)      Bahasa adalah aktifitasnya  manusia yang pangkal pada pemikiran manusia untukmenanamkan keadilan dalam hidupnya
h)      Dunia fakta dan realita  yang menjadi objek filsafat secara simbolik hanya terakui oleh bahasa
i)        Ungkapan pikiran dan hasil  renungan filsafat  hanya dapat di jelaskan dengan bahasa.
j)        Bahasa sebagai penghubung refleksi filosofis

2. 7  JENIS  BAHASA  KOMUNIKASI
        a)  filsafat  dan bahasa
                   kesibukan filsafat berdasarkan  ahli mengatakan bahwa bahsa  seumur dengan filsafat karena berfikir bebas merupkan realisasi dari pola kebenaran retorika  yang berdasarkan pada keputusan logika yang benar yang beroriasinya pada objek yang jelas.
Pandangan ini bertawanan dengan apa yang di katakan oleh kaum stole yang mempertahan kan bahasa sebagai  yang alamiayah/kodrat perbedaan pendapat ini oleh Fiat dan Aristoteles  diberikan jalan pemecahan filsafat  diangkat sebgai ilmu disipliners/disiplin khusus.
       b)pandangan beberapa filsafat bahasa                     
a. Dalam  Kratglus.Flaton mengkaji filosofis dalam hubunganya  anatara nama-nama “dengan benda-benda”.Cratylus  mengatakan diantara keduanya berhubungan secara alami.sedangkan pendapat kaucaranya  mengatakan hubungan antara nama-nama dan benda merupakan kesepakatan.
Contoh : nama kayu jati tidak ada hubungan alamiyah antara nama-nama benda yang    lunduk pemberian berdasarkan pada jenis benda yng dicermatkan berdasarkan situasinya.
b.  Aristoteles menyatakan bahwa nama berhubungan dengan logika dan pengetahuan (logika dan epistemologi) sebagai alat khusus nama dalam suatu benda.
c.  Hobbes menyatakan bahwa bahasa alat penghitung  dengan menggunakan kata-kata senantiasa mengikuti pengalaman.
d.  Tubui menyatakan bahwa bahasa merupakan karakter universal yang dijabarkan.
e.  Yon Humbool  mengatakan bahwa setiap bahasa mempunyai sfatail form/ bentuk bofin yag mengandung sacara tersirat  pandangan dunia yang lekas. 
f.  Ferdinand D.sansute mengatakan bahwa bahasa sebagai lambang karangan dan ungkapan (evase) kalimat-kalimat hasil aktifitas bebas dan kreatifitas
g.  Paul Tullen  memngatakan antara tanda dan lambang yang digunakan dalam bidang  keagamaan
h.  Ludding Wittqonstein dan farsel  menyatakan bahwa harus ada hubungan keriminan antara simpol dan fakta antara simbol yang disimbolkanya  seperti hubungan antara wajah seseorang  dengan bayangan dari cermin


BAB XI
SIMBOL DALAM BAHASA
11.1 Definisi Simbol
Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita mengenal misalnya bendera merah putih sebagai lambang negara kita. Demikian juga gambar-gambar yang terdapat dalam burung garuda lambang negara kita: gambar bintang melambangkan sila pertama dari pancasila, yakni ketuhanan yang maha esa. Gambar rantai melambangkan kemanisiaaan yang adil dan beradab sebagai sila kedua. Gambar pohon beringin sebagai lambang sila ketiga, yakni persatuan indonesia. Gambar kepala banteng melambangkan keila kelima, rsebagai lambang sakyatan sebagai sila keempat. Kemudian gambar padi dan kapas yakni keadilan bagi seluruh rakyat indonesia.
Dari ontoh tersebut, kita tahu bahwa lambang mempunyai arti yang lain sekali dengan apa yang dilambangkan. Lambang adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain. Antara benda yang dilambangkan dengan benda yang dilambangkannya itu sendiri tiddak mempunyai apa-apa. Lambang-lambang tersebut menjadi berarti atau kita ketahui karena adanya semacam perjanjian diantara kita. Dalam hubungannya dengan gambar-gambar atau lambang-lambang diatas, hanya kita bangsa indonesia saja yang mengetahui maknanya atau mengartikannya seperti itu. Di dalam pergaulan masyarakat lain, barang kali gambar-gambar atau lambang-lambang tersebut mempunyai makna yang lain pula.
Tapi yang jelas, apa pun wujud lambang itu bagi pemakaiannya mempunyai makna dan tujuan tertentu. Dengan lambang-lambang atau gambar-gambar tersebut diharapkan pengertian yang ada di balik lambang itu menjadi lebih kongkrit, lebih nyata dan mudah ditangkap oleh pancaindra. Perhatikanlah misalnya keberanian dan kesucian yang dilambangkan dengan merah putih. Baik keberanian maupun kesucian sangat abstrak. Kedua sifat tersebut merupakan keputusan pikiran setelah menyaksikan sesuatu tindakan atau sifat sesuatu benda. Selanjutnya walaupun merah dan putih juga merupakan sifat, tetapi wujudnya atau realitasnya dapat kita tangkap dengan indra mata kita. Demikianlah, sebagai lambang merah putih lebih mudah dah ditangkap pengertian-nya, karena ia hidup dalam khayal kita.
Begitu juga halnya. Pemakaian lambang-lambang di dalam puisi.Pemakaiannya erat sekali dengan tujuannya penyair untuk menjadikan puisi-puisinya lebih mudah ditangkap oleh pembaca. Atau dengan kata lain erat sekali dengan pengimajian.
Untuk jelasnya, marilah kita lihat contohnya berikut ini.
 Bunglon
Untuk “pahlawan” ku

Meelayang gagah, meluncur rampis
Memang tenang, ’alam samadi,
Tiada sedar marabahaya ;
‘Alam semesta memberi senjata.

Selayang terbang kerumpun bambu,
Pindah meluncur kepadi masak,
Bermain mesra di balik dahan,
Tiada satu dapat mengganggu.

Akh, sungguh puas berwarna aneka,
Gampang menyamar mudah menjelma,
Asalkan diri menurut suasana.

O. Tuhanku, biarkan daku hidup sengsara,
Biar, lahirku diancam derita,
Tidak aku sudi serupa.
(GEMA TANAH AIR, SM.Ashar)

Kita semua tahu, bunglon  ialah binatang yang dapat mngubah-ubah warna diinya sesuai dengan lingkungan tempatnya berada. Di tempat yang berwarna hijau,akan mengubah warnanya menjadi hijau; di tempat yang berwarna kelabu, akan mengubah warnanya menjadi kelabu. Semua itu maksudnya adalah tidak lain untuk mengelabuhi musuhnya atau agar tidak mudah dikenal. Atau dengan kata lain agar selamat atau terhindar dari bahaya yang mengancamnya.
Sekarang, adalah bunglon pada puisi diatas dimaksudkan sebagai binatang yang sering mengubah-ubah warnanya terse-but? Dengan membaca kalimat dibawash judul puisi diatas, atau bait terakhirnya, kita dapat menduga bahwa kata bunglon pada puisi tersebut pastilah bukan dalam arti yang sebenarnya. Bung-lon pada puisi tersebut digunakan penyair untuk melambangkan sesuatu; yaitu orang yang tidak mempunyai pendirian yang teetap atau pejuang yang demi keselematan dirinya sering bertukar haluan menyesuaikan diri dengan pihak yang menang atau yang sedang berkuasa. Alih-alih bunglon pada puisi diatas digunakan penyair untuk melambangkan orang yang munafik atau plin-plan.
Terasa, pada kita sekarang, dengan dilambangkannya orang yang munafik atau plin-plan tersebut dengan bunglon, pengerti-annya menjadi lebih mudah kita tangkap; karena yang tergambar dalam angan-angan kita sekarang adalah wujud binatang tersebut. Nyatalah bahwa pelambangan mempunyai efek yang sangat kuat untuk menimbulkan bayangan-bayangan yang mudah ditangkap oleh pancaindra. Pelambangan menjadikan sesuatu yang semula abstrak menjadi kongkrit. Itulah sebabnya pelambangan seringkali dimanfaatkan oleh para penyair untuk lebih meng-efektifkan puisi-puisinya.
Hanya yang perlu segera yang kita ketahui, pelambangan tersebut sangat individual sifatnya, artinya tidak semua lambang yang sa-ma mempunyai makna yang sama didalam berbagai puisi dan bagi setiap penyair. Karena itu menghadapi lambang-lambang dalam puisi, kita dituntut untuk mengembangkan imajinasi kita untuk menghubungkan hal-hal yang diluar puisi tersebut. Dari sini nampaklah betapa banyak ilmu pengetahuan  harus kita miliki untuk dapat menafsirkan lambang-lambang dalam puisi. Betapa banyak bekal yang harus kita siapkan untuk dapat menafsirkan lambang-lambang dalam puisi. Betapa banyak bekal yang harus kita siapkan untuk dapat kita siapkan untuk dapat menafsirkan sebuah puisi.
II.2. keindahan, kontemplasi, dan ekstasi dalam kehidupan manusia
1.      Pengertian kontemplasi
Kontemplasi menurut artinya adalah suatu proses bermeditasi, merenung atau berfikir penuh dan menda-lam untukl mencari nilai-nilai, maka manfaat dan tujuan atau niat suatu hasil penciptaan.dalam kehidupan sehari-hari, orang mungkin berkontemplasi dengan dirinya sendiri atau mungkin juga dengan ciptaan tuhan atau dengan peristiwa kehidupan tertentu berkenaan dengan dirinya sendiri atau diluar dirinya. Dikalangan umum kontemplasi diartikan sebagai aktivitas  melihat dengan mata dan/atau dengan pikiran untuk mencari sesuatu di balik yang tampak atau tersurat. Misalnya dalam eks-presi: ia sedang dalam berkontemplasi dengan bayang-bayang atau dirinya dimuka cermin.
Pengertian kontemplasi tersebut sebenarnya bersumber pada berbagai kenyataan dalam kehidupan sehari-hari, yang tampaknya bertentangan dengan adat kebiasaan dan kebudayaan bangsa dalam hakikatnya selalu menghendaki perubahan. Itulah sebanya manusia itu menurut pembawaannya selalu ber-kepentingan, koncerned, dengan kontemplasi; sebagaimana menurut pembawaaannya juga, manusia berkepentingan dengan segala macam kegiatan dalam hidupnya. Hal-hal demikian berkaitan dengan segala macam kegiatan dalam hidupnya. Hal-hal demikian berkaitan dengan tuntutan individu dan masyarakat yang dina-mis serta meningkat dalam setting (latar) peradaban, civi-lization, ilmu pengetahuan dan teknologi maju dunia.
Seorang filosuf bernama Jacques Mariatin yang telah banyak menulis tentang seni kesusasteraan- dalam bukunya yang semakin menjadi langka “Art and Scholasticiam”, New york, 1949: 80- mengatakan bahwa seni ituu meemberi kesempatan kepada manusia untuk berpacu dengan kontemplasi, yang menghasilkan suatu kegembiraan spiritual yang melam-paui batas jenis kegembiraan kon-templatif  ini dipandang pula sebagai akhir atau tujuan semua aktivi-tas hidup manusia.
Untuk memperkuat pandangan tersebut diajukan isi atau pertanyaan-pertanyaan problematis, retoris dan sugestif sebagai berikut:
a.       Untuk tujuan apakah pekerjaan memburuh, layanan perdagangan kalau tidak untuk menyediakan dan mencukupi keperluan hidup seharii-hari sehingga pantas berkontemplasi?
b.      Apakh kegunaan kkebijakan-kebijakan moral dan kebijakan- kebijakan kepemimpinan jika tidak untuk menenteramkan  nafsu dan keda-maian batin yang diperlukan untuk berkontemplasi?
c.       Untuk tujuan apakah keseluruhan tata pemerintahan kehidupan bermasyarakat, govermentof civil life, jika tidak untuk menjamin kesentosaan jasmani yang diperlukan bagi kontemplasi?
II.3 Kontemplasi dan Cipta Seni
Persepsi dan pemahaman terhadap hasil karya seni dan gejala-gejala alami serta kehidupan didunia ini, pada tingkat ke-bermaknaannya yang tinggi, dapat dicapai melalui idealisme dan pemikiran yang tajam dan mendalam bagi kesempurnaan hidup tata jasmani dan rohani manusia. Gejala-gejala alami yakni alam dengan  seluruh isi dan geraknya yang nampaknya biasa-biasa saja itu sebenarnya menngandung implikasi kelanjutan, akibat-akibat dan kegunaan yang penuh misteri bagi manusia, yang selagi hidup menjadi penentu pemecahannya.
Dalam hal tersebut manusia sejak zaman purba yang seba primitif sampai dengan pada  zaman modern abad nuklir-sekarang tak akan henti-hentinya melakukan berbagai kegiatan jasmani, rokha-ni, dan mental. Manusia menciptakan berbagai macampeeralatan untuk m,emecahkan rahasia gejala alami tersebut. Semuanya ini dilakukan dan hhanya bisa terjadi berdasarkan resep atau pendahuluan yang dihasilkan oleh kontemplasi. Siklus kehidupan manusia dalam dalam lingkup pandangan ini mennjukkan bahwa kont-templasi selain sebagai tujuan juga sebagai cara atau jalan keserba kesempurnaan hidup manusiawi.
Hasil karya seni semula dicipta dengan menggunakan bahan-bahan atau sumber-sumber alam yang selek-tif, yang mengandung ide, dan kritik atas peristiwa kehi-dupan  dari manusia seniman sebagai penciptanya. Karya seni yang agung mempunyai sosok yang penuh misted, dan mengandung bernagai pengungkapan tingkatan makna serta nilai-nilai. Hasil karya seni bukan sekedar sebagai gambar berdimensi du sebagai hasil jepretan alat fotografi. Hasil karya manusia dibidang seni mungkin telah berubah dari bentuk objeknya yang semula, yang mungkin hanya dapat dipahami secara kontempleif justru karena adanya proses penyeleksian, gagasan serta intensi atau niat tertentu dari seniman penciptanya.
Untuk lebih memahaminya, sebagai contoh kita dapat membandingkanantara “potret sungai” secara amatir, tanpa seleksi dan kritik, dengan “lukisan sungai” yang ekspresif dan impre-sif dan penuh saran serta kesan akan makna dan nilai; atau suatu “laporan kejadian” tentang peristiwa rtertentu yang dinyatakan dalam “fiksi” atau “puisi”, yang maksudnya mengun-dang kesan dan penafsiran. Semua ini dimungkinkan oleh ad-nya ide, gagasan, kritik dan cara seniman menanggapi khalayak p[embaca atau penghayat-nya. Dengan kata lain hasil karya seni tercipta, terkandung dan lahir, karena kontempla-si disebakan karena dalamnya atau keseluruhannya lebih banyak bersifat simbolis.
II.4 Simbol Dan Kontemplasi
Didalam cipta seni simbol biasanya menambahkan unsur kesulitan yang halus dan sukar dibedakan sebagai abstraksi. Sebagai suatu kecerdikan berkomunikasi, simbol digunakan ma-nusia (seniman) untuk menghibahkan overton atau makna implikasi yang tersirat. Misalnya dalam kehidupan sehai-hari peristiwa berjabatan tangan adalah suatu perbuatan jasmani yang sederhana. Namun overtone maknanya adalah suatu ide yang universal dan abstraak tentang persahabatan. Didalam cipta cini sang seni-man memilih medium simbol tidak hanya mengekspresikan hal yang aktual atau fakta lahiriah tetapi juga suatu yang batiniah, suatu makna yang tersenden. Contohnya sebagai berikut:
Dalam sebagian pengalaman hidup ini, kita mengenal rumput ilalang dengan kebiasaan di padang-padang yang tak dijamah ta-ngan manusia. Dedaunya yang hijau sekedar hijau dan hewan mememah biakpun tidak suka merenggut memakannya. Akar-akarnya yang menyerabut, jalin-berjalin merayapi permukaan tanah dan selalu menumbuhkan tunas-tunasnya yang bagus. Ilalang adalah jenis tumbuhan rumput yang ganas dan ekspansif sebagai massa nabati yang laten. Secara lahiria hidupnya tak membawa manfaat bagi makhluk hewani maupun insan lain bagi dirinya sendiri untuk tumbuh bebas berumpun-rumpun menutupi permu-kaan tanah yang mu gkin subur bagi tanaman  pertanian. Bagi orang awam dan tiada bersangkutan, ilalang adalah penomen haya-ti alam yang biasa.
Fenomena alam yang biasa ini dalam dunia seni misalnya ke-susastraan oleh seorang penyair dapat diambil sebagai materi (pusi) secara terseleksi dari materi-materi alam lainya. Dalam sejak “RUMPUN ALANG-ALANG” penyair tak sekedar memotretnya kemudian mendeskripsikan sebagaimana dalam ilmu tumbuhan-tumbuhan (botani), akan tetapi dimasukinya ide dan gagasan, dan secara analogis dalam hukum asosiasi pikiran (mental associa-tion) digunakan untuk mengimajinasikan peristiwa kehidupan batin tertentu dalam kesadaran kontemplatifnya. Baiklah kita perhatikan sejena sejak RUMPUN ALANG-ALANG ciptaan. W.S.Rendra berikut ini.
RUMPUN ALANG-ALANG
Engkaulah perempuan kasih,
Yang sejenak kulupaka,sayang.
Karna dalam sepi yang jahat
Tumbu alang-alang di hatiku yang malang
Dihatiku alang-alang menancapkan
Akar-akarnya yang gatal.
Serumpun alang-alang gelap, lembut dan nakal.
Gelap dan bergoyang ia
Dan ia pun berbunga dosa.
Engkau tetap yang punya
Tetapi alang-alang tumbu didada.
Demikianlah rumput ilalang melalui renungan  dan aktivitas serta metode dan tehnik kepujanggaan telah menjadi sebuah sanjak yang secara pribadi cukup berarti dan dapat membangkitkan kesan tertentu. Dan maknanya bagi pembaca sangat bergantung pada kepekaan dan kemampuan berfikir mendalam, bila ia memiliki apa yang disebut imaginative entry( D.L.Burton,1964 144). Konsep ini adalah suatu bekal bagi masukan untuk berkha-yal dengan menghubungkan pengalaman pribadi yang relepan dan telah lampau dengan pengalama bau yang diperolehnya sebagai pengalama perwakilan (cariuas exprimence), yang diperolehnya dari membaca sajak tersebut. Hal demikian termasuk proses ber-kontemplasi dalam sistim asosiasi pengalaman secara imajinatif.
Dalam sistim imajinasi visual, rumput ilalang dalam sajak tersebut telah berdimensi lengkap. Dan bagi pembaca sastra, yang matang, maknanya telah berdimensi ganda. Ia bukan sekedar rumput ilalang yang berumpun-rumpun sebagai makna langsungnya, melainkan berjalinan secara simbolis dengan lelaki dan perempuan dalam tautan hati, kasi sayang, dan pengakuan dosa yang sadar dalam latar kesenian dan konflik batin. Maka disinilah orang me-nyimpulkan bahwa karya seni itu-dalam hal ini diambil puisi sebagai contoh-dimaksudkan untuk dirasakan keindahannya yang inherent secara kontemplatif. Proses kontemplasi ini dapat di tapsirkan secara teoritis telah terjadi pada saat penciptaan, mau-pun secara mpiris dalam penghayatan pembacaan setelah sanjak tersebut lahir dan jadi.
Sistem kontemplasi berlaku tidak hannya terbatas pada karya sastra tetapi juga pada karya-karya seni lainnya. Pergilah ke candi brobudur. Di sana kita dapat menyaksikan betapa aktivitas kontemplatif nenek moyang kita lebi mewujudkan fenomen historis, ratusan tahun yang silam (kurang lebih tahun 850 Masehi) telah menghasilkan bangunan agung dan area-area filosofis serta relief-relief ajaran kehidupan yang termasyhur di seluruh dunia yang beradap. Bangunan brobudur yang anggun itu sesugguhnya yang memaduhkan seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan seni ba-ngunan.
Dalam lukisannya yang berjudul “Tetap hidup dengan apel dan jeruk”, yang dihasilkan pada tahun 1890 Masehi, paul Cazanne berkata bahwa lukisan tak hanya merupakan kopi asli tiruan cetak dari objeknya, melainkan ia menangkap dengan cetakan harmonisan antara berbagai macam pertalian, antara alam dengan alam beserta kehidupan lahir batin manusia. (S.Gerald Barry,1965:313)
II.5 Macam Pandangan Keindahan Dalam Karya Seni
Apabila kontemplasi lebih banyak di pandang sebagai tujuan, maka kehidupan dalam karya seni merupakan sesuatu keharusan. Dengan katalain. Kehidupan melekat dan berpadu, atau bersifat inherent dalam karya seni. Dalam hubungan ini telah banyak pan-dengan dalam upaya memahamkan sifat keindahan yang inheren dalam karya seni itu. Dalam upaya tersebut, pemikiran pada umumnya bermula dengan pertanyaan yang membuka persoalan secara beruntun sebagai:
1.      Apakah keindahan itu?
2.      Apakah keindahan terletak dalam subjek yang dipilih dalam seniman, misalnya: seorang wanita cantik, matahari dikala mula terbit atau menjelang terbenam, atau setangkai bunga tanaman hias yang segar dan harum?
3.      Ataukah keindahan itu terletak dimana-mana; dibatu-batu, sungai-sungai, hutan-hutan, dan gunung, bah-kan dipelimbahan sekalipun? Bahkan dalam hati dan pi-kiran manusia?
Dalam hubungn ini salah seorang filosof yunani kuno, plato-yang hidup kira-kira 427-347 sebelum isaalmasih-berkeyakinan bahwa keindahan itu ada didalam pernyataan gagas-an dari pikiran yang murni, tak mungkin diharapkan ad atau muncul sepenuhnya dimuka bumi atau alam semesta ini. Menurut plato, keindahan itu mungkin saja berkilas paling jelas didalam kebenaran-kebenaran yang ditemukan melaui logika. Dengan demikian melalui ilmu yang penalarannya tersusun dengan amat baiknya.
Bagi plato, pengalaman keindahan tidak pernah bergantung pada senag atau tudak senagnya seseorang ataau pribadi-pribadi p[ada subjek artistik, melainkan terlaetak pada pemahaman intelektual terhadap subjek artistik itu. Kemudian beberapa pemikiran kristiani seperti St. Agustine (354-430) dan St. Thomas acuinas (1225-1274) berkeyakinan seperti plato bahwa kebenaran intelektual dan keindahan itu adalah sinoni-mus atau bersinonim.
Menurut paham ini pengertian yang terhadap kebenaran sejati akan membuahkan persepsi keindahan. Perkembangan selan-jutnya kebenaran yang dimaksudkan dalam cipta budaya dan seni adalah kebenaran sebagai yang diwahyukan atau diwujudkan oleh tuhan dalam ciptaannya. Upya para seniman untuk mengeks-presikan keindahan dalam cipta seni, menurut keyakinan mereka past-ilah akan menghasilkan bentuk-bentuk idealisasi manusia tentang keindahan.
Dalam hubungan tersebut seorang penyair jswet, bernama Gerard menlay obkins, yang besar pengaruhnya terhadap seni sastra modern dibarat dan di amerika serikat, terutama sangat sensitif terhadap yang dihusus. Keindahan disini terutama sebagai aflikasi dari dua bush. Kata konseptual dan theo shofis yang sangat digemari ialah (insteress)  dan “inskp”. Bagi hopkins intress adadalh pengaru yang nyata dari tangan tuhan terhadap cipta kreatifnya. Sedangkan inskp baginya p-emahaman kekuatan melihat segala sesuatuu dengan hati danpikiran sebagai suatu puncak realitas dalam melihat pola, irama dan melodi benda-benda ciptaan berdasarkan kebenaran tuhan (W.j.grase,loc.cit : 14).
Berdasarkan pandangan hopkins tersebut, para ahli dan kri-tikus kesenian kemudian menyatakan bahwa semakin tajam pemahaman seseorang terhadap kekhususan yang kongkrit dari benda-benda hasil karya seni, sekain tajam pula persepsi sese-orang terhadap keindahan yang transendental dan unipersal-yakni keindahan persepsional yang berada diluar batas pengetahuan praktis, yang ahnya bisa dicapai dengan intuisi. Intuiisi adalah suatu proses kejiwaan/kerohanian yang sulit di-nalarkan tetapi terasa bagi jiwa dan perasaan yang halus akan manfaatnya yang abadi dan menyehatkan.
Dengan pandangan hopkins tersebut agaknya kita dapat membagi tugas bahwa persepsi keindahan pada tahap tertentu da-pat dibedakan antara seniman pencipta dalam proses penciptaan dan persepsi penghayatan hasil karya. Bagi seniman yang sedang mecipta persepsi keindahn termasuk dalam konsep instres, sedangkan bagi penghayat hayat hasil karya seni persepsi keindahan bergolong dalam konsep inskp..
Disamping pandangan keindahan berdasarkan ide atau gagasan tersebut, terdapat pandangan lain yang membiarkan emosi mempengaruhi ide atau gagasan keindahan. Gagasan bahwa suatu hasil karya seni menjadi indah jika ia menyajikan emosi yang pe-nuh nafsu akan menghasilkan karya seni yang memungkinkan khalayak penikmat atau penghayatannya mendapatkan berbagai perasaan-perasaan demikian tanpa harus menanggung bahaya yang diakibatkannya. Karya seni dengan dasar filsafat demikian, semua-nya berangkatt atau bermula dengan lebih mengutmakan terjadinya kegumparan perasaan masyarakat atau orang –orang daripada menghimbau atau berpikir rasional.
Puisi-puisi ciptaan Lord Byyron (1988-1824) diingris dan musik-musik susunan wagner dan lukisan “monalisa” merupakan contoh-contoh karya seni beraliran romantika yang mengutamakan pengorbanan perasaan dari pada penalaran.
Diindonesia karya sastra yang bergaya demikian dihasilkan oleh pada umumnya pengarang-pengarang balai pustaka (920-930) dan pujangga baru (1933-1943). Buku-buku jenis prosa, roman ataupun puisi-puisi pada masa tersebut lebih banyak mengerakkan perasaan baru dibandingkan puisi-puisi dan prosa-prosa indonesia modern yang lebih banyak membuat pem-bacanya bereaksi keras. Keindahan cipta seni sastra zaman itu-kurun dua puluh dan tiga puluh- adalah keindahan romantik yang semata-mata berdampak emosional. Awan, mega, angin dan marga stwa dihimbau penyair dalam bahasa yang sendu untuk menyertai rasa duka nestapanya.
Di bidang roman atau novel kita dapat membandingkan fenomen keindahan pada roman DI BAWAH LINDUNGAN KA'BAH ka r;r ngan Hamka dengan novel KERING ciptaan Iwan Simatupanl;.
Begitulah dalam prows penciptaan karya seni, kritik dan apresiasinya, terdapat dua faham yang saling bertentangan dann ber-oposisi. Sahr faham menghendaki bentuk-bentuk ideal yang me-ngutama kan bekerjanya kebenaran rasional dalam otak, dan faham lainnv;r menghendaki ekspresi emosi pribadi yang kuat menu-rut dclnrran jantung dan resapan hati.
Baik krrenderungan pada faham yang pertama ataupun ke-cenderun};.ui. pada faham yang kedua, keindahan tidak perlu di Pandang harus terletak pada subyek atau objek penciptaan artis-tik. Da })a t d ibuktikan bahwa banyak seniman-seniman bcsa r yang memolret subjek-objek ciptaan yang pada penglihatan sekilas se-luruhnya tampak tidak mengandung keindahan. Misalnya masalah--masalah kekerasan, pembunuhan, kekejaman, kekejian dan kr'me-suman. Keindahan cipta seni dari subjek-ohlck aspek kehiduyan manusia seperti itu terletak pada ketrampil,1n dan kesesuaian ben-tuk-bentuk yang diberikan sang seninran pada bahan-hahan dan medium garapannya.
Sementara itu gagasan umum tentang apa sebena n iya indah ihr seringkali bergantung pada seberapa jauh rakyat mengenal atau banyak tentang konvensi-konvensi tertentu di bidang artistik. Acapkali apa yang disebut indah dalam stn tidak lain hanyalah suatu jenis unsur dalam seni yang pada, umumnya paling dikenal rakyat. Gambar-gambar mempersr,na dari model btisana merupakan rakyat. Gambar-gambar mcnr­persona model busana merupakan contoh yang tepat. Akan tetapi jika kilo rnenganalisanya, akan tampaklah mode-mwde tersebut tak hrrhubungan secara dekat de-ngan bentuk-beniuk tubuh yang aktual yang telah diisi gagasan le-bih mulia, hchih luhur, dan nu'n,rkjubkan (baca: sublim). Gambar--gambar mode itu hanya mwnrpunyai sebuah tujuan yakni sebagai simlurl gagasan manusia secara temporer tentang keindahan. iika simbol-simbol ilu kehilangan kebaharuannya, maka gamb,u-­gam-bar tersebtit tak lagi memiliki nilai budaya apapun. Maka semuanya menjadi barang yang tak berdimensi waktu,  semuanya menja-di lapuk dan lusuh tanpa kenangan. Karya­karya seperti itu ada hubungannya dengan kebutuhan kontem­platis secara langsung.


II.6 Hubungan Keindahan dan Kontemplasi
Pada uraian sebelum ini telah dinyatakan bahwa seni dicipta-kan dan dihadirkan untuk kebutuhan manusia akan kontemplasi. Di samping itu seni menurut wataknya akan berpadu dengan kein-dahan. Karena itu menurut logika deduktif dapat dikatakan bah-wa keindahan dalam seni juga harus dikontemplasikan. Kesimpulan ini mengandung dua saran kemungkinan penafsiran, pertama bahwa untuk dapat menciptakan keindahan dalam hasil karya seni terlebih dahulu ditempuh prows kontemplasi; dan kedua keindahan yang berpadu dalam hasil cipta seni harus dikontemplasikan untuk menemukan rahasia dan nilai-nilai di balik keindahan formalnya.
Dalam pada itu para filsuf dunia menekankan adanya perta-lian antara kepandaian manusia berkontemplasi dengan kemampu-an untuk melihat keindahan dalam karya seni: (1N.J. Grace, 1965:14). Dalam faham fanatisme seni dengan semboyan 'I art pour I' art' atau ide 'art for art's sake', yang sangat populer di Barat pada abad ke 19, selalu dikumandangkan bahwa keindahan dalam karya seni merupakan yang harus dikon­templasikan untuk kepen-tingan keindahan itu sendiri, dan bukan untuk tujuan yang lain. Dikatakan pula bahwa keindahan seringkali diartikan sangat sem-pit, jika hanya dimaksudkan untuk kegunaannya. (Misalnya kein-dahan dekoratif atau orna­mental yang diupayakan untuk menarik sclera pembeli. Atau perhiasan wajah dan tubuh untuk membangjkitkan nafsu birahi). Pandangan ini sebenarnya berasal dari kaum hu-manis abad renaissance di Eropah (abad 14 sampai 16) yang gemar menautkan karya seni dengan nilai-nilai universal yang harus per-maven. f'andangan ekstrem yang lain dikemukaan oleh Walter Peter pada tahun 1928 dalarn bukunya The Renaissance Studies in Art and I'ortry,1928: 252, bahwa "seni datang kepada kita dengan nu'nganjurkan kepada kita untrrk menerima suatu kualitas trrtin};};i yang diberikannya pada waktu-waktu yang dilaluinya “(W.J…Grace, 1965 42). Sementara pandangan lainnya yang sejajar menghendaki agar seni diupayakan bisa sebagai substitusi bagi kebenaran religious. Dengan kata lain kebenaran agama harus menjadi insprasi penciptaan seni.
Sementara itu pula ahli-ahli kemasyarakatan banyak mengharapkan agar seni di samping mengekspresikan keindahan dan kebenaran – kebenaran pengalaman juga harus menjadi medium untuk mengkomunikasikan gagasan-gagasan yang bermakna bagi masyarakat. Di samping itu pribadi – pribadi harus mendapatkan catharsis sebagai yang dikhotbahkan oleh Aristoteles dalam bukunya The Poetics. Istilah ini diambil dari dunia obat-obatan yang berarti penjernih atau pencahar/pencuci. Secara anlogis istilah catharsis dari aristotelesi itu dalam penerapannya di bidang seni berari penjernihan atau penyucian emosi melalui pembahasan atau pelepasannya dalam pengalaman estetis. Istilah ini dengan thesis atau pikiran pokok Freud tentang sublimasi yaitu suatu asumsi bahwa dorongan – dorongan dasar dan naluriah (instingtual) harus dibebaskan dan ditrans formasikan (berangsur-angsur diubah) melalui seni sedemikian rupa sehingga menjadi bersifat konstruktif bagi masyarakat. Konsep catharsis ini kemudian menjadi poros dalam setiap diskusi tentang nilai moral cipta seni.
Dalam hal tersebut di atas dapat dikatakan bahwa pernyataan – pernyataan di atas sebenarnya merupakan modal keyakinan yang sangat wajar dan perlu bagi para seniman dan budayawan dalam emngupayakan terciptanya keindahan – keindahan baru dan berkepribadian. Hal ini tak dapat dilepaskan dari aktivitas peningkatan – peningkatan selera yang sangat diperlukan bagi uma manusia dalam mencapai martabat kemanusiaannya yang luhur dan universal berdasarkan lingkungan tertentu, sebagai makhluk berbudaya yang menyadari kodratnya dalam hubungannya dengan sesamanya dan dengan khaliknya.
Demikianlah sebagaimana makna yang diperlukan bagi kesehatan tubuh, keindahan yang hakiki diperlukan bagi kesehatan jiwa manusia, pribadi – pribadi dan masyarakat.


 II.7 keindahan Transendental, Intuitif Dan Ekstase
Bagi orang – orang yang tempatnya di luar aktivitas atau bidang penciptaan benda – benda budaya dan seni, keindahan ciptaan seharusnya menjadi sumber pencarian nilai – nilai transcendental dan universal. Dalam pada itu juga tak kalah pentingnya memahamkan aspek – aspek yang kongkrit dan unu dari fenomena keindahan budaya dan seni.
Dapat diasumsikan bahwa nilai transcendental fenomena budaya dan seni terentu misalnya keris, area, pahatan, lukisan, puisi hiasannya berada jauh dari jangkauan persepsi orang awam, yang berselera praktis dalam hidup keseharian. Sebabnya ialah bahwa secara teoritis nilai transcendental itu keadaannya tidak didasarkan pengalaman ataupun penalaran. Nilai transedental merupakan sesuatu yang bergerak di luar rentangan pengalaman manusia yang actual sehari – hari, dan juga tidak berdasar pada penalaran dan kekuatan mendeskripsi. Nilai transcendental tidak dapat ditemukan atau dipahamkan dengan pengalaman praktis, melainkan diketahi dengan intuisi.
Nilai – nilai dengan penghayatan intuitif atau transcendental itu memang mempunyai kesulitan – kesulitan filosofis bagi pemahamannya, akan tetapi melalui ilmu atau pengetahuan budaya dasar dapat diupayakan jalan memasuki persoalannya. Demikianlah keindaha intuitif dengan nilai transcendental tasinya yang umum sebagai suatu karakteristik sosok benda – benda hasil karya cipta. Misalnya karakteristik wacana puisi tertentu, karakteristik sosok keris tertentu, guratan – guratan seni pahat dan lukis pad arelief – relief candi dan arca ataupun seni batik bangsa Indonesia.
Wujud atau sosok benda-benda budaya dan seni yang bernilai intuitif itu adlaah pernyataan – pernyataan manusia yang secara komperatif sangat merangsang dan memikat jiwa yang bersih, karena ia dibangkitkan dari penglihatan pujangga agung, empu-empu, atau seniman-seniman besar, manusia terpilih (jalma kinacek bahasa jawa) terhadap suatu gejala alam, dengan cara yang langsung, lurus, terpusat tanpa gangguan dan dengan cara entuiasme. Intuisi merupakan suatu kekhususan luar biasa dalam merasakan dan memandang atau menyikapi sesuatu dengan penuh kecintaan, kebaktian, kepercayaan, dan penyerahan diri serta kebahagiaan jiwa.
Pujangga – pujangga agung itu dan bangsa Indonesia mempunyai: empu Gandring, empu Baradah, empu  Sadah dan Panuluh, Sutasonma, Gajahmada, Wali Songo, sejumlah Ki Ageng, St. Syahrir, Bung Karno, Amir Hamzah, Chairil Anwar – biasa lebih menyatakan dengan keyakinan pribadi secara tak tergoyahkan (self confidence) dari pada semata – mata berargumentasi tentang topic ciptaannya. Demikianlah penghayatan keindahan secara intutitf merpakan suatu kemampuan untuk melihat dan meneliti kebenaran secara langsung tanpa perlu menempuh jalan bekerjanya otak secara teliti, dan kemudian diwujudkannya dalam bentuk – bentuk pernyataan ciptaan secara organis. Ia dapat dicapai oleh manusia arif melalui jalan yang panjang dan tekun.
Bentuk keindahan intuitif terjadi dalam proses penciptaan yang mungkin dalam gejalannya yang sangat ekstrem berupa ekstase (ecstasy), yaitu suatu perasaan kebaagiaan spiritual yang membumbung tinggi. Ia berwatak seperti janin yang organis dalam rahim yang pada saatnya menjadi sosok yang bentuk dan wajahnya tiada kesamaannya. Di sinilah individuasi dan keunikan cipta budaya dan seni memperoleh maknanya dalam bentukan yang organic. Ia berbeda dengan bentuk yang berwatak dengan pola mekanistik di mana materi dapat dituangkan untuk menghasilkan bentuk cetakan yang telah ditentukan lebih dahulu. Bentuk mekanistik adalah bentuk yang berpola tetap dan dapat diproduksi sangat banyak, berulang-ulang dan sama sesuai cetakannya, seperti misalnya produksi barang – barang parik yang bisa dipesan dan dirancang sebelumnya. Bentuk mekanistik adalah suatu bentuk yang sudah diketahui dan ditentukan kegunaan atau tugasnya lebih dahulu, sehingga orang awampun dapat dengan cepat mengenal sifat – sifat dan cara memakainya dengan melihat buku pintarnya. Sedangkan basil karya yang menghibahkan keindahan dalam bentuknya yang organic dengan sendirinya memiliki derajat lebih tinggi dibanding semata – mata keindahan lahiriah (surface beauty). Perubahan, ini diperlukan oleh siapa saja yang ingin meningkatkan martabat kemanusiaannya.



  






































Previous Post
Next Post